Untuk orang yang mungkin telah melupakan (Selanjutnya kita)





Seperti satu tahun yang lalu, aku menunggumu di depan dealer Toyota. Sore itu, Bandung begitu terik, panas matahari cukup menjadi penyebab keringat di pelipis. Aku menunggumu sambil sesekali melihat jam tangan. Ketika suara kendaraan berlalu-lalang terdengar, aku segera menegakan kepala. Kamu sudah ada di depanku masih dengan muka tolol yang sangat kurindukan.
Tubuhmu terlihat lebih berisi, rambutmu masih begitu; tergerai sepinggang. Rambutmu yang lebat selalu kau lilit dengan aksesoris-aksesoris ala korea. Bola mata kita bertemu, “Rupanya, kamu sudah jago dandan,” ucapku dengan setengah tertawa. Disapa dengan kalimat menyebalkan itu, dia hanya membalas dengan senyum dan segera menarik tanganku menyeberang jalan
Sesampainya di rumahmu, aku bertemu ibu, paman, dan eyang putri mu. Lantas, terjadi percakapan antara kami, percakapan yang tak selalu terjadi setiap hari. Ibumu bertanya soal alasanku lebih memilih pekerjaan itu, memperbincangkan soal kabar terbaru di kotaku, lalu kita tertawa bersama ketika ibu membuka kedokmu. Kata beliau, akhir-akhir ini kamu suka bangun terlalu siang dan mandi menjelang zuhur. Aku tidak kaget, karena menurut hasil prediksiku, kamu selalu hobi bermalas-malasan jika pulang kerumah. Kita tertawa bersama, tawa yang kurindukan selama satu tahun ini, dan barukali ini aku bisa kembali merasakan tawa itu.
Ibu pamit masuk kamar karena ingin menyetrika. Langkah ibumu santai meninggalkan kita, sayup-sayup langsung kudengar suara penggalan nyanyian dalam film Mohabbatein. Iya, sepertinya film Mohabbatein hari itu tayang ulang. Di saat yang sama, aku dan kamu hanya berdua di ruang tamu. Kita tak banyak bicara, sesekali mengalir pembicaraan tentang rasa rindu, lalu diam lagi. Berikutnya, mengalir pembicaraan tentang kuliahmu, lalu membisu lagi. Setiap aku berbicara dan tertawa, seringkali kamu berkata, “Suaramu terdengar jauh lebih riang.”
Jujur, aku tak tahu cara menjawab ucapanmu itu, aku hanya tertawa, walaupun sebenarnya aku tak paham apakah yang kaubicarakan mengandung makna konotasi atau denotasi. Kita berbicara santai saja, meskipun harus kumaklumi hadirnya suara decitan roda K.A yang beradu dengan rel melintas dibelakang rumahmu. Aku mulai mengganti topik baru, membuka percakapan tentang pesan-pesan singkat yang pernah kaukirim dan masih kusimpan. Ketika sampai pada pembicaraan mengenai 7 juni 2010, tanggal jadian kita, aku memang tak bisa berkomentar banyak. Jurang pemisah itu memang ada dan aku tak tahu mengapa perubahan ini terasa begitu asing bagiku.
Aku tak merasa kita pernah putus, nyatanya kita memang masih saling mendoakan. Aku tak tahu selama ini apa yang kita jalani, status kita begitu abu-abu di mataku. Entah aku ini temanmu, pelarianmu, atau kekasihmu. Ketika dijauhkan jarak, aku merasa ada rindu dalam setiap percakapan kita di telepon. Ada cinta yang kautunjukkan dalam setiap goresan pena di pesan singkatmu. Aku tak mengerti apakah itu sungguh rindu dan cinta, atau semua hanya omong kosong belaka yang dikemas dengan begitu sempurna.

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu; apakah itu nyata atau drama belaka.
Begitu cepat kaudapatkan yang baru, Sayang. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tahu orang macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kauberi senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris tab-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi.
Jujur, mungkin saat ini aku memang tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Senja, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang kuperjuangkan dan kuharapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai mahluk bernyawa, tentu senang diberi harapan. Aku tersenyum sambil memainkan rambutmu yang acak-acakan. Aku bersandar di bahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan tab kesayanganmu. Kamu merangkulku sambil jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Aku berbisik di telingamu, memberitahu bahwa sudah waktunya salat isya. Kamu mengangguk memahami maksudku. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun, aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, hari itu juga adalah hari terakhir kita bertemu.
Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari keterbatasan kita?

