Sepotong sore.











 Tak ada hal lain yang pantas kutanyakan selain kabarmu. Aku ingin mendengar kabar baik tentangmu. Aku ingin cerita penuh tawa dibalik bibirmu. Kau tahu?. Aku sangat merindukanmu! Aku rindu saat-saat kamu menjambak kasar rambutku. Aku rindu saat kamu setengah berteriak memanggil namaku. Aku rindu melihatmu kesakitan karena penyakitmu. Bukan berarti aku jahat,sayang. Saat kau sakit,saat kau kehilangan kesadaran,itulah saat-saat aku bisa menjadi pahlawan. Itulah saat-saat aku merasa kehadiranku sangat kau butuhkan. Sekarang,penyakitku tak lagi separah dulu. Aku bukan lagi pria manja yang butuh supir dan pengawal pribadi. Aku bukan lagi pria kecil yang harus bersembunyi-sembunyi untuk merasakan kehidupan menjadi rakyat biasa. Aku bukan lagi Laki-laki bodoh yang harus menyerah pada penyakitku. Sayang,,, kau harus tahu bahwa aku bisa lebih kuat dari kamu. Kau harus mengerti bahwa fisikku tak selemah kamu. Kau tentu sangat ingin belajar banyak denganku kan? Ahh,aku tahu sayangg. Kau pasti juga sangat merindukanku!
Wajahmu yang tolol itu benar-benar tak bisa kulupakan. Saat bus angkutan umum kota Denpasar berjalan perlahan,saat hanya aku dan kamu yang menjadi penumpangnya. Aku yang duduk diseberang mencuri-curi pandang ke arah halte yang sudah tertinggal dibelakang,mencari-cari sosok yang mengejarku dan kelelahan mencariku. Aku kelelahan dan menarik nafas berkali-kali dan entah mengapa kamu juga melakukan hal yang sama. Tapi,ada yang aneh denganmu,kamu memegang dadamu dan membuka tutup mulutmu berkali-kali,sepertinya kamu tidak kelelahan! Dalam presepsiku,kamu sulit untuk bernafas. Dengan gerak refleks,aku mengeluarkan inhaler milikku dan menyemprotkannya kedalam mulutmu. Aku tak sadar dengan apa yang kulakukan, dengan tindakan sok tahu aku lancang saja memasukkan inhaler kedalam mulutmu. Atas asas setengah sadar,kamu menyandarkan kepala kebahuku. Jantungku seperti ingin melompat keluar karena tindakanmu yang mengagetkan. Tiba-tiba saja kamu berbisik "terimakasih,untungnya kamu bawa inhaler. Kalau tidak,pasti esok hari akan ada berita tentang seorang wanita yang meninggal tanpa sebab dibus kota, harian Denpasar pasti akan memasang fotoku dihalaman depan. HEHEHHE. Siapa namamu?" Ahh,, sungguh,,perkenalan kita benar-benar jauh dari kata normal. Berawal dari inhaler,berlanjut menuju pertemuan-pertemuan absurd yang kita rencanakan sembunyi-sembunyi. Apakah kau ingat usahaku dan usahamu hanya untuk saling bertemu dan memandang? Apakah kau masih akan tertawa ketika kuceritakan tentang beberapa orang yang sempoyongan mencariku ?? Tawa kita pecah,memang saat denganmu aku menemukan diriku yang sempat hilang. Saat aku bisa menatapmu, itulah bahagia menurut persepsiku. Kita memang tak pernah tahu jika tuhan punya rencana selucu ini. Kita juga tak mampu menerka-nerka maksud tuhan mempertemukan kita. Aku dan kamu hanya menjalani yang ada. Kita hanya bisa bersembunyi dari balik dunia yang mengekangmu dan mengekangku dengan begitu jahatnya. Aku terkekang karena penyakitku,dan kamu terkekang karena penyakitmu.
Sayang,,, kau tahu rasanya saat aku menulis ini? Aku hanya merasakan perasaan aneh yang menjalar nakal ditubuhku, perasaan yang menemani sepi dan malam-malamku, perasaan yang setia saat tak ada kamu disampingku. Perasaan itu sering kita sebut Rindu. Kalau boleh jujur dan kalau kamu tidak marah,aku ingin mengatakan satu hal padamu: aku sangat merindukanmu dan aku sangat ingin masa-masa itu kembali lagi. Aku rindu saat kita mengelilingi kota Denpasar dengan kaki kita sendiri. Aku rindu mengitari kota Denpasar diiringi dengan teriknya matahari. Sayang,,, bukankah kamu juga merindukan masa-masa itu? Saat kita tak dikekang,saat-saat kita tak memerlukan mobil mewah dan saat kita bisa bahagia dengan meninggalkan kemewahan yang kita punya. Bukankah bersamamu lebih menarik dari pada berdiam diri dimobil ber-AC?
Setelah membaca ini,rindukah kamu pada masa-masa itu? Rindukah kamu dengan aku yang selalu menyediakan waktu untuk bertemu denganmu? Sayang,,,,, kenapa kamu tak pernah menceritakan betapa kronisnya penyakitmu? Rasanya sangat menyedihkan kalau kita terus membicarakan tentang mimpi-mimpi kita sementara kita tak membicarakan realita yang ada. Rasanya terlalu jahat kalau aku membuka diri terhadapmu sedangkan kamu menyembunyikan diri dariku. Rasanya terlalu tidak adil jika tuhan memanggilmu lebih dulu dari pada aku. Mataku memang bengkak,,dan tahu siapa orang yang sangat pantas disalahkan atas bengkaknya mataku? Tentu saja kamu! Kenapa kamu tidak pamit??!! Kenapa pergi tidak bilang-bilang??!!! Kau bahkan tak memberitahu waktu kepulanganmu. Entahlah,,,, aku tak mengerti kenapa kamu harus pergi. Aku juga semakin tak mengerti apa maunya tuhan. Aku semakin tak mengerti jalan fikirannya. Satu hal yang kutahu,aku dan kamu adalah miliknya. Dia yang mempunyai kehendak untuk memanggil kita pulang dan kembali.
Aku masih mempercayai janjimu,bahwa kamu tak akan meninggalkanku,bahwa setiap kita berpisah kita akan bertemu lagi. Sayang,,,, aku menunggumu atau kamu saja yang menungguku?
Tolong titip salam pada tuhan,katakan padanya untuk selalu setia mendengar doaku. Doaku setiap hari masih sama. Entah kapan,entah digariskan kapan. Aku pasti akan menemani kamu. Dan kamu tidak akan lagi kesepian.

Pesan singkat untuknya.

                                         #tidak ada yang salah dengan perasaanku bukan?



Aku sudah sepakat dengan keyakinanku sendiri, bahwa semua wanita mayoritas hampir sama. Mungkin tidak dewasa jika menganggap semua wanita hanya mampu memberikan luka dan kedukaan yang sama. Tapi itulah yang terjadi, karena satu wanita yang hanya punya janji absurd, kesesakkanku meraja berlama-lama. Dan itulah kesalahan setiap manusia. Mereka kebanyakan tidak melihat dari dasar kenyataan, hanya mampu berpraduga, menyimpulkan, walaupun belum sepenuhnya akurat. Malam ini, baru tersadar bahwa asumsi ku tentang wanita, ternyata salah besar.
Sederhana saja, dia memiliki sepasang mata indah, rambut hitam kecoklatan yang menawan dan satu lagi, senyumnya Tuhan,,, membuat jantung dan lambungku berpindah posisi.
Pada awalnya, aku hanya merasa bahwa kami hanya memiliki beberapa kecocokan. Memiliki hobi yang sama, olahraga yang sama dan yang terjelas adalah inisial namapun keseluruhan sama. Aku merasa ini hanya sebuah kebetulan, tapi semakin kesini, yang awalnya hanya kebetulan biasa, berganti wajah menjadi kebetulan yang menyenangkan. Jika dia lebih peka, pasti ia tahu, candaan yang ku lontarkan bukan sekedar gurauan semata. Mungkin aneh jika secepat ini menyimpulkan bahwa ini cinta, mengingat aku dan dia baru saja berkenalan dan baru beberapa kali bertemu. Tapi itulah, perasaan yang tidak normal itu hadir seenak hatinya, Sesuka kelakuannya, membuat hati tidak tenang, membuat letupan-leputan aneh didasar jiwa. Apa mungkin dia tahu? Setelah hari itu, saat tatapannya mengunci laju kerja jantungku, ada perasaan aneh yang menggelitik. Menimbulkan kebingungan kala sendiri, membuat bibir tersenyum tanpa diperintah, membuat hati berbunga kala menerima pesan singkat darinya.
Aku tahu Tuhan, ini pasti bukan cinta. Karena kehadirannya sangat cepat. Lalu, harus dinamakan apa perasaan aneh ini? Apa mungkin aku terobsesi pada sosok yang jelas-jelas baru kukenali?
Setiap bangun pagi, hingga tidur malamku, hanya pesan singkatnyalah yang membuat segala macam aktivitasku terasa menyenangkan. Maka harus dengan kata kata yang seperti apa lagi,untuk membuatnya mengerti ,bahwa aku juga hanyalah anak ingusan yang baru pertama kali merasakan ini Tuhan!. Aku benci ketika harus berjalan dalam kegelapan lalu mencari cari arah untuk terus berlari kearah nya! Aku benci mengetahui kenyataan,,,bahwa dia tak pernah punya cahaya untukku!. Apakan dia memiliki perasaan yang sama? Apa aku boleh terus berharap dan terus berjuang untuknya? Aku kebingungan, dan dia tetap diam.
Singkat saja Tuhan, aku hanya menginginkan dia mengerti dan memahami bahwa perasaanku nyata, tidak se-Absurd kata cinta yang di ucapkan oleh mantan-mantan kekasihnya. Jika ia sudah paham, Tolong bimbing ia untuk memberika sedikit ruang kecil pada cintaku yang besar.


                                                           Untuk anda,, yang entah harus kusebut apa.

Kekasihku pergi








Kekasihku pergi
Hanya tinggalkan jejak bibir di sela bibir ini
Dan getaran jiwa yg membuatku
Sulit berdetak dalam kalbu

Kekasihku tetap pergi
Meski hati ingin menemani

Mengapa cinta menghilang..???
Berganti rasa amarah yang jalang

Kekasihku pergi dan tak kembali
Membuat berjuta isak dalam nurani

Mengapa cinta berganti benci..???
Hanya karena sayang yang terbuang dalam diri

Kekasihku pergi
Membuang durja berteman sepi
Melalui sayatan tipis lika cinta dihati

Ku tak memiliki
Maka tiada pun yang memiliki
Hanya harapan semu
Di elegi esok hari.

Jika saja memahami,,
Harusnya tiada ucap pisah derai bening dipelupuk mata
Apa semua masih terasa ragu?
Apa semua hanya sebatas dugaan?
Apa ada sebuah kesalahan diatas kesalahan ?

Kekasihku pergi
Tinggalkan kesakitan merongrong hati
Bayangnya menguap 
bagai embun padang  harap yang tak pasti

Tatapmu, mengunci gerakku.





