kau juga akan dibahagiakan.






Hujan lagi. Dibulan agustus, ini baru hujan kedua yang turun. Entah apa yang di fikirkan oleh dunia hingga menurunkan hujan saja sudah sangat malas. Atau mungkin, sang pencipta mulai jengah dengan sifat manusia yang tak bersyukur. Ketika diturunkan hujan, mereka mengutuk-ngutuk butiran-butiran bening itu dengan berbagai kata cacian, tapi jika musim kemarau tiba, mereka malah mengeluh setiap waktu, meminta mahluk manis itu tumpah dari langit. Entahlah, manusia memang membingungkan. tiap-tiap manusia mampu menciptakan setidaknya tiga keluhan setiap harinya, satu minggu sudah dua puluh satu, satu bulan sudah sembilan puluh keluhan. Itu baru satu manusia, bagaimana jika dihitung dengan semua manusia lainnya? Sudah milyar keluhan yang ada tiap bulannya mungkin. Keluhannya juga tidak melulu tentang hujan dan panas. Bisa jadi tentang keluarga, teman, profesi, bencana dan sebagainya. Tapi, ada sebuah masalah yang menjadi topik paling hits dihampir seluruh belahan dunia. Sering di hindari, namun malah datang tanpa permisi. Ada yang menyebuhnya Cinta. Dari anak usia Dini hingga orang tua yang telah lanjut usia, selalu hampir tiap detiknya merasakan adanya cinta ditiap-tiap helaan nafas. Disadari atau tidak, cinta selalu berperan aktif dalam kehidupan manusia mulai dari bangun pagi, hingga tidur malam. Mulai dari lahir kedunia, hingga ajal menutup mata. Apa itu Cinta? Entahlah. Tidak ada definisi khusus yang bisa menjelaskan tentang perasaan yang satu ini. Hanya lima huruf, namun mampu menghasilkan efek yang bermacam-macam; Rindu, senang, bahagia, tawa, tangis, luka. Siapa yang mampu menolak kehadirannya? Tidak ada. Bahkan seorang penjahat yang paling jahatpun tak mampu menolak kehadirannya. Dia datang, secara diam-diam. Sembunyi dengan rapi, dengan senyum malu-malu. Jeratnya memang sangat licik. Tau-tau hati seorang anak manusia dibuatnya gelisah, bimbang, tak tenang. Tiap hari dirundung rindu, dibuai oleh mimpi-mimpi manis. Apa yang dibutuhkan cinta? Tidak ada, karena cinta sudah cukup bagi dirinya sendiri. Apa yang dia inginkan? Kebahagiaan? Lalu kenapa ada perpisahan, pertikaian dan air mata? Ada kebahagiaan yang dibumbui dengan kedukaan, ada pula duka yang ditutup-tutupi oleh kebahagiaan. Cinta itu absurd? Tentu saja. Bahkan bagi orang yang mengaku tengah jatuh cinta saja tidak mengerti apa arti cinta sesungguhnya. Apa cinta baginya? Entahlah, jawabnya. Mereka hanya merasa tertarik, ingin menjaga, ingin memiliki dan begitu menyukai. Jika begitu, apa bedanya dengan obsesi? Maknanya toh sama saja. Aku pernah membaca sebuah artikel yang judulnya sangat mainstream "Cinta dan Obsesi itu sama-sama menakutkan". Sayangnya, sang penulis artikel hanya menaburkan dampak-dampak buruk dari kedua perasaan itu. Yang dikatakan disana, kedua benda ini tak menghasilkan sesuatu dampak yang baik. Jika ada, itu klise. Ada bagian yang paling aku sukaa diartikel itu. Bunyinya begini, "cinta itu adalah kegilaan yang dibuat secara bodoh oleh manusia-manusia pendahulu nenek moyang kita". Lantas "obsesi itu adalah kenyataan yang sudah ada dan menjadi awal terbentuknya kebohongan tentang perasaan bernama cinta".