Jika tak ada jarak diantara kita, apakah semua masih bisa berlanjut?

Semoga saja (selanjutnya kita)




Jalanan protokol kota ini masih saja ramai pengunjung, padahal pertokoan disekitarnya telah lama tertidur. Bulan purnama menggantung sempurna diatas sana. Tak ada yang berbeda. Kota ini seakan tak pernah mengantuk. Jika kalian ingin sarapan saat solat subuh, pergi saja ke taman ini, pasti masih saja ada pedagang kaki lima yang menjajahkan panganan beraneka ragam. Sudah hampir dua jam aku berjalan tanpa tujuan. Berputar-putar sendiri. Apa yang dicari? Tidak ada. Aku hanya sekedar menikmati malam alun-alun kotaku, atau kota kita. Mungkin.
Apa kabarmu? Tak ada yang bisa kutanyakan lagi selain hal itu. Pertanyaanku mungkin sudah sangat bertumpuk. Kau mungkin sudah muak mendengar pertanyaan dan rengekanku yang tak pernah selesai. Aku hanya berharap kau baik-baik saja. Semoga saja tuhan selalu mendengar doaku; menempatkanmu pada kemudahan (mengingat kau selalu menyukai jalan yang salah). Ternyata, mencintaimu dari jarak yang sangat jauh ini membuatku belajar banyak. Hanya bisa memilikimu dalam mimpi ini, tidak seburuk yang kubayangkan dahulu. Kita saling mendoakan, namun tak pernah saling berkabar. Benarkah kita sudah saling melupakan?
Aku tau, bukan hanya sekali kau mencari tau kabarku. Aku tau, kau sangat mengkhawatirkanku. Aku tau, sejauh apapun kau melangkah, kau akan tetap mencintaiku. Aku tidak salah bukan? Aku tak hanya menduga-duga kan?
Kita terpisah, begitu saja. Setelah bertahun-tahun? Tentu saja kita hanya anak manusia yang begitu tergoda pada sebongkah perasaan yang disebut cinta. Betapa menggelikannya jika mengingat kita dulu. Kita terhanyut pada mimpi-mimpi absurd yang kita bangun dengan mata terbuka. Tapi, mimpi selalu ada akhir. Kita dituntut untuk segera kembali pada alam nyata. Kita yang dulu bisa begitu yakinnya bahwa semua akan baik-baik saja, begitu angkuhnya menganggap dunia mampu kita atur sesukanya. Saat itu kita tak pernah tau. Tak pernah paham, bahwa tuhan telah menyiapkan segudang kejutan untuk cinta monyet kita. usia ternyata bukan sekedar perpindahan dari tahun ke tahun. Bertambahnya usia, ternyata tidak seringan yang kita bayangkan. Kita yang semakin dewasa, harus dituntut lebih bijak. "Berhentilah menikmati hal yang akan membuat anda pada akhirnya saling menyakiti". Mimpi muluk kita, harus berhenti. Dihentikan secara paksa lebih tepatnya.
Bagaimana kabar dia? 


Bagaimana kabar pilihan ibumu itu? 
Apa dia membahagiakanmu? 
Apa kau dibahagiakan olehnya? 
Adakah kalian saling mengisi?
Awalnya, aku begitu frustasi saat menerima hadiah yang sangat mengejutkan ini. Tiba-tiba aku dan kamu harus dipisahkan dengan penjelasan yang sangat tidak logis. Kita sudah seperti sepasang penjahat, yang harus dijauhkan agar tidak membuat kerusakan yang semakin parah.
Aku tau, aku yakin dan aku berharap bahwa kalian (kau dan pilihan ibumu) bisa saling membahagiakan. Kau sudah bisa menerima kehadirannya, tentu saja. Seperti kata ibuku "witting tresno, dallaran kulino". Cinta ada karena terbiasa. Aku yakin, kebersamaan kalian, akan segera menghasilkan kebahagiaan baru untukmu, dan orang-orang disekitarmu.

