Meskipun mereka sudah berteman hampir tiga belas tahun, usia hampir
tiga puluh, dengan masalah yang sama—masalah penampilan fisik, perangai
Jo dan Vin tumbuh berbeda sekali. Vin tumbuh dengan pemahaman baik.
Sejak SMA dulu dia tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain,
sepanjang dia bahagia, maka mau jelek, mau cantik orang lain menilai,
dia selalu merasa cantik.
Berbeda dengan Jo yang menolak paham—kalaupun dia sebenarnya paham,
menolak untuk menerimanya. Jo terus berkutat dengan tubuh tambunnya.
Pernah saking inginnya ingin bertubuh kurus, Jo memaksa diri melakukan
diet tanpa terkendali. Fantastis memang, berat tubuhnya turun separuh,
membuat pangling, tapi itu hanya bertahan beberapa minggu, sebelum
berakhir di ranjang rumah sakit. Dan saat dia kembali sehat, tubuhnya
kembali membesar tanpa kendali.
Itu tidak hanya terjadi sekali. Enam kali. Semua usaha Jo untuk
menguruskan badannya sia-sia, dan dia akhirnya memilih sisi negatif,
merutuki kenapa perutnya begitu agresif menyerap sari pati makanan, dan
tetap tidak mempan walaupun sudah dioperasi pemendekan usus. Setidaknya,
dengan kejadian tersebut, Jo tahu kalau Vin selalu bisa diandalkan. Vin
yang meski menurut definisi kecantikan se-galaksi bima sakti sejelek
seperti dirinya, tapi hatinya cantik tiada tara, teman terbaiknya.
Mereka berdua sejatinya adalah dua sahabat yang bahagia. Jika mereka
sedang berdua, pergi berlibur ke pantai, liburan ke gunung, atau
kota-kota eksotis, mereka berdua bahkan bisa mentertawakan diri sendiri,
riang. Mengolok-olok diri sendiri sebelum orang lain mengolok, tertawa
puas. Sayangnya, tidak setiap saat Vin ada untuk Jo, dan kejadian tadi
siang menjadi hitungan kesekian kalinya.
Jo sebenarnya adalah pekerja keras. Dia bersedia melakukan apapun
demi definisi kecantikan yang disepekati orang-orang. Dia bersedia tidak
makan berhari-hari, dia bersedia berolahraga berjam-jam, demi terlihat
lebih ramping. Kalau dia bersedia enam kali masuk rumah sakit karena
berusaha menguruskan badan, maka jangan ditanya lagi. Tapi sepertinya
takdir gendut itu tidak mudah dikalahkan. Entah apapun hikmahnya.
“Astaga, tentu saja Tuhan adil, Jo.” Vin buru-buru ber-hsss, memotong
kalimat Jo barusan, “Kita saja yang tega membuat definisi sendiri soal
kecantikan. Semua bayi terlahir cantik, menggemaskan. Semua anak-anak
tumbuh menjadi remaja dengan kecantikan masing-masing. Lantas dewasa
juga dengan kecantikan masing-masing.”
“Kata siapa?” Jo tidak mau kalah, “Ada yang memang sejak lahir
hidungnya sudah mancung, matanya sudah bagus, rambutnya bagus. Dan
bukankah juga ada yang sejak lahir sudah pesek, kulitnya hitam,
rambutnya jelek. Di mana coba letak adilnya? Kita tidak bisa memesan,
kalau bisa, kita semua pasti minta dilahirkan cantik.”
Itu percakapan kesekian kalinya. Beberapa tahun lalu. Mereka sedang
asyik liburan berdua, duduk menikmati matahari tenggelam, dan entah
kenapa tiba-tiba percakapan menjadi berubah sensitif—sebenarnya karena
ada pasangan bulan madu di dekat meja mereka. Itu lagi, itu lagi.
“Itu karena kita semua terlanjur menterjemahkan cantik seperti itu,
Jo.” Vin memegang lengan Jo, “Tuhan tidak pernah memberikan definisi
kecantikan. Astaga, Jo, kau lancang sekali barusan bilang Tuhan tidak
adil. Aku sampai merinding mendengarnya.”
“Memang.” Jo berseru ketus, “Kalau Tuhan adil, seharusnya kecantikan
itu diperoleh, bukan diberikan sejak lahir. Siapa yang paling keras
kerjanya, maka dia berhak paling cantik.”
