Kami berdiri didepan ruangan petugas keamanan yang lengang, hanya ada satu petugas kebersihan yang sibuk mengepel lantai.
"Kamu, kamu tidak jadi naik pesawat??" Aku meneguhkan diri, memulai percakapan.
Dia mengangguk.
Aku bersorak riang dalam hati. Hore! Dia batal pergi.
"Tapi aku akan tetap pulang ke jogja, abang,". Dia berkata pelan, menunduk.
Sorakanku terhenti, menatap bingung.
"Aku sudah membeli tiket baru. Pesawat terakhir yang menuju jogja hari ini.". Dia tetap menunduk.
Aku
menelan ludah, dengan cepat paham situasinya. Dia pasti mendengar
teriakanku dan membatalkan pesawat pukul enam semata-mata untuk
memastikan aku baik-baik saja.
"Kenapa, eh, kenapa kau pergi
mendadak sekali?". Aku bertanya gugup. "Maksudku, eh, kalau kau masih
sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin aku bisa membelikan
oleh-oleh, pernak-pernik, atau apa sajalah yang kau sukai".
Dia tertawa pelan, getir.
Kami terdiam lagi.
"Berapa lama kau kejogja? Tiga hari?".
Dia menggeleng.
"Satu minggu?"
Dia menggeleng.
"Dua minggu? Satu bulan?". Suaraku bergetar.
Dia menggeleng "Aku tidak tahu abang, boleh jadi selamanya".
Oh ibu, kalimat terakhirnya membuatku membeku.
Petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai.
"Tapi,,, tapi kenapa kei?". Akhirnya pertanyaan itu berhasil
kukeluarkan langsung dihadapannya, setelah berminggu-minggu terpendam.
Dia terdiam sejenak. "Aku juga tidak tahu persis apa alasannya, abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik untuk kita.".
Aku
menggigit bibir. Tanganku terasa kebas. Aku tidak tahu apakah aku
sekarang sedih, gugup, cemas, atau boleh jadi marah. Dengarlah, setelah
semua terjadi, dia malah hanya bilah tidak tahu kenapa.
"Ini tidak
lebih baik untuk siapapun kei!". Aku berseru setengah putus asa. "Kau
seharusnya tahu persis, kepergian kau yang tiba-tiba ini bisa membuat
hidupku jadi terbalik".
Aku mengembuskan nafas, berusaha mengendalikan diri. Dia menunduk dalam-dalam.
"Tidak tahukah kau, kalau, kalau...," aku meremas jemari, memaksa
kakiku tetap kokoh berdiri, harus kukatakan, aku tidak bisa mundur lagi,
"Kalau aku... Kalau aku amat menyukai kau, kei, aku menyukai kau."
Depan ruangan keamanan bandara senyap.
Petugas kebersihan masih asyik mengepel, tidak peduli.
Wajah sendu itu terangkat, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam beningnya yang berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Abang."
"Astaga, berhentilah minta maaf, kei. Tidak ada yang perlu dimaafkan.
Tidak ada kesalahan, kekeliruan, apalagi dosa dalam sebuah perasaan
bukan?". Aku butuh penjelasan sekarang, bukan permintaan maaf.
Dia
menunduk lagi. "Maafkan aku, abang, karena, karena aku tidak tahu apa
yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita, semuanya.
Minggu-minggu terakhir ini menjadi sangat membingungkan. Bahkan
sebenarnya, sejak pertama kali bertemu, semuanya sudah rumit.".
Aku menyisir rambut dengan jari. Rumit apanya?
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Entah kenapa, aku justru mengeluarkan
pertanyaan itu untuk membuat semua kerumitan menjadi lebih sederhana.
Berpikiran pendek, kalau dia menjawab pertanyaan itu dengan "ya" atau
"tidak". maka sudah jelaslah semuanya. Padahal itu sungguh bukanlah
jalan pintas yang baik dalam sebuahpercakapan seperti ini.
Dia terdiam- tentu saja dia akan terdiam.
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Aku justru mendesaknya.
"Aku tidak tahu, Abang. Aku sungguh tidak tahu lagi apa yang sudah aku
lakukan. Berdiri disini, menunda pesawat tadi, menghindari abang
berminggu-minggu, menolak bertemu. Semua ini membingungkan. Bahkan bagi
diriku sendiri." Suara gadis itu bergetar.
Aku geregetan, gemas mendengar jawabannya.
Suara pengumuman terdengar lantang, memanggil penumpanh penerbangan terakhir menuju Yogyakarta agar segera naik pesawat.
"Itu, it pesawatku abang,". Dia berkata pelan.
Aku diam, mendongak menatap langit-langit ruangan.
"Maafkan aku, abang. Mungkin ini lebih baik bagi kita." Keira menatap
ku lamat-lamat, perlahan dia menyentuh lenganku, tangannya gemetar.
"Biarkan aku pergi... Satu bulan, enam bulan, satu tahun, hingga semua
menjadi lebih jelas. Biarkan waktu yang membuatnya lebih terang."
"Satu tahun?" Aku melenguh, itu bukan waktu yang sebentar.
"Aku tidak tahu kapan persisnya. Boleh jadi lebih dari satu tahun
hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, berjanjilah,
abang akan terus mengurus bengkel itu. Aku akan berjanji menjadi guru
yang baik, bukan seseorang yang dibebani masa lalu."
Gadis itu
memegang lenganku erat-erat. Matanya semakin berkaca-kaca. "Abang sudah
mengenal dokter itu bukan? Sarah. Dia sungguh gadis yang baik. Dia
tumbuh menjadi gadis yang periang. Wajahnya menyenangkan. Dia sungguh
tumbuh dengan segala kebaikan setelah kejadian yang menyakitkan itu.
Berbeda denganku. Wajahku terlihat sedihh, pendiam, lebih banyak
mengurung diri, selalu ragu-ragu dan pemalu."
Aku menelan ludah. Apa yang sedang dibicarakannya? Apa hubungannya dengan sarah?
"Maafkan aku, abang. Kita hanya saling menyakiti jika terus bertemu. Aku sungguh tidak mau membuat abang sedih."
Pengumuman dilangit-langit ruangan terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju Yogyakarta.
"Berjanjilah, abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk akhirnya,
sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, abang akan terus melanjutkan
hari-hari, terus menjadi pemuda dengan hati paling lurus. Aku harus
pergi, Abang, selamat tinggal."
Gadis itu lantas balik kanan, satu tetes air matanya terpercik kelantai, dia berlari-lari kecil meuju ruang tunggu.
Aku berdiri mematung,
Satu detik,,
Dua detik,, semua nyata. Berharap ini hanya mimpi, sekian detik kemudian, semuanya berubah, semuanya,,,,
Suasana hening sore, membuatku melenguh pada kejanggalan ini.
"Abang,,,". Suaranya terdengar serak.
Aku
menelan ludah. Astaga? Gadis itu mengangkat wajahnya, lampu neon
membuat ekspresi wajah sendu itu terlihat jelas. Tangannya memeluk erat
tumpukan buku PR.
"Aku pikir, aku pikir kita tidak usah bertemu lagi,,".
Bahkan dimas yang pura-pura kerja tapi sejatinya menguping. Terhenti tangannya membuka baut.
"Tidak usah bertemu?" Aku memastikan, siapa tau aku salah dengar.
"Iya, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi".
Langit-langit workshop terasa lengang.
"Tapi kenapa?" Intonasi suaraku terdengar bergetar.
Dia hanya diam, menunduk lagi.
"Kamu hanya bergurau, kan?". Aku menyelidik, tertawa kecil.
Gadis itu mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca, membuat tawaku bungkam, mematung.
Ibu,
aku belum pernah mengalami situasi seperti ini. Anakmu ini, meski tau
semua hal tentang mesin, belajar ribuan soal tentang kehidupan, menyalin
semua pengetahuan dari kecil, anakmu ini tidak pernah membayangkan akan
mengalami percakapan model ini secara langsung dengan seorang gadis.
"Ini, ini tidak ada hubungannya dengan papa, kan,?". Aku putus asa
menebak- setelah dia hanya diam, dan aku tidak tahu lagi apa
kemungkinannya.
"Papa, memangnya papa bilang apa pada abang kemarin,,?". Gadis itu justru bertanya padaku.
"Eh, tidak bilang apa-apa.". Mulutku kaku. Menilik dari raut wajahnya,
aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan dugaanku. "Aku fikir, justru
papa yang bilang sesuatu padamu,,".
Gadis itu menggeleng. "Papa tidak bilang apa-apa.".
"Lantas kenapa?" Aku memutuskan mendekat, jarak kami tinggal tiga langkah, berhadap-hadapan.
"Maafkan aku abang, sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi". Gadis itu
mengulang permintaannya. Suaranya hilang dipenghujung kalimat, dan
sebelum aku sempat bicara, dia sudah balik kanan berlari menjauh.
"Tunggu,,keiiii!!!!!"
Aku mengejarnya sekuat tenaga.
"Tapi kenapa kei?"
Gadis itu menggeleng menahan tangis.
"kei, kau tidak bisa melakukan ini tanpa penjelasan.!!". Suaraku serak.
"Maafkan aku, abang. Maafkan aku.". Dia berulang kali menyebut kalimat itu, seperti mendesah pada langit.
Satu taksi melintas, dia naik dan terus meninggalkanku dengan berjuta tanda tanya.
Langit
kota cerah, bulan malam dua belas terlihat bundar, seperti diletakkan
begitu saja diatas siluet bangunan-bangunan pencakar langit.
Kenapa
semua begitu tiba-tiba? Kenapa mencintai dan tersakiti harus sesingkat
ini? Apa tiap perasaan yang baik harus diganjar rasa sakit yang sebegitu
menyiksa?
Langit tetap diam, aku melangkah dengan jiwa mematung.
- Diberanda rumah, terlihat langit begitu teduh. Sore menjelang malam yang menakjubkan. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci al-Qur'an berkumandang dari tiap-tiap toa masjid. Selalu menyenangkan berada dalam situasi seperti itu. Membuatku mampu berlama-lama tenggelam dalam pelukan lamunan. Tanpa diberi komando dan aba-aba, otakku sudah bekerja diluar kendali. Memikirkan hal yang tak seharusnya difikirkan, membayangkan hal yang tak semestinya dibayangkan. Kinerja alam nyata dan dunia maya seakan menemui jalan buntu.Hanya tentang hal-hal sepele yang terus berotasi tak beraturan di dalam kepala, membuatku rela melamun untuk beberapa saat hanya demi menemukan sesuatu yang penting disana. Sesuatu yang benar-benar mampu untuk dijadikan alasan kenapa aku membisu tanpa jeda seperti ini.
Hanya sosok sederhana, namun mampu membuat tiap pasang mata tak merasa bosan melihat tingkahnya, meski hal konyol sekalipun ia lakukan. Seseorang yang memiliki gestur tegap, tidak terlalu tinggi, memiliki senyum yang memukau(baru ku sadari sekarang), dan memiliki banyak kelebihan yang menarik (ini juga baru kusadari).
Pada awalnya, aku menganggap dia biasa-biasa saja. Tidak ada gejolak yang meronta-ronta saat pandanganku dan sorot matanya bertemu. Tak ada ketertarikan yang berarti hingga membuatku hanya menganggap semua hal tentangnya yang biasa, menjadi benar-benar biasa. Dia baik, bahkan manis. Hanya saja saat itu pemikiranku masih begitu kekanak-kanakan, hingga membuat ku masih mampu dibutakan oleh sosok yang lain.
Saat itu, dia benar-benar menunjukkan kesungguhan. Bahkan aku berani bertaruh; jika saat itu juga dia siap diajak berkomitmen. Tapi itulah level remaja, hitungan belasan tahun. Aku malah memilih seseorang yang belum tentu benar-benar mengerti tentang perasaan(atau mungkin lebih labil ketimbang aku), dan untuk pertama kalinya mencoba cinta dalam jarak. Aku sadar, hatinya mungkin terluka. Pasti terluka, aku yakin itu. Kebodohanku mungkin membuatnya menjauh, dalam bayanganku dia pasti akan membenci setengah mati pada orang yang dicintai, malah mencintai orang lain.
Aku yang tengah merajut kasih, mendendangkan lagu cinta, bersama sosok yang tidak benar-benar ku kenali. Memangnya apa yang bisa dipercaya pada sesuatu yang berhubungan dengan jarak? Semua bisa berbohong sesuka hati asal masih dilindungi oleh jarak. Dan dia, bagaimana dengan dia kala itu? Entahlah. Firasatku mengatakan kalau dia mampu mencari seseorang yang lebih dari sekedar calon penulis.
Untuk kamu calon Dokter,,,, maaf jika saat itu aku memilih sesuatu yang salah. Maaf karena aku mencintai kecintaan yang tidak sebenar-benarnya mengharapkanku.
Seperti katamu dulu, didekat pekarangan rumah "terkadang hati yang baik, harus menambatkan perasaan pada sesuatu yang salah terlebih dahulu sebelum akhirnya menemukan hati yang benar-benar ingin berbagi". Aku yang tidak peka tidak segera memahami, ada bulir cinta ditiap intonasimu, ada bulir-bulir kasih sayang pada tiap kata yang kamu ucap.
