Berhentilah menemuiku,,,(bag II)

Kami berdiri didepan ruangan petugas keamanan yang lengang, hanya ada satu petugas kebersihan yang sibuk mengepel lantai.
"Kamu, kamu tidak jadi naik pesawat??" Aku meneguhkan diri, memulai percakapan.
Dia mengangguk.
Aku bersorak riang dalam hati. Hore! Dia batal pergi.
"Tapi aku akan tetap pulang ke jogja, abang,". Dia berkata pelan, menunduk.
Sorakanku terhenti, menatap bingung.
"Aku sudah membeli tiket baru. Pesawat terakhir yang menuju jogja hari ini.". Dia tetap menunduk.
Aku menelan ludah, dengan cepat paham situasinya. Dia pasti mendengar teriakanku dan membatalkan pesawat pukul enam semata-mata untuk memastikan aku baik-baik saja.
"Kenapa, eh, kenapa kau pergi mendadak sekali?". Aku bertanya gugup. "Maksudku, eh, kalau kau masih sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin aku bisa membelikan oleh-oleh, pernak-pernik, atau apa sajalah yang kau sukai".
Dia tertawa pelan, getir.
Kami terdiam lagi.
"Berapa lama kau kejogja? Tiga hari?".
Dia menggeleng.
"Satu minggu?"
Dia menggeleng.
"Dua minggu? Satu bulan?". Suaraku bergetar.
Dia menggeleng "Aku tidak tahu abang, boleh jadi selamanya".
Oh ibu, kalimat terakhirnya membuatku membeku.
Petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai.
"Tapi,,, tapi kenapa kei?". Akhirnya pertanyaan itu berhasil kukeluarkan langsung dihadapannya, setelah berminggu-minggu terpendam.
Dia terdiam sejenak. "Aku juga tidak tahu persis apa alasannya, abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik untuk kita.".
Aku menggigit bibir. Tanganku terasa kebas. Aku tidak tahu apakah aku sekarang sedih, gugup, cemas, atau boleh jadi marah. Dengarlah, setelah semua terjadi, dia malah hanya bilah tidak tahu kenapa.
"Ini tidak lebih baik untuk siapapun kei!". Aku berseru setengah putus asa. "Kau seharusnya tahu persis, kepergian kau yang tiba-tiba ini bisa membuat hidupku jadi terbalik".
Aku mengembuskan nafas, berusaha mengendalikan diri. Dia menunduk dalam-dalam.
"Tidak tahukah kau, kalau, kalau...," aku meremas jemari, memaksa kakiku tetap kokoh berdiri, harus kukatakan, aku tidak bisa mundur lagi, "Kalau aku... Kalau aku amat menyukai kau, kei, aku menyukai kau."
Depan ruangan keamanan bandara senyap.
Petugas kebersihan masih asyik mengepel, tidak peduli.
Wajah sendu itu terangkat, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam beningnya yang berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Abang."
"Astaga, berhentilah minta maaf, kei. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada kesalahan, kekeliruan, apalagi dosa dalam sebuah perasaan bukan?". Aku butuh penjelasan sekarang, bukan permintaan maaf.
Dia menunduk lagi. "Maafkan aku, abang, karena, karena aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita, semuanya. Minggu-minggu terakhir ini menjadi sangat membingungkan. Bahkan sebenarnya, sejak pertama kali bertemu, semuanya sudah rumit.".
Aku menyisir rambut dengan jari. Rumit apanya?
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Entah kenapa, aku justru mengeluarkan pertanyaan itu untuk membuat semua kerumitan menjadi lebih sederhana. Berpikiran pendek, kalau dia menjawab pertanyaan itu dengan "ya" atau "tidak". maka sudah jelaslah semuanya. Padahal itu sungguh bukanlah jalan pintas yang baik dalam sebuahpercakapan seperti ini.
Dia terdiam- tentu saja dia akan terdiam.
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Aku justru mendesaknya.
"Aku tidak tahu, Abang. Aku sungguh tidak tahu lagi apa yang sudah aku lakukan. Berdiri disini, menunda pesawat tadi, menghindari abang berminggu-minggu, menolak bertemu. Semua ini membingungkan. Bahkan bagi diriku sendiri." Suara gadis itu bergetar.
Aku geregetan, gemas mendengar jawabannya.
Suara pengumuman terdengar lantang, memanggil penumpanh penerbangan terakhir menuju Yogyakarta agar segera naik pesawat.
"Itu, it pesawatku abang,". Dia berkata pelan.
Aku diam, mendongak menatap langit-langit ruangan.
"Maafkan aku, abang. Mungkin ini lebih baik bagi kita." Keira menatap ku lamat-lamat, perlahan dia menyentuh lenganku, tangannya gemetar. "Biarkan aku pergi... Satu bulan, enam bulan, satu tahun, hingga semua menjadi lebih jelas. Biarkan waktu yang membuatnya lebih terang."
"Satu tahun?" Aku melenguh, itu bukan waktu yang sebentar.
"Aku tidak tahu kapan persisnya. Boleh jadi lebih dari satu tahun hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, berjanjilah, abang akan terus mengurus bengkel itu. Aku akan berjanji menjadi guru yang baik, bukan seseorang yang dibebani masa lalu."
Gadis itu memegang lenganku erat-erat. Matanya semakin berkaca-kaca. "Abang sudah mengenal dokter itu bukan? Sarah. Dia sungguh gadis yang baik. Dia tumbuh menjadi gadis yang periang. Wajahnya menyenangkan. Dia sungguh tumbuh dengan segala kebaikan setelah kejadian yang menyakitkan itu. Berbeda denganku. Wajahku terlihat sedihh, pendiam, lebih banyak mengurung diri, selalu ragu-ragu dan pemalu."
Aku menelan ludah. Apa yang sedang dibicarakannya? Apa hubungannya dengan sarah?
"Maafkan aku, abang. Kita hanya saling menyakiti jika terus bertemu. Aku sungguh tidak mau membuat abang sedih."
Pengumuman dilangit-langit ruangan terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju Yogyakarta.
"Berjanjilah, abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk akhirnya, sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, abang akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi pemuda dengan hati paling lurus. Aku harus pergi, Abang, selamat tinggal."
Gadis itu lantas balik kanan, satu tetes air matanya terpercik kelantai, dia berlari-lari kecil meuju ruang tunggu.
Aku berdiri mematung,
Satu detik,,
Dua detik,, semua nyata. Berharap ini hanya mimpi, sekian detik kemudian, semuanya berubah, semuanya,,,,