Hujan menari-nari dengan lembut di antara tanah basah yang setia berdiam pada posisinya. Dedaunan terombang-ambing mengikuti gerakan hujan. Deras rintiknya menyapa relung-relung hati yang bungkam, terik matahari seakan-akan terlupakan, hanya ada derai air dengan suhu dingin yang menyejukkan hawa gerah. Hujan masih bercengkrama dengan ramah - membasuh hati gundah.
Aku terdiam menatap hujan yang cukup deras, nampaknya ia tak mau berhenti sebelum ada beberapa wilayah yang dibanjiri oleh kehadirannya. Berkali-kali kutatap jam tanganku. Semakin sering. Semakin sering. Sampai-sampai aku hanya ingat jarum panjang yang menunjuk angka duabelas dan jarum pendek menunjuk angka tiga. Waktu seakan-akan tak berjalan, sulit sekali ia menyeret langkah kakinya untuk satu detik atau satu jengkal nafas saja. Aku terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menatap hujan. Berkali-kali. Terus-menerus. Ditemani This Conversation milik Mocca yang menggelitik gendang telingaku.
Duapuluh menit. Tigapuluh menit. Tak ada tanda-tanda bahkan isyarat bahwa hujan akan berhenti. Nampaknya, aku memang harus berani menerobos hujan yang telah mengunci tubuhku di dalam mobil. Aku tak membawa payung. Tak ada jaket atau jas hujan. Aku nol besar. Tapi, aku memang harus menemui seseorang di dalam gedung pencakar langit itu, gedung yang puncaknya hampir menyentuh langit - seperti dekat dengan surga. Sangat dekat. Lebih dekat.
Kutatap lagi jam tanganku, ia bergerak lebih malas dari sebelumnya. Aku memukul stir mobil. Sialan! Hancur semua renacanaku! Tapi... semua memang sudah berlalu, lebur harapan dan keinginanku, seharusnya aku tak perlu datang ke gedung pencakar langit itu. Nyatanya, aku harus masuk! Harus! Dengan cara apapun itu! Dengan cara yang kusuka atau bahkan tak kusuka. Dengan cara yang tidak menyakitiku atau bahkan - menyakitiku.
Begitu bersemangat, pintu mobil terbuka, luruh air hujan membasahi seperempat bagian jok mobil. Hujan memang terlalu deras. Aku berlari, menerobos keributan massal yang diciptakan hujan. Terus berlari. Menerobos. Melaju. Sampai akhirnya tatapanku menyentuh pintu masuk gedung pencakar langit yang kuceritakan tadi.
Gedung ini memang tak terlalu ramai, seperti gedung-gedung lainnya, selalu ada seseorang atau bahkan lebih yang menjaga pintu masuk. Namun, tatapan mereka berbeda, tak ada emosi yang kubaca dalam tatapan mereka - kehampaan. Aku tak mampu melihat apapun dari mata mereka, seperti ada yang telah merenggut jiwa mereka, hingga sinar mata mereka pun kerut serta hilang.
Siapa peduli? Lagipula aku tak mengenal mereka, begitupula mereka tak mengenalku. Aku masuk dengan langkah santai, tatapanku menyapu pada setiap orang yang mengenakan pakai yang berwarna sama - putih. Mereka tampak seperti kapas yang gagal terbang, sehingga hanya mampu berdiam di daratan dan menggeliat di antara hiruk pikuk gedung. Seharusnya, aku tak perlu menyertakan kata hiruk pikuk pada kalimat sebelumnya, karena gedung ini memang tak terlalu ramai. Bahkan, setiap kali ada di gedung ini, aku merasa hanya ada diriku dan pilar-pilar kokoh itu. Hanya ada tubuhku yang terpantul dari mengkilatnya lantai gedung ini.
Aku duduk bukan di tempat biasa, tempat duduk yang satu ini tidak pernah aku duduki. Ah... siapa peduli? Hanya tempat duduk, tempat duduk tak memerlukan perhatian lebih dariku. Aku terus menunggu, orang yang katanya berjanji berpandangan denganku senja ini. Tapi, nihil! Orang itu tak memunculkan batang hidungnya.
Terpaksa aku hanya melamun, beberapa menit setelahnya ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku tak tahu pasti kapan orang itu telah duduk tepat di depanku, yang kutahu, saat tiba-tiba kepalaku terangkat, orang itu telah siap dengan pandangan matanya – menyorot mataku begitu dalam.
Di tatap seperti itu, aku jadi mati rasa. Jarak pandangan kita juga tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh sentimeter. Bayangkan! Tiga puluh sentimeter! Aku tak memerhatikan wajah orang itu, bagaimana bentuk hidungnya, bentuk rahangnya, bentuk pipinya, dan bentuk bibirnya. Aku hanya terpaku pada matanya. Tanpa kata-kata. Dia melemaskan sendi-sendi di tubuhku.
Beberapa menit kita saling menatap, dari mata ke mata, tak ada isyarat kata. Bibirku dan bibirnya sama-sama terkunci. Lidahku dan lidahnya seperti digondol kucing. Matanya bening, sungguh aku sangat ingin menceburkan diri di tempat sejuk itu, berenang-renang bebas pada aliran sejuknya. Mata itu benar-benar menghipnotisku, seakan-akan gravitasi tak berlaku lagi dalam semestaku.
Mata itu seakan-akan bicara kepadaku. “Berikan pandanganmu sepenuhnya.”
Maka aku berikan pandanganku sepenuhnya, hanya untuk mata indah itu, mata yang telah memabukkan pikiranku.
Bola mataku bergerak-gerak, kami berbicara dengan isyarat mata yang meliak-liukan tatapannya. “Apakah kita pernah saling mengenal? Sepertinya wajahmu begitu akrab dalam mimpi-mimpiku.”
“Aku memang hadir dalam mimpimu juga nyatamu, bukankah kenyataan juga mimpi? Hanya saja mimpi yang menyakitkan.” desah mata indah itu, begitu lembut, meremas logikaku.
Mataku tertawa digoda seperti itu, begitu lama kami bertatapan hingga senja sudah kelewatan. Benar-benar tak ada sentuhan. Hanya mata kami saja yang saling berseliweran. Tatapan hangat itu seperti memeluk tubuhku, begitu hangat, begitu lekat, hingga aku rela terjerat.
Bulan berganti peran dengan matahari, hari sudah semakin gelap, gedung pencakar langit juga nampak lelah karena terus-menerus mencari surga namun tak mampu menyentuh dan mengenggamnya.
Kami berpisah namun berjanji saling bertemu lagi. Tak saling bertukar alamat atau bertukar nomor kontak, karena kami yakin pasti akan dipertemukan, walaupun peran takdir bisa saja mengecohkan.
Berjam-jam sudah kami saling bertatapan, langit juga menghitam, mata kami sangat butuh istirahat.
Lalu kami berpisah, tanpa kecupan dan lambaian tangan.
Apa yang harus ditakutkan dari sebuah perpisahan? Bukankah perpisahan turut menjamin sebuah pertemuan?
Kami saling melepas pandang. Kami saling memasuki dunia yang berbeda. Berhari-hari sudah seusai peristiwa itu. Selanjutnya setiap hari kami bertemu, dari pagi hingga malam hari, dari adanya matahari hingga munculnya bulan. Kami tak bicara. Kami tak butuh kata-kata. Aku dan dia hanya butuh pandangan mata.
Terbiasa dengan tatapan mata, sekarang mata kami juga punya keahlian khusus yang tak dimiliki orang lain. Kami bisa saling menyelami hati dan pikiran lewat mata kami. Rasanya sangat menyenangkan bisa memandang matanya sampai matahari tenggelam. Aku sungguh jatuh cinta pada waktu-waktu yang kami habiskan bersama, saat mataku dan matanya berbicara dengan bahasanya.
Berbulan-bulan berlalu. Aku tak tahu rasanya bersentuhan, yang kutahu hanyalah sinar matanya yang hangat, begitu hangat hingga aku lupa rasanya menggiggil. Aku bahkan tak tahu bagaimana bentuk wajahnya dan bagaimana bentuk lehernya.
Matalah yang membuat kita saling jatuh cinta, tapi mata itu juga yang membuat aku dan dia tak saling bersentuhan. Rasanya aneh jika mencintai hanya didasarkan pada mata, tanpa sentuhan fisik dan beberapa sentuhan kecil lainnya. Bukankah sentuhan itu juga yang mampu menumbuhkan bunga-bunga di hutan rimba bernama hati? Apa gunanya tatapan mata? Apakah mata adalah segalanya? Bagaimana jika kita kehilangan lidah? Mulut? Tangan? Kaki?
Hanya ada mata. Apa yang bisa kita lakukan oleh dua benda bulat yang bergerak dan meliak-liuk di kolam yang setengah basah itu?
Apakah duniaku dan dunianya hanya ada di balik pandangan mata?
Mata itu kembali berbicara dengan desah lembutnya. “Apakah kau mencintaiku?”
“Tentu saja.” bisikku melalui mataku.
Untuk berbicara, kami tak perlu benar-benar mengeluarkan suara. Mataku dan matanya cukup mengerti, hatiku dan hatinya bergetar mengikuti bahasa mata kami.
Detik berganti menit, menit meremas jam, jam meremas hari, tiba-tiba ia menyentuh jemariku dengan begitu lekat. Telunjuk kami seperti merindukan sepotong percakapan. Jemariku dan jemarinya bergerak berirama, saling mengenggam dan mengisi celah-celah kecil di jemari kita

Jawab saja!!!


Aku takut untuk mengetahui keadaan yang ada, walaupun tatapan mata itu,seruan kelu bibirmu, dan janji manismu hanyalah dongeng yang enggan menyentuh cerita akhir. Aku tahu hari hari bergulir begitu jahat,sehingga sentuhanmu yang sebenarnya lembut terasa begitu kasar oleh indraku. Tak ada kebahagiaan yang menggamit relungku ketika kulitmu menyentuh kulitku. Tak ada senyumann,hanya sentuhan heran..

"Kenapa harus aku ??

Sungguh,aku sempat mempercayai retorika yang melekat dalam pertemuan kita. Jiwaku mengalir bersama kehadiranmu yang perlahan lahan mengisi lalu meluap. Ada decak bahagia kala itu. Ketika kepolosanmu memunculkan perhatianku. Ada kejujuran yang mengatur tiap pertemuan kita. Sungguh tak ada rekayasa,sungguh tak ada kebohongan.

Tapi mengapa sekarang semua terasa berbeda ?

Namun,seiring berjalannya waktu,entah mengapa kau telah mengubah diriku menjadi sosok yang bahkan tidak aku kenal. Bahkan perasaanku bagaikan kau pasangi sensor pengatur,agar bisa kau sakiti,agar aku bisa kau lukai. Kejujuran itu berubah menjadi rasa sakit yang lukanya tak terjamah olehmu. Kebahagiaan awal pertemuan kita seakan akan telah hilang dan takkan pernah terulang.

"Mengapa harus aku ?? Lagi dan lagi,,,

Aku terdiam saat kebencianmu berhamburan lewat bibirmu. Aku seperti patung yang bahkan tak mampu menggerakkan tubuhnya. Aku hanya merindukan kamu yang dulu. Dan,,,kenyataan pahit yang harus ku terima,bahwa dirimu takkan kembali seperti dulu.
Kebohonganmu terlihat biasa dimataku. Arogansimu adalah makanan sehari hariku. Kau latih aku menjadi manusia buta rasa,yang bahkan tak bisa membedakan mana luka dan mana bahagia.
Tak ada bahagia dalam semestamu,tapi entah mengapa aku tak mampu lepas dari jerat itu. Aku terlampau lumrah dengan arogansimu. Aku telah kebal terhadap cacian dan makianmu.

Aku terlalu sering disakiti,mungkin karena itulah perasaanku mati.bahkan aku hanya berdiam diri,ketika ku tau kau telah membagi hati,untuk seseorang yang mungkin kau anggap lebih baik dariku.


Betapapun kamu tak mengerti,bahwa aku membunuh diriku sendiri hanya untuk membuatmu hidup dan bernafas.'!


