Kalau Semua Wanita Jelek
Alkisah, dulu ada anak perempuan bertubuh gendut, saking
gendutnya, sering dijadikan bahan olok-olok oleh temannya. Dagunya
besar, lehernya tidak kelihatan, betis, paha dan lengannya jumbo,
menurut olokan temannya yang paling jahat, si gendut ini kalau
digelindingkan di jalan raya, pasti jauh sekali menggelinding baru
berhenti. Atau kalau pertandingan basket, bolanya tiba-tiba kempes, si
gendut ini bisa jadi ganti bola. Jahat memang.
Kabar baiknya, dengan segala keterbatasan, si gendut diberkahi
dengan kecerdasan dan kebaikan hati. Jadi dia tidak terlalu ambil hati
dengan olok-olok temannya. Lebih banyak tersenyum dan menggeleng saja,
tidak membalas. Jika dia merasa olokan itu berlebihan, tidak bisa
menahan diri, dia selalu pandai menjawab dengan tepat. Tidak
terbayangkan betapa besar sisi kebaikan yang dimilikinya. Sayangnya, di
dunia nyata, orang-orang tetap saja bertingkah menyebalkan pada orang
baik.
Pada suatu hari, si gendut menumpang angkutan umum, nah, sialnya,
di dalam angkutan itu ternyata sudah ada tiga teman sekolahnya yang
suka mengolok. Tidak menunggu menit, tiga anak perempuan ini yang memang
bertubuh ramping dan kurus berbisik-bisik dengan suara sengaja
dikeraskan. Tertawa satu sama lain penuh arti. Menatap si gendut
merendahkan.
Si gendut hanya diam, memilih memperhatikan jalanan.
“Eh, tahu nggak sih lu,” Karena sebal dicuekin, yang paling jahat
di antara tiga anak ramping itu menyikut lengan si gendut, mencari
perhatian sekaligus mencari masalah.
Si gendut menoleh. Masih diam.
“Ini angkot sempit banget tahu, gara-gara sejak lu naik. Lihat
nih sesak.” Si anak ramping jahat memonyongkan bibir, “Harusnya ya,
ongkos naik angkot itu disesuaikan dengan berat badan. Jadi orang-orang
kayak lu, kenanya dobel. Rugi tahu sopirnya.”
Si gendut menelan ludah, hatinya sebal sekali, sementara semua
penumpang memperhatikan mereka. Dia berusaha tidak menanggapi, tapi tiga
teman sekolahnya ini sengaja benar memancing.
“Nggak dobel kali, say.” Teman si ramping jahat menahan tawa.
“Nggak dobel?” Si jahat pura-pura bloon.
“Nggak, tapi lima kali lipat.”
Mereka bertiga tertawa.
Si gendut menghela nafas, tersenyum, “Sebenarnya ya, tapi saya
minta maaf harus bilang ini. Kalau ongkos naik angkot disesuaikan dengan
berat badan penumpangnya, maka orang-orang yang kurus kering kayak
kalianlah yang rugi. Tidak ada sopir angkot yang mau menaikkan kalian,
karena bayarnya terlalu murah, berisik pula.”
Langit-langit angkot lengang. Tawa tiga cewek ramping jahat itu
tersumpal. Sedetik kemudian, penumpang lain dan sopir angkot bertepuk
tangan. Keren. Membuat tiga cewek jahat itu terpaksa menahan malu
buru-buru turun.
***
Vin tertawa lebar saat selesai menceritakan kembali anekdot lama itu, “Ayolah, Jo, lucu sekali bukan?”
Jo hanya mengaduk milkshake di hadapannya. Bibirnya tidak
menyungging bahkan sesenti senyum. Bagi Jo anekdot itu sama sekali tidak
lucu. Lagipula dia sudah sering mendengarnya.
Demi melihat Jo yang tetap memasang wajah masam, tawa Vin terhenti,
digantikan helaan nafas, “Nggak asyik loh, Jo, kalau sepanjang malam
kamu cuma diam, memasang wajah kesal seperti ini.”
Dua jam lalu, Vin sebenarnya sedang asyik bekerja, lembur malam-malam
menyelesaikan laporan bulanan kantor, ketika Jo meneleponnya mengajak
makan malam. Mereka berdua teman dekat, karib sejak sekolah menengah
atas dulu. Bagaimana tidak karib? Menurut definisi kecantikan versi
industri kosmetik saat ini, Vin yang jerawatan, rambut keriting
jingkrak, wajah tirus, ditambah berkulit gelap pula, memang cocok punya
teman Jo, yang mirip sudah dengan deskripsi cerita anak gendut tadi.