“Ya ampun, Jo. Sudahlah, sudah.” Vin menepuk dahinya, memutuskan untuk segera menghentikan diskusi, akan semakin buruk mood
Jo kalau percakapan tersebut diteruskan, dan tidak ada manfaatnya lagi,
lebih baik kembali menikmati sunset, tidak peduli dengan pasangan bulan
madu yang duduk mesra di sekitar mereka.
Berkali-kali Jo memikirkan soal itu, dari dulu, kenapa? Kenapa ada
manusia yang dilahirkan cantik, kenapa ada yang tidak? Di mana sisi
adilnya? Hingga malam ini, setelah tadi siang di hina oleh customer
biro perjalanan, bertemu dengan Vin, dan Vin menceritakan anekdot soal
gadis gendut yang menumpang angkot, hal tersebut terus berputar-putar di
kepala Jo. Kenapa Tuhan tidak adil?
Baiklah. Baiklah, dia akan meminta keadilan soal ini langsung kepada
Tuhan. Dia akan mempertanyakan langsung semua ini pada Tuhan. Maka malam
itu, dari bingkai jendela salah-satu rumah dua lantai yang masih
menyala di pinggiran kota kami, lewat tengah malam, saat banyak orang
sudah jatuh tertidur, lelap bermimpi, Jo dengan menangis terisak mengadu
pada Tuhan.
“Wahai Tuhan, jika Engkau sungguh adil, maka kenapa tidak kau jadikan
saja kecantikan sebuah harga? Kenapa tidak seperti naik angkutan umum,
siapapun harus membayar dengan bekerja keras jika hendak memperolehnya?
Jadikanlah demikian, maka aku akan berhenti bilang Engkau tidak adil.
Sungguh jadikanlah demikian.”
Doa itu, bagai melempar enam dadu, dengan enam sisi-sisinya sempurna bertuliskan kata amin.
***
Jo bangun kesiangan.
Cahaya matahari pagi lembut menerabas kerai jendela, menimpa
wajahnya. Jo menghela nafas, setidaknya, setelah semalaman berkeluh
kesah, lantas jatuh tertidur, perasaan hatinya lebih baik. Dia melangkah
malas, menyalakan MP3 player, memasang lagu favoritnya. Hari
ini dia akan datang telat saja ke kantor, setelah kejadian kemarin,
semua karyawan pasti paham kalau dia berhak sedikit diberi keleluasaan.
Jo bersenandung, menggeliat, menatap cermin.
Hei? Jo menelan ludah.
Siapakah itu di cermin? Kenapa ada gadis ramping di sana? Itu bukan
dirinya? Jo menepuk-nepuk pipi, eh sakit, ini pipinya bukan? Memeriksa
dagu, leher, lengan, betis, eh? Ini benaran dirinya bukan. Jo termangu
sedetik, lantas berseru bingung. Tepatnya sedikit takut. Aneh sekali
bukan saat kalian melihat cermin, tapi bukan diri kita yang memantul di
cermin tersebut.
Jo berlarian menuruni anak tangga, ke dapur. Sepagi ini Mama dan
adiknya pasti sedang sarapan. Setiba di dapur, ya ampun, kenapa pagi ini
semua jadi terlihat tidak beres. Jo berseru tertahan, lihatlah, adik
perempuannya yang SMA, yang sama gendut dengan dirinya juga terlihat
ramping. Juga Mama, tidak ada badan besar yang menyesaki kursi.
“Kamu baru bangun, Jo?” Mama bertanya.
Jo menggeleng-menggelengkan kepala, aduh, apa yang sebenarnya
terjadi. Itu benar suara Mama-nya, tapi kenapa Mama terlihat kurus?
Wajah Mama sih tetap biasa-biasa saja, dia mengenalinya, tapi kenapa
Mama tidak gendut? Biasanya saking besarnya Mama, kursinya tidak
terlihat. Sekarang?
“Telur dadarnya aku habisin ya, Kak?” Adik perempuannya bertanya,
lantas tidak menunggu jawaban, sudah santai memidahkan satu porsi extra large telur dadar jatah Jo ke piringnya.