Aku terluka, tentu saja.
Kau pasti tahu persis bagaimana perasaanku. Aku harus jatuh bangun sendiri. Siapa yang perduli tentang semua yang aku rasa? Bahkan pada kehidupan normal pun, aku harus siap sedia untuk mengganti topeng secepatnya. Aku tak ingin terlihat kacau setelah kita berakhir. Aku tak ingin membebani orang-orang yang menyayangiku dengan rengekan-rengekan ini. Perjuanganku untuk menjagamu telah usai. Namun, mencintaimu buatku tak mengenal batas. Saat itu, percakapan panjang kita harus diakhiri dengan kenyataan yang membuat sembab kelopak mata. kenyataan yang menyakitkan itu, kita alami saat perasaan yang harusnya berakhir tawa, malah berbuah rasa sakit yang menyesakkan.

Tapi, ya sudahlah. Inilah konsekuensi untuk jiwa-jiwa muda yang mudah terjerumus. Inilah sangsi untuk orang-orang yang senang bermimpi tanpa melihat kenyataan.
Kamu langit, dan aku laut. Kita hanya mampu untuk saling bercermin dan berharap bisa saling bersentuhan lewat rintik-rintik hujan. Aku baik-baik saja, tak perlu khawatir. Jadilah sosok yang istimewa untuknya. Bahagiakanlah ibumu, banggakanlah ayahmu yang telah menjadi keluarga kerajaan surga. Tetap menjadi pribadi yang baik, bahkan dalam keadaan terburukmu sekalipun.

Kau tetap kubanggakan...

Berbulan-bulan setelah hari itu (selanjutnya kita)