Antara kita







Lantai sebelas sepi. Nyaris semua penghuninya keluar makan siang, hanya ada dua-tiga orang saja yang masih berkutat di depan komputer masingmasing. Dan salah dua di antaranya adalah gadis dan pemuda yang duduk jauh berseberangan itu. Terpisah oleh meja-meja dan partisi setinggi pundak, juga dispenser dan printer sentral multi fungsi di tengahtengah ruangan.
Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut, disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar memang paras muka masing-masing, tetapi kalian masih bisa dengan mudah memahami gerak tubuh orang di seberangnya.
Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali ke depan, ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri, kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari ini gadis itu ingin berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Tetapi nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pekerjaannya.
Detik demi detik, waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang tinggal tiga puluh menit lagi. “Ayolah, lakukan saja,” bujuk separuh jantungnya. “Bodoh! Kau hanya akan mempermalukan dirimu saja!” separuh jantungnya lagi menyela dengan sinisnya.
Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan keraguannya, akhirnya gadis itu nekad memberanikan diri berjalan menghampiri, toh ia bisa berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati meja pemuda itu jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang lalu, melangkahlah kakinya mendekat.
“Nggak makan siang, Zhar?” gadis itu berusaha menegur senormal mungkin, tersenyum selepas mungkin.
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Balas tersenyum. Menggeleng.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum mengangkat bahu, menanti harap-harap cemas reaksi pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya balas mengangkat bahu,
“Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Begitulah.
Gadis itu sekian detik kecewa, sia-sia sudah, tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain beranjak lemah melangkah menuju pintu keluar. “Seharusnya, si bodoh itu bilang, ‘Ah, kebetulan sekali. Aku juga belum makan. Mau kutemani?’ Dasar bodoh!” umpatnya dalam hati. Atau karena ia kurang jelas menyampaikan maksudnya? Seharusnya ia bilang saja langsung, “Kamu mau menemaniku?” seperti yang seringkali dilakukan Susi saat menggoda manajer lantai sepuluh.
Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya kan? Ia bukan type Susi yang agresif. “Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti,” umpatnya sekali lagi.
***
Berkali-kali ia melirik gadis di seberangnya. Menunggu tak sabaran. “Kapan lagi ia akan turun makan siang?” serunya dalam diam. Apakah ia harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama, seperti yang selalu dianganangankannya? Tidak. Ia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya.
Kegelisahaan pemuda itu semakin memuncak, istirahat siang tinggal tiga puluh menit. “Ayolah, berdiri,” mohonnya dalam-dalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya.
Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please, God!” si pemuda bersorak penuh harap. Tentu saja gadis itu harus melewatinya, karena pintu keluar terletak dekat mejanya.
Suara sepatu gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer, mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua pekerjaannya sudah rampung setengah jam yang lalu. Sedari tadi ia sudah ingin turun makan siang, tetapi seperti dua hari lalu, ia ingin sekali berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing.
Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tidak berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet, bukankah letaknya searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekadar tersenyum menyapanya.
“Nggak makan siang, Zhar?” ternyata gadis itu justru menegurnya, sambil tersenyum.
Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini diluar rencananya, apalagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si pemuda bingung hendak menjawab apa.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekadar menggeleng patah-patah, dan tersenyum dengan muka kebas. “Semoga ia tidak melihat tampang tololku,” keluh pemuda itu dalam hati.
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu.
Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah waktunya, ajak ia makan siang bersama. Bukankah ia “mengundang”mu? Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar tak tahu harus bilang apa. Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir, dan di tengah kegaguan ia justru berkata, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Ya ampun, apa yang telah kukatakan, si pemuda menekuk lututnya. Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan amat anggun hilang dari pandangan.
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan untuk berlibur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak direktur membatalkan rencananya. Lagipula bukankah itu berarti semua orang akan hadir di sana, dan jika semua orang hadir itu berarti pemuda itu juga akan datang. Ia senyumsenyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh harapanharapan.
Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika sedikit beruntung mungkin saja bisa pergi-pulang ke tempat pesta bersama-sama. Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, pemuda itu dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan mejanya sebelum turun pulang) pemuda itu sedikit pun tidak pernah menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana hendak menyinggungnya, jika selama ini mereka sekadar saling ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, “Minggu depan, kamu datang gak ke tempat pernikahan Vania?” tapi ia selalu gagal.
Jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya jika tidak maka musnah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habishabisan meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar kakinya melangkah, “Ya Tuhan, tolonglah….” seru batinnya lirih.
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Kentara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya. Gadis itu membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!”
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God.
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng, pelan berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, “Ya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
“Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali,” umpat gadis itu dalam hati. Jika sudah begini apalagi yang harus dilakukannya?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia.
“Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
Gadis itu hendak mengangkat bahunya: keberatan. Tetapi hatinya yang berkali-kali mengumpat, “Dasar bodoh, harusnya kau melakukannya seperti Andrei. Harusnya kau menyela dan berkata, ‘ia tidak akan pergi bersamamu, ia akan pergi bersamaku’” kesal sekali, dan tanpa disadarinya ia justeru menganggukkan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa, dandan yang cantik.”
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu, sekadar untuk bilang, “Hai, kamu mau pergi bareng aku ke pernikahan Vania, gak?” ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan mengajaknya pergi bersama.
Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku, lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak.
Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu. Bertanya langsung padanya, “Apakah kau mau pergi bersamaku,” tapi berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Sore jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya, jika tidak ia akan menyesalinya seumur hidup. “Lakukan sekarang juga, Zhar,” bisikan itu semakin kencang.
Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan. Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justeru terlihat berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku, please God.” Desak batinnya kuat-kuat. “Jika ia melewatiku, aku berjanji akan menanyakan soal itu,” janjinya untuk kesekian kali.
Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia semakin dekat, dan debar jantungnya semakin kencang. Dengan meneguhkan hati pemuda itu bersiap untuk menyapa,
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Gadis itu sambil tersenyum ternyata lebih dahulu menyapanya. Pemuda itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Menarik nafas dalamdalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” Ya Tuhan, padahal pekerjaan untuk minggu depan pun sudah kurampungkan.
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas. Ayolah katakan. Ajak dia. Ayolah katakan. Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri, bodoh. Bagaimana kalau dia menolak?
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan, pemuda itu mengumpat berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama. Senyuman gadis ini membuatnya sedikit pun tidak bisa berpikir sehat lagi.
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ayolah katakan. Ajak dia. Bukankah ia telah memberikan kode padamu. Sedikit lagi…. tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkeram keras-keras kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu, bentak separuh jantungnya. Dan tanpa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang lain, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia teringat Sinta, mungkin dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit membantu, maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun pemuda itu justeru berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu dengan tetap tersenyum berkata pelan, “Ya, katanya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
Ya Tuhan, kerusakan apa yang telah kuperbuat?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
“Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju,” pemuda itu memohon dalam hatinya. “Jangan sampai kau pergi dengan bajingan ini. Ia playboy kelas kakap, dan kau akan terperangkap.” Tetapi gadis itu justeru tersenyum menganggukan kepalanya.
Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa dandan yang cantik.”
***
Ia mengharapkan pagi ini pemuda itu yang datang menjemputnya. Tetapi justru Andrei yang datang parlente memencet bel. Tak tahu malu, Andrei mengaku sebagai pacarnya. Dan gadis itu dengan terpaksa tersenyum masam menanggapi godaan ibu dan bapaknya, “Akhirnya, anak gadis kami pergi dengan teman lelakinya. Nak Andrei jangan sampai kau membuatnya menangis, loh!” Itu kata ayah gadis itu sambil tersenyum di balik pagar. Dan pemuda playboy ini tersenyum begitu meyakinkan menggandengnya.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi, Susi pun sempat berbisik pelan, “Gila lu, katanya pemalu. Ternyata yang kakap begini berhasil juga lu gaet!” mukanya memerah. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, gadis itu merasa di dahinya seakanakan tertempel baliho besar yang menunjukkan kalau mereka berdua benar-benar pasangan hebat. “Bodoh, seharusnya kaulah yang bersamaku sekarang,” umpatnya dalam hati, mencari sosok pemuda itu dalam keramaian. Dan si bodoh itu ternyata berdiri tak acuhnya di pojok ruangan. Menyendok koktail. Seolah tak peduli kehebohan yang sedang terjadi.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai saat mereka berkumpul, si bodoh ini justeru semakin tak peduli.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu kusut sekali dengan senyum tanggungnya. Berkali-kali ia melirik pemuda itu. “Ya Tuhan, seharusnya yang kau lakukan saat ini memegang kerah Andrei, dan menonjoknya kuatkuat, dasar bodoh, dan bukan justru sebaliknya ikutikutan tertawa.”
Gadis itu tersenyum getir.
***
Pagi ini seharusnya ia-lah yang sambil bersiul datang memencet bel rumah gadis itu. Tersenyum takzim menyapa calon mertua. Tetapi lihatlah, ia justeru kacau berdandan seadanya, memakai kemejakusut dasi-berdebu, berjalan gontai menghidupkan kendaraan, berpikir gadis itu pasti sedang tertawa bahagia bersama playboy kelas kakap itu.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, mereka benar-benar kelihatan seperti pasangan hebat. Gadis itu terlihat tersenyum kemana-mana, mengumbar kebahagiannya. “Begitu mudahkah ia terpikat dengan playboy itu?” dengan masam pemuda itu menyendok koktail di pojok ruangan. Jantungnya pedih sekali.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai ketika mereka berkumpul, gadis itu justeru terlihat tersenyum semakin bahagia. “Ia benar-benar menikmatinya,” bisiknya lirih.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu tersenyum, semakin mengembang. “Bah. Ia sedikit pun sama sekali tidak menatapku,” bisik pemuda itu dalam hening. Berkali-kali melirik mencoba memberikan kode. “Lihatlah aku, Dahlia. Please. Bukankah aku lebih baik darinya? Sesungguhnya apa yang kau cari?” terluka pemuda itu meratap dalam diam. Dan ketika mereka berfoto bersama. Bajingan itu merengkuh lebih erat lagi bahu gadis itu.
Dan ketika semua teman-teman lantai sebelas turun, mereka berdua masih berdiri di sana, berfoto berempat bersama kedua mempelai. Gadis itu sekali lagi tersenyum amat bahagia. “Senyum mempelai wanita saja kalah,” umpat pemuda itu dalam hati. Maka semenjak detik itu, si pemuda dengan jantung tercabik-cabik mengubur dalam-dalam segenap cintanya.
“Cinta memang tak pernah adil,” keluhnya terluka.
***
:D “Hai!” Gadis itu tersenyum.
“Hai!” Pemuda itu juga tersenyum.
Pintu lift menutup pelan. Keheningan kemudian menyelimuti. Tak pernah ada yang bisa mendengar dengung lift bergerak, tetapi bagi mereka berdua yang sedang takzimnya, bekas telapak tangan di kaca lift pun terlihat amat jelas. Si gadis sembunyisembunyi melirik. Si pemuda batuk-batuk kecil berusaha mengendalikan perasaannya. Mereka bertatapan sejenak. Gelagapan bersama.
“E, mau makan di mana?” si pemuda pura-pura merapikan dasinya. Mukanya merah kebas. Ia tahu persis gadis itu selalu makan di basemen itu. Gadis itu juga tahu persis pemuda itu lebih suka makan di lantai satu.
“Lanti satu! Lu, mau makan dimana, Zhar?”
“Basemen!” Ya ampun, ia sungguh tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Basa-basi saling melambaikan tangan, mereka berpisah saat pintu lift terbuka. Berharap seharusnya mereka saat ini justru sedang bergandengan menuju kafe di menara atas.
Kafe para pencinta.
***

Cintanometer.