Ya ampun, ini ada apa? Jo mengusap-usap mata, itu juga betul suara
adiknya, tapi kenapa adiknya yang rakus, tukang makan segalanya terlihat
kurus pagi ini? Apa dia tidak salah lihat? Tentu saja tidak, dia masih
mengenali wajah adiknya. Wajah orang paling jahil di rumah.
Ada apa? Apa yang telah terjadi.
Jo benar-benar tidak menyangka, Tuhan telah mengabulkan doa anehnya
tadi malam. Sepagi ini, seluruh dunia, seperti sebuah komputer atau
telepon genggam, telah di restart, telah di booting
ulang sedemikian rupa. Maka seluruh wanita di dunia memiliki wajah,
tubuh dengan tampilan yang sama, standar. Sama semua. Dengan definisi
kecantikan lama, itu berarti semua sama jeleknya.
***
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mudah, dalam bahasa paling sederhana bisa dijelaskan: kecantikan
sekarang adalah mata uang. Kecantikan tidak lagi diperoleh sejak lahir,
tapi harus dibeli.
Bagi wanita, mata uang di seluruh dunia dihapuskan, hilang begitu
saja. Transaksi sekarang dilakukan hanya dengan kecantikan. Masih
bingung? Begini ilustrasinya. Kalian bekerja menjadi karyawan, maka
setiap bulan kalian memperoleh gaji, bukan? Nah, dengan restart
ulang kecantikan seluruh dunia sejak pagi itu, maka kalian digaji atau
dibayar dengan kecantikan. Bagaimana membayarnya? Memangnya kecantikan
itu bisa ditransfer. Dalam cerita ini jawabannya: bisa. Dagu kalian
lebih indah, mata lebih menawan, pipi lebih memerah, rambut lebih elok,
hasil kerja keras kalian ditransfer seketika menjadi kecantikan.
Sebaliknya, saat kalian hendak membeli pakaian, minum kopi di kedai kopi, membeli makanan fast food,
naik angkutan umum, membeli sepatu, buku, maka kecantikan kalian juga
sebagai alat bayarnya. Belah dagu kalian berkurang sedikit, atau lesung
pipi kalian memudar sedikit, atau kulit wajah jadi ada bercaknya, atau
rambutnya jadi berketombe. Otomatis. Tiba-tiba saja, telah ada alat
canggih yang ditanamkan dalam tubuh wanita untuk melakukan transaksi
tersebut.
Nah, jika kalian habis menang lotere berhadiah kecantikan tiada tara,
maka kalian bisa menjelma menjadi mahkluk paling cantik sedunia. Dan
sebaliknya, jika kalian harus membeli rumah, mobil, atau barang-barang
mahal, kalian bisa bangkrut, menjadi wanita paling jelek. Dan saat sudah
terlalu jelek, kalian hilang dalam catatan penduduk bumi.
Ini menakjubkan bagi Jo.
Mekanisme kecantikan baru dunia telah hadir, Jo benar-benar merasa
takjub, antusias, campur aduk menjadi satu. Apa yang tadi telah
dijelaskan, Jo adalah pekerja keras sejati dalam urusan kecantikan. Dia
boleh jadi selama ini tidak pernah termotivasi bekerja lebih baik demi
uang, kekayaan, tapi sekarang, dia bekerja gila-gilaan demi sebuah
kecantikan.
Pagi itu Jo berangkat bergegas ke kantor. Semangat sekali. Tersenyum
lebar di atas bus umum, menyapa kondektur dan sopir dengan bahagia,
sementara cling, mesin pembayaran bus telah bekerja, mengurangi sedikit
kecantikan Jo secara otomatis. Lihatlah, di dalam bus semua orang
terlihat sama, sama jeleknya. Melintasi lobi gedung, tertawa senang,
menyapa cleaning service yang selama ini sering menggodanya,
kapan Jo mendapat pasangan. Bahkan dia tetap tersenyum—meski masih
tersengal—saat satu lift dengan Erik Tarore. Pemuda itu balas tersenyum
padanya—untuk pertama kali dalam sejarah.
Jo semaput menerima senyuman itu.
Bagaimana Erik tidak berusaha ramah, sejak tadi pagi, dia dan
milyaran cowok di dunia sedang bingung, kenapa semua wanita tiba-tiba
terlihat berbeda? Kenapa eh, jadi jelek semua? Aduh urusan ini aneh
sekali. Jadi jika Erik yang playboy selama ini hanya ramah
dengan gadis yang cantik dan seksi-seksi saja, pagi ini dia yang
bingung, terpaksa patah-patah ramah ke semua gadis satu gedung.