Kala itu, aku hanya menganggap bahwa yang terlihat adalah yang sebenarnya. Aku belum benar-benar bisa membaca topeng tiap-tiap orang. Kamu, hanya memberikan isyarat, hanya memberikan sentuhan-sentuhan hangat ditiap kata yang kau ucap, dan aku belum benar-benar memahami.
Aku tau, jika hingga saat ini kamu masih menyimpan perasaan yang sama, dan mungkin masih sehangat dulu.
Aku tau semuanya, aku bisa membaca ditiap-tiap pesan singkat yang kau kirim. Aku tau, kamu menyisipkan berton-ton rasa rindu disana. Aku tau, bahwa kamu tak pernah sekalipun mencoba membunuh perasaan yang tumbuh dengan sangat liar itu.
Kamu pasti mendengar kabar tentang hubunganku dengannya bukan? Apa kau kagett? Bingung? Sama saja, pada awalnya aku juga merasakan hal yang sama. Hanya bisa memahami, tanpa mengerti situasi. Tapi, setelah semuanya terjawab, aku bahkan lebih merasa kagett, hingga deru nafasku berontak sesuka hati.
Jangan tersenyum, aku tau. Lagi-lagi perkataanmu benar. Hatiku dan hatimu pernah menemukan kesalahan. Dan sudah sangat belajar dari kesalahan yang kuperbuat dengan sengaja itu.
Untuk kamu penghuni kelas Kedokteran semeter enam. Sudah hampir adzan magrib, dan kita pasti sadar kewajiban. Hanya beberapa hal saja,, mencintai tidak selalu beserta rasa sakit, mencintai sejatinya tidak selalu kehilangan. Sesuatu yang baik, tidak bisa jika dilakukan secara instan. Jika kamu benar-benar mempunyai sentuhan ajaib, bisakah kamu membawa aku kemasa tiga tahun silam??
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Selamat malam kepada kamu yang tengah merasakan indahnya jatuh cinta. Selamat malam untuk kamu yang sekarang sedang merajut asmara baru, tentu saja bersama dia. Kepunyaanmu yang baru.
Kalau boleh bertanya sedikit, apa yang menyebabkan kamu memilih dia? Adakah sesuatu yang berbeda dari dia hingga kamu memilihnya? Ataukah dia memiliki kepribadian ganda, hingga itu membuat hatimu tergugah?
Jangan tertawa bila pertanyaanku semakin tak beraturan, aku tengah dilanda kebingungan hebat. Semua terasa absurd, terasa abstrak, terasa tak jelas. Apa menurutmu semua sudah jelas? Apa dengan aku berpura-pura merasa semua baik-baik saja itu membuatmu beranggapan bahwa aku telah mengerti semuanya? Tentu saja tidak!!!
Kau tidak berada diposisiku, hingga kamu hanya bisa mengelus dada dan menganggap bahwa perasaanku hanya lelucon dan obsesitas semata. Bisakah kamu bayangkan jadi diriku? Tentu saja bisa, hanya dalam versi yang berbeda. Dalam bayangan versimu, mungkin aku tengah tertawa, riang gembira, menari-nari ditiap frasa kehidupan. Nyatanya, aku harus setengah mati menahan kecemuk yang setiap hari semakin menjadi-jadi. Menopang gejolak yang kian membabi-buta. Adakah gambaran seperti itu pernah terlintas dibenakmu? Tentu saja tidak, kamu terlalu sibuk menuai benih cinta pada sosok yang baru. Mengurusi tentang hatiku, mungkin hanya omong kosong dimatamu. Apa aku dimatamu? Apa harus dengan cara seperti ini eksperimen dan latihan yang kamu jalani sebelum kamu benar-benar memilih kecintaan seumur hidup? Apa dengan setelah menorehkan luka yang cukup dalam, masa latihanmu dinyatakan usai? Siapa dalangmu? Kenalkan padaku!!!
Kamu pasti sekarang menganggap aku impulsif dan mengenaskan, silahkan saja!!! Sungguh, aku tak lagi perduli. Aku hanya ingin meluruskan. Kenyataan bahwa semua perkataanmu tak bisa dicerna syaraf kejujuran, itu mutlak. Jika setelah mendengar ceritamu aku tak mencari kejelasan, mungkin aku akan percaya. Setengah mati mungkin aku akan terus bersimpati pada kondisimu. Tapi setelah semua terpampang nyata,, setelah kebenaran yang diceritakan terkuak, aku hanya mampu menatap segi empat fotomu dengan tatapan iba. Sebegitu terkondisinya semua skenario yang ingin kamu perankan. Bahkan aku berani bertaruh, pasti semua dialog naskahnya telah ribuan kali kamu hafalkan agar tak terlihat semua hanya dibuat-buat. Alhasil,,, aku percaya. Tentu saja aku percaya,, aku selalu mempercaya semua kata-katamu. Itulah kesalahan terberatku. Aku selalu bisa membaca kebohongan ditiap tutur kata seseorang, hanya kepadamulah aku begitu yakin, hingga kemampuanku mampu kau manipulasi. Hebatt,,,
Kamu pasti bertanya kenapa aku harus iba terhadapmu kan?? Jelas saja aku kasihan,, hanya untuk meninggalkanku, kamu harus memutar otak, mencari ide sebrilian itu (menurutmu). Dan semua rencanamu itu, berbuah manis. Kamu berhasil membuatku jatuh, terhempas sedemikian dalam. Membuatku menggigil setiap waktu, membuatku kesusahan menapaki langkah.
Tapi semua hanya berlangsung sebentar,,, kalimat bahwa ' Tuhan maha tahu segala' Tuhan tidak tidur' itu benar-benar nyata. Dengan perantara seseorang, aku jadi mengerti situasi yang terjadi. Aku segera memahami apa yang sebenarnya kamu inginkan.
Well,,, jangan tanya dari siapa aku tau semua yang pasti dia bisa sangat aku percaya. Sungguh,, terimakasih atas rasa sakit yang kamu tinggalkan.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Aku tak tahu mengapa berkali kali pertengkaran di antara kita selalu terjadi. Aku tak mengerti apa salahku dan salahmu yang selalu menghasilkan adu argumen tanpa mengerti situasi. Inikah kita yang awalnya selalu merasa saling memiliki kesamaan ?? Benarkah semua sifat egois yang selalu meledak setiap kali kita mempertahankan pendapat ??
Ada batu yang sangat keras dikepalaku dan dikepalamu. Ada aliran sungai yang begitu deras ditutur katamu dan ditutur kataku. Mengapa kita tak pernah lelah untuk mencari masalah ?? Mengapa aku dan kamu selalu senang menyelami jurang perbedaan ??
Kita selalu merasa paling dewasa. Kita selalu merasa paling tau apa yang ada didunia. Keegoisan yang membuncah liar itu,,,amarah yang tak terkendali itu,,,seperti ada iblis yang memporak porandakan isi otak kita. Sehingga tak ada kata yang tersaring dalam omongan kita. Aahhggr,,,mengapa kita masih saja saling menyakiti jika kita memang saling mencintai ??
Benarkah aku dan kamu telah dewasa ?? Jika kita masih saja membutuhkan air mata untuk mencerna semua yang sulit kita mengerti. Benarkah aku dan kamu sangat siap menyatu menjadi kita ? Meredam segala ego dan kemunafikan yang ada.
Sebenarnya apa yang ada dilabirin otakku dan labirin otakmu ? Adakah kita memikirkan kelanjutan yang sedang kita jalani ini ?
Mungkin,,,benar kalau kita masih berjiwa bocah. Kita masih mencoba untuk dewasa. Kita masih mencoba untuk berubah. Peralihan yang paling sulit adalah saat anak ingusan mencium titik kedewasaan. Jiwaku dan jiwamu masih terlalu lemah untuk mengerti segala hal yang disediakan dunia. Mataku dan matamu masih terlalu lelah untuk menatap segala kemungkinan yang ada.
Awalnya,kita selalu berbicara tentang kesamaan dalam diri kita. Tapi,saat pertengkaran tercipta,kita malah mengungkit perbedaan yang turut menjadi penumpang gelap dalam pelayaran kita. Inikah cara orang dewasa menyelesaikan persoalan yang ada ? Yakinkah kamu bahwa kita telah dewasa ?
Aku benci ketika kita saling menyalahkan,,,mencari kambing hitam dalam setiap permasalahan. Aku benci ketika emosi didalam diriku dan dirimu menjadi begitu dominan saat kita tak mampu berbicara dengan kepala dingin. Aku benci !!!,sangat amat benci ketika kita bertingkah seperti anak TK yang berebut naik perosotan ditaman bermain. Bukankah kau bilang kita telah dewasa ? Bukankah kita selalu berusaha bertingkah ketika kita bahkan tak selalu mampu untuk berpura pura menjadi dewasa.
Bukan salahku ataupun salahmu. Ini persoalan kita !!!. Kita yang belum siap mengerti dan menekuni arti cinta yang sesungguhnya. Ini persoalan kesiapan !!!. Kesiapan untuk menghadapi apapun yang mengganggu langkah dan perpindahan kita. Mungkin kita masih terlalu dini untuk mengerti apa yang terjadi. Kita masih terlalu kecil untuk mengetahui rencana besar yang tuhan selipkan dalam pertemuan kita.
Mungkin ini bisa jadi salahku,yang selalu tak mengerti jalan pikiranmu,yang tak terlalu memahami ucapan bibirmu. Mungkin juga ini salahmu,yang selalu memikirkan semua hal dengan logika,yang selalu mencerna banyak hal hanya dengan persepsimu. Dann,,,,kemungkinan berikutnya,,,,,,ini salah kita. Kita yang tak mampu menahan amarah. Kita yang masih belum mengerti arti bersabar yang sesungguhnya.
Ini bukan yang pertama. Ini terjadi entah sudah berapa kali. Tapi, aku dan kamu selalu memutuskan untuk kembali. Aku dan kamu selalu memutuskan untuk kembali menjadi kita.
Ini seperti siklus pertemuan dan perpisahan yang sulit ditebak waktu dan kronologinya. Perpisahan yang terucap hanyalah pertemuan yang tertunda. Layaknya perpisahan, pertemuan yang tercipta hanyalah perpisahan yang kapanpun bisa terjadi kapanpun.
Jika berkali kali kita mengucap kata perpisahan,salahkah jika kita mengharapkan kembali sebuah pertemuan ??.
" Maaf untuk pertengkaran semalam.
Aku memang belum siap menjadi
semestamu"
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Tiap-tiap menit, bahkan detik sekarang, tidak lagi ditemani oleh pesan singkat dan bbm dari kamu. Pada awalnya memang terasa sangat menyulitkan. Tidak ada lagi asupan energi ditiap harinya, tanpa itu, semua terasa kosong.
Tapi sudahlahh, toh itu juga tak begitu kamu perdulikan. Kamu sudah membuang, dan memungut boneka yang baru. Ya, semoga saja dia tidak lebih buruk dari aku. Percuma saja aku mengerang berang, hanya semakin mengingatkan betapa bodohnya aku kala itu.
Tutup semua tentang kamu, yang harus kulakukan adalah meninggalkan semua omong kosong tentang hidupmu, itu saja.
Meski bb ku tak lagi menerima pesanmu, meski tak lagi panggilan masuk dari kamu, ponselku tetap terjaga pada tugasnya. Tentu saja tetap menerima, hanya pengirimnya saja yang berbeda. Adalah dia, yang dengan dan tanpa letih terus menarikku dari kepunahan rasa percaya. Tentu saja, kepercayaan terhadap semua hal. Dia menemani dari bangun pagi hingga tidur malamku. Tidak dengan cara mendengar cerita dan memberikan puk-puk dipundak, hanya perhatian yang membuatku tidak merasa sendiri.
Kamu bertanya kenapa dia melakukan hal itu?
Jawabannya, karena dia merasa aku membutuhkan dukungan dan obat dari luka yang kamu tinggalkan.
Tentu saja aku merasa sangat beruntung, bahwa disekelilingku, masih saja ada yang peduli.
Kamu pasti berfikir aku akan segera berpindah hati dengan segera kepada dia yang tengah menolongku bukan?? Tenang saja, aku tidak sepicik itu. Aku bukan seseorang yang mampu memproduksi banyak cinta. Perasaanku butuh proses, perasaanmu bisa disulap secara instan. Kita memang tidak benar-benar sama. Semua yang ada diotakku dan otakmu itu adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.
Sudahlah, jangan menganggap dia seseorang yang buruk. Tentu saja dia saat ini terasa lebih baik dari kamu.
Maaf, tapi itulah yang bisa aku simpulkan untuk sekarang.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Aku tidak bermaksud mengusik atau mengganggu rutinitasmu. Seperti hal hal sederhana yang selalu kamu ceritakan padaku. Kamu selalu sibuk mengurus putera altar digerejamu,lalu membagi waktumu untu belajar dikampus,kemudian dalam langkah gontai kamu memasuki rumah,senyummu yang tersisa masih kautunjukan untuk keluarga tercinta. Padahal aku yakin otakmu masih terbagi untuk teater dan liturgi misa. Aku kagum padamu. Si sulung yang berusaha menjadi segalanya untuk keluarganya. Wanita dengan senyum memukau yang menyediakan waktunya untuk orang yang ia cintai. Satu hal yang membuatku terharu, bahkan dalam kesibukanmu, kamu selalu merapal namaku dalam doa.