  •  
    Hampir jam sembilan malam. Pertokoan dijalanan kota sudah setengahnya tertidur. Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam-malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana diluar terlihat damai menentramkan. Tidak deras benar. Hanya gerimis. Itu pun jarang-jarang, tetapi cukup membuat indah kerlip lampu. Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ketelapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku, bahu kemudian tiba dihatiku. Membekukan seluruh perasaan. Mengkristalkan semua keinginan.
    ****
    Dari lantai dua toko buku paling besar dikota ini, kalian bisa melihat dengan leluasa pemandangan jalan besar yang ramai persis didepannya, juga jalan paling besar dikota ini. Jalan itu dibelah pembatas setinggi satu jengkal. Ada lampu putih bundar setiap beberapa meter dipembatas jalan itu, serta pot semen dengan rumput bunga, meskipun terlihat tak cukup rimbun. Lampu putih bundar itulah yang terlihat indah. Berbaur dengan ratusan ratusan siluet cahaya lampu mobil. Diseberang jalan berjejer rapi gerai fotokopian yang besar dan modern. Lampu neon puluhan watt, meja panjang untuk menerima fotokopian, dan karyawan-karyawan berseragam terlihat jelas dari atas sini. Beberapa orang berpenampilan sebagaimana layaknya mahasiswa, terlihat menunggu dikursi putar tinggi. Mungkin menunggu fotokopian untuk bahan ujian besok lusa. Mungkin pula menunggu hujan reda. Ada sebuah motor merapat. Dua penumpangnya turun sambil melepas jas hujan. Sepasang. Yang wanita berkerudung putih. Yang lelaki merengkuh bahunya. Mereka masuk kegerai fotokopian. Tak mungkin mereka akan memfotokopi "undangan pernikahan" digerai itu, tetapi cukup sudah untuk mengerti betapa mesranya mereka.
     Aku menghela nafas panjang.
    Sungguh, pasangan itu membuatku iri. Kemesraan yang mereka ciptakan bagaikan sebuah pukulan keras yang menghempaskanku ke dalam lukisan luka kecil dimasa lalu.
    Sebenarnya, tidak juga bisa dikatakan masa lalu. Karena kejadiannya masih begitu hangat, baru dan menimbulkan efek yang sangat tidak menyenangkan. Anganku melambung jauh, terbang kemasa tiga tahun silam. Saat perkenalan manis itu baru saja berlangsung. Saat uluran tanganmu, saat senyuman manis itu mematikan seluruh fungsi saraf. Tapi, semuanya terjadi dulu. Kalau boleh jujur,kata dulu begitu akrab di dalam otak,pikiran dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah sekian kali,aku diam diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin,tertiup jauh namun mungkin akan kembali. Wajah baruku bisa kau lihat sendiri,terlihat lebih baik dan lebih hangat dari pada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang berpisahan,benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata 'saling' tapi mengapa hatiku masih saja ingin mengikatmu? Tentu saja,kamu tak merasakan apa yang kurasakan,juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu agar kita tak saling mengganggu. Bukankah berjauhan seperti ini semuanya menjadi lebih berarti ? Seakan akan aku tak pernah peduli,seakan akan aku tak mau tahu,seakan akan aku tak miliki rasa perhatian.
    Cukup seperti ini,hanya ada aku dan kamu, tanpa kita. Kali ini,aku tak akan menjelaskan tentang kesepian,atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kau pahami. Karena aku sudah tahu,kamu sulit di ajak basa basi, apalagi jika berbicara tentang cinta mati. Aku yakin,kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu lagu yang bernyanyi bahkan dengan lirik yang tak bisa kau terjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita cerita absurd yang selalu kau benci. Seperti dulu,saat aku bicara cinta,kau malah tertawa. Seperti saat kita masih bersama,aku berkata rindu,namun kau tulikan telinga. Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kau dengar sebagai pengantar tidurmu. Kau tak suka jika ku ceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana jika ku alihkan air mata menjadi senyum pura pura? Tentu saja, kau tak akan melihatnya. Sejauh yang kuketahui,kamu tidak peka. Dan mungkin saja, sifat burukmu masih saja sama. Walaupun kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata. Entah mengapa, akhir akhir ini terasa sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran. Dalam gelapnya malam ternyata ada banyaknya cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ahhhrg,,sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Akupun juga begitu, tak ingin mengejar bayang bayangmu yang semakin samar samar, tak ingin mereka reka senyummu yang tidak lagi seindah dulu. Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku. Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh itu. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya persinggahan. Hanya sementara. Aku bukan tujuanmu! Mataku berkunang-kunang. Malam ini memang sangat dingin. Aku menarik rapat jaket dan membiarkan tubuhku tenggelam di sana. Dan, tetap saja tak kutemukan kehangatan, tetap mengigil. Aku sendirian. Dengan kenangan yang masih menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan kinerja hati. Aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat keras. Sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu sering kukejar. Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yang sebenarnya tak pernah ingin kuingat lagi.
    Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?
    Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.
    Aku kelelahan. Terjatuh bangun sendiri saat mengingat semua yang sudah kita lalui. Saat itu, aku memilihmu karena aku meyakinimu. Harusnya, kesadaran segera muncul dan membuka mataku. Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kulalui masih sama. Aku masih mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha mencari penggantimu. Mereka berlalu-lalang, datang dan pergi, ada yang diam berlama-lama, ada yang hanya ingin singgah. Semua berotasi, berputar, dan berganti. Namun, tak ada lagi yang sama, kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang dulu, tak ada kita yang dulu. Ya, semua kenangan memang berasal dari masa lalu tapi tetap punya tempat tersendiri di hati yang sedang bergerak ke masa depan.

    Hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkan. Padahal, aku masih jalani hari yang sama, aku masih menjadi diriku, dan jiwaku masih lekat dengan tubuhku. Tapi, masih ada yang kurang dan berbeda. Kesunyian ini bernama... tanpamu.

    Ini bulan kesekianku menapaki langkah dengan luka yang belum benar-benar sembuh. Malam ini, aku mencari sebuah buku yang bisa sedikit mengalihkan fikiranku darimu. Doaku tetap sama.. Selamat malam,, senja.

Aku, kau dan masa depanku.