Mereka berdua dipertemukan sejak masa orientasi sekolah, diolok-olok
kakak kelas, dijemur berdua, lantas berteman baik hingga detik ini,
melewati tiga tahun SMA, empat tahun kuliah, dan enam tahun bekerja. Vin
adalah staf administrasi perusahaan kosmetik, Jo adalah petugas
tiketing sebuah biro perjalanan. Setidaknya, meski masa-masa sekolah
mereka terasa ‘kejam’, mereka bisa melewatinya dengan baik.
“Ayolah, Jo, dunia tidak berakhir hanya gara-gara seorang customer
biro perjalanan menghinamu, bukan?” Vin kembali membesarkan hati,
melirik jam di pergelangan tangan, ini sudah dua jam mereka duduk di
sebuah kafe dekat kantor Jo.
“Iya, dunia memang tidak berakhir.” Jo menjawab sarkas,
“Gunung-gunung seharusnya sudah meletus dari tadi, atau lautan sudah
terbelah kalau memang kiamat. Dan kita tidak bisa lagi duduk santai
menikmati minuman. Kita sudah berteriak-teriak histeris seperti di film.
Arrgghh… Arghhh….”
Vin menatap ekspresi dingin Jo, menelan ludah, setengah antara
tertawa, setengah hendak mengeluarkan suara puh, menggaruk rambut
keriting jingkrak di kepalanya, aduh, kenapa urusan ini jadi panjang
sekali. Walaupun teman karib, Vin keberatan duduk tiada berguna seperti
ini, tadi dia sudah menolak ajakan Jo, dia sibuk. Tapi demi mendengar
suara Jo yang nelangsa, memohon, baiklah, laporan bulanan yang super
penting ini ditunda, urusan bos yang marah-marah nanti saja. Kode
darurat. Dia memilih menemani teman terbaiknya.
Vin pikir ini hanya kali kesekian Jo curhat, mengadu. Biasanya, setelah menghabiskan segelas milkshake,
mood Jo akan lebih baik, mereka bisa kembali bekerja. Sekarang? Itu
sudah gelas keempat bagi Jo—bagaimana tidak jadi gendut itu badan,
diberikan asupan kalori tingkat tinggi hanya dalam hitungan dua jam. Dan
melihat gelagat wajah Jo, entah masih berapa gelas lagi sebelum
perasaan Jo lebih baik.
“Ayolah, Jo, bukankah ini sudah sering terjadi? Yang menghina belum
tentu lebih baik, terlepas dari yang dihina juga belum tentu baik. Eh,
maksudku, kau juga sudah lebih dari dewasa untuk mengerti kalau ucapan
mereka tidak ada artinya. Tidak akan membuat kau lebih jelek, lebih
gendut, misalnya.” Vin berusaha bergurau.
Jo melotot, pipi tembamnya memerah marah.
“Sorry.” Vin nyengir.
Sebenarnya muasal masalah Jo simpel.
Tadi siang Jo melayani salah-seorang customer biro perjalanan yang berencana melakukan perjalanan honey moon.
Entah kenapa, konsentrasi Jo rendah sekali, dia melakukan kesalahan
berkali-kali, mulai dari salah memesan tiket penerbangan, salah memesan
kelas hotel, bahkan dia ‘tega’ salah membuat rute pasangan itu tertukar.
Customer itu jengkel, menunggu lama, tetap saja tidak
selesai-selesai. Akhitnya melempar itinerary perjalanan, sambil berseru
minta dipanggilkan manajer, “Aku tidak mau dilayani staf yang satu itu.
Sudah lambat, berkali-kali salah, bahkan dia sekalipun tidak meminta
maaf sudah membuat calon istriku terbang ke Turki, sementara aku terbang
ke Afganistan. Dia pikir itu lelucon yang baik. Lihat, bahkan gajah
jumbo itu, paus bunting itu, whatever siapa namanya, tidak tersenyum sedikit pun sejak melayaniku tadi.”
Di tengah situasi tegang, ada customer yang marah-marah,
mendengar frase gajah jumbo dan paus bunting keluar, staf tiketing lain
yang sejak tadi menonton sontak menahan tawa, menyisakan Jo yang
tertunduk sakit hati, dan manajer biro perjalanan yang berkali-kali
minta maaf. Menjanjikan agar segera mengurusnya.