Jadi,apa kabarmu hari ini ? Setelah sekian lama kita tak saling berkabar,nampaknya ada banyak yang berubah, dan mungkin saja ada banyak hal yang tidak kuketahui. Tapi,aku berharap agar dirimu tak pernah berubah. Meskipun kita memang tak terlalu sering bertatap mata. Kalau mengingat awal pertemuan kita, aku jadi ingat shellter De britto. Ternyata,butuh perjuangan keras hanya untuk menatap matamu. Sekaligus merayakan lebaran disana,kita menyempatkan diri untuk bertemu. Ingat berapa menit ?? Hanya 10 menit. Dan selama rentan waktu itu, debaran jantungku menggamit resah. Semua perasaan tolol itu terjadi hanya karena aku menatapmu. Dan,,, sepertinya ada pergolakan berbeda dalam tubuhmu. Kamu seperti patung es yang enggan meleleh, dingin tapi kokoh. Kamu fantastis, sepuluh menit penuh magis.
Aku dan kamu masih meyakinkan diri kita masing-masing,bahwa ini bukan cinta. Kita selalu yakin kalau ini bukan cinta,bukankah kita adalah teman yang saling menguatkan satu sama lain ?? Bukankah semua kebersamaan nyata dan maya ini adalah wujud perhatian sederhana ?? Tapi,,ternyata ada pergerakan dihati yang lajunya tak kita sadari. Memang tak ada candu,tapi kita tak mampu saling menyangkal diri kalau ada sosok nyata yang disebut rindu. Tak ada panggilan sayang ataupun sepotong percakapan yang dilakukan secara intensif,tapi hal itu tak menghalangi kita untuk saling mendoakan. Mungkin inilah definisi perhatian yang sebenarnya. Tak perlu terlalu dilebih-lebihkan tak perlu terlalu ditunjukkan. Perhatian menunjukkan tubuhnya sendiri,walau tak terikat status,walau terpisah jarak ratusan kilometer.
Ceritakan padaku tentang rencana masa depanmu. Kita terlalu jarang berbicara tentang itu. Ceritakan padaku tentang apa yang selama ini kamu rasakan. Aku dan kamu selalu takut untuk mengetahui kenyataan. Disinilah batas keteguhan hati kita diuji. Seberapa besar kekuatan doaku dan doamu saling menyentuh dan menghangatkan satu sama lain. Inilah keterbatasan kita sebagai manusia yang tidak utuh. Walau tak ada tatapan mata,tapi hati terus berkata-kata. Selama ini kita terlalu rela dibunuh oleh jarak. Selama ini kita terlalu rapuh dipermainkan oleh waktu. Akankah ini saatnya untuk menyadarkan diri ?? Bahwa tak ada apa-apa diantara kita. Bahwa tak ada kembang api dan kupu-kupu yang menari indah difikiran kita.
Namun,,,,semakin aku memaksakan diri untuk mengetahui,semakin aku merasa tak mengerti. Ada semesta rumit yang mengorbit dalam peredaran nafas kita. Tercipta semacam negri entah berantah yang menjadikan kita sebagai penduduk yang hidup didalamnya. Aku kebingungan,begitu juga kamu. Apakah setiap kali seorang pria menyentuh tatapan mata seorang wanita,selalu tercipta negeri berbeda didalamnya ??
Seperti kita,,,,,,
Ah,,,, bagaimanapun rumitnya permasalahan kita,aku dan kamu tetap saja senang menyangkal diri. Kita belum siap direpotkan oleh perasaan aneh yang meletup-letup walau dalam kebisuannya itu. Aku dan kamu masih menikmati masa-masa ini. Kita masih ingin tuhan merahasiakan rencananya. Bukankah aku dan kamu senang dengan hal-hal yang tidak pasti ?? Iya,seperti apa yang kita jalani selama ini. Karena sesuatu yang tidak pasti menyembunyikan tantangan tersendiri.
Masih banyak perasaan yang bergenderang namun tak terdengar oleh telinga kita. Masih banyak mimpi yang belum kita capai. Salah satunya,seperti yang dulu kita bicarakan..
Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi.
Rembulan dilangit kuta,,dibawah sinaran lampu templok dan lilin yang meredup. Disebuah angkringan yang tak terlalu ramai,hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang sesekali melintas. Lalu desah nafasku dan nafasmu menderu dalam kesunyian. Mata minusmu terlihat bening dibalik kaca mata yang kamu pakai. Kala itu kamu begitu mempesona,,,,,,
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Cinta itu tidak ada!!!
Untuk beberapa jiwa-jiwa yang tengah merasakan indahnya pacaran, mungkin merasa cinta itu benar-benar indah. Semua terlihat berwarna, terlihat sempurna. Setiap mereka, selalu mencari-cari, memilah-milah kesamaan apa saja yang mereka dan pasangannya miliki. Berkat cinta yang ditawarkan sang kekasih, hal yang dulunya dibenci, berubah menjadi sangat digemari. Hal yang dulunya mereka sukai, berangsur-angsur ditinggalkan. Menggelikan memang, mengingat begitu hebatnya pengaruh yang ditimbulkan Cinta. Entah itu berpengaruh baik atau buruk, hanya mereka yang menjalanilah yang bisa mengerti.
Aku tidak bilang jika mencinta dan dicinta itu salah, hanya semua terlihat menjadi sangat klise setelah kata pisah terucap. Semua terasa berubah 360 derajat dari awal ikrar Cinta itu sendiri terucap.
Saat luka yang ditimbulkan Cinta tengah diderita, semua terasa kosong. Hanya kehampaan yang ada. Selalu merasa sepi meski ditempat yang penuh sesak sekalipun. Bahkan, luka yang ditimbulkan oleh Cinta, bisa membuat seseorang menjadi sangat tidak terkendali. Melakukan hal-hal gila sekalipun. Mungkin semua orang pernah mendengar, adanya seorang pria membunuh sang kekasih karena putus. Ada juga seorang wanita yang bunuh diri karena mengetahui sang kekasih berselingkuh. Apa ini gambaran Cinta yang selalu digembor-gemborkan tiap orang? Apa seperti itu efek yang bisa ditimbulkan setelah sang Cinta menjauh? Entahlah, siCinta itu memang tak pernah mau menjelaskan apa yang ia inginkan.
Saat putus, semua yang semula terasa baik-baik saja berubah sebaliknya. Kebahagiaan yang membuncah berganti wajah dengan kepedihan yang menjadi-jadi.
Saat putus, hampir setiap malam-malam dingin, hanya dihabiskan untuk merenungi semua yang telah terlewatkan. Menyesakkan memang, mengingat semua yang sudah teryakini dan di andalkan malah seenaknya berganti topeng dengan keputus asaan.
Setelah semua menjadi sedemikian rumit, apa yang mereka lakukan? Selalunya, mencari pembenaran atas kepentingan sendiri. Saling mencari kesalahan satu sama lain, saling berspekulasi. Menyudutkan yang dulunya dibanggakan, Menyalahkan yang dulunya sangat disayang, memicingkan mata pada sosok yang dulunya sangat dicinta.
Inikah kebenaran adanya cinta? Jika iya, sungguh ironis sekali mengingat begitu banyaknya jiwa-jiwa yang tak mengenal jera pada satu kata yang tidak rasional bernama cinta.
Well, semoga saja persepsiku tidak memperngaruhi kalian untuk saling mencinta. Mengutip sebuah lagu "HIDUP TANPA CINTA,BAGAI TAMAN TAK BERBUNGA" yang sesungguhnya memang jauh dari faktanya.
Ini presepsiku "jika Cinta hanya diciptakan untuk memberikan sedikit harapan kosong yang enggan menyentuh bibir kenyataan dan kemudian disadarkan pada kenyataan pahit untuk ditinggalkan yang dicinta, Maka Cinta itu tidak ada!!!"
Yang seperti itu bukan cinta, melainkan sebongkah emosi dibawah alam sadar yang giat menari-nari untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang kosong.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Malam ini, semua tampak lebih berwarna. Aku sudah melakukan banyak hal sendirian, melatih kemandirian. Mungkin, kamu akan terkejut melihat perubahanku, kamu akan menggeleng lebih lama sambil mengamati gerak-gerikku, aku sudah berbeda sekarang. Atau kalau boleh dibilang, bukan hanya aku, kamu juga berbeda sekarang. Seiring waktu berjalan, semua berubah tanpa persetujuan kita. Tiba-tiba saja aku sudah menjadi seperti ini dan kamu sudah tak lagi di sini.
Akhirnya, ya memang akhirnya, karena tak ada lagi yang akan terulang. Hari-hari yang dulu aku dan kamu lalui seperti gelembung basah yang sangat mudah pecah. Realita berbicara lebih banyak, sementara aku dilarang untuk bermimpi terlalu jauh, apalagi mengharap semua yang telah terjadi bisa terulang kembali. Jika dulu kita begitu manis, entah mengapa sekarang berubah jadi miris. Memang hanya persepsiku saja yang melebih-lebihkan segalanya, mengingat perpisahan kita terjadi tanpa sebab, sulit ditebak, sampai aku muak mencari-cari yang kurasa tak pernah hilang.
Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?
Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.
Beginilah kita sekarang, Manis. Tak lagi saling bersapa, tak lagi saling bertukar kabar. Semua seperti dulu, ketika kita tak saling mengenal, segalanya terasa asing. Kosong. Apapun yang kita lakukan dulu seperti terhapus begitu saja oleh masa, hari berganti minggu, minggu segera beranjak menuju bulan, sejak saat itu juga jantung kita tak lagi mendenyutkan rasa yang sama.
Dengarkan aku, Manis. Inilah kita yang sekarang, berusaha melupakan yang disebut kenangan. Berusaha melawan ketakutan yang disebabkan perpisahan. Siapapun yang lebih dulu melupakan tak menjamin semua akan benar-benar hilang.
Kalau ada waktu, sering-sering cerita tentang Bagaskara, Lintang, Langit dan Laut yang pernah hidup dalam cerita kita dulu. Sudah sebesar apa mereka? Siapa yang merawat mereka?
Aku punya kejutan untukmu, sekarang aku sudah jadi pemimpin diperusahaan yang selalu kuceritakan padamu. Adakah kejutan yang akan kautunjukkan padaku, selain cerita tentang pacar barumu?
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Sudahlah,jangan jelaskan lagi alsan yg tak bisa kupercaya.jangan lagi memberikan jawaban yang tak bisa mmbuatku yakinn.berhentilah membuatku mengasihanimu.aku sudah terlalu kehilangan rasa terhadapmu,juga terhadap kita yang dulu.
Ceritamu hanya rekaan fiksi yang berantakan dalam setiap alurnya.setiap alasanmu hanyalah berita infotaiment yg tidak aktual..
plotmu saat berbohong sangat berantakan. Cacat disana sini,berlubang dibagian kanan dan kiri,kurang sempurna disemua sisi.bagaimana aku bisa mempercayai,pembohong kelas teri.
Haruskah aku bercerita lagi,
Tentang kebohonganmu yang berusaha ku tolelir setengah mati ??
Tentang janji manismu yang tak pernah kau tepati ?
Bercerminlah wahai kamu yang merasa paling sempurna,.siapakh dirimu berkata dan berucap sok bijaksana,berjanji seenak jidat dan mengingkari dengan mudah..luccuu,,kamu ini pembohong yang tak punya ingatan yang tajam.pembual bermulut besar,berhentilah membuat jengah,kamu semakin membuatku lelah.
Tadi,kamu menghubungi lagi.seperti biasa,seakan akan kau tak punya kesalahan.kemudian kau bercerita.iyaa,tentang semua yang sama 'K.E.B.O.H.O.N.G.A.N'.M.U,kali ini bahkan lebih parah,lebih tak tentu arah.
Anehnya, aku masih ingin menyediakan telinga.kenapa ??? Aku kasihan padamuuu.ternyata selama ku tinggalkan dan kuberi kesempatan,kau sama saja,tak berubah sedikitpun. Bahkan aku cukup terbelalak,melihat hobymu yang tak kunjung pudar,berbohong untuk menarik perhatianku.
Mungkin kau fikir,aku msih orang yang sma.orang yang bebas kau dongengkan setiap hari dengan dongeng seribu satu malammu yang terdengar sempurna namun bohong semua.
Kamu tak berbeda,sedikitpun tak berbeda.seberapa frustasikah kamu hingga kehilangan cara untuk menarik perhatian dan kasih sayang lagi ??
Dengan waktu singkat,dengan berlari tak pasti,kamu sibuk mencari pengganti.dekati si ini,lalu dekati si itu.berkenalan dengan si ini,lalu berkenalan dengan si itu.kamu semakin membabi buta,hingga pada akhirnya dengan sangat terpaksa kamu memilih dia yang sama mengenaskan.a denganmu.
Iya,aku tauu.tanpa kau jelaskanpun aku sudah mengerti.dia adalah pilihanmu yang terbaru dan terburuk setelah smakin tersakiti oleh pengabaianku.kamu seperti kehilangan cara untuk mencari yang pas.