Secara pribadi, aku merasa artikel itu ada benarnya. Cinta memang terkadang membuat manusia menjadi tolol dan berjalan ditempat. Ada yang berjuang sendiri, berjuang hingga sedemikian sakit demi seseorang yang ia anggap belahan jiwa, namun ternyata tak lebih dari musim pembawa luka. Cinta terkadang malah hanya jadi media pembodohan semata. Membuat seorang yang berilmu tinggi malah kehilangan akal saat dihadapkan pada beberapa pilihan masa depan. Namun, jika hanya menilik pada efek buruk nya, citra sang cinta hanya akan semakin buruk dan nanar. Tak ayal, cinta juga malah sering kali membuat hal-hal menakjubkan terjadi. Membuat sepasang insan saling bertahan dalam kegelapan, membuat seorang anak merengkuh sang ibu ditengah gersangnya kehidupan, membuat sang sahabat tersenyum penuh kasih pada teman yang tengah menderita luka.

Seburuk apapun dampak yang di cinta perbuat, itu hanya sedikit sentilan yang ia lakukan agar kita mampu menerima pelukan darinya yang lebih hangat. Sesakit apapun yang dilakukan Cinta padamu hari ini, itu adalah cara terbaiknya menyadarkanmu saat kamu tengah terbuai oleh kekeliruan-kekeliruan yang sering kau lakukan. Saat kau bertanya "adakah cinta yang tulus untuk saya?" Jawabnya; "tentu saja ada, asal setelah luka itu kau derita, kau mampu berjanji untuk tidak berlaku bodoh". Sang Cinta telah menyiapkan kecintaan yang layak untukmu. Hanya soal waktu hingga kau dibahagiakan oleh cinta.

Selamat pagi-
Wasalam,,, Ghege

Jomblo itu anugrah :D









Pernah membayangkan tentang siapa jodohmu nantinya? Pernah terfikirkan tentang siapa yang mendampingimu nanti? Pasti pernah!. Untuk pria dan wanita yang telah menginjak dewasa, imaji nakal seperti itu memang sering menjahili. Untuk yang tidak memiliki pasangan, mungkin hal semacam ini tidak begitu memusingkan. Karena waktu berjalan maju, dan janji tuhan bahwa; jodoh sudah dia atur menjadi motivator agar mereka berlaku lebih tenang, tidak buru-buru. Lalu, bagaimana dengan mereka yang telat memiliki pasangan? Pacar? Tambatan hati?. Isu-isu seperti ini pasti sangat membingungkan, selalu jadi dilema. Pertanyaannya sekarang, kenapa? Bukankah mereka seharusnya bisa lebih santai? Pasangan ada, tinggal berkomitmen kan?. Justru, hal itulah yang selalu mencemaskan pasangan-pasangan dewasa. Mereka menjadi peragu, takut-takut dan saling mencemaskan. Mereka takut kalau saja ternyata sosok yang selama ini diperjuangkan malah berjodoh dengan orang lain, malah menjadi pasangan seumur hidup orang-orang yang menunggu, menunggu ia dipertemukan tuhan dengan jodohnya.

