Lantai
sebelas sepi. Nyaris semua penghuninya keluar makan siang, hanya ada
dua-tiga orang saja yang masih berkutat di depan komputer masingmasing.
Dan salah dua di antaranya adalah gadis dan pemuda yang duduk jauh
berseberangan itu. Terpisah oleh meja-meja dan partisi setinggi pundak,
juga dispenser dan printer sentral multi fungsi di tengahtengah ruangan.
Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut,
disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari
sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar
memang paras muka masing-masing, tetapi kalian masih bisa dengan mudah
memahami gerak tubuh orang di seberangnya.
Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali
ke depan, ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri,
kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari
ini gadis itu ingin berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun
dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi
sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Tetapi
nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri
pekerjaannya.
Detik demi detik, waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang
tinggal tiga puluh menit lagi. “Ayolah, lakukan saja,” bujuk separuh
jantungnya. “Bodoh! Kau hanya akan mempermalukan dirimu saja!” separuh
jantungnya lagi menyela dengan sinisnya.
Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan keraguannya, akhirnya
gadis itu nekad memberanikan diri berjalan menghampiri, toh ia bisa
berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati meja pemuda itu
jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang
lalu, melangkahlah kakinya mendekat.
“Nggak makan siang, Zhar?” gadis itu berusaha menegur senormal mungkin, tersenyum selepas mungkin.
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Balas tersenyum. Menggeleng.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum mengangkat bahu,
menanti harap-harap cemas reaksi pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya
balas mengangkat bahu,
“Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Begitulah.
Gadis itu sekian detik kecewa, sia-sia sudah, tak ada lagi yang bisa
dilakukannya selain beranjak lemah melangkah menuju pintu keluar.
“Seharusnya, si bodoh itu bilang, ‘Ah, kebetulan sekali. Aku juga belum
makan. Mau kutemani?’ Dasar bodoh!” umpatnya dalam hati. Atau karena ia
kurang jelas menyampaikan maksudnya? Seharusnya ia bilang saja langsung,
“Kamu mau menemaniku?” seperti yang seringkali dilakukan Susi saat
menggoda manajer lantai sepuluh.
Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya kan? Ia bukan type Susi yang
agresif. “Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti,” umpatnya sekali lagi.
***
Berkali-kali ia melirik gadis di seberangnya. Menunggu tak sabaran.
“Kapan lagi ia akan turun makan siang?” serunya dalam diam. Apakah ia
harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama,
seperti yang selalu dianganangankannya? Tidak. Ia tidak pernah memiliki
keberanian untuk melakukannya.
Kegelisahaan pemuda itu semakin memuncak, istirahat siang tinggal
tiga puluh menit. “Ayolah, berdiri,” mohonnya dalam-dalam. Ia
menangkupkan kedua telapak tangannya.
Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. “Ya Tuhan,
semoga ia melewatiku. Please, God!” si pemuda bersorak penuh harap.
Tentu saja gadis itu harus melewatinya, karena pintu keluar terletak
dekat mejanya.
Suara sepatu gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si
pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer,
mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua
pekerjaannya sudah rampung setengah jam yang lalu. Sedari tadi ia sudah
ingin turun makan siang, tetapi seperti dua hari lalu, ia ingin sekali
berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling
menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat
makan “favorit” masingmasing.
Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia
bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tidak
berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet,
bukankah letaknya searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekadar
tersenyum menyapanya.
“Nggak makan siang, Zhar?” ternyata gadis itu justru menegurnya, sambil tersenyum.
Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini
diluar rencananya, apalagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si
pemuda bingung hendak menjawab apa.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekadar menggeleng patah-patah,
dan tersenyum dengan muka kebas. “Semoga ia tidak melihat tampang
tololku,” keluh pemuda itu dalam hati.
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu.
Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah
waktunya, ajak ia makan siang bersama. Bukankah ia “mengundang”mu?
Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar tak tahu harus bilang apa.
Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir, dan
di tengah kegaguan ia justru berkata, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta.
Kayaknya dia juga belum makan!”
Ya ampun, apa yang telah kukatakan, si pemuda menekuk lututnya.
Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan
amat anggun hilang dari pandangan.
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan
untuk berlibur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak direktur
membatalkan rencananya. Lagipula bukankah itu berarti semua orang akan
hadir di sana, dan jika semua orang hadir itu berarti pemuda itu juga
akan datang. Ia senyumsenyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh
harapanharapan.
Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk
di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika sedikit beruntung
mungkin saja bisa pergi-pulang ke tempat pesta bersama-sama.
Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, pemuda itu
dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat berangkat kerja
(ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang,
dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan
mejanya sebelum turun pulang) pemuda itu sedikit pun tidak pernah
menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana hendak menyinggungnya, jika
selama ini mereka sekadar saling ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali
gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, “Minggu depan, kamu
datang gak ke tempat pernikahan Vania?” tapi ia selalu gagal.
Jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu
menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya jika tidak maka
musnah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habishabisan
meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar
kakinya melangkah, “Ya Tuhan, tolonglah….” seru batinnya lirih.
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Kentara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya. Gadis itu
membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu
mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan nafasnya
dalam-dalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!”
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God.
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi
pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng,
pelan berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, “Ya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
“Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali,” umpat gadis itu dalam hati. Jika sudah begini apalagi yang harus dilakukannya?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?”
pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di
sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh
serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum
jantan mendekati Dahlia.
“Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
Gadis itu hendak mengangkat bahunya: keberatan. Tetapi hatinya yang
berkali-kali mengumpat, “Dasar bodoh, harusnya kau melakukannya seperti
Andrei. Harusnya kau menyela dan berkata, ‘ia tidak akan pergi
bersamamu, ia akan pergi bersamaku’” kesal sekali, dan tanpa disadarinya
ia justeru menganggukkan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil
memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu
hari minggu! Jangan lupa, dandan yang cantik.”
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu
menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu,
sekadar untuk bilang, “Hai, kamu mau pergi bareng aku ke pernikahan
Vania, gak?” ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan
mengajaknya pergi bersama.
Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja
menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat
pulang kerja (ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum
beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah
ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku,
lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak.
Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu.
Bertanya langsung padanya, “Apakah kau mau pergi bersamaku,” tapi
berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Sore jum’at semakin senja.
Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin
tipis. Ia harus melakukannya, jika tidak ia akan menyesalinya seumur
hidup. “Lakukan sekarang juga, Zhar,” bisikan itu semakin kencang.
Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan.
Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justeru terlihat
berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. “Ya Tuhan, semoga ia
melewatiku, please God.” Desak batinnya kuat-kuat. “Jika ia melewatiku,
aku berjanji akan menanyakan soal itu,” janjinya untuk kesekian kali.
Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia
semakin dekat, dan debar jantungnya semakin kencang. Dengan meneguhkan
hati pemuda itu bersiap untuk menyapa,
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Gadis itu sambil tersenyum ternyata lebih dahulu menyapanya. Pemuda
itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha
tersenyum senormal mungkin. Menarik nafas dalamdalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” Ya Tuhan, padahal pekerjaan untuk minggu depan pun sudah kurampungkan.
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas.
Ayolah katakan. Ajak dia. Ayolah katakan. Tetapi separuh jantungnya yang
lain gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri,
bodoh. Bagaimana kalau dia menolak?
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan, pemuda itu mengumpat
berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama.
Senyuman gadis ini membuatnya sedikit pun tidak bisa berpikir sehat
lagi.
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ayolah katakan. Ajak dia. Bukankah ia telah memberikan kode padamu.
Sedikit lagi…. tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkeram keras-keras
kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu, bentak separuh jantungnya. Dan
tanpa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang
lain, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia teringat Sinta, mungkin
dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit
membantu, maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun pemuda itu justeru
berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu
dengan tetap tersenyum berkata pelan, “Ya, katanya sakit, sepertinya aku
harus berangkat sendirian.”
Ya Tuhan, kerusakan apa yang telah kuperbuat?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?”
pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di
sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh
serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum
jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng
aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
“Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju,” pemuda itu memohon dalam
hatinya. “Jangan sampai kau pergi dengan bajingan ini. Ia playboy kelas
kakap, dan kau akan terperangkap.” Tetapi gadis itu justeru tersenyum
menganggukan kepalanya.
Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata
menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa dandan
yang cantik.”
***
Ia mengharapkan pagi ini pemuda itu yang datang menjemputnya. Tetapi
justru Andrei yang datang parlente memencet bel. Tak tahu malu, Andrei
mengaku sebagai pacarnya. Dan gadis itu dengan terpaksa tersenyum masam
menanggapi godaan ibu dan bapaknya, “Akhirnya, anak gadis kami pergi
dengan teman lelakinya. Nak Andrei jangan sampai kau membuatnya
menangis, loh!” Itu kata ayah gadis itu sambil tersenyum di balik pagar.