Di kota kami, walau terletak persis di tengahtengah gurun pasir maha luas, hujan bukanlah barang langka. Jika penduduk kota ingin merasakan hujan, maka tinggal bilang ke balai kota. Seperti kemarin, anak tetangga sebelah rumah, rindu berat berlari-lari di atas gelimang lumpur, di bawah atap langit yang mencurahkan beribu-ribu bulir air kesegaran. Maka orang tuanya segera memesan hujan. Selang dua belas menit kemudian, awan hitam datang berarak, guntur dan petir sambar menyambar, tak lama turunlah hujan sesuai pesanan.
Jangan salah sangka dulu, kota kami memang terpencil jauh dari seluruh penjuru dunia, tetapi bukan berarti penduduk kota kami lebih primitif dibandingkan kalian. Kami tidak memanggil hujan lewat dukundukun, nyanyian-nyanyian, apalagi sesembahan tak berguna itu, sebaliknya kami memanggil hujan dengan teknologi tingkat tinggi. Maju sekali, malah jauh lebih maju dibandingkan dengan menerbangkan pesawat untuk menaburkan butiran pembuat hujan di awan-awan yang biasa ilmuwan kalian lakukan.
Di sini banyak penemu. Yang terhebat di seluruh dunia, malah. Jadi jangankan soal hujan, soal rumit lainnya, seperti mobil terbang, rumah mengapung, lampu tenaga udara, pil anti lapar, suntikan seribu penyakit dan yang lebih sulit lainnya ada di sini. Dengan berbagai penemuan hebat itu, kehidupan berjalan amat baik dan berkecukupan.
Tetapi suatu hari, dewan kota mendadak mengadakan pertemuan. Tentu ada hal super penting yang telah terjadi, karena rapat ini adalah rapat mendadak untuk pertama kalinya dalam lima ratus tahun terakhir. Para tetua risau sekali tentang sesuatu. Tentang mengapa angka pertumbuhan penduduk kota ini stagnan, bahkan dua tahun belakangan justeru minus sekian persen. Jika trend pertumbuhan penduduk tetap seperti itu, dikhawatirkan seratus hingga dua ratus tahun mendatang, penduduk kota ini akan musnah.
Lama berdebat akhirnya ditemukanlah muasal permasalahannya. Yaitu karena angka pernikahan anakanak muda turun amat tajam. Kenapa angka pernikahan turun amat tajam? Karena anak-anak muda ternyata susah sekali menemukan jodohnya masing-masing. Kenapa anakanak muda amat susah menemukan jodoh? Karena angka penolakan cinta meningkat tajam. Dan kenapa angka penolakan cinta meningkat tajam? Karena anakanak muda itu terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya. Takut ditolak, takut ditertawakan, takut dihinakan, lebih sial lagi akan dikenang sepanjang masa: sebagai pecundang.
Tetua kota ramai lagi berdebat mencari solusi masalah pelik ini. Bagaimana agar anak-anak muda itu tidak cemas dan takut lagi menyatakan cintanya? Akhirnya setelah berbagai usulan diterima, mulai dari yang sama sekali tidak masuk akal hingga yang malah tidak ada kaitannya sama sekali dengan akar permasalahan, solusi yang dimaksud disepakati.
Dewan kota akan menciptakan alat pendeteksi cinta. Sebut sajalah namanya cintanometer. Bentuk fisiknya kurang lebih mirip freehand telepon genggam yang kalian kenal selama ini. Dicantolkan di telinga, dan ia dengan kecanggihannya akan memberitahukan perasaan yang sedang dipikirkan oleh lawan jenis di hadapanmu.
Bagaimana caranya? Tidak jelas juga seperti apa. Terlalu rumit untuk dituliskan. Tetapi kurang lebih cintanometer akan mendeteksi gesture tubuh, kadar pheromon, getaran arus listrik yang timbul dari detak jantung pasangan Anda, medan elektromagnetik yang muncul dari sekujur kulitnya, sinyal alpha dari bola matanya, frekuensi dan lamda getaran suara saat pasangan Anda berbicara dan berbagai pemicu kimiawi lainnya yang terus terang aku juga tidak terlalu mengerti.
Dengan cintanometer itu, anak-anak muda tak usah malu lagi menyatakan cinta. Alat ini seratus persen akan menjamin kalkulasi variabel yang ditangkapnya benarbenar nyata. Deviasi kesalahannya kecil sekali, sehingga kalian tak usah lagi khawatir ditolak mentahmentah.
Mendengar kabar tentang cintanometer, penduduk kota kami dilingkupi kegairahan yang luar biasa. Mereka belomba-lomba mencari tahu sejauh mana kemajuan ilmuwan terbaik mereka menciptakan alat pendeteksi cinta tersebut. Tak sabar lagi mereka menunggu hari H peredarannya di toko-toko kelontong. Malah di tengah-tengah kota dipasang penghitung waktu mundur (countdown) menunjukkan sisa hari peluncurannya.
***
Dan ketika tiba hari H peluncuran cintanometer itu, kota kami heboh sekali. Inilah penemuan terbesar sepanjang masa. Muda-mudi berdiri mengantri membentuk kelokan puluhan kilometer di depan balai kota untuk mendapatkan alat pendeteksi cinta. Lelaki tua dan wanita tua yang tak laku-laku juga terselip hampir di setiap dua-tiga pengantri. Orang-orang tua yang sudah menikah pun ternyata ikut mengantri. Juga anak-anak di bawah umur.
Rusuh sekali antrian itu. Saling menyelak. Jangan pernah kalian meleng sedikit saja, alamat tempat berdiri sudah diisi oleh tiga-empat orang yang tak dikenal. Semakin lama kerusuhan dalam antrian semakin meluas. Masalahnya ternyata pembagian alat tersebut agak sedikit terganggu karena baru saja tetua kota menyadari mereka sama sekali belum melakukan analisis dampak lingkungan atas cintanometer ini. Tak ada yang pernah berpikir hal ihwal yang akan terjadi akibat beredar bebasnya alat ini, apalagi lihatlah batasan umur para pengantri di depan sana.
Semakin siang antrian semakin kusut. Maka tetua kota tak ada pilihan lain kecuali mulai membagikan cintanometer itu. Lupakan dulu soal analisis dampak lingkungan tersebut. Yang penting antrian penduduk kota tidak berubah menjadi anarki.
Mereka berebut menyambar kotak-kotak kecil itu. Untunglah tak ada satu pun warga kota yang mengantri menginginkan benda tersebut yang tidak kebagian. Lepas senja semuanya bisa pulang dengan senyuman lega. Berharap banyak atas benda kecil tersebut.
Tetapi, wahai, tahukah kalian apa yang terjadi sekejap setelah itu?
***
Kota kami tiba-tiba berubah menjadi lautan cinta. Lihatlah anak-anak muda, mereka seolah-olah sedang berlomba-lomba menyatakan cintanya. Di sepanjang jalan-jalan, di taman-taman kota, di kafekafe, di pelataran parkir dan pertokoan, di ruangruang kelas, di atas mobil-mobil dan gerbong kereta, di dalam lift dan toilet, hingga di altar-altar suci rumah ibadah yang seharusnya hanya dipakai untuk berdoa.
“Clarice, aku cinta padamu?” seru seorang pemuda dari salah satu meja, di kafe tengah kota.
“Aku sudah tahu, Leonardo!” gadis itu juga berteriak sambil memperlihatkan alat itu di telinganya. Mereka berdua tertawa. Juga tertawa bersamaan dengan seluruh isi kafe lainnya. Anakanak muda yang dimabuk asmara. Bersemu merah saling menggenggam tangan.
“Patrice, andai kau meminta bulan, tentu tak sungkan aku berikan….”
“Sudahlah, Desovov….” dan gadis di meja satunya lagi itu melompat menyeberangi piring-piring.
Sungguh. Padahal kemarin, kemarinnya lagi, minggu-minggu lalu, dan sepanjang hari selama setahun terakhir ini gadis itu hanya mampu berdiri menatap pemuda pujaannya lewat begitu saja di gang bawah sana dari balik teralis jendela. Terlalu gentar untuk mengakui. Terlalu takut untuk menyatakan cintanya.
Kemanapun kau pergi malam itu, maka yang akan kau dapati hanyalah anak-anak muda dengan trendi mengenakan cintanometer di telinganya, berjalan kesana-kemari coba menemukan pasangannya. Saat alat di telinga mereka berkedip-kedip, mereka berseru kegirangan. Itu berarti ada seseorang yang mencintainya radius seratus meter darinya.
Apa yang terjadi kemudian? Tergantung. Jika pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata tampan dan memang pujaan jantungnya selama ini, maka tak sungkan ia menggamit tangannya, menatap tersenyum dengan muka bersemu merah. Tetapi jika ternyata pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata jelek dan malah sosok yang dibencinya selama ini, maka dengan terbirit-birit ia akan lari menjauh.
Amat beruntung seorang pemuda atau gadis yang berkali-kali cintanometernya berkedip-kedip. Itu berarti ada banyak pilihan baginya untuk menyatakan cinta. Dan di tengah-tengah keramaian cinta ini, ironisnya, ada saja pecinta yang tidak sedikit pun cintanometernya berkedip-kedip.
Awalnya mereka tidak terlalu panik. Mungkin alat miliknya rusak atau baterainya habis. Mereka buru-buru mencoba meminjam alat pendeteksi cinta milik temannya, berharap nasib akan berubah. Percuma. Semua alat yang dikeluarkan oleh balai kota selalu dalam kondisi seratus dua belas persen oke.
Maka tinggallah mereka merana menjadi penonton pertunjukan cinta di kota kami. Tetapi siapa peduli dengan orang-orang yang tidak beruntung itu? Jumlah mereka sedikit. Dan bukankah dengan demikian, alat pendeteksi cinta itu membantu seleksi genetik kota kami. Pemuda atau gadis yang tak pernah dicintai oleh seseorang maka sudah sepatutnyalah tidak meneruskan keturunan genetiknya, demikian kesimpulan tetua kota.
Mendengar laporan meningkatnya angka jatuh cinta anak-anak muda di kota kami, tetua kota tersenyum lega. Permasalahan besar itu nampaknya teratasi sudah. Mereka bersulang di balai kota, berseru bersama memuji kepintaran para penemu. Tanpa sedikit pun menyadari laporan itu ternyata belum lengkap benar. Karena pelahan-lahan muncullah berbagai masalah akibat cintanometer itu.
***
Vyrzas, lelaki baya berumur enam puluh tahun, duduk menangis di pojokan kota sambil mengelus kepala botaknya penuh penyesalan. Dengan alat itu, barusan ia tahu bahwa sesungguhnya semenjak empat puluh tahun silam hingga hari ini, Veronica, kembang kampus universitas kota kami, ternyata amat mencintainya. Ah, mengapa alat ini baru diciptakan sekarang? Sesalnya. Lihatlah, wanita tua itu sudah beranakpinak dengan pria lain. Ia dulu ternyata terlalu naif menganggap dirinya jelek, bodoh dan sama sekali tidak berguna bila dibandingkan dengan gadis itu yang amat cantik, pintar dan populer.
Tetapi kesedihan Vyrzas bukan masalah serius bagi tetua kota saat ini. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Toh itu murni kesalahan Vyrzas. Yang lebih penting dan mendesak, lihatlah berbagai pertengkaran yang segera menyeruak di rumah-rumah penduduk.
“Aku tak menyangka hatimu busuk selama ini!” Nenek itu berseru kencang dari salah satu rumah.
“Apa maksudmu?”
“Lihat ini!” Ia berseru sambil memperlihatkan telinganya. Kakek itu tersumpal mulutnya.
“Pokoknya aku tidak mau lagi melihat mukamu di rumah ini. Pergi! Pergi bajingan!” Nenek itu menangis dalam marah. Ia tidak menyangka pemuda yang dinikahinya enam puluh tahun silam ternyata sedikit pun tidak mencintainya. Jangankan berkedip, mendesing pun tidak cintanometer di telinganya. Ternyata suaminya menikahinya semata-mata karena kedudukan dan harta orang tuanya.
Segeralah berbagai borok suami terbongkar. Berbagai aib istri terbuka lebar-lebar. Banyak sekali pemuda yang menikahi istrinya hanya karena harta, kekuasaan, atau kecantikan wajah. Dan sebaliknya gadis-gadis yang menikah hanya karena tebalnya kantong suaminya, rumah-rumah, mobil-mobil terbang dan berbagai kemewahan dunia lainnya. Mereka bertengkar hebat malam itu.
Cintanometer benar-benar menelanjangi para pelaku selingkuh. Suami-suami yang tidak cinta lagi melihat tubuh istrinya. Suami-suami yang lebih suka menghabiskan malam-malan di bar-bar kota. Alat itu juga membantu anak-anak yang tak beruntung menerjemahkan perasaan sesungguhnya dari ayah atau ibu tiri mereka. Dengan segera di tengah-tengah lautan cinta yang terjadi di jalanan, harmoni rumahrumah tangga penduduk kota kami satu demi satu rontok.
Tetua kota segera berembug membahasnya. Satu dua tetua kota berkata pelan di tengah keramaian: ia memang dari dulu sudah khawatir sekali dengan alat pendeteksi cinta ini, sudah terlalu banyak penemuan tidak pantas yang telah mereka buat selama ini. Penemuan yang menebas tata aturan kehidupan. Cinta adalah urusan langit dan tidak sepantasnya mereka mencoba mengakalinya.
Tetapi mayoritas tetua kota kami mengabaikan keluhan itu. Jika ada masalah yang muncul dari cintanometer itu maka anggap saja harga yang harus dibayar untuk mengatasi permasalahan pertambahan penduduk kota. Dan bukankah lebih banyak anakanak muda yang akan segera melangsungkan pernikahannya dibandingkan dengan rumah tangga yang hancur berantakan?
Malam itu juga putus. Cintanometer akan terus diedarkan.
***
Hari-hari berlalu menjadi setahun, setahun berjalan dirangkai hari-hari. Siang ini genap lima tahun semenjak penemuan itu pertama kali diluncurkan dulu. Lihatlah apa yang terjadi di kota kami. Bayibayi mungil kelihatan di mana-mana. Jumlah penduduk double. Krisis kepedendudukan itu lewat sudah.
Cintanometer selama lima tahun berturut-turut mendapat penghargaan Penemuan Terbaik Tahun Ini. Setiap tahun fiturnya di tambah, dibuat lebih gaya dengan model dan warna-warni mutakhir. Penggunaannya pun semakin friendly user, tidak berkedip, tetapi berbisik. Bisikan cinta yang bisa di setting sedemikian rupa, termasuk menggunakan suara artis favorit kalian.
Malah cintanometer oleh sebagian besar penduduk kota di usulkan agar ditetapkan sebagai penemuan terbaik sepanjang abad ini. Melihat situasi yang sedang berkembang dalam masyarakat, sepertinya wacana itu akan benar-benar menjadi kenyataan. Masalahnya di tengah-tengah kegembiraan tetua kota, dan leganya perasaan anak-anak muda, ada sesuatu yang tanpa disadari pelahan-lahan merubah kehidupan kota itu.
Alat itu bagi sebagian orang ternyata dari hari ke hari secara pasti membuat kehidupan mereka menjadi sangat sistematis, terukur dan tidak menarik lagi. Tidak ada lagi seorang pemuda atau seorang gadis yang berdiri cemas menunggu di halte, berharap idaman jantungnya datang dan mereka bisa pergi satu bus, syukur-syukur bisa duduk bersebelahan. Tidak ada lagi degup jantung penasaran saat seorang pemuda menyatakan cintanya, menyajak puisi-puisi, menggenggam tangan sang kekasih. Tidak ada lagi lipatan suratsurat yang secara sembunyi-sembunyi dititipkan atau diselipkan di lemari sekolah, sekuntum bunga mawar yang dikaitkan di pintu rumah, atau seorang pemuda yang memetik gitar bernyanyi keras-keras di halaman rumah gadis idamannya.
Semakin lama, malah tidak ada lagi cokelat berbentuk jantung sebagai hadiah penanda cinta, tidak ada lagi balon-balon merah itu, tidak ada lagi cupid si peri cinta. Tidak ada lagi syair-syair kerinduan, soneta pujaan hati, tidak ada lagi irama ratapan kesendirian. Penduduk kota ini tidak memerlukan itu semua. Cinta pelahan-lahan namun pasti telah berubah menjadi barang instan.
Jika cintanometer berkedip-kedip itu artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan seseorang saat jatuh cinta? Mereka hanya mengerti soal kedip dan tidak mengedip. Bisik atau tidak berbisik. Lama-lama mereka malah kehilangan kosa kata cinta? Siapa lagi yang perlu kata cinta jika kau bisa menterjemahkannya dengan mudah melalui sebuah alat mungil yang canggih? Berbisik berarti oke, tidak berbisik cari yang lain. Sesederhana itu.
Maka kata cinta dihapuskan dari kamus besar bahasa kota kami, karena tak ada lagi yang mengerti apa maksudnya. Berikut kata-kata yang menyerupai dan menyertainya. Kalian tak akan lagi menemukan kata: kasih, sayang, rindu, bertepuk sebelah tangan, pungguk merindukan bulan, bujang tua, jomblo dan kata-kata lainnya.
Dan ketika aku sempat berkunjung ke kota itu minggu lalu. Dalam ramainya ruang pesta di balai kota, aku tersenyum bersalaman dengan penduduk kota. Berkata mengenalkan diri, “Namaku Jun. Aku pengelana hati. Datang dari jauh mencari cinta. Adakah gadis rupawan di kota ini yang masih sendiri dan mau menghabiskan sisa hidup bersamaku?” mereka menatapku aneh sekali.
Seperti kalian sedang menatap mahkluk dari galaksi lain.
***