Apa yang menjamin hubunganmu dengannya mampu bertahan hingga jenjang lebih serius? Tidak ada. Kalopun bisa, berarti memang kalian berjodoh. Jika tidak? Mau bilang apa? Menangis? Mengutuk-ngutuk? Percuma! Mau menumpahkan air mata berjuta-juta ton pun jika memang tidak ditakdirkan bersama, ya tetap saja akan berpisah. Jangan jadi tolol untuk sesuatu yang belum pasti. Bayangkan saja, mana yang lebih membahagiakan; kalian sendirian, tetap mencari namun tidak berambisi. Kemungkinan mengalami trauma sangat sedikit. Sedangkan, jika dengan mereka yang sekarang telah memiliki pasangan. Mereka menjalani hubungan dengan banyak problema dan pertentangan. Saat usia mereka telah matang, ternyata tuhan berkehandak lain, kekasihnya ternyata adalah tulang rusuk orang lain. Jika sudah begitu, siapa yang menderita? Mereka sendiri! Bahkan jika sudah seperti itu, mereka cenderung tak mempercayai lagi semua tentang akhir indah dan hidup bahagia. Semua terasa absurd, kepribadian berubah, kepercayaan diri menurun dan dampak-dampak buruk lainnya. Menjadi jomblo itu tidak buruk, bahkan menjadi jomblo itu sudah dikategorikan sebagai rizki dari tuhan. Bayangkan saja, kalian bisa bebas berteman dengan siapa saja tanpa takut menjadi hal. Dengan itu juga kalian bisa terbebas dari jebakan fitnah dan jeratan dosa oleh godaan jin dan manusia. Kalian bisa menjadi apa saja tanpa takut menyakiti hati seseorang. Dalam agama saya (salam muslim :D) istilah pacaran itu tidak ada. Bukan ingin berceramah tentang agama, tapi jika kita kaji secara logika saja, paham ini memang masuk akan dan berdampak baik buat kita dan diri kita secara utuh. Betapa menyenangkan jika kita bisa terbebas, bebas dalam konteks yang berbuah baik tentunya. Siapa yang tidak ingin bebas? Bebas dari masalah, bebas dari sakit hati, bebas dari air mata, bebas dari kegalauan dan sebagainya.

Kita pasti pernah merasakan bagaimana tidak menyenangkannya saat tersakiti bukan? Trauma? Jangan mau mengulang sesuatu hal yang sama, apa lagi terjerumus hingga berkali-kali. Ingat satu hal; Jodohmu tidak akan pernah menelantarkanmu, apapun alasannya!!! Jika ada yang berkata bahwa dia bisa lebih baik dari mantanmu terdahulu, belum semua selalu benar. Itu lidah manusia, bukan lidah nabi. Itu janji manusia, bukan janji Tuhan. Jika memang dia jodohmu, dia tak akan mengumbar omong kosong. Jika memang dia jodohmu, dia akan menyuguhkan pembuktian. Jika memang dia jodohmu, dia akan merengkuhmu dengan perbuatan, bukan mimpi-mimpi absurd.

Yakin aja, semua yang ada di kolong langit ini; udah ada yang ngatur. Bahkan ketika kita bernafas saat tidurpun, itu sudah ada yang mengatur. Cukup menjadi pribadi yang baik dan menjadi manusia yang layak. Tuhan pasti menyajikan pasangan yang layak dan berpribadi mengagumkan pula untuk kita.
Menunggu itu elegan,, tanpa terburu-buru pada takdir tuhan, itu malah terlihat lebih anggun. Pria dan wanita yang sedang menunggu dipertemukan pada jodohnya bukan cuma satu atau dua orang, tapi ribuan, bahkan jutaan hingga milyaran orang. Jadi, sendiri itu tidak buruk. Percaya deh sama lagunya kak Afgan-Jodoh pasti bertemu :D

Selamat menikmati kesendirian yang menyenangkan ya, waktu tidak akan bergerak mundur loh
Wasalam- Ghege