Dan pemuda playboy ini tersenyum begitu meyakinkan menggandengnya.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi,
Susi pun sempat berbisik pelan, “Gila lu, katanya pemalu. Ternyata yang
kakap begini berhasil juga lu gaet!” mukanya memerah. Dengan tingkah
laku Andrei yang sangat berpengalaman, gadis itu merasa di dahinya
seakanakan tertempel baliho besar yang menunjukkan kalau mereka berdua
benar-benar pasangan hebat. “Bodoh, seharusnya kaulah yang bersamaku
sekarang,” umpatnya dalam hati, mencari sosok pemuda itu dalam
keramaian. Dan si bodoh itu ternyata berdiri tak acuhnya di pojok
ruangan. Menyendok koktail. Seolah tak peduli kehebohan yang sedang
terjadi.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah
panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai
sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai saat mereka berkumpul, si bodoh
ini justeru semakin tak peduli.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!”
seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum
lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja
takkan ia lakukan.
Gadis itu kusut sekali dengan senyum tanggungnya. Berkali-kali ia
melirik pemuda itu. “Ya Tuhan, seharusnya yang kau lakukan saat ini
memegang kerah Andrei, dan menonjoknya kuatkuat, dasar bodoh, dan bukan
justru sebaliknya ikutikutan tertawa.”
Gadis itu tersenyum getir.
***
Pagi ini seharusnya ia-lah yang sambil bersiul datang memencet bel
rumah gadis itu. Tersenyum takzim menyapa calon mertua. Tetapi lihatlah,
ia justeru kacau berdandan seadanya, memakai kemejakusut dasi-berdebu,
berjalan gontai menghidupkan kendaraan, berpikir gadis itu pasti sedang
tertawa bahagia bersama playboy kelas kakap itu.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi.
Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, mereka
benar-benar kelihatan seperti pasangan hebat. Gadis itu terlihat
tersenyum kemana-mana, mengumbar kebahagiannya. “Begitu mudahkah ia
terpikat dengan playboy itu?” dengan masam pemuda itu menyendok koktail
di pojok ruangan. Jantungnya pedih sekali.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah
panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai
sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai ketika mereka berkumpul, gadis
itu justeru terlihat tersenyum semakin bahagia. “Ia benar-benar
menikmatinya,” bisiknya lirih.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!”
seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum
lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja
takkan ia lakukan.
Gadis itu tersenyum, semakin mengembang. “Bah. Ia sedikit pun sama
sekali tidak menatapku,” bisik pemuda itu dalam hening. Berkali-kali
melirik mencoba memberikan kode. “Lihatlah aku, Dahlia. Please. Bukankah
aku lebih baik darinya? Sesungguhnya apa yang kau cari?” terluka pemuda
itu meratap dalam diam. Dan ketika mereka berfoto bersama. Bajingan itu
merengkuh lebih erat lagi bahu gadis itu.
Dan ketika semua teman-teman lantai sebelas turun, mereka berdua
masih berdiri di sana, berfoto berempat bersama kedua mempelai. Gadis
itu sekali lagi tersenyum amat bahagia. “Senyum mempelai wanita saja
kalah,” umpat pemuda itu dalam hati. Maka semenjak detik itu, si pemuda
dengan jantung tercabik-cabik mengubur dalam-dalam segenap cintanya.
“Cinta memang tak pernah adil,” keluhnya terluka.
***
:D
“Hai!” Gadis itu tersenyum.
“Hai!” Pemuda itu juga tersenyum.
Pintu lift menutup pelan. Keheningan kemudian menyelimuti. Tak pernah
ada yang bisa mendengar dengung lift bergerak, tetapi bagi mereka
berdua yang sedang takzimnya, bekas telapak tangan di kaca lift pun
terlihat amat jelas. Si gadis sembunyisembunyi melirik. Si pemuda
batuk-batuk kecil berusaha mengendalikan perasaannya. Mereka bertatapan
sejenak. Gelagapan bersama.
“E, mau makan di mana?” si pemuda pura-pura merapikan dasinya.
Mukanya merah kebas. Ia tahu persis gadis itu selalu makan di basemen
itu. Gadis itu juga tahu persis pemuda itu lebih suka makan di lantai
satu.
“Lanti satu! Lu, mau makan dimana, Zhar?”
“Basemen!” Ya ampun, ia sungguh tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Basa-basi saling melambaikan tangan, mereka berpisah saat pintu lift
terbuka. Berharap seharusnya mereka saat ini justru sedang bergandengan
menuju kafe di menara atas.
Kafe para pencinta.
***