Mekanisme itu ternyata tidak berlaku bagi dunia laki-laki, mekanisme
itu hanya berlaku bagi wanita. Bagi laki-laki mereka tetap menggunakan
uang normal sebagai alat bayar, tidak ada yang berubah. Mereka juga
tetap dengan tampilan wajah dan fisik selama ini.
“Vin, ini hebat sekali bukan?” Jo tertawa.
Mereka sedang makan siang di dekat kantor Jo. Meski Vin masih sibuk
menyelesaikan laporan bulanan yang tertunda tadi malam, dia tidak kuasa
menolak ajakan Jo yang sengaja menyeretnya makan siang bersama.
“Bayangkan, Vin, Erik.”
“Erik siapa?”
“Erik Tarore, pria paling tampan di gedung kantorku tersenyum padaku.” Jo memegang kepalanya tidak percaya.
“Oh ya?” Vin mencoba ikut senang. Sudah menghabiskan makan siangnya.
“Aku bersumpah, enam bulan dari sekarang aku akan menjadi wanita
tercantik di seluruh kota, dan Erik, Erik akan bilang kalimat cinta itu.
Nah, kali ini aku traktir kau, Vin.” Jo berkata semangat sambil
membayar makan siangnya di kasir.
Cling, mesin pembayaran kecantikan bekerja sebagaima mestinya, satu
jerawat muncul di wajah Jo. Tidak mengapa, dengus Jo dalam hati, riang,
dia akan segera membeli kecantikan dengan bekerja keras, jerawat ini
akan hilang.
Sementara Vin hanya mengangguk, menghela nafas pelan. Bagi Vin yang
memiliki pemahaman baik, mau berubah ribuan kali mekanisme kecantikan
dunia, tidak akan membuatnya menjadi bahagia atau sedih, karena
kebahagiaan itu selalu ada di dalam hati.
***
Jo membuktikan ucapannya. Dengan motivasi tiada tara, mendapatkan
fakta kalau gaji bulanannya terlalu kecil, wajahnya hanya sedikit
memutih, badannya hanya sedikit lebih seksi, cling saat gaji bulanannya
dibayar, lebih banyak belanja kecantikan untuk membayar keperluan
hidupnya selama sebulan, Jo akhirnya memutuskan keluar dari kantornya.
Jo mendirikan biro perjalanan online sendiri. Dengan passion sebesar itu, dalam dunia enterprenuer,
wiraswasta hanya soal waktu bisnis Jo menggurita. Paket perjalanan yang
dia jual laku keras, dia mulai merekrut banyak karyawan. Awalnya hanya
hitungan jari, persis di bulan keenam, dengan bantuan sindikasi
kecantikan dunia (di jaman lama disebut sindikasi keuangan dunia),
bisnis Jo membesar tiada tara.
Cling, cling, cling, kecantikan (dalam definisi lama disebut uang)
mengalir ke wajah Jo (dalam definisi lama disebut tabungan, deposito),
Jo berubah cantik raya sekali (dalam definisi lama disebut kaya raya
sekali).
Semua orang akan pangling, gajah jumbo atau paus bunting itu sudah
bagai bidadari dari langit. Semakin keras Jo bekerja, semakin cantik
dia. Sementara Vin? Inilah mulai rumitnya mekanisme baru ini. Yang
pertama kali tumbang tentu saja bisnis kosmetik. Ketika kecantikan harus
dibeli dengan kerja keras, perusahaan-perusahaan kosmetik bangkrut,
ribuan karyawannya dipecat, dan mereka jatuh jelek (jatuh miskin dalam
definisi lama). Jangan tanya boyband, atau apa saja yang selama ini hanya jualan ketampanan atau kekerenan, mereka gugur bagai daun kering yang rontok.
Siapa yang perlu produk kecantikan kalau cantik sudah menjadi mata
uang. Siapa pula yang sibuk mengidolakan paras-paras tampan sekarang,
mereka punya masalah sendiri. Malas bekerja, alamat wajah semakin jelek.
Siapa yang rajin dan bekerja keras, dialah yang memenangkan kompetisi
baru ini.