Perjuanganku,, Pengabaianmu,,








Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dalam kisahnya, ia harus berjuang, berdiam dan menunggu pun juga adalah bagian dari perjuangan. Menunggu. Itulah yang selama ini kulakukan, sebagai wujud dari perasaanku yang entah mengapa masih ingin memperjuangkanmu.
Aku tahu, setiap malamku selalu kuisi dengan kenangan dan ingatan. Kenyataan yang harus kuterima, kautak ada di sampingku, entah untuk menenangkan sedihku dan merangkul kesepianku. Dengan sikapmu yang tidak peka seperti itu, mengapa aku masih ingin memperjuangmu? Aku tak tahu, jadi jangan tanyakan padaku mengapa aku juga bisa mencintaimu dengan cinta yang tak benar-benar kupahami.
Ketika suaramu mengalir di ujung telepon, ada perasaan rindu yang tidak benar-benar aku ungkapkan. Rindu yang kudiamkan, terlalu sibuk dalam penantian hingga berakhir pada air mata. Apakah kautahu hal itu? Tentu tidak, kautidak memedulikanku sedalam aku memedulikanmu. Tak ada cinta di matamu, sedalam cinta yang kupunya. Tapi, dengan kebutaan dan kebisuan yang kupunya, aku masih ingin mempertahankan "kita" yang sebenarnya membuahkan sakit bagiku.
Kekhawatiranku, yang tak pernah kuceritakan padamu, tentu tak pernah kaupikirkan. Doaku yang kusebutkan tentu tak seperti doa yang selalu kamu ucapkan. Perbedaan ini sungguh membuatku seakan tak mengerti apa-apa. Ketakutanku membungkam segalanya. Apakah kamu pantas diperjuangkan sejauh ini? Akankah kebersamaan kita punya akhir bahagia?
Aku takut.... aku takut dengan banyak hal yang diam-diam menyerang kita dari belakang. Kebersamaan kita, yang memang tak berjalan dengan mudah ini cukup membuatku lelah. Aku ingin berhenti memperjuangkanmu. Aku lelah dihantui kabut hitam yang menodai pencarianku selama ini. Aku inginkan matahari, bukan mendung seperti ini.
Di mana kamu ketika aku inginkan kamu di sini? Ke mana larinya kamu ketika aku berjuang untuk satu-satunya mahluk yang kupikir bisa memberiku kebahagiaan nyata? Seringkali kumaafkan ketidakhadiranmu, seringkali kumaklumi kesalahanmu, dan selalu kuberikan senyum terbaik ketika sesungguhnya aku ingin menangis.

Ini semua perjuangaku untuk mempertahanmu, apakah sudah cukup menghilangkan ketidakpekaanmu? Inilah perjuanganku, yang selama ini selalu kauabaikan. Apakah hatimu sedikit tersentuh, hingga kauingin datang dan membawaku pulang?

Sampai kapan kita bisa bersama?



Akhir-akhir ini aku sulit tidur. Bukan banyak pikiran, hanya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Salah satu hal yang membuatku rela tidak tidur hingga subuh, ya, karena mendengar suaramu di ujung telepon, hingga suara adzan subuh menggema di masing-masing kota kita. Mendengar suara dan saling tertawa; itulah yang biasa kita lakukan, di samping membaca pesan singkat yang kautuliskan dengan rapi, dengan huruf dan tanda baca yang penuh makna.
Dalam jarak sejauh ini, tak banyak hal yang bisa kita lakukan, selain menulis dan mendengar; bukan bersentuhan. Padahal, tahukah kamu tulisan dan suara yang terdengar di ujung handphone sungguh jauh berbeda dengan pertemuan nyata? Iya, tidak akan kubahas lagi, aku selalu hapal nasihatmu ketika aku mengungkit soal ini, "Sabar." katamu dengan suara parau, "Kita bisa lewati ini."

Kita terus berjuang dan melewati yang memang tak pernah kita minta untuk terjadi. Seperti takdir, dia datang bagai pencuri, tanpa laporan dan ucapan permisi— datang menghampiri. Ini bukan salahku, juga bukan salahmu. Aku dan kamu sudah tahu yang harus kita hadapi, lalu pantaskah mengeluh? Tidak. Sejauh ini perjuangan kita memang tidak sia-sia, belum sia-sia (lebih tepatnya). Apa kaumembaca nada ketidakyakinan? Manusiawi jika manusia punya rasa tak yakin, karena seluruh yang terjadi di kolong langit ini memang penuh ketidakpastian.