Kayu putih dan kamu.




Aku menghirup lagi sebotol penuh minyak kayu putih yang kugenggam di tangan kananku. Setiap tarik an hirupan mengembalikanku ke setiap susunan memori yang terjalin rapi lewat indera penciuman. Jalinan kenangan yang pernah kami rajut bersama ditemani sebotol minyak kayu putih untuk mengusir rasa dingin setiap malam. Semakin lama kuhirup minyak kayu putih di tengah malam yang sepi ini, semakin ramai kenangan di kepalaku berlari-lari.
Dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa sambil melihat dia membiarkan setetes minyak kayu putih jatuh ke dalam mulutnya. Pahit, katanya. Sama pahitnya seperti jamu brotowali yang hitam pekat nan pahit. Aku tertawa sambil mengejeknya tolol karena telah melakukan hal tolol saat itu. Sambil mengusap air mata yang terus jatuh dan mengusap hidung yang terus menerus mengeluarkan lendir karena terlalu pedas menghirup minyak kayu putih sepanjang malam, aku teruskan menghirup minyak kayu putih sampai kantuk menyerang lalu tertidur di atas dipan kayu di teras rumah. Rasanya aku layak diejek lebih tolol daripada dia yang pernah melakukan hal tolol.
Sedihku belum juga hilang. Malam berikutnya aku lakukan ritual yang sama sejak sebulan terakhir: menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam di depan teras rumah sambil membungkus diri dengan selimut tebal. Ditemani suara tonggeret, jangkrik, dan tokek di halaman rumahku, aku memulai ritual menyedihkan ini lagi selama sebulan terakhir. Menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam adalah upaya satu-satunya yang aku tahu untuk menghirup kembali rinduku yang begitu besar kepada dia.
Dia tidak pernah bisa hidup tanpa minyak kayu putih. Setiap kami pergi ke mana pun, dia tidak pernah lupa memasukkan sebotol minyak kayu putih ke dalam tasnya. Bahkan waktu kami ke Bali berdua tahun lalu, sudah kukatakan lebih dari sekali bahwa pada malam hari pun di sana tidak akan dingin, tapi dia bersikeras membawa sebotol minyak kayu putih ikut serta dalam acara jalan-jalan kami.
Lain waktu kami mengikuti kegiatan Baksos yang diadakan oleh kantor kami. Satu rumah penduduk diisi oleh delapan karyawan. Suatu malam yang panas di Pulau Alor, ia membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya karena tak tahan dengan terpaan angin malam dari arah pantai. Ternyata teman sekamar kami tidak tahan dengan aroma minyak kayu putih yang menguar ke seisi ruangan. Semuanya tidur di dipan teras, dan hanya aku yang bertahan tidur di sampingnya sampai keesokan harinya kami bangun kembali. Aku kasihan melihat temanku yang tidur di dipan keesokan harinya bermata sembap seperti kurang menikmati tidurnya semalaman. Mulai saat itu, akhirnya dia mengalah untuk tidur di dipan sambil membalurkan banyak-banyak minyak kayu putih ke badannya sebelum tidur.
Aku selalu berhasil membuat dia melakukan apa pun yang kuinginkan, tapi tidak pernah berhasil membuatnya meninggalkan minyak kayu putih dari sisinya. Mulai saat itu, aku berpendapat sendiri bahwa setelah aku, sebotol minyak kayu putih adalah kekasih keduanya.
Sejak pertama hingga sekarang botol minyak kayu putih yang kupakai bersama dia tidak pernah habis. Malam ini sudah kutekadkan akan menjadi malam terakhirku menghirup minyak kayu putih alih-alih mengenang segala kisah tentangnya. Tidak akan ada lagi ritual menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam. Tidak ada lagi acara menghirup kembali lagi rindu tentang dia.
Sekali lagi aku ingat, dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa begitu hebatnya karena kupikir hanya orang bodoh yang akan meminum minyak kayu putih mentah-mentah mengalir di tenggorokannya. Sekarang aku menangis, karena mungkin aku benar-benar bodoh sekarang. Sambil membuka tutup botol minyak kayu putih, kuhirup sekali lagi aroma minyak kayu putih yang setiap malam selama sebulan terakhir ini menjadi sahabatku. Kutempelkan bibirku ke pinggir mulut botol minyak kayu putih lalu kutenggak cairan minyak kayu putih itu sampai tersisa setengahnya. Aku tak sanggup lagi meneruskannya. Rasanya pahit, meski belum seberapa pahitnya dibandingkan kenanganku bersama dia.
Aku berniat menghabiskan seluruh isi cairan di dalam botol yang kugenggam tapi kepalaku mendadak pusing hebat, langit malam yang gelap menjadi makin gelap dalam pandanganku, cahaya lampu yang menempel di atas kepala mulai berubah-ubah menjadi terang redup seperti kisah kasihku bersama dia.
Di kejauhan, kulihat sebuah bayangan sedang berjalan ke sini. Aku menajamkan mataku melihat bayangan makhluk remang-remang sambil mencoba angkat badan, tapi ternyata aku terlalu lemah untuk mengangkat badanku. Lamat-lamat pandanganku kabur seutuhnya hingga semuanya hampir menjadi gelap sampai makhluk bayangan remang-remang itu kini menyentuhku. Aku hanya mampu melihat pinggangnya yang berdiri di depanku. Menatap ke atas untuk mengetahui siapa pemilik badan ini pun aku tak sanggup. Makhluk bayang remang-remang itu kini menjongkokkan dirinya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Itu dia, manusia yang mengenalkanku pada minyak kayu putih ini. Aku bahkan tak sanggup tersenyum meskipun aku ingin melakukannya agar ia tahu betapa aku merindukan jiwanya menyatu kembali dengan jiwaku.
Tidak lama berjongkok di depanku, ia tersenyum, seakan tahu bahwa aku rindu kepadanya. Senyumnya yang lebih hangat dari minyak kayu putih mampu menghalau setiap tusukan angin dingin di malam gelap ini. Ia memegang tanganku yang sedang memegang minyak kayu putih, kemudian ia memindahkan sebotol minyak kayu putih milikku ke dalam genggaman tangannya. Ia membuka putar tutup botol minyak kayu putih milikku yang tersisa setengah, lalu menempelkan bibirnya pada pinggir mulut botol. Dengan cepat ia menenggak cairan itu ke dalam mulutnya sampai habis. Lalu sorot matanya mulai redup seperti mataku.
Pelan-pelan kuajak dia duduk di sampingku, menjadi pengganti selimutku malam ini. Malam ini kami berdua menikmati suara tonggeret, jangkrik, dan tokek. Rindu kami dimulai dengan menghirup minyak kayu putih yang sama dan mengakhirinya dengan menenggak minyak kayu putih sampai habis dengan bersama-sama pula. Kini aku tidak lagi membutuhkan sebotol minyak kayu putih untuk menghirup rindu yang tidak terkendalikan.