Well,bagaimana kau bisa menemukan yang pantas ketika sikapmu selalu saja keras ??..
Aku mengasihanimu juga mengasihani dia dan tentu saja mengasihani kalian.
Kamu dan dia seperti keledai yang tak pernah hafal jalan pulang.berkelok,berputar arah,berlari,berjalan,berhenti dan berbenturan dalam setiap kebingungan.bahkan dalam situasi yang berat,kamu dan dia masih berusaha untuk terlihat baik baik saja..pasangan yang sempurnaa,fasih bermain sandiwara.
Ceritakan padaku,apa saja yang kau dapatkan darinya ??.biarkan aku tertawa untuk beberapa lama..tak penting,yang kutahu kamu sudah mendapatkan penggantikuu.dan seharus.a kamu tak lagi mengejarku.nyatanya?.kamu masih terlalu lemah untuk menghancurkan kenangan kita.
Iyaa,berhentilah menggelitik telingaku dengan gombalanmu.aku paham,jika kita berpisah namun kamu selalu sering berlari ke arahku,berarti kamu blum benar benar mengiklaskan kepergianku.
Kapankah kamu mengiklaskanku ??.tak bosankah kamu dengan semua amarah yang selalu membuncah ??.tidak bosankah kamu dengan nasehat nasehat yang selalu aku lontarkan saat kita berbicara panjang lebar ??.mengapa kau masih saja kembali dan mengejar bayanganku ??.aku lelah diikuti oleh orang yang bermulut besar sepertimu.aku tak berani membayangkan betapa bodohnya diriku yang bisa sempat menjalani waktu bersamamu.
Jadi,tolong dengarkan.
Aku mulai pusing dan lelah dengan gangguan yang kau ciptakan.berhentilah menghubungiku dan membohongiku.ingatlah statusmu,juga kekasih barumu.
Tak mengertikah kamu,sibodoh itu,kekasih barumu begitu mudah mempercayai kebohonganmu ??
Tak pahamkah kamu rasa sakit yang akan dia derita setelah tau mulutmu hanya berisi racun yang manis sesaat ??
Berhentilah menyakiti siapapun yang ada disekelilingmu,mereka memberikanmu kesempatan untuk berubah.
"Jika kau tak kunjung berbeda,jangan salahkan dunia kalau kau merasa sendirian'.
Berbahagialah dengan pilihan barumu.bersuka citalah dengan dia yang tak berbeda jauh denganmu.mungkin saja dia bermulut besar sepertimu,mungkin jga dia memiliki janji dan khyalan terlampau membosankan.
Tenanglahh,aku tak akan membuka kedok topengmu.aku tidak akan menceritakan kepada banyak orang tentang kamu yang selalu mengaku sakit ini,itu untuk mendapatkan sedikit perhatiann.
Aku tak akan mencibir sikap burukmu yang selalu membanggakan stiap prestasi yang sebenarnya tak pernah kau capai.
Percayalah padaku,aku pandai menyimpan rahasia bukan seperti kamu yang bermulut besar.si pengubah cerita yang merubah cerita menjadi lebih berbeda.
Orang orang disekitarmu mulai muak,,,mereka mulai menjauhimu,namun kau tetap saja tak sadar..
Heyy,,lihatlah,!!siapa yang ada disampingmu,,?.pacar barumu ?.yang mungkin saja,suatu hari,akan menikammu lebih berdarah dan lebih menghasilkan luka.
Maka,biarkanlah pacar barumu tau betapa mengenaskannya kamu setelah dia menjalani apa yang dulu dia yakini.
Maka,biarkanlah kekasih barumu memahami,betapa kamu bukanlah sosok pantas untuk dicintai.
Ada masanya,dia tau bahwa kau hanya seorang perayu.hanya seorang yg bisa membuat cerita lugu.
Akan tiba waktunya dia tersakiti oleh sikapmu dan menangis terpojok,menyesali apa yang sempat ia percayai.
Akan ada masanya dia mengerti,kamu hanyalah mulut besar yang tak memahami arti mencinta dan dicintai.
"Berhenti menghubungiku,,,
Atau kubunuh semua harapanmu!!!"
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Berkali kali aku mengelak,,ini hanyalah ketertarikan sesaat.ini hanyalah perasaan yang akan padam termakan hari.
Untuk seterusnya aku menganggapnya hal biasa,,sampai suatu ketika aku merindukan suaramu,menyentuh lembut gendang telingaku.sejak pertama kali mendengar suaramu,seperti ada sentuhan asing yang menyentuh indra pendengaranku.
Sekelebat suara seperti merasuk diotakku,suara siapa lagi kalo bukan suaramu.?.iya,pemilik suara itu adalah kamu.
Lalu,suaramu berlari,pergi menghilang dari udara.detik itu seakan akan berhenti dan membeku.menit yang tadinya penuh dengan kupu kupu yang berterbangan,berubah menjadi tawon yang seakan menyengat kulit.
Semua berbeda,,senyum yang sejak tadi melenggang dibibir berubah menjadi muka yang melipat,seperti menyesali kepergian sesuatu.
Iya,kepergian pemilik suara itu.kamu harus pamit dari udara,dan aku terluka !.
Aku menunggu hari yang sama agar bisa kembali mendengar suaramu yang menderas dan menggema dalam telinga dan hatiku.
Kalau aku boleh bercerita tentang perjuanganku,aku sering kali mencari berita dan kabar tentangmu..mungkin kamu tak mau tahu dan tak pernah mengerti karena ini bukan suatu hal penting yang harus kubesar besarkan.toh,aku menikmati tiap detik detiknya saat aku mencarimu ditengah luasnya dunia maya.
Sebut saja aku bodoh,karena bisa begitu saja tertarik hanya karena mendengar suaramu.sebut saja aku abnormal,karena mulai merasa gelisah jika dalam waktu tertentu tak mendengar suaramu.
Kembalii kebagian awall,,inii bisa saja ketertarikan sesaat.lagipula aku tak berani mengganggumu,apalagi menyapamu lebih dulu.apalagi mendengar kabar terhangat tentangmu..jadii,,,aku hanya mampuu mendoakannmuu.welL,tak lebiihh dan berharap perasaan bodoh ini tak meletup dan mencuat lebih kuat lagi.
Kamu menceritakan surga ditelingaku,kamu malaikat yang bernyanyi merdu ditelingaku.
Tentu saja,aku tidak akan berbicara banyakk.aku tak akan meyakinkanmu untuk mengenalku lebih jauh.aku juga tak akan menyadarkanmu tengtang sosokku,dan tentu saja aku tak akan memaksamu untuk mengetahui sosokku yang bukan siapa siapa ini.kamu tentu tak mengetahui sosokku yang tersembunyi diantara ribuan pendengarmu.aku terlalu kecil dan bukan siapa siapa,..cukkuppp !!.memang bukan itu tujuanku.
Aku hanya tak ingin,kegilaanku mengusik hari harimu.
Semogaa setiapp minggu kita bertemu diudara yya :)
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Adalah matahari yang paling panas yang kurasakan menusuk-nusuk kulitku. Juga suara riuh redam yang sama,yang memutar balikkan kewarasanku. Aku tak tahu ,jika hari ini berjalan begitu keras. Kelelahan seperti memeluk tubuhku dengan sangat erat,dan aku tak mampu melepaskan diri.
Masih dengan wajah lesu,kutatap lagi kamu. Entah mengapa,tak ada lagi rasa semangat yang membuncah ketika lensa fokus mataku tertuju padamu. Tak ada debaran yang aneh,juga tak ada rasa yang menggelitik dihati ketika tubuhmu berlalu lalang didepanku,walau tak begitu dekat,dan masih dalam kejauhan.
Aku dan kamu terjaga dalam jarak,tak benar-benar saling bertatapan dan tak benar-benar saling berhadapan. Cacatnya lagi,tak ada judul kenalan,semua mengalir begitu saja. Bertemu,,,walau tak saling memendam. Kukagumi,,,walau tak benar-benar kuketahui. Begitulah,tak ada alasan yang logis untuk menjelaskan perasaanku kepadamu. Juga perubahan yang terjadi ketika hari ini datang,dan kita bertemu lagi.
Bagaimana bisa ku sebut namamu ?. Jika bahkan aku tak pernah mengenalmu,juga mungkin saja dugaanku salah. Aku pasti salah orang,dan semua catatan-catatan di otakku belum tentu mendefinisikan sosokmu yang kupandangi dengan senyum diam-diam.
Aku ingin tahu,seberapa pentingkah perjumpaan nyata bagimu ? Kita tak saling beradu pandang,tapi ada rasa yang secara liar menggerogoti perasaanku dengan sangat cepat. Namun,dari sekian banyak kebodohanku,aku tahu bahwa kamu kukagumi bukan untuk ku genggam dan kukekang sampai mati.
Kamu ku kagumi untuk sekedar masuk dalam percakapan panjangku dengan tuhan. Kamu kupandangi diam-diam sebagai penghormatanku terhadapmu yang tidak akan mungkin bisa mengenalku,juga mengetahui sosokku. Dan,aku tak mampu menahan,aku tak mampu memedulikan lagi siapa dirimu yang sebenarnya. Aku hanya tahu kamu yang kulihat saat ini. Sempurna. Berbeda. Segalanya.
Ini bukan cinta,aku yakin itu. Karena kemunculannya terlalu cepat,karena perasaan ini terlalu berlebihan,dan karena apa yang terjadi di antara kita terlalu singkat. Mungkin lebih mendekati 'Obsesi. Seperti yang kubilang,dimataku kamu begitu lengkap. Kau memiliki banyak hal yang sangat-sangat kusuka. Tubuhmu menyimpan cahaya magis yang menggoda setiap mata untuk menatapnya.
Ketika kamu berlari,berloncat riang,bernyanyi,berteriak dan bersorak. Tatapanku hanya mampu mengikuti,tanpa ingin menyentuh atau sedikit saja bisa merasakan aroma tubuhmu mendekati indra penciumanku. Sudahlah,aku terjebak untuk kesekian kalinya. Hanya ketertarikan sesaat yang tak mampu dijelaskan secara logis.
Sudah malam,waktu lagi yang akan pisahkan kita. Langkahku terseret menjauhi mu,semakin jauh dan sangat jauh. Hingga punggungmu menghilang dari pandangan,hingga wajahmu benar-benar terhapus dari ingatan.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Meskipun mereka sudah berteman hampir tiga belas tahun, usia hampir
tiga puluh, dengan masalah yang sama—masalah penampilan fisik, perangai
Jo dan Vin tumbuh berbeda sekali. Vin tumbuh dengan pemahaman baik.
Sejak SMA dulu dia tidak terlalu peduli dengan pendapat orang lain,
sepanjang dia bahagia, maka mau jelek, mau cantik orang lain menilai,
dia selalu merasa cantik.
Berbeda dengan Jo yang menolak paham—kalaupun dia sebenarnya paham,
menolak untuk menerimanya. Jo terus berkutat dengan tubuh tambunnya.
Pernah saking inginnya ingin bertubuh kurus, Jo memaksa diri melakukan
diet tanpa terkendali. Fantastis memang, berat tubuhnya turun separuh,
membuat pangling, tapi itu hanya bertahan beberapa minggu, sebelum
berakhir di ranjang rumah sakit. Dan saat dia kembali sehat, tubuhnya
kembali membesar tanpa kendali.
Itu tidak hanya terjadi sekali. Enam kali. Semua usaha Jo untuk
menguruskan badannya sia-sia, dan dia akhirnya memilih sisi negatif,
merutuki kenapa perutnya begitu agresif menyerap sari pati makanan, dan
tetap tidak mempan walaupun sudah dioperasi pemendekan usus. Setidaknya,
dengan kejadian tersebut, Jo tahu kalau Vin selalu bisa diandalkan. Vin
yang meski menurut definisi kecantikan se-galaksi bima sakti sejelek
seperti dirinya, tapi hatinya cantik tiada tara, teman terbaiknya.
Mereka berdua sejatinya adalah dua sahabat yang bahagia. Jika mereka
sedang berdua, pergi berlibur ke pantai, liburan ke gunung, atau
kota-kota eksotis, mereka berdua bahkan bisa mentertawakan diri sendiri,
riang. Mengolok-olok diri sendiri sebelum orang lain mengolok, tertawa
puas. Sayangnya, tidak setiap saat Vin ada untuk Jo, dan kejadian tadi
siang menjadi hitungan kesekian kalinya.
Jo sebenarnya adalah pekerja keras. Dia bersedia melakukan apapun
demi definisi kecantikan yang disepekati orang-orang. Dia bersedia tidak
makan berhari-hari, dia bersedia berolahraga berjam-jam, demi terlihat
lebih ramping. Kalau dia bersedia enam kali masuk rumah sakit karena
berusaha menguruskan badan, maka jangan ditanya lagi. Tapi sepertinya
takdir gendut itu tidak mudah dikalahkan. Entah apapun hikmahnya.
“Astaga, tentu saja Tuhan adil, Jo.” Vin buru-buru ber-hsss, memotong
kalimat Jo barusan, “Kita saja yang tega membuat definisi sendiri soal
kecantikan. Semua bayi terlahir cantik, menggemaskan. Semua anak-anak
tumbuh menjadi remaja dengan kecantikan masing-masing. Lantas dewasa
juga dengan kecantikan masing-masing.”