Nah, dalam kompetisi kecantikan sesadis itu, gadis-gadis di dunia
berebut pekerjaan, tentu saja menemukan pekerjaan tidak mudah lagi,
apalagi bagi bekas karyawan perusahaan kosmetik, tidak ada yang mau
merekrutnya. Vin menganggur enam bulan terakhir, karena itulah dia
semakin jelek karena terus membayar kebutuhan hidupnya dengan sisa
tampilan wajah dan fisik yang tersisa.
Kenapa Jo tidak membantu Vin? Masalahnya meskipun Vin punya teman
sekaya, eh, maksudnya secantik Jo, mekanisme itu tidak mengijinkan
transfer, hibah, hadiah, bahkan mewarisi. Kecantikan harus
diperoleh—berbeda dengan kekayaan uang dalam definisi dunia lama.
Meskipun cantik raya, Vin tidak bisa memberikan kecantikan kepada
adiknya, atau kepada ibunya, apalagi kepada Jo. Satu-satunya yang boleh
hanya menanggung biaya hidup, menahan seseorang lebih jelek lagi, itu
bisa dilakukan.
“Kau tidak perlu terus membayar sewa apertemenku, Jo.” Vin berkata
pelan, mereka sedang makan siang bersama, “Aku pasti akan segera dapat
pekerjaan baru, setidaknya untuk membayar keperluan sendiri.”
Jo hanya berdehem sekilas, dia sibuk dengan layar laptopnya, sibuk
bekerja, berkali-kali melirik jam di pergelangan tangan. Tadi dia
sebenarnya malas makan siang bersama Vin, waktunya berharga sekali, demi
kecantikan.
“Aku lebih suka Jo yang lama.” Vin berkata pelan, “Kau sekarang berubah sekali. Pendiam. Dingin.”
Jo lagi-lagi hanya berdehem, tidak memperhatikan.
“Sudah berapa lama kita tidak makan siang sambil tertawa,
mentertawakan olok-olok orang misalnya. Pergi berliburan berdua.” Wajah
Vin yang semakin jelek terlihat agak pucat siang itu, hanya suaranya
saja yang tetap terdengar riang.
“Aku sibuk, Vin.” Jo memotong.
“Iya, kau terlihat sibuk sekali.” Vin menelan ludah.
Hening sejenak.
“Apakah kau baik-baik saja?” Vin ragu-ragu bertanya, Jo semakin serius menatap layar laptopnya.
“Tentu saja aku baik-baik saja, bukan?” Jo menyergah, mengangkat
dagunya tinggi-tinggi, memasang gaya, lihatlah, dia cantik sekali, kaya
raya, eh, cantik raya, apanya yang tidak baik-baik saja?
“Eh, maksudku apakah kau bahagia, Jo?”
Jo tertawa, pertanyaan yang aneh. Jelas-jelas dia bahagia. Melirik
sekali lagi pergelangan tangannya, tidak sabaran, menatap ke depan. Jo
tertawa lebar lagi, lihat, di pintu kafe, melambai seorang pemuda
tampan, Erik Tarore, nah, sudah sebulan terakhir Erik seperti anak kecil
selalu melakukan pendekatan padanya. Apanya yang tidak bahagia?
“Aku harus pergi, Vin. Maaf, kau habiskan saja makan siangnya. Aku
harus menghadiri acara para sosialita cantik jelita di hotel mewah,
ditemani kau tahu, siapa lagi, si Erik. Kalau ada perlu, telepon aku,
nanti akan aku tanggung semua biaya hidupmu.” Jo sudah berdiri. Cling,
mesin kecantikan berbunyi, memotong kecantikan Jo sebagai pembayaran
makan siang mereka. Oh dear, dengan kecantikan Jo sekarang, itu bagai debu saja pengurangannya.
***
Enam bulan berlalu lagi.
Jo semakin hebat. Bisnis biro perjalanan Jo bahkan sebentar lagi akan
berjualan saham di bursa. Mendunia. Mengglobal. Sementara Vin, ternyata
dia dilarikan ke rumah sakit. Dia tetap menganggur, dan karena tidak
enak hati terus ditanggung Jo, dia diam-diam menolak pembayaran
tersebut, membuat kondisinya semakin buruk.