Semuanya terasa menyenangkan, hingga suara guntur menggelegar dan aku terbangun. Tak ada dia, kulirik botol minyak kayu putih yang terjatuh dilantai. Masih ada setengahnya. Yang habis hanya kepercayaanku, tentang dia yang mungkin bisa hadir lagi dan memberikan sedikit mimpi.

Langit tetap peduli.





Bayangkanlah sebuah kolam luas
Kolam itu tenang,
Saking tenangnya terlihat bak kaca.
Tiba-tiba hujan deras turun..
Bayangkan,
Ada berjuta bulir air hujan yang jatuh di atas air kolam, membuat riak..
Jutaan rintik air yang terus-menerus berdatangan, membentuk riak, kecil-kecil memenuhi seluruh permukaan kolam..

Begitulah kehidupan ini,
Bagai sebuah kolam raksasa.
Dan manusia bagai air hujan yang berdatangan terus-menerus, membuat riak..
Riak itu adalah gambaran kehidupannya.
Siapa yang peduli dengan sebuah bulir air hujan yang jatuh ke kolam, menit sekian, detik sekian? Ada jutaan bulir air hujan lain, bahkan dalam sekejap riak yang ditimbulkan tetes hujan barusan sudah hilang, terlupakan, tak tercatat dalam sejarah…
Siapa yang peduli dengan anak manusia yang lahir tahun sekian, bulan sekian, tanggal sekian, jam sekian, menit sekian, detik sekian? Ada miliaran manusia, dan bahkan dalam sekejap, nama, wajah, dan apalah darinya segera lenyap dari muka bumi! Ada seribu kelahiran dalam setiap detik, siapa yang peduli? Itu jika engkau memandang kehidupan dari sisi yang amat negatif..
Kalau engkau memahaminya dari sisi positif, maka kau akan mengerti ada yang peduli atas bermiliar-miliar bulir air yang membuat riak tersebut. Peduli atas riak-riak yang kau timbulkan di atas kolam, sekecil atau sekejap apapun riak itu..
Dan saat kau menyadari ada yang peduli,
Maka kau akan selalu memikirkan dengan baik semua keputusan yang akan kau ambil..
Sekecil apapun itu, setiap perbuatan kita memiliki sebab-akibat..
Siklus sebab-akibat itu sudah ditentukan..
Tak ada yang bisa mengubahnya, kecuali satu!
Yaitu kebaikan. Kebaikan bisa mengubah takdir..
Nanti engkau akan mengerti, betapa banyak kebaikan yang kau lakukan tanpa sengaja telah merubah siklus sebab-akibat milikmu.. Apalagi kebaikan-kebaikan yang memang dilakukan dengan sengaja..
Seseorang yang memahami siklus sebab-akibat itu,
Seseorang yang tahu bahwa kebaikan bisa mengubah siklusnya,
Maka dia akan selalu mengisi kehidupannya dengan perbuatan baik..
Mungkin semua apa yang dilakukannya terlihat sia-sia,
Mungkin apa yang dilakukannya terlihat tidak ada harganya bagi orang lain..
Tapi dia tetap mengisi sebaik mungkin.
Siapa peduli? Tetapi langit peduli.

Setiap hujan.







Hujan rintik-rintik kala itu. Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota Tabanan jatuh satu-satu. Zian buru-buru berlari menuju tempat berteduh. Sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, ia menengadahkan kepala agar bisa menatap hujan dan awan mendung. Tempat berteduh tak begitu ramai, hanya ada seorang pria berambut ikal yang membiarkan rambutnya agak basah karena terkena hujan. Zian dan pria itu berdiri sejajar. Mereka sama-sama sibuk menatap hujan dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Jalanan di dekat jembatan Waltrafe mengalirkan air yang deras karena hujan. Zian masih berteduh di sana, sesekali ia mencuri pandang ke arah pria itu, pria yang sejak tadi juga berteduh dan juga memeluk kedinginan tubuhnya sendiri. Ia terlalu serius sampai-sampai ia lupa telah membawa payung kecil yang diletakkan di tasnya. Zian menertawakan dirinya sendiri, dengan senyum tipis yang hanya dimengerti olehnya sendiri. Ia membuka payung, memegang payung dengan erat dan siap-siap berjalan.
Wajah pria itu disaring oleh ingatannya. Wajah itu bukan wajah yang asing. Terlalu asik memikirkan masa lalu. Menyadari pria itu bukanlah pria yang asing, Zian seakan tak perlu terlalu gugup. Ia juga tak ingin mengingatkan pria itu pada masa-masa yang dulu pernah mereka lewati.
“Kamu mau masuk ke sana juga?” ucap Zian dengan suara tipis.
Pria itu tak segera menjawab. Mungkin suara Zian teredam oleh derasnya suara hujan.
Merasa diabaikan, Zian kembali mengulang ucapannya, “Mau bareng? Aku ke Waltrafe juga.”
Mata pria berambut ikal itu membulat. Ia menoleh dan mulai membuka suara, “Boleh.”
Dan, mereka berjalan lambat-lambat. Rapat-rapat.
“Tadi bukannya kita berteduh bareng? Kenapa payungnya nggak segera kamu buka?”
“Aku juga lupa kalau ternyata aku bawa payung.”
Mereka tersenyum bersama, tak ada tawa yang begitu meledak. Alas kaki mereka sama-sama basah. Baju mereka juga agak basah. Pria itu masih memeluk tubuhnya sendiri, menghangatkan dadanya dengan melipat tangan di depan dada. Itulah gerakan yang paling Zian ingat. Gerakan yang selalu pria itu lakukan beberapa tahun yang lalu. Zian tidak akan pernah lupa. Tidak akan.
Selama berbicara, sungguh Zian tak pernah berani menatap mata itu. Mata yang bertahun-tahun membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Ia tak ingin tahu warna mata itu, mata yang sinaran dan tatapannya berusaha Zian hindari sebisa mungkin.
Langkah mereka santai memasuki lobby Waltrafe, sambil melipat payung, pria itu pamit meninggalkan Zian. Tak lupa, ia juga mengucapkan terima kasih.
Percakapan terhenti, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lagi. Hening mengitari mereka. Rasanya hujan kali ini tak sedingin hujan seperti kemarin. Menderasnya hujan tak membekukan hati Zian, kali ini ia malah merasakan ada yang bergerak pelan-pelan di hatinya, perasaan hangat yang dulu sekian lama ia diamkan dan ia abaikan.
Zian menatap bahu itu. Mulai menjauh. Ia membiarkan sosok itu pergi, tanpa berbicara lebih jauh dan lebih dalam.
Sekarang, penyesalan membuncah dengan liar. Penyesalan yang juga dulu ia rasakan. Ingin mengejar, tapi seperti ada rantai yang menahan langkahnya.
Sungguh, ia tak ingin penyesalan itu terulang lagi.
Ia tidak ingin kesedihan yang sama terjadi lagi. Tidak!
***
Zian tak heran jika pemandangan yang ia lihat beberapa hari ini selalu sama. Setiap pulang kuliah, ia selalu pergi ke tempat itu. Tempat ia bertemu dengan pria berambut ikal yang mulai sering masuk ke dalam pikirannya. Zian selalu membawa payung. Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau pria itu muncul dan melahirkan kejutan baru saat hujan datang. Tapi... pria itu tak pernah datang, Zian juga tak lagi melihat sosok itu.
Seminggu terlewati, pria itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Dalam kesabarannya, ia masih terus berharap. Ia ingin suasana seperti kemarin terulang lagi, saat hujan datang dan Zian bisa merasakan lengan pria itu menempel di lengannya.
“Kembalilah, jangan buat aku menunggu untuk yang kedua kalinya.” bisiknya perlahan.
Apakah Tuhan mendengar bisikannya? Apakah pria itu mengetahui isi hatinya?
Hujan turun tiba-tiba, deras sekali. Kali ini, baru kali ini, Zian lupa membawa payung. Ia menatap hujan sambil memeluk dirinya sendiri. Ia hanya berteduh sendirian. Dalam lirihnya, cipratan air secara sontak mengenai bajunya. Semakin kesal Zian kali ini.
Ia jadi menyesal, mengapa ia harus menunggu seseorang yang belum tentu datang? Dia memaki dirinya sendiri.
“Sendirian?”
Suara yang tak asing itu terdengar mengagetkan bagi Zian. Ia menoleh cepat.
“Ngangetin ya? Kamu nggak bawa payung?”
“Ketinggalan.”
“Aku bawa payung, kamu mau masuk ke Waltrafe juga?”
Zian mengangguk malu-malu. Pria itu, pria yang ia temui seminggu yang lalu kini berada di depannya. Menawarkan diri untuk memayunginya.
Mereka berjalan rapat-rapat, walaupun hujan semakin deras, dan angin semakin kencang; rasanya segala halangan itu tak memupus harapan Zian untuk membangun percakapan.
Kali ini ia yang harus memulai, tak ingin lagi ia menunggu. Tak ingin lagi ia kehilangan seseorang untuk yang kedua kalinya. Tidak!
“Bagaimana di sana? Menyenangkan?”
“Di sana mana?”
“Di Jogja. Sudah dapat gelar? Kok sudah pulang?”
Pria manis bergidik, seakan ia buronan yang tertangkap basah, “Aku pulang karena ingin menemui seseorang.”
Tatapan Zian menyelidik, “Siapa?”
“Kamu.”
Zian terdiam, ia tak melanjutkan langkahnya. Pandangannya lurus, mulai berani menatap mata pria itu. Hitam kecoklatan, itulah warna bola mata yang akhirnya ia ketahui setelah bertahun-tahun ia tak pernah berani menatap mata itu. Hidungnya, bibirnya, matanya, dan lekuk pipinya tak begitu berubah. Dia tetap jadi seseorang yang cukup Zian kenal, dan paling sering ia rindukan, walaupun Zian tak berani melakukan banyak hal selain menatap dari kejauhan dan mencoba menyusun percakapan basa-basi. Itu dulu, ketika mereka masih bersama, ketika perpisahan belum jadi pemeran antagonis yang memisahkan mereka.
Sontak, Zian memeluk rapat tubuh pria itu. Pria yang menghilang selama bertahun-tahun tanpa ucap pisah. Pria yang dari sikapnya seakan tak menganggap Zian wanita yang spesial. Tidak akan ia lepaskan lagi. Tidak akan ia sia-siakan lagi.
“Sudah jangan pergi lagi.”
“Ini baru pulang, masa mau pergi lagi?”
Hujan semakin deras, dan rengkuh peluk mereka seakan tak terlepas