Senja, apa yang hendak kita perjuangkan dan kita buktikan di mata banyak orang? Tahanan kotakah kita?
Koruptorkah kita? Bukankah kita hanya jatuh cinta? Hanya tidak ingin menyalahi kodrat Tuhan yang menciptakan manusia punya hati, punya rasa kasih, dan rasa ingin berbagi. Masih mampukah kauberjuang bersamaku sampai berdarah-darah seperti ini? Aku sudah sering mengeluh padamu; tidak perlu kaumasuk ke dalam terowongan yang tak berujung. Berkali-kali juga kukatakan, tidak perlu kaumasuk ke lingkaran yang tak kaukenali setiap sudut-sudutnya.
Kamu ternyata tidak seperti yang kubayangkan, kamu lebih kuat dan lebih tegar dari yang kukira. Kamu masih berjalan di sampingku, menggenggam erat jemariku. Jadi, sudah berapa detikkah kita lewati bersama? Emh.... tak perlu dihitung. Kebersamaan bukanlah kalkulasi yang penuh dengan jawaban pasti. Kebahagiaan kita juga bukan ilmu hitung yang mutlak dan bisa dipecahkan secara jelas.
Aku merasa kamarku lebih dingin daripada biasanya. Kantung mataku menebal. Entah siapa yang sebabkan kehitaman di bawah mata campuran Jawa-Sumatra ini. Bukan salahmu, sungguh. Kamu selalu bilang; sapamu di ujung ponsel adalah untuk melepas kangen, walaupun alasan itu cukup bodoh bagi kita yang sudah sama-sama dewasa. Dalam cinta, adakah kebodohan? Justru karena kebodohan itulah segalanya jadi nampak manis dalam kegelapan, terlihat memesona dalam ketersesatan.

Setelah semua yang kita lewati bersama, yakinkah ada surga di ujung jalan sana? Sesudah beberapa tikungan kita lalui, akankah kita tak akan bertemu tikungan yang lebih tajam? Tak ada yang pasti Senja. Kita hanya tahu melangkah, terus melangkah. Menikmati yang ada di kanan-kiri, mempelajari yang ada di depan kita, dan menerima yang harusnya kita pasrahkan.
Sampai kapan kita bersama? Sampai kamu terbatuk-batuk di ruang tamu, dan aku tergopoh-gopoh membawakan obat batuk untukmu? Sampai kapan kita bisa terus menyatu seperti ini? Sampai kamu tak mampu lagi mengintip matahari di luar jendela dan hanya bisa memelukku erat ketika bangun di pagi hari? Sampai kapan perasaan ini terus bertahan? Sampai kata "aku mencintaimu" terucap saat kaumengecup nisanku atau sebaliknya aku yang mengecup nisanmu?

Tuhan kita saja berbeda, masa kita mau memimpi-mimpikan bahagia? Manusia keras kepala.

Selamat malam; Masa lalu.



Genap tiga bulan setelah hubungan kita berakhir pilu. Adakah sekali saja kau melirik kebelakang? Mengenangku sejenak, atau mengingat sedikit tentang semua hal baik yang pernah kita lakukan? Pernahkah? Aku tau, jika sekarang kau tengah dirundung asmara yang menggebu. Aku tau, jika sekarang kau tengah merasakan jatuh cinta setengah mati. Aku tau, jika semua hal baik itu tengah kau nikmati bersama dia; kecintaanmu yang baru. Setiap yang baru itu selalu menyenangkan bukan? Seperti katamu dulu, ingat? "Semua yang baru itu selalu menyenangkan, membuat penasaran". Ahh,, tololnya. Hingga hari ini aku masih saja mengingat semua hal tentangmu, tanpa melupakan sejengkalpun tiap detik kebersaam kita dulu. Iya 'Dulu', dan cacatnya lagi, tiap ingin melupakan hal yang pernah terjadi 'Dulu, semuanya malah semakin naik kepermukaan, membuat langkah terasa semakin sulit. Kenangan tentangmu membuatku berjalan semakin bodoh, mengingatmu malah membuatku semakin melangkah mundur. Gerakku semakin tertatih saat tau bahwa ia memiliki semua hal yang bisa dijanjikan untuk kebahagiaanmu. Dia bisa menjadi sosok sempurna yang melengkapi tiap keinginan-keinginan yang kau butuhkan. Sedang aku, apa yang mampu ku berikan untuk kebahagiaanmu? Nihil! Untuk membahagiaakan diriku sendiri saja sudah gagal, apa lagi memberikan kebahagiaan untukmu. Dengan memutuskan semua hal tentang Kita, itu adalah keputusanmu yang benar. Dengan bersikap tak mau tahu semua hal tentangku, itu adalah cara terbaik untuk membuat semua seakan baik-baik saja. Benarkah semua sudah menjadi semakin baik-baik saja? Tentu tidak.