Dalam mekanisme baru itu, tentu saja banyak yang menjadi korban. Sama
persis seperti dunia dalam definisi lama. Di dunia lama, bukankah di
mana-mana tetap saja ada yang miskin, kumuh, tertinggal. Ada yang miskin
karena memang pemalas, tidak berpendidikan, tidak memiliki motivasi,
tidak punya akses, ada juga yang memang bernasib miskin, apes. Jutaan
jumlahnya, wanita-wanita jelek, duafa kecantikan. Siapa peduli?
Sama seperti definisi dunia lama, siapa peduli dengan orang-orang
miskin? Urus saja urusan masing-masing.
“Kau seharusnya bilang jauh-jauh hari kalau kau masuk rumah sakit,
hah.” Itu kalimat ketus Jo, dia sedang menjenguk Vin, terlihat repot.
“Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu.”
“Omong kosong. Justeru dengan mendadak seperti ini kau benar-benar menggangguku. Aku sedang berada di acara fashion bersama orang cantik sedunia di Paris. Kau membuat acara itu berantakan, tahu.” Jo menjawab jengkel.
“Maafkan aku.” Vin tertunduk, wajahnya keriput, rambut keritingnya
semakin tidak terurus, tubuhnya kurus kering. Biaya hidup telah
menggerogoti sisa wajah dan tampilan fisiknya.
Vin sungguh tidak mau merepotkan siapapun, termasuk Jo teman baiknya
sejak SMA. Dia sudah melarang siapapun memberitahu Jo kalau dia masuk
rumah sakit, tapi adik Jo sendiri yang tidak tahan melihat kondisi Vin,
menelepon kakaknya, bilang sahabat terbaiknya masuk rumah sakit karena
sudah terlalu jelek, tidak ada lagi yang bisa membayari biaya
berobatnya.
“Maafkan aku.” Vin menyeka ujung matanya. Berusaha tersenyum menatap
Jo. Lihatlah, teman baiknya adalah wanita tercantik di kota mereka saat
ini. Dia merasa bersyukur sekali pernah berteman dekat, merasa bangga.
“Ya hallo,” Jo tidak memperhatikan Vin, dia sedang sibuk menjawab
telepon, “Astaga, aku tidak bisa menghadirinya sekarang. Kalian bisa
urus sendiri, kan? Ayolah, becus sedikit bekerja, hah? Ya hallo? Aku
sedang di rumah sakit. Ada yang sakit, ya, hallo, merepotkan sekali
memang.”
Vin menelan ludah.
“Ya hallo, tidak akan lama. Kalian urus sendiri saja.” Jo masih
berkutat dengan telepon, “Tidak ada yang perlu dibantu, ini hanya
masalah kecil, aku lagi bersama orang-orang jelek sakit, di rumah sakit
jelek, kalian tahulah.”
Vin tertunduk.
“Maaf, aku harus bergegas, Vin.” Jo sudah memasukkan telepon ke
tasnya, melambai ke lorong rumah sakit, Erik Tarore sudah datang
menjemputnya, “Aku akan membayar semua biaya rumah sakit. Bye.”
Punggung Jo hilang dari balik pintu, sambil berseru senang menyambut
Eriknya. Vin hanya tergugu. Tidak, dia tidak sedih mendengar kalimat Jo,
dia tahu, dari lubuk hatinya paling dalam, Jo tidak berniat demikian.
Jo tetap sahabat terbaiknya. Dia sedih karena betapa dia telah membebani
kehidupan Jo, kenapa dia terus tidak bisa memperoleh pekerjaan di
mekanisme baru dunia.
***
Masalahnya, tanpa disadari Jo, mau bagaimanapun cara memperoleh
kecantikan tersebut, mau dengan kosmetik atau dengan bekerja keras,
tetap saja kecantikan itu bersifat relatif. Bagi cowok-cowok dunia yang
versi kecantikannya tidak berubah, maka tetap saja siapa paling cantik
itu relatif.
Itulah yang terjadi pada Jo tiga bulan kemudian.
“Kau, kau laki-laki jahat!” Itu teriakan histeris Jo.
Lihatlah, Erik Tarore, pemuda idamannya, ketahuan tega berselingkuh dengan gadis lain.
“Apa aku kurang cantik, hah?” Jo menangis.