“Kata siapa?” Jo tidak mau kalah, “Ada yang memang sejak lahir
hidungnya sudah mancung, matanya sudah bagus, rambutnya bagus. Dan
bukankah juga ada yang sejak lahir sudah pesek, kulitnya hitam,
rambutnya jelek. Di mana coba letak adilnya? Kita tidak bisa memesan,
kalau bisa, kita semua pasti minta dilahirkan cantik.”
Itu percakapan kesekian kalinya. Beberapa tahun lalu. Mereka sedang
asyik liburan berdua, duduk menikmati matahari tenggelam, dan entah
kenapa tiba-tiba percakapan menjadi berubah sensitif—sebenarnya karena
ada pasangan bulan madu di dekat meja mereka. Itu lagi, itu lagi.
“Itu karena kita semua terlanjur menterjemahkan cantik seperti itu,
Jo.” Vin memegang lengan Jo, “Tuhan tidak pernah memberikan definisi
kecantikan. Astaga, Jo, kau lancang sekali barusan bilang Tuhan tidak
adil. Aku sampai merinding mendengarnya.”
“Memang.” Jo berseru ketus, “Kalau Tuhan adil, seharusnya kecantikan
itu diperoleh, bukan diberikan sejak lahir. Siapa yang paling keras
kerjanya, maka dia berhak paling cantik.”
“Ya ampun, Jo. Sudahlah, sudah.” Vin menepuk dahinya, memutuskan untuk segera menghentikan diskusi, akan semakin buruk mood
Jo kalau percakapan tersebut diteruskan, dan tidak ada manfaatnya lagi,
lebih baik kembali menikmati sunset, tidak peduli dengan pasangan bulan
madu yang duduk mesra di sekitar mereka.
Berkali-kali Jo memikirkan soal itu, dari dulu, kenapa? Kenapa ada
manusia yang dilahirkan cantik, kenapa ada yang tidak? Di mana sisi
adilnya? Hingga malam ini, setelah tadi siang di hina oleh customer
biro perjalanan, bertemu dengan Vin, dan Vin menceritakan anekdot soal
gadis gendut yang menumpang angkot, hal tersebut terus berputar-putar di
kepala Jo. Kenapa Tuhan tidak adil?
Baiklah. Baiklah, dia akan meminta keadilan soal ini langsung kepada
Tuhan. Dia akan mempertanyakan langsung semua ini pada Tuhan. Maka malam
itu, dari bingkai jendela salah-satu rumah dua lantai yang masih
menyala di pinggiran kota kami, lewat tengah malam, saat banyak orang
sudah jatuh tertidur, lelap bermimpi, Jo dengan menangis terisak mengadu
pada Tuhan.
“Wahai Tuhan, jika Engkau sungguh adil, maka kenapa tidak kau jadikan
saja kecantikan sebuah harga? Kenapa tidak seperti naik angkutan umum,
siapapun harus membayar dengan bekerja keras jika hendak memperolehnya?
Jadikanlah demikian, maka aku akan berhenti bilang Engkau tidak adil.
Sungguh jadikanlah demikian.”
Doa itu, bagai melempar enam dadu, dengan enam sisi-sisinya sempurna bertuliskan kata amin.
***
Jo bangun kesiangan.
Cahaya matahari pagi lembut menerabas kerai jendela, menimpa
wajahnya. Jo menghela nafas, setidaknya, setelah semalaman berkeluh
kesah, lantas jatuh tertidur, perasaan hatinya lebih baik. Dia melangkah
malas, menyalakan MP3 player, memasang lagu favoritnya. Hari
ini dia akan datang telat saja ke kantor, setelah kejadian kemarin,
semua karyawan pasti paham kalau dia berhak sedikit diberi keleluasaan.
Jo bersenandung, menggeliat, menatap cermin.
Hei? Jo menelan ludah.
Siapakah itu di cermin? Kenapa ada gadis ramping di sana? Itu bukan
dirinya? Jo menepuk-nepuk pipi, eh sakit, ini pipinya bukan? Memeriksa
dagu, leher, lengan, betis, eh? Ini benaran dirinya bukan. Jo termangu
sedetik, lantas berseru bingung. Tepatnya sedikit takut. Aneh sekali
bukan saat kalian melihat cermin, tapi bukan diri kita yang memantul di
cermin tersebut.
Jo berlarian menuruni anak tangga, ke dapur. Sepagi ini Mama dan
adiknya pasti sedang sarapan. Setiba di dapur, ya ampun, kenapa pagi ini
semua jadi terlihat tidak beres. Jo berseru tertahan, lihatlah, adik
perempuannya yang SMA, yang sama gendut dengan dirinya juga terlihat
ramping. Juga Mama, tidak ada badan besar yang menyesaki kursi.
“Kamu baru bangun, Jo?” Mama bertanya.
Jo menggeleng-menggelengkan kepala, aduh, apa yang sebenarnya
terjadi. Itu benar suara Mama-nya, tapi kenapa Mama terlihat kurus?
Wajah Mama sih tetap biasa-biasa saja, dia mengenalinya, tapi kenapa
Mama tidak gendut? Biasanya saking besarnya Mama, kursinya tidak
terlihat. Sekarang?
“Telur dadarnya aku habisin ya, Kak?” Adik perempuannya bertanya,
lantas tidak menunggu jawaban, sudah santai memidahkan satu porsi extra large telur dadar jatah Jo ke piringnya.
Ya ampun, ini ada apa? Jo mengusap-usap mata, itu juga betul suara
adiknya, tapi kenapa adiknya yang rakus, tukang makan segalanya terlihat
kurus pagi ini? Apa dia tidak salah lihat? Tentu saja tidak, dia masih
mengenali wajah adiknya. Wajah orang paling jahil di rumah.
Ada apa? Apa yang telah terjadi.
Jo benar-benar tidak menyangka, Tuhan telah mengabulkan doa anehnya
tadi malam. Sepagi ini, seluruh dunia, seperti sebuah komputer atau
telepon genggam, telah di restart, telah di booting
ulang sedemikian rupa. Maka seluruh wanita di dunia memiliki wajah,
tubuh dengan tampilan yang sama, standar. Sama semua. Dengan definisi
kecantikan lama, itu berarti semua sama jeleknya.
***
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mudah, dalam bahasa paling sederhana bisa dijelaskan: kecantikan
sekarang adalah mata uang. Kecantikan tidak lagi diperoleh sejak lahir,
tapi harus dibeli.
Bagi wanita, mata uang di seluruh dunia dihapuskan, hilang begitu
saja. Transaksi sekarang dilakukan hanya dengan kecantikan. Masih
bingung? Begini ilustrasinya. Kalian bekerja menjadi karyawan, maka
setiap bulan kalian memperoleh gaji, bukan? Nah, dengan restart
ulang kecantikan seluruh dunia sejak pagi itu, maka kalian digaji atau
dibayar dengan kecantikan. Bagaimana membayarnya? Memangnya kecantikan
itu bisa ditransfer. Dalam cerita ini jawabannya: bisa. Dagu kalian
lebih indah, mata lebih menawan, pipi lebih memerah, rambut lebih elok,
hasil kerja keras kalian ditransfer seketika menjadi kecantikan.
Sebaliknya, saat kalian hendak membeli pakaian, minum kopi di kedai kopi, membeli makanan fast food,
naik angkutan umum, membeli sepatu, buku, maka kecantikan kalian juga
sebagai alat bayarnya. Belah dagu kalian berkurang sedikit, atau lesung
pipi kalian memudar sedikit, atau kulit wajah jadi ada bercaknya, atau
rambutnya jadi berketombe. Otomatis. Tiba-tiba saja, telah ada alat
canggih yang ditanamkan dalam tubuh wanita untuk melakukan transaksi
tersebut.
Nah, jika kalian habis menang lotere berhadiah kecantikan tiada tara,
maka kalian bisa menjelma menjadi mahkluk paling cantik sedunia. Dan
sebaliknya, jika kalian harus membeli rumah, mobil, atau barang-barang
mahal, kalian bisa bangkrut, menjadi wanita paling jelek. Dan saat sudah
terlalu jelek, kalian hilang dalam catatan penduduk bumi.
Ini menakjubkan bagi Jo.
Mekanisme kecantikan baru dunia telah hadir, Jo benar-benar merasa
takjub, antusias, campur aduk menjadi satu. Apa yang tadi telah
dijelaskan, Jo adalah pekerja keras sejati dalam urusan kecantikan. Dia
boleh jadi selama ini tidak pernah termotivasi bekerja lebih baik demi
uang, kekayaan, tapi sekarang, dia bekerja gila-gilaan demi sebuah
kecantikan.
Pagi itu Jo berangkat bergegas ke kantor. Semangat sekali. Tersenyum
lebar di atas bus umum, menyapa kondektur dan sopir dengan bahagia,
sementara cling, mesin pembayaran bus telah bekerja, mengurangi sedikit
kecantikan Jo secara otomatis. Lihatlah, di dalam bus semua orang
terlihat sama, sama jeleknya. Melintasi lobi gedung, tertawa senang,
menyapa cleaning service yang selama ini sering menggodanya,
kapan Jo mendapat pasangan. Bahkan dia tetap tersenyum—meski masih
tersengal—saat satu lift dengan Erik Tarore. Pemuda itu balas tersenyum
padanya—untuk pertama kali dalam sejarah.
Jo semaput menerima senyuman itu.
Bagaimana Erik tidak berusaha ramah, sejak tadi pagi, dia dan
milyaran cowok di dunia sedang bingung, kenapa semua wanita tiba-tiba
terlihat berbeda? Kenapa eh, jadi jelek semua? Aduh urusan ini aneh
sekali. Jadi jika Erik yang playboy selama ini hanya ramah
dengan gadis yang cantik dan seksi-seksi saja, pagi ini dia yang
bingung, terpaksa patah-patah ramah ke semua gadis satu gedung.
Mekanisme itu ternyata tidak berlaku bagi dunia laki-laki, mekanisme
itu hanya berlaku bagi wanita. Bagi laki-laki mereka tetap menggunakan
uang normal sebagai alat bayar, tidak ada yang berubah. Mereka juga
tetap dengan tampilan wajah dan fisik selama ini.
“Vin, ini hebat sekali bukan?” Jo tertawa.
Mereka sedang makan siang di dekat kantor Jo. Meski Vin masih sibuk
menyelesaikan laporan bulanan yang tertunda tadi malam, dia tidak kuasa
menolak ajakan Jo yang sengaja menyeretnya makan siang bersama.
“Bayangkan, Vin, Erik.”
“Erik siapa?”
“Erik Tarore, pria paling tampan di gedung kantorku tersenyum padaku.” Jo memegang kepalanya tidak percaya.
“Oh ya?” Vin mencoba ikut senang. Sudah menghabiskan makan siangnya.
“Aku bersumpah, enam bulan dari sekarang aku akan menjadi wanita
tercantik di seluruh kota, dan Erik, Erik akan bilang kalimat cinta itu.
Nah, kali ini aku traktir kau, Vin.” Jo berkata semangat sambil
membayar makan siangnya di kasir.
Cling, mesin pembayaran kecantikan bekerja sebagaima mestinya, satu
jerawat muncul di wajah Jo. Tidak mengapa, dengus Jo dalam hati, riang,
dia akan segera membeli kecantikan dengan bekerja keras, jerawat ini
akan hilang.
Sementara Vin hanya mengangguk, menghela nafas pelan. Bagi Vin yang
memiliki pemahaman baik, mau berubah ribuan kali mekanisme kecantikan
dunia, tidak akan membuatnya menjadi bahagia atau sedih, karena
kebahagiaan itu selalu ada di dalam hati.
***
Jo membuktikan ucapannya. Dengan motivasi tiada tara, mendapatkan
fakta kalau gaji bulanannya terlalu kecil, wajahnya hanya sedikit
memutih, badannya hanya sedikit lebih seksi, cling saat gaji bulanannya
dibayar, lebih banyak belanja kecantikan untuk membayar keperluan
hidupnya selama sebulan, Jo akhirnya memutuskan keluar dari kantornya.
Jo mendirikan biro perjalanan online sendiri. Dengan passion sebesar itu, dalam dunia enterprenuer,
wiraswasta hanya soal waktu bisnis Jo menggurita. Paket perjalanan yang
dia jual laku keras, dia mulai merekrut banyak karyawan. Awalnya hanya
hitungan jari, persis di bulan keenam, dengan bantuan sindikasi
kecantikan dunia (di jaman lama disebut sindikasi keuangan dunia),
bisnis Jo membesar tiada tara.
Cling, cling, cling, kecantikan (dalam definisi lama disebut uang)
mengalir ke wajah Jo (dalam definisi lama disebut tabungan, deposito),
Jo berubah cantik raya sekali (dalam definisi lama disebut kaya raya
sekali).