Kau pasti tahu dan sadar dengan dampak setelah semuanya berakhir. Kau pasti melihat keadaanku baik-baik saja bukan? Pasti aku terlihat sangat baik bukan? Tentu saja, aku bahkan merasa sangat baik setelah melepasmu. Tapi itu semua, dalam keadaan aku tengah berbohong. Aku mencoba sekuat tenaga agar mampu menjadi sosok lain yang bisa dengan mudah menghilangkan tentang penjahat manis seperti kamu. Nyatanya, hingga hari ini aku masih harus berjalan tertatih tanpamu. Kau yang mengenalku bertahun-tahun pasti tahu tentang itu. Meskipun aku melakukan semua dengan sangat licin dan hati-hati, kau selalu bisa membaca saat aku tak berlaku jujur. Kau sangat peka, itu salah satu hal yang membuatku begitu menyukaimu. Dan sikapmu yg terkesan tak mau tau itu, aku pun paham. Kau hanya ingin membiarkan aku melakukan apa yang aku fikirkan tanpa membayangkan apa yang terjadi kemudian. Kalau boleh sedikit mengeluh,, Aku kesakitan tanpamu.



Dengan cara yang logis ataupun tak logis, bisakah kita kembali dekat seperti dulu? Sedekat kota Garut dan Gianyar, mungkin? Bisakah?

Mengertikah kamu?





Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi, pertama kali melihatmu; aku tahu suatu saat nanti kita bisa berada di status yang lebih spesial. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.

Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kaugubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kaurasakan. Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? Bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatu yang begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu lebih senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu? Apalagi yang kautunggu jika kausudah tahu bahwa aku mencintaimu?

Nona, tak mungkin kautak tahu ada perasaan aneh di dadaku. Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kautak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.
Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna—kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.
Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa, meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.

Nona, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.

Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkataan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu.
Setiap hari, setiap waktu, setiap aku melihatmu dengannya; aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan aku harus terus mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat melihatmu menggenggam jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu yang begitu kucintai ternyata malah memilih pergi bersama yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti.
Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa salahku sehingga kita yang baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih?
Aku menulis ini ketika raga tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kautahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.
Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, ketika kulihat kamu bersama kekasih barumu. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari harus melihatmu dengannya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?


Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.

Idul fitri pertama tanpamu (Selanjutnya kita,,,)







Pagi dingin, dipelataran kota tua. Kota yang selalu kurindukan, kota penuh magis yang memberikanku dulu banyak mimpi-mimpi manis. Kota ini, sering juga kau anggap sebagai kota kita. Karena disinilah, awal muasal perasaan tak logis itu mucul. Perasaan yang membuat kita mematung, tersenyum malu-malu kala pandangan saling berpagut. Hujan makin menderas, jam di dinding menunjukkan pukul 06:00, namun para jamaah yang hadir masih begitu sedikit. Sangat tidak menunjukkan jika ini hari istimewa, tidak ada tanda-tanda perayaan hari besar. Mereka saling bergurau, menceritakan banyak hal yang entah apa. Dan aku, aku masih pada kegiatan awal. Memandangi butiran-butiran bening basah yang semakin jatuh menderas. Ada sesuatu yang mengganjal kala menatap semua orang. Hanya kekosongan yang terasa, bahkan dunia ikut berkonspirasi meggalaukan dengan hujan yang tak kunjung mereda. Tentu saja, ini Idul fitri pertama ku, tanpamu. Tanpamu yang 1tahun lalu masih mengucapkan selamat lebaran dengan begitu hangat. 