Sesederhana tatapan,,,,

Hujan menari-nari dengan lembut di antara tanah basah yang setia berdiam pada posisinya. Dedaunan terombang-ambing mengikuti gerakan hujan. Deras rintiknya menyapa relung-relung hati yang bungkam, terik matahari seakan-akan terlupakan, hanya ada derai air dengan suhu dingin yang menyejukkan hawa gerah. Hujan masih bercengkrama dengan ramah - membasuh hati gundah.
Aku terdiam menatap hujan yang cukup deras, nampaknya ia tak mau berhenti sebelum ada beberapa wilayah yang dibanjiri oleh kehadirannya. Berkali-kali kutatap jam tanganku. Semakin sering. Semakin sering. Sampai-sampai aku hanya ingat jarum panjang yang menunjuk angka duabelas dan jarum pendek menunjuk angka tiga. Waktu seakan-akan tak berjalan, sulit sekali ia menyeret langkah kakinya untuk satu detik atau satu jengkal nafas saja. Aku terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa. Hanya menatap hujan. Berkali-kali. Terus-menerus. Ditemani This Conversation milik Mocca yang menggelitik gendang telingaku.
Duapuluh menit. Tigapuluh menit. Tak ada tanda-tanda bahkan isyarat bahwa hujan akan berhenti. Nampaknya, aku memang harus berani menerobos hujan yang telah mengunci tubuhku di dalam mobil. Aku tak membawa payung. Tak ada jaket atau jas hujan. Aku nol besar. Tapi, aku memang harus menemui seseorang di dalam gedung pencakar langit itu, gedung yang puncaknya hampir menyentuh langit - seperti dekat dengan surga. Sangat dekat. Lebih dekat.
Kutatap lagi jam tanganku, ia bergerak lebih malas dari sebelumnya. Aku memukul stir mobil. Sialan! Hancur semua renacanaku! Tapi... semua memang sudah berlalu, lebur harapan dan keinginanku, seharusnya aku tak perlu datang ke gedung pencakar langit itu. Nyatanya, aku harus masuk! Harus! Dengan cara apapun itu! Dengan cara yang kusuka atau bahkan tak kusuka. Dengan cara yang tidak menyakitiku atau bahkan - menyakitiku.
Begitu bersemangat, pintu mobil terbuka, luruh air hujan membasahi seperempat bagian jok mobil. Hujan memang terlalu deras. Aku berlari, menerobos keributan massal yang diciptakan hujan. Terus berlari. Menerobos. Melaju. Sampai akhirnya tatapanku menyentuh pintu masuk gedung pencakar langit yang kuceritakan tadi.
Gedung ini memang tak terlalu ramai, seperti gedung-gedung lainnya, selalu ada seseorang atau bahkan lebih yang menjaga pintu masuk. Namun, tatapan mereka berbeda, tak ada emosi yang kubaca dalam tatapan mereka - kehampaan. Aku tak mampu melihat apapun dari mata mereka, seperti ada yang telah merenggut jiwa mereka, hingga sinar mata mereka pun kerut serta hilang.
Siapa peduli? Lagipula aku tak mengenal mereka, begitupula mereka tak mengenalku. Aku masuk dengan langkah santai, tatapanku menyapu pada setiap orang yang mengenakan pakai yang berwarna sama - putih. Mereka tampak seperti kapas yang gagal terbang, sehingga hanya mampu berdiam di daratan dan menggeliat di antara hiruk pikuk gedung. Seharusnya, aku tak perlu menyertakan kata hiruk pikuk pada kalimat sebelumnya, karena gedung ini memang tak terlalu ramai. Bahkan, setiap kali ada di gedung ini, aku merasa hanya ada diriku dan pilar-pilar kokoh itu. Hanya ada tubuhku yang terpantul dari mengkilatnya lantai gedung ini.
Aku duduk bukan di tempat biasa, tempat duduk yang satu ini tidak pernah aku duduki. Ah... siapa peduli? Hanya tempat duduk, tempat duduk tak memerlukan perhatian lebih dariku. Aku terus menunggu, orang yang katanya berjanji berpandangan denganku senja ini. Tapi, nihil! Orang itu tak memunculkan batang hidungnya.
Terpaksa aku hanya melamun, beberapa menit setelahnya ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku tak tahu pasti kapan orang itu telah duduk tepat di depanku, yang kutahu, saat tiba-tiba kepalaku terangkat, orang itu telah siap dengan pandangan matanya – menyorot mataku begitu dalam.
Di tatap seperti itu, aku jadi mati rasa. Jarak pandangan kita juga tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh sentimeter. Bayangkan! Tiga puluh sentimeter! Aku tak memerhatikan wajah orang itu, bagaimana bentuk hidungnya, bentuk rahangnya, bentuk pipinya, dan bentuk bibirnya. Aku hanya terpaku pada matanya. Tanpa kata-kata. Dia melemaskan sendi-sendi di tubuhku.
Beberapa menit kita saling menatap, dari mata ke mata, tak ada isyarat kata. Bibirku dan bibirnya sama-sama terkunci. Lidahku dan lidahnya seperti digondol kucing. Matanya bening, sungguh aku sangat ingin menceburkan diri di tempat sejuk itu, berenang-renang bebas pada aliran sejuknya. Mata itu benar-benar menghipnotisku, seakan-akan gravitasi tak berlaku lagi dalam semestaku.
Mata itu seakan-akan bicara kepadaku. “Berikan pandanganmu sepenuhnya.”
Maka aku berikan pandanganku sepenuhnya, hanya untuk mata indah itu, mata yang telah memabukkan pikiranku.
Bola mataku bergerak-gerak, kami berbicara dengan isyarat mata yang meliak-liukan tatapannya. “Apakah kita pernah saling mengenal? Sepertinya wajahmu begitu akrab dalam mimpi-mimpiku.”
“Aku memang hadir dalam mimpimu juga nyatamu, bukankah kenyataan juga mimpi? Hanya saja mimpi yang menyakitkan.” desah mata indah itu, begitu lembut, meremas logikaku.
Mataku tertawa digoda seperti itu, begitu lama kami bertatapan hingga senja sudah kelewatan. Benar-benar tak ada sentuhan. Hanya mata kami saja yang saling berseliweran. Tatapan hangat itu seperti memeluk tubuhku, begitu hangat, begitu lekat, hingga aku rela terjerat.
Bulan berganti peran dengan matahari, hari sudah semakin gelap, gedung pencakar langit juga nampak lelah karena terus-menerus mencari surga namun tak mampu menyentuh dan mengenggamnya.
Kami berpisah namun berjanji saling bertemu lagi. Tak saling bertukar alamat atau bertukar nomor kontak, karena kami yakin pasti akan dipertemukan, walaupun peran takdir bisa saja mengecohkan.
Berjam-jam sudah kami saling bertatapan, langit juga menghitam, mata kami sangat butuh istirahat.
Lalu kami berpisah, tanpa kecupan dan lambaian tangan.
Apa yang harus ditakutkan dari sebuah perpisahan? Bukankah perpisahan turut menjamin sebuah pertemuan?
Kami saling melepas pandang. Kami saling memasuki dunia yang berbeda. Berhari-hari sudah seusai peristiwa itu. Selanjutnya setiap hari kami bertemu, dari pagi hingga malam hari, dari adanya matahari hingga munculnya bulan. Kami tak bicara. Kami tak butuh kata-kata. Aku dan dia hanya butuh pandangan mata.
Terbiasa dengan tatapan mata, sekarang mata kami juga punya keahlian khusus yang tak dimiliki orang lain. Kami bisa saling menyelami hati dan pikiran lewat mata kami. Rasanya sangat menyenangkan bisa memandang matanya sampai matahari tenggelam. Aku sungguh jatuh cinta pada waktu-waktu yang kami habiskan bersama, saat mataku dan matanya berbicara dengan bahasanya.
Berbulan-bulan berlalu. Aku tak tahu rasanya bersentuhan, yang kutahu hanyalah sinar matanya yang hangat, begitu hangat hingga aku lupa rasanya menggiggil. Aku bahkan tak tahu bagaimana bentuk wajahnya dan bagaimana bentuk lehernya.
Matalah yang membuat kita saling jatuh cinta, tapi mata itu juga yang membuat aku dan dia tak saling bersentuhan. Rasanya aneh jika mencintai hanya didasarkan pada mata, tanpa sentuhan fisik dan beberapa sentuhan kecil lainnya. Bukankah sentuhan itu juga yang mampu menumbuhkan bunga-bunga di hutan rimba bernama hati? Apa gunanya tatapan mata? Apakah mata adalah segalanya? Bagaimana jika kita kehilangan lidah? Mulut? Tangan? Kaki?
Hanya ada mata. Apa yang bisa kita lakukan oleh dua benda bulat yang bergerak dan meliak-liuk di kolam yang setengah basah itu?
Apakah duniaku dan dunianya hanya ada di balik pandangan mata?
Mata itu kembali berbicara dengan desah lembutnya. “Apakah kau mencintaiku?”
“Tentu saja.” bisikku melalui mataku.
Untuk berbicara, kami tak perlu benar-benar mengeluarkan suara. Mataku dan matanya cukup mengerti, hatiku dan hatinya bergetar mengikuti bahasa mata kami.
Detik berganti menit, menit meremas jam, jam meremas hari, tiba-tiba ia menyentuh jemariku dengan begitu lekat. Telunjuk kami seperti merindukan sepotong percakapan. Jemariku dan jemarinya bergerak berirama, saling mengenggam dan mengisi celah-celah kecil di jemari kita.

Melanjutkan hidup (Selanjutnya kita)