“Cantik itu relatif, Jo.” Vin menatap gelas milkshake di
hadapannya, tersenyum, memecah lengang barusan, “Kau tahu sendiri bukan,
aku bekerja di perusahaan kosmetik. Aku tahu bagaimana strategi dan
bisnis kecantikan bekerja.”
“Apa yang mereka bilang? Cantik harus putih? Well, jika akhirnya
banyak orang meyakini kalimat tersebut, itu tidak lebih karena marketing
perusahaan kosmetik sukses besar. Di negara-negara Asia, misalnya, yang
kebanyakan berkulit cokelat, tentu saja perusahaan kosmetik tidak akan
koar-koar beriklan, cantik itu cokelat. Mau menjual produk kemana dia
kalau semua sudah berkulit cokelat?
“Dan sebaliknya, di negara-negara Eropa, Amerika, yang kebanyakan
berkulit putih, perusahaan kosmetik pastilah berlomba-lomba bilang
cantik itu cokelat, membuat banyak orang ramai-ramai melakukan tanning,
membeli produk menggelapkan kulit, dan sebagainya. Itu hanya permainan
kampanye, kepentingan bisnis. Tidak lebih tidak kurang. Masuk akal,
kan?”
“Terserah, cantik itu mau putih, mau cokelat.” Jo masih menjawab
sarkas, “Yang pasti tidak ada di belahan dunia ini kalau cantik itu
gendut seperti gajah jumbo atau paus bunting.”
Vin tertawa kecil, menghela nafas, mulai putus asa, “Ayolah, Jo. Itu hanya lelucon. Lagipula, customer itu sedang jengkel karena kau selalu begitu. Setiap kali melihat teman menikah, tiba-tiba bersedih hati tanpa alasan, melayani customer hendak honey moon,
bersedih hati, tidak semangat seperti ikan kehilangan tulang, malah
benci. Bahkan bukankah beberapa waktu lalu saat membaca berita
pernikahan Pangeran Inggris saja kau memutuskan berhenti menonton
televisi, berhenti membaca koran berhari-hari karena bersedih hati.
Padahal apa salah mereka kalau mereka menikah, punya pasangan, sementara
kita tidak laku-laku?”
Malam semakin larut, Vin melirik lagi jam di pergelangan tangannya,
kafe itu semakin ramai sebenarnya, banyak pekerja yang menunda pulang,
malas melewati macet, memutuskan duduk ngobrol bersama yang lain.
Sebenarnya perasaan Jo sudah jauh membaik sejak melihat Vin melambai
tangan, masuk ke dalam kafe. Tapi mau dibilang apa, lihatlah, terpisah
satu meja, di seberang sana, pria idaman satu gedung, Erik Tarore, si
tampan, gebetan Jo, sedang duduk menikmati minumannya, dan yang membuat
hati Jo tiba-tiba kesal, si tampan itu satu jam lalu ditemani oleh tiga,
empat gadis cantik nan ramping, yang cuih, berebut perhatian. Dasar
norak. Tidak bisakah mereka sedikit terhormat sepertinya? Yang bahkan
ketika satu lift saja dengan si tampan itu, jantung berdetak lebih
kencang, susah bernafas, menahan malu.
“Jo, hallo, kau mendengarkanku atau tidak sih? Aku harus kembali ke
kantor.” Vin memegang lengan Jo yang melamun, menatap seberang meja.
“Iya.” Jo menjawab pendek.
“Ini sudah hampir jam sembilan, kau harus segera pulang. Aku panggilkan taksi ya.”
“Iya. Terserah.”
Vin mencubit lengan Jo.
“Sakit tahu.” Jo melotot.
Vin tertawa kecil, “Ingat loh, Jo, mau sesakit apapun rasanya dihina
orang lain, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku
akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan.
Deal?”
Kali ini, demi kalimat Vin barusan, Jo sedikit mengangkat wajahnya,
balas menatap wajah Vin yang tirus, jerawatan, rambut keriting jingkrak
di hadapannya. Jo menelan ludah, sungguh di mata Jo sekarang, wajah Vin
lebih cantik dari siapapun, wajah yang baik, dan akan selalu baik,
“Terima kasih, Vin”
“Nah, gitu dong. Tersenyum.” Vin sudah berdiri, “Aku panggilkan taksi
ya, nanti setelah Jo naik, aku harus bergegas ke kantor. Bisa marah
sepanjang minggu bosku kalau laporan bulanan itu tidak beres malam ini.”
Jo mengangguk.
***bersambung