Berhentilah menemuiku,,,,

Suasana hening sore, membuatku melenguh pada kejanggalan ini.
"Abang,,,". Suaranya terdengar serak.
Aku menelan ludah. Astaga? Gadis itu mengangkat wajahnya, lampu neon membuat ekspresi wajah sendu itu terlihat jelas. Tangannya memeluk erat tumpukan buku PR.
"Aku pikir, aku pikir kita tidak usah bertemu lagi,,".
Bahkan dimas yang pura-pura kerja tapi sejatinya menguping. Terhenti tangannya membuka baut.
"Tidak usah bertemu?" Aku memastikan, siapa tau aku salah dengar.
"Iya, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi".
Langit-langit workshop terasa lengang.
"Tapi kenapa?" Intonasi suaraku terdengar bergetar.
Dia hanya diam, menunduk lagi.
"Kamu hanya bergurau, kan?". Aku menyelidik, tertawa kecil.
Gadis itu mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca, membuat tawaku bungkam, mematung.
Ibu, aku belum pernah mengalami situasi seperti ini. Anakmu ini, meski tau semua hal tentang mesin, belajar ribuan soal tentang kehidupan, menyalin semua pengetahuan dari kecil, anakmu ini tidak pernah membayangkan akan mengalami percakapan model ini secara langsung dengan seorang gadis.
"Ini, ini tidak ada hubungannya dengan papa, kan,?". Aku putus asa menebak- setelah dia hanya diam, dan aku tidak tahu lagi apa kemungkinannya.
"Papa, memangnya papa bilang apa pada abang kemarin,,?". Gadis itu justru bertanya padaku.
"Eh, tidak bilang apa-apa.". Mulutku kaku. Menilik dari raut wajahnya, aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan dugaanku. "Aku fikir, justru papa yang bilang sesuatu padamu,,".
Gadis itu menggeleng. "Papa tidak bilang apa-apa.".
"Lantas kenapa?" Aku memutuskan mendekat, jarak kami tinggal tiga langkah, berhadap-hadapan.
"Maafkan aku abang, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi". Gadis itu mengulang permintaannya. Suaranya hilang dipenghujung kalimat, dan sebelum aku sempat bicara, dia sudah balik kanan berlari menjauh.
"Tunggu,,keiiii!!!!!"
Aku mengejarnya sekuat tenaga.
"Tapi kenapa kei?"
Gadis itu menggeleng menahan tangis.
"kei, kau tidak bisa melakukan ini tanpa penjelasan.!!". Suaraku serak.
"Maafkan aku, abang. Maafkan aku.". Dia berulang kali menyebut kalimat itu, seperti mendesah pada langit.
Satu taksi melintas, dia naik dan terus meninggalkanku dengan berjuta tanda tanya.
Langit kota cerah, bulan malam dua belas terlihat bundar, seperti diletakkan begitu saja diatas siluet bangunan-bangunan pencakar langit.
Kenapa semua begitu tiba-tiba? Kenapa mencintai dan tersakiti harus sesingkat ini? Apa tiap perasaan yang baik harus diganjar rasa sakit yang sebegitu menyiksa?
Langit tetap diam, aku melangkah dengan jiwa mematung.