Kau mengucapkan semua dengan begitu jujur, tanpa kebohongan. Bahkan ditiap tutur katamu, kau sertakan berton-ton rasa rindu yang begitu membuncah. Kala itu, begitu manis dan hampir tanpa cacat sedikitpun. Aku merasa, kau akan menjadi satu-satunya kepunyaanku yang akan selalu kubanggakan. Aku meradang, mengerang kesakitan sendiri didalam barisan saf-saf shalat berjamaah. Aku mengutuk imaji ku yang masih saja mampu digalaukan oleh masa lalu. Bahkan dalam kesakitanku, aku masih berharap kau tiba-tiba muncul. Meratap dan meminta semua bisa kembali seperti dulu. 

Aku memang tolol, dungu, bodoh. Kemaha tololan bahkan mampu dengan semena-mena menyeretku untuk kembali berharap kau akan kembali, kembali keparadikma kehidupanku yang kosong dan membosankan. Dari awal takbir menggema hingga detik ini, hanya pesan singkatmu yang benar-benar ku tunggu. Aku tak perduli jika pesan itu tak berarti apa-apa untukmu, namun hanya secercah harap itulah yang mampu ku pertahankan. Tak perlu kau tahu tentang sakitku, tak perlu kau dengar keluh kesahku. Cukup kau tahu bahwa aku sekarang sudah baik-baik saja (meski kabar itu tak berarti apa-apa untukmu).
 


                "Selamat hari raya manis,, aku merindukkanmu bahkan lebih dari kerinduan yang  kau punya untuk ayahmu disurga"

Selalu menyenangkan saat mengunjungimu.




Hujan diluar sana, bercengkrama dengan sangat riang. Tidak ada kebohongan yang terasa ditiap butiran-butiran halusnya, hanya kehangatan yang ia tawarkan. Tetap saja, hujan tidak selalu berperan prontagonis. Kadang, hujan juga mampu membuat seseorang rela berjam-jam dibanjiri oleh air mata karna berpetualang di masa lalu yang sudah tidak ingin diingat. Sebenarnya mengingatpun tak selalu di barengi dengan rasa sakit. Tergantung tentang apa yang difikirkan. Kalau semua hal tentang masa lalu itu membuatmu kalut, artinya masa depanmu harus lebih indah.
Sesuai janji, bulan ramadhan ini aku akan mengunjungimu. Apa kabarmu disana? Apakah hunian barumu menyenangkan? Apakah para penghuni disana ramah-ramah kepadamu? Seperti kata guru agama kita dulu. Apakah para malaikat yang menemanimu seramah yang diceritakan guru agama kita? Ahh, jika saja kamu tahu, aku menyimpan banyak pertanyaan untukmu,, tentang ibumu, tentang Zoan, kelinci peliharaanmu, tentang ikan koi yang kamu jaga dua puluh empat jam, tentang semua hal, termasuk juga tentang kita.