Semua orang akan pangling, gajah jumbo atau paus bunting itu sudah
bagai bidadari dari langit. Semakin keras Jo bekerja, semakin cantik
dia. Sementara Vin? Inilah mulai rumitnya mekanisme baru ini. Yang
pertama kali tumbang tentu saja bisnis kosmetik. Ketika kecantikan harus
dibeli dengan kerja keras, perusahaan-perusahaan kosmetik bangkrut,
ribuan karyawannya dipecat, dan mereka jatuh jelek (jatuh miskin dalam
definisi lama). Jangan tanya boyband, atau apa saja yang selama ini hanya jualan ketampanan atau kekerenan, mereka gugur bagai daun kering yang rontok.
Siapa yang perlu produk kecantikan kalau cantik sudah menjadi mata
uang. Siapa pula yang sibuk mengidolakan paras-paras tampan sekarang,
mereka punya masalah sendiri. Malas bekerja, alamat wajah semakin jelek.
Siapa yang rajin dan bekerja keras, dialah yang memenangkan kompetisi
baru ini.
Nah, dalam kompetisi kecantikan sesadis itu, gadis-gadis di dunia
berebut pekerjaan, tentu saja menemukan pekerjaan tidak mudah lagi,
apalagi bagi bekas karyawan perusahaan kosmetik, tidak ada yang mau
merekrutnya. Vin menganggur enam bulan terakhir, karena itulah dia
semakin jelek karena terus membayar kebutuhan hidupnya dengan sisa
tampilan wajah dan fisik yang tersisa.
Kenapa Jo tidak membantu Vin? Masalahnya meskipun Vin punya teman
sekaya, eh, maksudnya secantik Jo, mekanisme itu tidak mengijinkan
transfer, hibah, hadiah, bahkan mewarisi. Kecantikan harus
diperoleh—berbeda dengan kekayaan uang dalam definisi dunia lama.
Meskipun cantik raya, Vin tidak bisa memberikan kecantikan kepada
adiknya, atau kepada ibunya, apalagi kepada Jo. Satu-satunya yang boleh
hanya menanggung biaya hidup, menahan seseorang lebih jelek lagi, itu
bisa dilakukan.
“Kau tidak perlu terus membayar sewa apertemenku, Jo.” Vin berkata
pelan, mereka sedang makan siang bersama, “Aku pasti akan segera dapat
pekerjaan baru, setidaknya untuk membayar keperluan sendiri.”
Jo hanya berdehem sekilas, dia sibuk dengan layar laptopnya, sibuk
bekerja, berkali-kali melirik jam di pergelangan tangan. Tadi dia
sebenarnya malas makan siang bersama Vin, waktunya berharga sekali, demi
kecantikan.
“Aku lebih suka Jo yang lama.” Vin berkata pelan, “Kau sekarang berubah sekali. Pendiam. Dingin.”
Jo lagi-lagi hanya berdehem, tidak memperhatikan.
“Sudah berapa lama kita tidak makan siang sambil tertawa,
mentertawakan olok-olok orang misalnya. Pergi berliburan berdua.” Wajah
Vin yang semakin jelek terlihat agak pucat siang itu, hanya suaranya
saja yang tetap terdengar riang.
“Aku sibuk, Vin.” Jo memotong.
“Iya, kau terlihat sibuk sekali.” Vin menelan ludah.
Hening sejenak.
“Apakah kau baik-baik saja?” Vin ragu-ragu bertanya, Jo semakin serius menatap layar laptopnya.
“Tentu saja aku baik-baik saja, bukan?” Jo menyergah, mengangkat
dagunya tinggi-tinggi, memasang gaya, lihatlah, dia cantik sekali, kaya
raya, eh, cantik raya, apanya yang tidak baik-baik saja?
“Eh, maksudku apakah kau bahagia, Jo?”
Jo tertawa, pertanyaan yang aneh. Jelas-jelas dia bahagia. Melirik
sekali lagi pergelangan tangannya, tidak sabaran, menatap ke depan. Jo
tertawa lebar lagi, lihat, di pintu kafe, melambai seorang pemuda
tampan, Erik Tarore, nah, sudah sebulan terakhir Erik seperti anak kecil
selalu melakukan pendekatan padanya. Apanya yang tidak bahagia?
“Aku harus pergi, Vin. Maaf, kau habiskan saja makan siangnya. Aku
harus menghadiri acara para sosialita cantik jelita di hotel mewah,
ditemani kau tahu, siapa lagi, si Erik. Kalau ada perlu, telepon aku,
nanti akan aku tanggung semua biaya hidupmu.” Jo sudah berdiri. Cling,
mesin kecantikan berbunyi, memotong kecantikan Jo sebagai pembayaran
makan siang mereka. Oh dear, dengan kecantikan Jo sekarang, itu bagai debu saja pengurangannya.
***
Enam bulan berlalu lagi.
Jo semakin hebat. Bisnis biro perjalanan Jo bahkan sebentar lagi akan
berjualan saham di bursa. Mendunia. Mengglobal. Sementara Vin, ternyata
dia dilarikan ke rumah sakit. Dia tetap menganggur, dan karena tidak
enak hati terus ditanggung Jo, dia diam-diam menolak pembayaran
tersebut, membuat kondisinya semakin buruk.
Dalam mekanisme baru itu, tentu saja banyak yang menjadi korban. Sama
persis seperti dunia dalam definisi lama. Di dunia lama, bukankah di
mana-mana tetap saja ada yang miskin, kumuh, tertinggal. Ada yang miskin
karena memang pemalas, tidak berpendidikan, tidak memiliki motivasi,
tidak punya akses, ada juga yang memang bernasib miskin, apes. Jutaan
jumlahnya, wanita-wanita jelek, duafa kecantikan. Siapa peduli?
Sama seperti definisi dunia lama, siapa peduli dengan orang-orang
miskin? Urus saja urusan masing-masing.
“Kau seharusnya bilang jauh-jauh hari kalau kau masuk rumah sakit,
hah.” Itu kalimat ketus Jo, dia sedang menjenguk Vin, terlihat repot.
“Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu.”
“Omong kosong. Justeru dengan mendadak seperti ini kau benar-benar menggangguku. Aku sedang berada di acara fashion bersama orang cantik sedunia di Paris. Kau membuat acara itu berantakan, tahu.” Jo menjawab jengkel.
“Maafkan aku.” Vin tertunduk, wajahnya keriput, rambut keritingnya
semakin tidak terurus, tubuhnya kurus kering. Biaya hidup telah
menggerogoti sisa wajah dan tampilan fisiknya.
Vin sungguh tidak mau merepotkan siapapun, termasuk Jo teman baiknya
sejak SMA. Dia sudah melarang siapapun memberitahu Jo kalau dia masuk
rumah sakit, tapi adik Jo sendiri yang tidak tahan melihat kondisi Vin,
menelepon kakaknya, bilang sahabat terbaiknya masuk rumah sakit karena
sudah terlalu jelek, tidak ada lagi yang bisa membayari biaya
berobatnya.
“Maafkan aku.” Vin menyeka ujung matanya. Berusaha tersenyum menatap
Jo. Lihatlah, teman baiknya adalah wanita tercantik di kota mereka saat
ini. Dia merasa bersyukur sekali pernah berteman dekat, merasa bangga.
“Ya hallo,” Jo tidak memperhatikan Vin, dia sedang sibuk menjawab
telepon, “Astaga, aku tidak bisa menghadirinya sekarang. Kalian bisa
urus sendiri, kan? Ayolah, becus sedikit bekerja, hah? Ya hallo? Aku
sedang di rumah sakit. Ada yang sakit, ya, hallo, merepotkan sekali
memang.”
Vin menelan ludah.
“Ya hallo, tidak akan lama. Kalian urus sendiri saja.” Jo masih
berkutat dengan telepon, “Tidak ada yang perlu dibantu, ini hanya
masalah kecil, aku lagi bersama orang-orang jelek sakit, di rumah sakit
jelek, kalian tahulah.”
Vin tertunduk.
“Maaf, aku harus bergegas, Vin.” Jo sudah memasukkan telepon ke
tasnya, melambai ke lorong rumah sakit, Erik Tarore sudah datang
menjemputnya, “Aku akan membayar semua biaya rumah sakit. Bye.”
Punggung Jo hilang dari balik pintu, sambil berseru senang menyambut
Eriknya. Vin hanya tergugu. Tidak, dia tidak sedih mendengar kalimat Jo,
dia tahu, dari lubuk hatinya paling dalam, Jo tidak berniat demikian.
Jo tetap sahabat terbaiknya. Dia sedih karena betapa dia telah membebani
kehidupan Jo, kenapa dia terus tidak bisa memperoleh pekerjaan di
mekanisme baru dunia.
***
Masalahnya, tanpa disadari Jo, mau bagaimanapun cara memperoleh
kecantikan tersebut, mau dengan kosmetik atau dengan bekerja keras,
tetap saja kecantikan itu bersifat relatif. Bagi cowok-cowok dunia yang
versi kecantikannya tidak berubah, maka tetap saja siapa paling cantik
itu relatif.
Itulah yang terjadi pada Jo tiga bulan kemudian.
“Kau, kau laki-laki jahat!” Itu teriakan histeris Jo.
Lihatlah, Erik Tarore, pemuda idamannya, ketahuan tega berselingkuh dengan gadis lain.
“Apa aku kurang cantik, hah?” Jo menangis.
Erik Tarore menelan ludah, mengangkat bahu. Pesta-pesta sosialita
cantik dunia memberikan dia kesempatan berkenalan dengan gadis cantik
raya lainnya, itu lumrah bukan? Dia bisa beralih ke lain hati? Bukankah
dalam mekanisme cantik lama juga begitu. Lagipula, Jo hanya paling
cantik di kota mereka saja, dibandingkan negara lain, tempat lain, lebih
banyak yang lebih cantik raya.
Jo menangis, membanting pintu mobil, menekan pedal gas
kencang-kencang, meninggalkan Erik yang berdiri mematung di trotoar.
Sudah beberapa bulan terakhir dia curiga kenapa Erik berubah, terlambat
menjemputnya, mulai bilang banyak alasan. Apa kurangnya dia bagi Erik?
Dia yang membawa Erik berkenalan dengan dunia itu? Dia yang menyanjung
Erik. Dasar laki-laki pengkhianat. Playboy murahan.
Tetapi itu bukan yang terburuk. Yang terburuk adalah, dalam sebuah
tatanan dunia baru, proses keseimbangan selalu terjadi. Itu hukum alam.
Ketika kecantikan itu tidak bisa dihadiahkan, dihibahkan atau diwarisi,
tapi kecantikan itu harus diperoleh, maka orang-orang jahat bisa memaksa
memperolehnya dengan sebuah kejahatan. Sama dengan kekayaan dalam
definisi lama.
Maka itulah yang terjadi pada Jo.
“Maafkan aku, Vin.” Jo lompat memeluk Vin saat pintu apartemen terbuka. Pipinya berlinang air mata.
Lihatlah, Jo yang berubah jelek kembali, Jo yang sama seperti saat dunia di restart dua tahun lalu.
“Tidak apa, Jo. Tidak apa.” Vin tersenyum tulus.
Apa yang terjadi? Persis saat bisnis biro perjalanan milik Jo akan go public,
menjual saham ke bursa, teman sosialita super cantik dari kota lain
mengkhianatinya. Itu rekayasa keuangan, eh kecantikan yang hebat, dan
dalam sekejap, bisnis milik Jo berpindah tangan. Dia dicurangi
habis-habisan melalui skandal kecantikan abad itu. Dalam bahasa
mudahnya, Jo bangkrut. Semua kecantikan itu langsung disedot oleh mesin,
cling, cling, cling, jutaan kali, Jo kembali seperti dulu.
“Maafkan aku, Vin.” Jo tersedu. Dia benar-benar dalam posisi buruk.
Kehilangan Erik Tarore, juga kehilangan bisnis, dan yang lebih menohok
kehilangan kecantikan.
Vin membelai lembut rambut Jo, “Kau lupa, Jo, mau sesakit apapun kau
saat ini, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku
akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan.
Deal?”
Ah, bagi Vin, yang seminggu terakhir telah bekerja sebagai cleaning service,
mau sejelek apapun dirinya dan orang lain, kebahagiaan tetap berasal
dari hati sendiri. Sepanjang dia bahagia, maka tidak penting penilaian
orang lain. Bagi Vin, teman terbaik adalah teman yang bisa berbagi satu
sama lain, dan Jo adalah teman terbaiknya, dia bisa berbagi kebahagiaan,
juga kesedihan.
***
Malam itu, dari jendela kamar lantai dua di salah satu rumah
pinggiran kota kami, kamar milik Jo yang lampunya masih menyala. Lewat
tengah malam, saat orang-orang kebanyakan sudah jatuh tertidur, Jo
sedang terisak berdoa.
“Ya Tuhan, Vin sungguh benar. Kau selalu memberikan kecantikan yang
sama pada setiap bayi. Kau selalu adil. Kamilah yang sibuk memberikan
definisi kecantikan itu. Kamilah yang terlalu bodoh untuk paham. Maafkan
aku, sungguh maafkan aku.
“Ya Tuhan, berikanlah aku selalu hati yang cantik, seperti hati yang
dimiliki oleh Vin, teman terbaikku. Sungguh dialah gadis paling cantik
di dunia, yang selama ini tidak kusadari, dan aku tidak pernah belajar
darinya.”