Erik Tarore menelan ludah, mengangkat bahu. Pesta-pesta sosialita
cantik dunia memberikan dia kesempatan berkenalan dengan gadis cantik
raya lainnya, itu lumrah bukan? Dia bisa beralih ke lain hati? Bukankah
dalam mekanisme cantik lama juga begitu. Lagipula, Jo hanya paling
cantik di kota mereka saja, dibandingkan negara lain, tempat lain, lebih
banyak yang lebih cantik raya.
Jo menangis, membanting pintu mobil, menekan pedal gas
kencang-kencang, meninggalkan Erik yang berdiri mematung di trotoar.
Sudah beberapa bulan terakhir dia curiga kenapa Erik berubah, terlambat
menjemputnya, mulai bilang banyak alasan. Apa kurangnya dia bagi Erik?
Dia yang membawa Erik berkenalan dengan dunia itu? Dia yang menyanjung
Erik. Dasar laki-laki pengkhianat. Playboy murahan.
Tetapi itu bukan yang terburuk. Yang terburuk adalah, dalam sebuah
tatanan dunia baru, proses keseimbangan selalu terjadi. Itu hukum alam.
Ketika kecantikan itu tidak bisa dihadiahkan, dihibahkan atau diwarisi,
tapi kecantikan itu harus diperoleh, maka orang-orang jahat bisa memaksa
memperolehnya dengan sebuah kejahatan. Sama dengan kekayaan dalam
definisi lama.
Maka itulah yang terjadi pada Jo.
“Maafkan aku, Vin.” Jo lompat memeluk Vin saat pintu apartemen terbuka. Pipinya berlinang air mata.
Lihatlah, Jo yang berubah jelek kembali, Jo yang sama seperti saat dunia di restart dua tahun lalu.
“Tidak apa, Jo. Tidak apa.” Vin tersenyum tulus.
Apa yang terjadi? Persis saat bisnis biro perjalanan milik Jo akan go public,
menjual saham ke bursa, teman sosialita super cantik dari kota lain
mengkhianatinya. Itu rekayasa keuangan, eh kecantikan yang hebat, dan
dalam sekejap, bisnis milik Jo berpindah tangan. Dia dicurangi
habis-habisan melalui skandal kecantikan abad itu. Dalam bahasa
mudahnya, Jo bangkrut. Semua kecantikan itu langsung disedot oleh mesin,
cling, cling, cling, jutaan kali, Jo kembali seperti dulu.
“Maafkan aku, Vin.” Jo tersedu. Dia benar-benar dalam posisi buruk.
Kehilangan Erik Tarore, juga kehilangan bisnis, dan yang lebih menohok
kehilangan kecantikan.
Vin membelai lembut rambut Jo, “Kau lupa, Jo, mau sesakit apapun kau
saat ini, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku
akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan.
Deal?”
Ah, bagi Vin, yang seminggu terakhir telah bekerja sebagai cleaning service,
mau sejelek apapun dirinya dan orang lain, kebahagiaan tetap berasal
dari hati sendiri. Sepanjang dia bahagia, maka tidak penting penilaian
orang lain. Bagi Vin, teman terbaik adalah teman yang bisa berbagi satu
sama lain, dan Jo adalah teman terbaiknya, dia bisa berbagi kebahagiaan,
juga kesedihan.
***
Malam itu, dari jendela kamar lantai dua di salah satu rumah
pinggiran kota kami, kamar milik Jo yang lampunya masih menyala. Lewat
tengah malam, saat orang-orang kebanyakan sudah jatuh tertidur, Jo
sedang terisak berdoa.
“Ya Tuhan, Vin sungguh benar. Kau selalu memberikan kecantikan yang
sama pada setiap bayi. Kau selalu adil. Kamilah yang sibuk memberikan
definisi kecantikan itu. Kamilah yang terlalu bodoh untuk paham. Maafkan
aku, sungguh maafkan aku.
“Ya Tuhan, berikanlah aku selalu hati yang cantik, seperti hati yang
dimiliki oleh Vin, teman terbaikku. Sungguh dialah gadis paling cantik
di dunia, yang selama ini tidak kusadari, dan aku tidak pernah belajar
darinya.”
Doa Vin melesat ke atas, bagai melempar enam buah dadu, juga tetap dengan enam sisi-sisinya bertuliskan kata amin.
***