Kamu ingat tanggal berapa ini? Iya, empat tahun yang lalu kita masih merayakan aniver bersama. Di cottage dekat margoda raya, kita bersulang untuk semua usaha kita. Semua hal yang kita lakukan sungguh sulit diterka oleh kebanyakan orang. Dari ikut bermain lumpur bersama anak-anak sekolah dasar, hingga menumpang solat zuhur di gereja karna hujan. Apa kamu masih ingat? Hari itu kita melakukan banyak hal, saling bercerita tentang kesibukkan sendiri, hingga tanpa dikomando, pembicaraan telah dengan sendirinya menyentuh tentang cinta. Kamu lebih dewasa, semua orang juga tahu. Kamu sungguh sangat jauh lebih dewasa dari pada aku yang masih berjiwa bocah. Dengan sangat sabar kamu selalu menyediakan waktu untuk mendengar semua keluh kesahku, meski aku tahu kamu terkadang letih, namun semua kamu lupakan hanya untuk memberikan lengkungan senyum dibibirku. Kalau boleh jujur, terkadang aku merasa kamu itu tidak menganggapku sebagai seorang kekasih. Dalam presepsiku saat itu, yang seperti itu bukan cinta kepada pasangan, melainkan kasih sayang kepada saudara. Benarkah saat itu kamu hanya menganggap ku sebatas teman dekat? Saudara? Adik (mungkin)? Benarkah sinyal cinta yang kutangkap itu tidak sesuai dengan maksudmu? Entahlah, pertanyaan itu seperti terkunci rapi di tempatnya. Sejujurnya, aku bukan tidak ingin tahu, aku hanya tidak siap untuk menerima kenyataan-kenyataan buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Jadi, selama tidak ku kunjungi, apa kau merindukanku? Sedalam aku merindukanmu? Apakah sentuhan tanah lebih menenangkan dari sentuhanku? Kenapa dalam setahun ini, kau tak sekalipun mengunjungiku, seperti dalam mimpi ditahun-tahun sebelumnya? Apa kau sudah merasa bahwa aku telah cukup kuat untuk menghadapi getirnya dunia? Kenapa secepat ini kau menghilang?

Seperti permintaanmu waktu itu, untuk terakhir kalinya kita saling bertatap wajah, saling melempar ejekan. Kau ingin jika kau tak lagi mampu bersamaku, aku harus bisa menerima semua dan melanjutkan hidup. Menjadi penulis, mencari pasangan hidup dan pergi ketanah suci (itu bagian rencana kita), dan seperti yang kau lihat, aku melakukan semua yang kau ingin. Aku melanjutkan hidup, mulai kembali menulis dan mencari pasangan hidup(meski pernah salah) aku melakukan semua keinginanmu. Lalu, kenapa kau tak memenuhi permintaanku? Kenapa kau yang sudah disurga tak minta pada tuhan agar aku dipertemukan orang sepertimu?
Aku melanjutkan semua, semua yang teranggap indah pada awalnya. Semua mampu ku jalani hingga akhirnya menemukan sosok yang ku anggap sesuai dengan keinginanmu. Dia yang mampu membuatku hampir dua kali melupakan tanggal kelahiranmu. Dia yang hampir membuat gelap semua hal tentangmu. Sungguh, aku amat menyukainya. Tapi, ternyata dia tak memiliki cinta sebesar yang kau punya. Ungkap sayang yang dia ucap, hanya omong kosong semu. Lagi-lagi aku salah, menganggap seseorang yang berkata dan meneriakkan kata cinta dengan semangaat adalah kenyataan. Aku terlalu dibuai oleh semua janji-janji manis yang dia ucapkan tanpa disaring.
Seperti katamu dulu, "mengeluh itu adalah perbuatan paling buruk untuk orang-orang yang mempunyai cita dan angan setinggi langit.". Aku tak menyesal pernah salah memilih. Justru dengan luka yang bertubi-tubi itu, aku lebih bisa menulis. Menyenangkan bisa mengarahkan pulpen menari diatas hamparan putih dengan segudang pengalaman pahit.
Buku yang ku rancang hampir tiga tahun ini sudah hampir selesai, dan tinggal menunggu waktu untuk diterbitkan. apa sekarang kau merasa bangga pernah memilikiku? Apa aku sudah layak disebut sebagai pria idaman? Ah, tentu saja kau pasti akan tertawa dan menarik hidungku seperti kebiasaanmu. Kau hanya mengatakan ingin menjadi makmum yang baik buatku, tanpa pernah menyatakan perasaanmu.
Sudahlah, pembahasan ini seperti skenario drama murahan saja. Aku tahu, jika cinta mu melebihi cinta siapapun untukku. Aku merindukanmu, sekali-sekali, mampirlah kedalam mimpiku.

 Jangan protes! Aku hanya Rindu.