Doa Vin melesat ke atas, bagai melempar enam buah dadu, juga tetap dengan enam sisi-sisinya bertuliskan kata amin.
***
Kalau Semua Wanita Jelek
Alkisah, dulu ada anak perempuan bertubuh gendut, saking
gendutnya, sering dijadikan bahan olok-olok oleh temannya. Dagunya
besar, lehernya tidak kelihatan, betis, paha dan lengannya jumbo,
menurut olokan temannya yang paling jahat, si gendut ini kalau
digelindingkan di jalan raya, pasti jauh sekali menggelinding baru
berhenti. Atau kalau pertandingan basket, bolanya tiba-tiba kempes, si
gendut ini bisa jadi ganti bola. Jahat memang.
Kabar baiknya, dengan segala keterbatasan, si gendut diberkahi
dengan kecerdasan dan kebaikan hati. Jadi dia tidak terlalu ambil hati
dengan olok-olok temannya. Lebih banyak tersenyum dan menggeleng saja,
tidak membalas. Jika dia merasa olokan itu berlebihan, tidak bisa
menahan diri, dia selalu pandai menjawab dengan tepat. Tidak
terbayangkan betapa besar sisi kebaikan yang dimilikinya. Sayangnya, di
dunia nyata, orang-orang tetap saja bertingkah menyebalkan pada orang
baik.
Pada suatu hari, si gendut menumpang angkutan umum, nah, sialnya,
di dalam angkutan itu ternyata sudah ada tiga teman sekolahnya yang
suka mengolok. Tidak menunggu menit, tiga anak perempuan ini yang memang
bertubuh ramping dan kurus berbisik-bisik dengan suara sengaja
dikeraskan. Tertawa satu sama lain penuh arti. Menatap si gendut
merendahkan.
Si gendut hanya diam, memilih memperhatikan jalanan.
“Eh, tahu nggak sih lu,” Karena sebal dicuekin, yang paling jahat
di antara tiga anak ramping itu menyikut lengan si gendut, mencari
perhatian sekaligus mencari masalah.
Si gendut menoleh. Masih diam.
“Ini angkot sempit banget tahu, gara-gara sejak lu naik. Lihat
nih sesak.” Si anak ramping jahat memonyongkan bibir, “Harusnya ya,
ongkos naik angkot itu disesuaikan dengan berat badan. Jadi orang-orang
kayak lu, kenanya dobel. Rugi tahu sopirnya.”
Si gendut menelan ludah, hatinya sebal sekali, sementara semua
penumpang memperhatikan mereka. Dia berusaha tidak menanggapi, tapi tiga
teman sekolahnya ini sengaja benar memancing.
“Nggak dobel kali, say.” Teman si ramping jahat menahan tawa.
“Nggak dobel?” Si jahat pura-pura bloon.
“Nggak, tapi lima kali lipat.”
Mereka bertiga tertawa.
Si gendut menghela nafas, tersenyum, “Sebenarnya ya, tapi saya
minta maaf harus bilang ini. Kalau ongkos naik angkot disesuaikan dengan
berat badan penumpangnya, maka orang-orang yang kurus kering kayak
kalianlah yang rugi. Tidak ada sopir angkot yang mau menaikkan kalian,
karena bayarnya terlalu murah, berisik pula.”
Langit-langit angkot lengang. Tawa tiga cewek ramping jahat itu
tersumpal. Sedetik kemudian, penumpang lain dan sopir angkot bertepuk
tangan. Keren. Membuat tiga cewek jahat itu terpaksa menahan malu
buru-buru turun.
***
Vin tertawa lebar saat selesai menceritakan kembali anekdot lama itu, “Ayolah, Jo, lucu sekali bukan?”
Jo hanya mengaduk milkshake di hadapannya. Bibirnya tidak
menyungging bahkan sesenti senyum. Bagi Jo anekdot itu sama sekali tidak
lucu. Lagipula dia sudah sering mendengarnya.
Demi melihat Jo yang tetap memasang wajah masam, tawa Vin terhenti,
digantikan helaan nafas, “Nggak asyik loh, Jo, kalau sepanjang malam
kamu cuma diam, memasang wajah kesal seperti ini.”
Dua jam lalu, Vin sebenarnya sedang asyik bekerja, lembur malam-malam
menyelesaikan laporan bulanan kantor, ketika Jo meneleponnya mengajak
makan malam. Mereka berdua teman dekat, karib sejak sekolah menengah
atas dulu. Bagaimana tidak karib? Menurut definisi kecantikan versi
industri kosmetik saat ini, Vin yang jerawatan, rambut keriting
jingkrak, wajah tirus, ditambah berkulit gelap pula, memang cocok punya
teman Jo, yang mirip sudah dengan deskripsi cerita anak gendut tadi.
Mereka berdua dipertemukan sejak masa orientasi sekolah, diolok-olok
kakak kelas, dijemur berdua, lantas berteman baik hingga detik ini,
melewati tiga tahun SMA, empat tahun kuliah, dan enam tahun bekerja. Vin
adalah staf administrasi perusahaan kosmetik, Jo adalah petugas
tiketing sebuah biro perjalanan. Setidaknya, meski masa-masa sekolah
mereka terasa ‘kejam’, mereka bisa melewatinya dengan baik.
“Ayolah, Jo, dunia tidak berakhir hanya gara-gara seorang customer
biro perjalanan menghinamu, bukan?” Vin kembali membesarkan hati,
melirik jam di pergelangan tangan, ini sudah dua jam mereka duduk di
sebuah kafe dekat kantor Jo.
“Iya, dunia memang tidak berakhir.” Jo menjawab sarkas,
“Gunung-gunung seharusnya sudah meletus dari tadi, atau lautan sudah
terbelah kalau memang kiamat. Dan kita tidak bisa lagi duduk santai
menikmati minuman. Kita sudah berteriak-teriak histeris seperti di film.
Arrgghh… Arghhh….”
Vin menatap ekspresi dingin Jo, menelan ludah, setengah antara
tertawa, setengah hendak mengeluarkan suara puh, menggaruk rambut
keriting jingkrak di kepalanya, aduh, kenapa urusan ini jadi panjang
sekali. Walaupun teman karib, Vin keberatan duduk tiada berguna seperti
ini, tadi dia sudah menolak ajakan Jo, dia sibuk. Tapi demi mendengar
suara Jo yang nelangsa, memohon, baiklah, laporan bulanan yang super
penting ini ditunda, urusan bos yang marah-marah nanti saja. Kode
darurat. Dia memilih menemani teman terbaiknya.
Vin pikir ini hanya kali kesekian Jo curhat, mengadu. Biasanya, setelah menghabiskan segelas milkshake,
mood Jo akan lebih baik, mereka bisa kembali bekerja. Sekarang? Itu
sudah gelas keempat bagi Jo—bagaimana tidak jadi gendut itu badan,
diberikan asupan kalori tingkat tinggi hanya dalam hitungan dua jam. Dan
melihat gelagat wajah Jo, entah masih berapa gelas lagi sebelum
perasaan Jo lebih baik.
“Ayolah, Jo, bukankah ini sudah sering terjadi? Yang menghina belum
tentu lebih baik, terlepas dari yang dihina juga belum tentu baik. Eh,
maksudku, kau juga sudah lebih dari dewasa untuk mengerti kalau ucapan
mereka tidak ada artinya. Tidak akan membuat kau lebih jelek, lebih
gendut, misalnya.” Vin berusaha bergurau.
Jo melotot, pipi tembamnya memerah marah.
“Sorry.” Vin nyengir.
Sebenarnya muasal masalah Jo simpel.
Tadi siang Jo melayani salah-seorang customer biro perjalanan yang berencana melakukan perjalanan honey moon.
Entah kenapa, konsentrasi Jo rendah sekali, dia melakukan kesalahan
berkali-kali, mulai dari salah memesan tiket penerbangan, salah memesan
kelas hotel, bahkan dia ‘tega’ salah membuat rute pasangan itu tertukar.
Customer itu jengkel, menunggu lama, tetap saja tidak
selesai-selesai. Akhitnya melempar itinerary perjalanan, sambil berseru
minta dipanggilkan manajer, “Aku tidak mau dilayani staf yang satu itu.
Sudah lambat, berkali-kali salah, bahkan dia sekalipun tidak meminta
maaf sudah membuat calon istriku terbang ke Turki, sementara aku terbang
ke Afganistan. Dia pikir itu lelucon yang baik. Lihat, bahkan gajah
jumbo itu, paus bunting itu, whatever siapa namanya, tidak tersenyum sedikit pun sejak melayaniku tadi.”
Di tengah situasi tegang, ada customer yang marah-marah,
mendengar frase gajah jumbo dan paus bunting keluar, staf tiketing lain
yang sejak tadi menonton sontak menahan tawa, menyisakan Jo yang
tertunduk sakit hati, dan manajer biro perjalanan yang berkali-kali
minta maaf. Menjanjikan agar segera mengurusnya.
“Cantik itu relatif, Jo.” Vin menatap gelas milkshake di
hadapannya, tersenyum, memecah lengang barusan, “Kau tahu sendiri bukan,
aku bekerja di perusahaan kosmetik. Aku tahu bagaimana strategi dan
bisnis kecantikan bekerja.”
“Apa yang mereka bilang? Cantik harus putih? Well, jika akhirnya
banyak orang meyakini kalimat tersebut, itu tidak lebih karena marketing
perusahaan kosmetik sukses besar. Di negara-negara Asia, misalnya, yang
kebanyakan berkulit cokelat, tentu saja perusahaan kosmetik tidak akan
koar-koar beriklan, cantik itu cokelat. Mau menjual produk kemana dia
kalau semua sudah berkulit cokelat?
“Dan sebaliknya, di negara-negara Eropa, Amerika, yang kebanyakan
berkulit putih, perusahaan kosmetik pastilah berlomba-lomba bilang
cantik itu cokelat, membuat banyak orang ramai-ramai melakukan tanning,
membeli produk menggelapkan kulit, dan sebagainya. Itu hanya permainan
kampanye, kepentingan bisnis. Tidak lebih tidak kurang. Masuk akal,
kan?”
“Terserah, cantik itu mau putih, mau cokelat.” Jo masih menjawab
sarkas, “Yang pasti tidak ada di belahan dunia ini kalau cantik itu
gendut seperti gajah jumbo atau paus bunting.”
Vin tertawa kecil, menghela nafas, mulai putus asa, “Ayolah, Jo. Itu hanya lelucon. Lagipula, customer itu sedang jengkel karena kau selalu begitu. Setiap kali melihat teman menikah, tiba-tiba bersedih hati tanpa alasan, melayani customer hendak honey moon,
bersedih hati, tidak semangat seperti ikan kehilangan tulang, malah
benci. Bahkan bukankah beberapa waktu lalu saat membaca berita
pernikahan Pangeran Inggris saja kau memutuskan berhenti menonton
televisi, berhenti membaca koran berhari-hari karena bersedih hati.
Padahal apa salah mereka kalau mereka menikah, punya pasangan, sementara
kita tidak laku-laku?”
Malam semakin larut, Vin melirik lagi jam di pergelangan tangannya,
kafe itu semakin ramai sebenarnya, banyak pekerja yang menunda pulang,
malas melewati macet, memutuskan duduk ngobrol bersama yang lain.
Sebenarnya perasaan Jo sudah jauh membaik sejak melihat Vin melambai
tangan, masuk ke dalam kafe. Tapi mau dibilang apa, lihatlah, terpisah
satu meja, di seberang sana, pria idaman satu gedung, Erik Tarore, si
tampan, gebetan Jo, sedang duduk menikmati minumannya, dan yang membuat
hati Jo tiba-tiba kesal, si tampan itu satu jam lalu ditemani oleh tiga,
empat gadis cantik nan ramping, yang cuih, berebut perhatian. Dasar
norak. Tidak bisakah mereka sedikit terhormat sepertinya? Yang bahkan
ketika satu lift saja dengan si tampan itu, jantung berdetak lebih
kencang, susah bernafas, menahan malu.
“Jo, hallo, kau mendengarkanku atau tidak sih? Aku harus kembali ke
kantor.” Vin memegang lengan Jo yang melamun, menatap seberang meja.
“Iya.” Jo menjawab pendek.
“Ini sudah hampir jam sembilan, kau harus segera pulang. Aku panggilkan taksi ya.”
“Iya. Terserah.”
Vin mencubit lengan Jo.
“Sakit tahu.” Jo melotot.
Vin tertawa kecil, “Ingat loh, Jo, mau sesakit apapun rasanya dihina
orang lain, mau sesebal, sebenci apapun, Jo tidak pernah sendirian. Aku
akan selalu menjadi teman baik. Aku akan selalu bersedia mendengarkan.
Deal?”
Kali ini, demi kalimat Vin barusan, Jo sedikit mengangkat wajahnya,
balas menatap wajah Vin yang tirus, jerawatan, rambut keriting jingkrak
di hadapannya. Jo menelan ludah, sungguh di mata Jo sekarang, wajah Vin
lebih cantik dari siapapun, wajah yang baik, dan akan selalu baik,
“Terima kasih, Vin”
“Nah, gitu dong. Tersenyum.” Vin sudah berdiri, “Aku panggilkan taksi
ya, nanti setelah Jo naik, aku harus bergegas ke kantor. Bisa marah
sepanjang minggu bosku kalau laporan bulanan itu tidak beres malam ini.”