Ku sesap lagi satu tegukan kopi hangat yang sedari tadi setia menemani. Sudah hampir satu jam aku hanya berdiam diri dicafe ini. Hampir setiap malam, setelah pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk makan atau hanya sekedar memesan satu gelas kopi hangat. Sejak saat itu, tempat ini sudah menjadi tempat favoritku. Ada semacam kekuatan magis dicafe ini yang membuatku merasa nyaman untuk menikmati malam.
Tidak ada sesuatu yang benar-benar bisa dikatakan spesial dari cafe ini, bahkan boleh dikatakan cafe ini cukup sederhana bila dijajarkan dengan beberapa cafe yang ada didaerah ini. Namun, pengunjung selalu merasa nyaman untuk berada disini. Bercengkrama dengan pasangan, tertawa lepas dengan teman-teman sekerja, atau mendulang lamunan, seperti yang selalu ku kerjakan hampir 3bulan ini.
Jam menunjukkan pukul 21:30, tapi belum ada tanda-tanda cafe ini akan menidurkan diri, dan sejujurnya aku juga masih enggan beranjak dari mahluk bernama sofa ini.
Kulirik ponsel, tertera beberapa missedcall dan SMS dari nomer yang sudah kukenal dan hampir kukenal mati tiap digitnya. 'Sudah terlalu larut malam, mau pulang jam berapa?' Dengan malas kubalas 'satu jam lagi' kutekan tombol send, dan kembali menekuni bening hitam dihadapanku.
Pandanganku terbuang jauh ke ujung sana, ke masa beberapa tahun silam. Saat keseharianku masih diiringi rona merah muda. Saat hanya ada kupu-kupu dan bunga warna-warni yang menjalari tiap sisi. Saat disana masih ada kamu, sosok yang siluetnya saja masih tergambar jelas didalam fikiran. Tidak ada hal lain yang pantas kutanyakan selain kabarmu, aku hanya ingin mendengar kabar baik tentangmu. Apa mimpimu sudah mendekati kenyataan? Mimpimu yang sudah kau rancang sedemikian sempurna, apa sudah terwujud? Apakah Dia mengetahui tentang semua rencana-rencana hebatmu? Apakah dia turut membantumu? Entahlah, aku hanya bertanya. Tak perlu mendengar jawaban darimu.
Kita berpisah, tentu saja. Kau mengucapkan kata itu seperti kau tak menggunakan fungsi otakmu secara penuh. Semudah itu semuanya berakhir, semudah mengungkap janji, lalu mengingkari seenak hati. Tentu saja, lukaku belum benar-benar bisa kering. Bagaimana mungkin semua bisa berakhir semenyakitkan ini? Semua yang awalnya sangat menyenangkan, kenapa harus berakhir menyedihkan?
Kau dijodohkan, itu pembelaanmu. Atau lebih tepatnya kau memilih jodohmu, tapi itu bukan aku. Apa aku dimatamu? Pertanyaan itu selalu mengukung dan mengurungku pada rasa kepunahan kepercayaan diri. Seperti aku tak berharga apa-apa lagi.
Kita yang begitu manis, harus berakhir tragis. Kau memilihnya, dan rencana pernikahan kalian telah di depan mata. Pernahkan terfikirkan olehmu bagaimana jatuh bangunnya aku untuk menyembuhkan luka yang kau lukis dengan ucapan cinta itu? Kenyataannya, kau terlalu sibuk mendendangkan lagu asmara bersama kecintaanmu yang baru. Mengingatku, mungkin hanya akan membuang-buang waktu berhargamu.
Apa yang kulakukan saat itu? Tidak banyak, hanya menata hati yang sudah hancur berantakan. Kau tahu? Aku masih sempat mempercayai kau akan kembali berbalik arah padaku. Menenangkanku dan berkata kalau semua akan baik-baik saja, merengkuhku dan memberikan sentuhan hangatmu seperti dulu. Tapi apa yang terjadi malah jauh dari harapanku. Adegan-adegan standar sinetron cinta murahan seperti itu ternyata tidak pernah terjadi. Semua janji manismu hanya omong kosong yang enggan menyentuh bibir kenyataan. Kau malah bergerak semakin menjauh, membiarkan mainan lamamu ini terlunta-lunta dijalanan.
Kata-kata terakhirmu masih tercatat jelas dimemori otakku. Kau mau, aku melanjutkan setiap hariku seperti biasa dan mulai memberikan kesempatan kepada orang yang lebih baik. Apa kau fikir semua bisa dilakukan segampang itu?
Memang benar, setelah kejadian menyakitkan itu ada banyak yang menawarkan diri untuk mengobati luka yang kamu tinggalkan. Tapi, semuanya tidak benar-benar mampu memahami kesakitan yang kau ciptakan. Mereka malah sibuk menuntut kejelasan tanpa mengerti situasi. Mungkin ada, seseorang yang hampir bisa mengerti bagaimana bisa memahamiku. Tetap saja, dia tidak sepertimu. Dan sejujurnya, mencari replikamu itu sungguh pekerjaan yang melelahkan..

Sudahlah, sudah terlalu malam. Cafe ini juga sepertinya akan segera tutup. Aku harus segera pulang, melanjutkan hidup dan mulai mengiklaskan masa lalu. Aku tidak ingin melukai orang yang akan membahagiaakan ku kelak dengan masa lalu.
Semoga pilihanmu tidak benar-benar mengecewakan.

Semoga tidak ada lagi hujan dimatanya,,,( BagII )




Apakah gadis itu kembali??


Rasa penasaran membawaku kembali ke Danau Badugul. Entah mengapa, aku mengharapkan gadis itu datang.
Dan sesuai perkiraanku, gadis itu memang ada. Ditempat yang sama dua hari lalu.
"Mengapa datang lagi?" Tanyaku heran. Kemarin hujan, seharusnya ia tidak datang lagi kesini untuk memasang boneka itu.
"Kemarin, tidak ada dia," ujarnya tanpa ekspresi. Ia hanya memandang lurus kedepan.
"Dia?"
"Iya."
Aku semakin tidak mengerti. Dia? Dia siapa? Mendadak ada yang meledak-ledak didalam hatiku. Namun entah. Aku tidak bisa mendeskripsikannya.
"Maksudmu?" Aku bertanya lagi. Penasaran.
Pernah merasakan ketika kau bertanya sesuatu dan kau mengharapkan jawaban darinya, sementara disisi lainnya kau malah tidak ingin mendengarnya?
Aku sulit mengatakannya. Tapi yang jelas, seperti itulah keadaanku saat ini.
"Kemarin tidak ada pelangi".
"Eh?"
"Kemarin, tidak ada pelangi" iya mengulangi jawabbannya.
Aku merasakan ledakkan-ledakkan tadi seperti diguyur air es dingin.
"Kau..., selama ini...hanya Pelangi?" Aku berusaha menenangkan perasaanku sendiri.
"Ya, pelangi."
"Hanya pelangi? Kau mengharapkan sesuatu yang sama sekali tidak kau sukaa hanya untuk melihat pelangi?".
Dia menatapku tajam.
"Jangan kau pikir segalanya semudah yang kau bayangkan," bentaknya keras
Ia mulai bangkit dari tempat kami duduk, lalu beranjak pergi. Akupun langsung menahannya.
"Kenapa?" Tanyaku pelan, merasa bersalah.
Aku membalikkan badannya.
Ia... Menangis?
"Maafkan aku". Ucapku.
Iya menyapu air mata dari pipinya "aku tidak apa-apa".
"Kau tahu, perempuan itu adalah orang yang paling susah dalam menyembunyikan perasaannya. Dan kau berkata kau baik-baik saja, aku tidak melihatnya demikian." Aku menarik nafas panjang "Kau kenapa?" Tanyaku hati-hati.
Aku kembali mengajaknya duduk. Namum saat ini, kepalanya menyandar dipundakku.
"Bibi bilang, pelangi adalah jalan menuju surga," ia membuka ceritanya, "Saat kau tidak ada lagi didunia ini, kau akan menjelma jadi satu dari warna pelangi itu."
Aku mengangguk paham, aku pernah tau mitos itu dari buku legenda Jepang.
"Bibi bilang, kita bisa menemui orang-orang yang tidak ada itu saat datang pelangi. Dan itu yang sedang aku lakukan sekarang. Aku... Sedang berusaha bertemu Bibi."
"Dia?." Tanyaku dengan hati-hati
"Meninggal, dua minggu lalu. Saat musim hujan. Hujan-hujan. Ia tertabrak truk."
Aku bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut matanya. Refleks, aku menyekanya dengan tangan kananku.
"Maka dari itu..., aku selalu ingin bertemu dengannya lagi. Aku hanya ingin melihatnya lagi,". Ujarnya sesenggukan.
Aku mendekapnya erat, tidak bisa berkata apa-apa. Dalam diam, aku bicara.
"Menangislah, buat apa berpura-pura kuat? Menangislah karena kau memang ingin menangis. Itu akan membuatmu merasa lebih baik.". Aku berujar sambil mengusap-usap kepalanya.
Dan, ia menangis.
Dan, itu adalah nyanyian paling pilu dalam hidupku.

****
Pompa air dan kaca.
Aku memasukkan barang-barang itu kedalam tas selempang yang kukenakkan, lalu mengayuh sepeda ke Danau Badugul.
Dia pasti masih disana.
Pasti,,,,
****
"Sudah kuduga kau akan datang lagi kesini". Aku berujar ketika melihat gadis itu.
tidak ada yang berubah darinya. Masih tanpa ekspresi, masih tanpa senyum, masih sedihh.
"Ayo ikut aku sebentar." Aku menarik tangannya ke sisi danau.
Sensasi dingin langsung menyambar kekaki kami berdua ketika aliran sungai memecah dikaki.
"Duduk disini,". Kataku sambil menunjuk pinggiran danau.
Kukeluarkan alat-alat yang sedari tadi ada didalam tas selempangku. Pompa air dan kaca.
Aku menaruh kaca disisi lain sungai. Sinar matahari langsung terpantul mengikuti aliran sungai. Yang kedua, aku ambil pompa lalu mengisinya dengan air.
Semoga berhasil, aku berdoa dalam hati sambil mengarahkan pompa itu ke sinar matahari yang dipantulkan oleh kaca.
Gadis itu menatapku dengan heran, namun aku tak perduli.
"Kau tahu, aku pernah merasakan kehilangan. Ayahku, beberapa tahun lalu. Aku memang sedihh, sungguh. Semua seolah-olah hancur berantakan. Sama sepertimu.".
Aku kemudian menyemburkan air dari pompa yang ada. Butir-butir itu langsung saja menimpa sinar matahari, membentuk spektrum-spektrum warna-warni: Pelangi.
Ia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan. Aku bisa melihat ia sesenggukkan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku hanya ingin kau tahu, kebahagiaan itu diciptakan. Bukan menunggu dengan sendirinya. Kebahagiaan itu ada didalam diri setiap orang, bukan bergantung pada hal lainnya.". Jelasku panjang lebar.
"Kini, kau tak perlu menunggu hujannya terlebih dahulu, baru kau bisa melihatnya. Kau tidak perlu lagi berpura-pura menunggu hal yang sama sekali tidak kau sukai untuk melihat hal yang kau sukaa. Kau hanya perlu terbuka, untuk melihat sekelilingmu. Melihat kebahagiaan disekitarmu".
"Dan, jika kau sudah bisa melakukan itu, kau akan bahagia,". Tutupku.
Kami berdua membisu. Aku pun menghampirinya.
"Terimakasih, terimakasih banyak karena telah membuatku sadar," ujarnya sambil mengusap air mata dipipinya. Ia kemudian menegakkan kepalanya, lalu tersenyum.
Melihat itu, aku ikut tersenyum. Dadaku mendadak bergetar hebat. Ada perasaan seolah-olah ketika melihat senyumnya, semua hal indah didunia ini kalah akan kehadirannya.
"Siapa namamu?" Tanyaku gugup. Entah apa yang aku gugupkan. Aku hanya merasa...
...Gugup
"Nama asliku, atau nama indonesiaku?" Tanyanya dengan nada malu-malu.
"Tentu saja nama aslimu, nama yang dipanjatkan ketika kita terlahir didunia" jawabku seraya tersenyum.
"Mit... Mitsuko Ka...Katone,". Ia menjawab terbata-bata. Seketika mukanya bersemu merah seperti Tomat.
Aku tertawa geli melihatnya seperti itu. "Aku tahu mengapa kau tidak sukaa hujan," ucapku padanya.
"Katamu pertama kali, semua orang jepang membenci hujan". Ucapnya dengan mulai berani menatapku.
"Berbeda kasus denganmu. Mitsuko berarti cerah. Kau pasti benci hujan". Aku berkata sambil tersenyum lebar.
"Dan... Memang benar... Suaramu sangat indah seperti Kotone. Alunan harpa". Lanjutku.
Ia nampak salah tingkah aku puji seperti itu. Aku bahkan heran sendiri, dari mana kata-kata itu keluar. Mengapa aku mendadak romantis? Tunggu, romantis?
"Namamu?" Tanyanya balik kepadaku.
"Ghe eria madewa".
"Cocok."
"Eh?"
"Kau memang seperti kesatria hebat dengan budi sehangat dewa. Tempat semua orang bersandar." Ia mengerlingkan matanya yang bulat dan teduh itu.
Kali ini, giliran aku yang salah tingkah. Untuk mengisi kekosongan, aku mengambil boneka kecil itu dari tangannya. Ia tampak heran dengan apa yang aku lakukan. Namun ia biarkan. Aku mengambil spidol dari tas selempang yang kubawa, lalu kucoretkan lengkungan diatas dan dibawah gambar hidung yang dibuatnya.
Setelah selesai, aku lantas menggantungkannya pada pohon Linden dibelakang kami.
"Aku harap besok cerah," kataku pelan.
Ia tampaknya mendengar apa yang aku ucapkan, lalu tersenyum kecil.
'Semoga tidak ada lagi hujan dimatanya' aku merapalkan harapan-harapanku.

Setelah memasangkannya, aku berbalik menata gadis menawan ini, lalu menggenggam tangannya.
"Mitsuko, besok.. Maukah kau berkencan denganku?"