Jo mengangguk.
***bersambung
di atas bau rumput bekas hujan tadi malam
kunikmati kau dalam adamu, dalam caramu
di dalam riuh rendah suara di dekat suara
kudengar hatiku melewati hadirmu
di batas senyumanmu aku memutuskan berhenti
lalu kamu diamdiam berlari ke dalam hati
mencuri yang seharusnya tidakboleh dicuri
lalu kamu mencuri, kamu pencuri
adalah kamu, rasa yang datang merapat
terus menjauh seperti sekiranya sementara
malam ketika kita berpagut dalam pelukan
menit-menit berhenti dalam dekapan
aku hanya mampu mengerang berang
dalam bayang dalam layang dalam sayang
air dari mata dan hati jatuh ke pipiku
tidak bisakah aku berhenti kehilangan?
lalu jatuh dalam lubang yang sama berkalikali
aku seperti keledai terbodoh yang pernah ada
selalu kucoba namun aku tak mampu
tak merindukanmu
tidak bisakah kita memberi jeda pada waktu dunia
saling berhenti di tengah jalan lalu saling memeluk?
atau ditambah mencium atau berpagut?
karena rindu ini tidak lagi mampu diredam, aku remuk.
bukankah kita tahu sama tahu
kita tidak dapat kekal dalam ikatan
pun cinta yang kusemai tanpa perlu kautahu
aku berharap pada peluk yang menusuk
engkau samudra luas yang membiru
aku yang memeluk dalam relung dan ombakmu
seperti saat kita pernah berjalan di atas pasir
menyusuri hati masing-masing sambil menerus berpeluk
harusnya aku telah melupakanmu
dalam bayang dalam deru dalam napsu
namun aku tak bisa melupakan
semua bayang semua deru semua napsu
malam menjauh pun denganmu
lagi-lagi kita terpisah
maukah kau sekadar berhenti lalu memelukku kembali
dan mengatakan semua baik-baik saja?
Lalu ketika rasa ini
hanya tinggal gelombang
dan pergi menjauh
kau benar-benar tiada
kenapa jatuh cinta semudah ini?
semudah kau memberi pelukan padaku.
tapi, kenapa dicintai sesulit ini?
sesulit kau mengatakan cinta kepadaku.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu,datang malu-malu,tanpa isyarat dan kata,tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya,seenak hatinya. Seringkali juga hujan disalah artikan sebagai pembawa duka. Sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya. Sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya.
"Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan,pembawa air mata dan pengingat rasa kehilangan." Selalu saja, "Sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam,KENANGAN "
******
Seseorang,sederhana saja. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya,tatapannya menggangu laju kerja otak,dan gerak-geriknya selalu memaksaku agar tidak melewati tiap inci perpindahannya.
Lalu,semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata menyentuh gendang telinga,saat percakapan kecil yang tercipta merubah deretan narasi nyata,aku dan dia mengalir begitu saja,seperti curah lembut hujan yang jatuh kepermukaan. Sederhana sekali, "Cinta memang selalu menuntut kesederhanaan."
Dia mengajariku banyak hal. Cara menari didalam hujan,cara tertawa dalam kesedihan,cara menghargai perbedaan,dan cara bermimpi walau dalam kemustahilan. Seringkali aku menatapnya dalam-dalam,menyelami sejuk matanya,tercebur dalam hatinya,lalu terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi bagian dalam setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat helaan nafasnya. Tapi,apa ingin dan harapanku akan menyentuh kenyataan ??? Inilah yang disebut mimpi selalu terlalu tinggi.
'Tahu-tahu,sosok dia menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku'
Sedetik,semenit,sejam,hanya dia saja yang rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.
Ah,, kala itu cinta tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana. Berangsung-angsur tingkatannya berbeda,hingga ia menjelma menjadi dua kata,"Luar Biasa" perasaan itu tak lagi sekedar teman biasa,tapi dia berevolusi menjadi lebih dari teman biasa.
********
Ahha !!! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis,dia kembali mengingatkanku padamu ! Kamu yang empat tahun lalu meninggalkanku tanpa pamit,tanpa ucapan selamat tinggal,tanpa isyarat pengungkapan.
Ahh,berdosakah kalau aku masih saja memikirkanmu ??? Empat tahun lalu,hanya kamu saja yang mengajariku menghargai rintik hujan,menghargai deras rindunya,menghargai butir-butir kenangan halusnya.
Hujan kali ini,disepotong sore yang dingin,benar-benar mengingatkan pada rasa kehilangan,tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang ?? Saat aku berniat untuk mencari,pasti akan aku temukan. Tapi,bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu ?? Dimana aku bisa menemukan seseorang yang mau berjanji untuk tidak meninggalkanku ??
Sayang,,, ahh, sayang. Panggilan yang tak pernah sekalipun terucap dari bibirmu. Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak berani membayangkan kamu yang terbaring lemah disana. Apa kamu kedinginan ??? Oh yya,Sudah beberapa bulan ini aku tak mengunjungimu ya ?? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu ?? Tak usah dijawab !!! Aku tak ingin mendengar jawaban dingin itu.
Hari ini tepat tanggal kelahiranmu bukan ?? Begini saja,sebelum lebaran bulan depan,aku akan mengunjungimu,membersihkan rumput-rumput liar yang mencoba menjamah nisanmu. Jangan menolak !!! Aku punya alasan sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku.
"Aku hanya Rindu,"
Itu saja,sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?? Seperti celotehmu waktu itu. Dicafe dekat taman, sebulan tepat sebelum kamu benar-benar pergi.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Wahai Langit
Tanyakan pada-Nya
Mengapa dia menciptakan sekeping hati ini..
Begitu rapuh dan mudah terluka..
Saat dihadapkan dengan duri-duri cinta
Begitu kuat dan kokoh
Saat berselimut cinta dan asa..
Mengapa dia menciptakan rasa sayang dan rindu
Didalam hati ini..
Mengisi kekosongan di dalamnya
Menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih
Menimbulkan segudang tanya
Menghimpun berjuta asa
Memberikan semangat..
juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira
Mengapa dia menciptakan kegelisahan dalam relung jiwa
Menghimpit bayangan
Menyesakkan dada..
Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa…
Wahai ilalang…
Pernah kan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini
Mengapa kau hanya diam
Katakan padaku
Sebuah kata yang bisa meredam gejolak hati ini..
Sesuatu yang dibutuhkan raga ini..
Sebagai pengobat tuk rasa sakit yang tak terkendali
Desiran angin membuat berisik dirimu
Seolah ada sesuatu yang kau ucapkan padaku
Aku tak tahu apa maksudmu
Hanya menduga..
Bisikanmu mengatakan ada seseorang di balik bukit sana
Menunggumu dengan setia..
Menghargai apa arti cinta…
Hati yang terjatuh dan terluka
Merobek malam menoreh seribu duka
Kukepakkan sayap-sayap patahku
Mengikuti hembusan angin yang berlalu
Menancapkan rindu….
Disudut hati yang beku…
Dia retak, hancur bagai serpihan cermin
Berserakan ….
Sebelum hilang di terpa angin…
Sambil terduduk lemah….
Ku coba kembali mengais sisa hati
Bercampur baur dengan debu
Ingin ku rengkuh…
Ku gapai kepingan di sudut hati…
Hanya bayangan yang ku dapat….
Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya
Tak sanggup ku kepakkan kembali sayap ini
Ia telah patah..
Tertusuk duri-duri yang tajam….
Hanya bisa meratap….
Meringis..
Mencoba menggapai sebuah pegangan..
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu.
Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.
Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan.
Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya temanmu. Hanya temanmu. Temanmu!
Jika kauingin tahu, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu?
Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama bertemu, harusnya tak perlu kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tahu kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tahu rasanya meluruhkan air mata di pipi.
Iya. Aku bodoh. Puas?
Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautahu; di sini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡
Kudengar kau telah bahagia bersama pilihanmu. Bahagia bersama pilihanmu? Apakah kamu tidak mendapat kebahagiaan bersamaku? Dan... katanya lagi, kamu telah menemukan dirimu dan duniamu bersama dalam diri kekasih barumu. Betulhkah? Memangnya kalau bersamaku kau tidak mendapatkan kedua hal itu?
Aku masih ingat bagaimana kita berusaha untuk saling mengucap kata pisah dan berusaha saling melupakan. Aku tak butuh waktu lama untuk menghempaskan dan membunuh penjahat bodoh seperti kamu. Tapi... kamu? Aku sangat yakin bahwa kamu harus jungkir-balik dan berusaha dengan keras untuk mengendalikan amukan perasaanmu. Aku sangat tahu bahwa kamu belum benar-benar melupakanku, kamu belum benar-benar menghapus aku dalam sistem kerja otakmu. Sebenarnya... aku masih menjadi duniamu, dan kamu adalah gravitasi yang terus-menerus menahanku, hingga aku bosan dan jera pada perlakuan bodohmu.
Jangan berpikir bahwa aku terluka. Jangan sengaja mempersepsikan bahwa aku tak bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik darimu. Aku tidak sebodoh kamu. Karena seorang "dalang" harus lebih pintar dari "wayangnya". Karena seorang "pemilik" harus lebih pandai daripada "bonekanya". Menyenangkan bukan? Kita bermain di panggung yang sama, berganti-ganti peran sesukanya, berganti-ganti topeng semaunya.
Kamu adalah "boneka" yang mudah kuatur dan kuhempaskan. Kamu adalah "mainan" yang bisa kumanfaatkan sesuka dan semauku. Kalau kau pikir kaulah yang telah mempermainkanku, maka kau kembali menafsirkan hal yang salah. Kamu adalah salah satu "boneka" terbodoh yang pernah aku miliki. Salah satu? Ya... salah satu! Aku punya banyak "mainan" seperti kamu, namun diantara mereka tak ada yang sebodoh dan sebanyak gaya kamu.
Kamu sudah punya "pemilik baru" ya? Tentu saja "pemilik barumu" sama bodohnya seperti kamu. Kamu tahu pernyataan tentang orang yang memiliki harus memberi pada yang tak memiliki? Begitu juga aku, aku harus memberi "mainan lama" untuk "pemilik baru", kalian sama, sama bodohnya!
Rasanya sangat aneh kalau kau merasa jauh lebih pintar daripada aku. Rasanya sangat menjijikan kalau kau merasa lebih dewasa daripada aku. Kamu tak punya hak untuk mengatur dan menata hidupku! Kamu hanyalah "boneka" yang kucari ketika aku bosan dengan kebisingan dunia. Karena... sebenarnya... aku tidak berbohong jika aku berkata bahwa dalam dirimu aku menemukan ketenangan tersendiri. Dalam sepaket tawa renyahmu, aku temukan air mata yang selalu berubah menjadi tawa. Dalam aliran hening suaramu, ada bahagia yang tiba-tiba berdecak dalam getaran waktu. Dan... di dalammu, aku merasakan semua itu.
Memang aku sedikit menyesal ketika kita memutuskan untuk saling pisah dan saling mencari kebahagiaan masing-masing. Aku sedikit khawatir, apakah kamu-yang-selalu-berkata-mencintaiku akan menemukan kebahagiaan baru melebihi kebahagiaan yang kuberikan padamu? Aku takut jika dinginnya dunia membuatmu menggigil. Aku takut jika kerasnya dunia menyiksa batinmu yang terlalu sering disakiti itu.
Tapi... Ya sudahlah! Semua telah berlalu. Aku telah melepas rantai yang sempat membuat kakimu terjerat. Aku telah menghancurkan tembok yang menjadikan duniamu memiliki banyak sekat. Aku telah melepasmu agar kamu mampu mencari kebahagiaanmu sendiri, dan berhenti menjadi "mainan" yang selalu membahagiakanku meskipun luka tersayat pelan-pelan di hatimu.
Sekarang, kamu sudah bersama "pemilik baru", walaupun aku tahu dia mungkin tak sebaik aku, tapi berusahalah kuat dengan apapun yang terlihat baru di matamu, yang baru dan berbeda tak selamanya berarti keburukan. Kini... kau bisa bebas melakukan apapun tanpa batasan yang kuberikan untukmu. Kini... kau bisa miliki duniamu seutuhnya. Kulepaskan tali penggerak tubuhmu dan nikmatilah kebebasanmu sendiri, dan berhenti menjadi "mainan" yang selalu membahagiakanku meskipun luka tersayat pelan-pelan di hatimu.
Sekarang, kamu sudah bersama "pemilik baru", walaupun aku tahu dia mungkin tak sebaik aku, tapi berusahalah kuat dengan apapun yang terlihat baru di matamu, yang baru dan berbeda tak selamanya berarti keburukan. Kini... kau bisa bebas melakukan apapun tanpa batasan yang kuberikan untukmu. Kini... kau bisa miliki duniamu seutuhnya. Kulepaskan tali penggerak tubuhmu dan nikmatilah kebebasanmu!
Untuk "mainan lama" yang telah memiliki "pemilik baru", semoga hanya aku yang mengerti cara menggerakkan tubuhmu. Semoga hanya aku yang mampu membaca kebohongan di matamu.
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