Aku sudah mendengar banyak hal tentang omong kosong cinta, luka hati dan semua hal yang berbau perasaan termehek-mehek lainnya. Dalam presepsi kebanyakan orang, cinta harus saling menguatkan, saling mengisi, saling memahami. Tapi pada penerapannya, semua itu hanya dongeng yang memekakkan telinga. Betapa tidak, setiap kali dijalani, semua hanya berimbas pada kedukaan dan air mata. Selalu begitu. Terus dan terus, bagai sirkulasi udara yang monoton. Tak ada satu pun mahluk ciptaan tuhan yang ingin mengalami kesedihan secara terus menerus. Lalu, kenapa terus mencoba mencari sosok baik yang bisa menghargai tentang perasaan? Tak lelahkah? Entahlah. Mungkin aku bisa kalian ibaratkan dengan keledai terbodoh yang selalu masuk dan jatuh kelubang yang sama berkali-kali.
Untukmu, pria berkacama minus. Bisakah kau sekali saja berlaku lebih serius? Tak sadarkah kau bahwa aku sering kau buat terluka? Bahkan menangis? Hubungan kita yang masih seumur jagung ini, sudah sangat banyak menghadirkan kejutan-kejutan dalam hidupku, juga hidupmu. Kebersamaan yang kita jalani, seperti kelopak mawar. Terlihat indah, namun mudah dibuyarkan oleh terpaan angin. Awalnya, kau begitu manis. Bahkan hingga saat ini, kau tidak berubah. Hanya saja bila boleh sedikit mengeluh, ada kebiasaanmu yang menjengkelkan bahkan terkadang membuatku tidak nyaman. Kau mengangkat bahu? bertanya apa itu? Tidak sadarkah kamu?! Tentang semua isi timeline mu? Tentang mention (katamu hanya candaan)mu dengan rekan-rekan wanita mu itu? Hei tampan, aku tidak buta. Aku wanita, perasa dan mudah terluka. Tidakkah kau sadar? Harusnya kamu bisa lebih memahami, tentang semua keterbatasanku dan keterbatasanmu. Aku tau, jika banyak keterbatasan yang kau miliki. Aku tak bisa menyamaratakanmu seperti kekasih temanku yang lain. Aku tau bagaimana kondisimu. Kau harus bekerja begitu keras untuk membiayai pengobatan ayahmu juga untuk adik-adikmu yang masih bersekolah. Tentu saja, aku tidak menuntutmu untuk ini itu, untuk memperlakukanku secara berlebihan. Aku memilihmu, karena aku memang merasa nyaman padamu (Pada awal dulu). Jika aku mencari pria seperti keinginan ibuku, mungkin kau tak kupilih. Maaf, bukan ingin menyinggung perasaanmu, tapi aku muak jika terus dan terus memendam. Kau makin tak terkendali. Bahkan waktumu jarang tersedia untukku. Kau mulai jarang menelfon, memberi kabar lewat pesan singkat. Aku masih memaklumi, mungkin saja perkerjaan telah menyita banyak waktumu. Tapi, jika kau tak bisa mengirimkan pesan singkat, kenapa kau bisa dengan santainya membalas mention teman wanitamu tanpa menggubris perasaanku? Buka kaca matamu itu! Lihatlah, aku masih kekasihmu, Bodoh!.
Kau tahu, tanpa kusadari dan tanpa pernah kau cegah, hatiku mulai berontak. Hatiku mulai membuka celah kecil disana. Dan apa kau tahu? Ada seseorang yang telah menyentuh celah itu. Pemuda itu, memiliki kelebihan yang jauh darimu. Terlalu sadiskah bahasaku? Terserah sajalah, aku bingung harus menggunakan kosakata yang bagaimana lagi untuk meluapkan kekecewaanku padamu. Sudahlah, biar kulanjutkan lagi cerita tentang pria ini. Dia pria biasa, sebenarnya tidak ada hal istimewa yang bisa ditonjolkan darinya. Hanya saja, kau tahu? Perhatiannya yang membuat jiwaku tergugah. Kelembutan sikapnyalah yang membangunkan ku. Dan hasilnya, tanpa diminta, akupun mulai menyukainya. Kau tercenganga? Apa ini mengejutkanmu? Tidak perlu sampai seperti itu. Kau yang mengajariku untuk berlaku seperti ini. Lalu, salahkah jika hatiku terbuka dan membiarkan pria lain mulai menyelusup kesana? Aku sudah mulai muak dengan retorika dan kebodohan yang kita lalui setiap harinya.
Kejengahanku berlanjut dengan sikapmu yang seperti anak kecil. Aku akan bekerja diluar kota. Berarti kita harus menjalani hubungan jarak jauh. Dan apa responmu, jauh dari apa yang kuharapkan. Kau menolak mentah-mentah permintaanku untuk sama-sama bersabar. Apa yang kau mau, bodoh! Apa kau tetap menginginkan aku seperti ini? Menjadi sarjana pengangguran yang tak memiliki masa depan? Kenapa kau yang awalnya begitu dewasa malah menjadi begitu menjengkelkan?

Aku memiliki mimpi, sama sepertimu. Aku menginginkan banyak hal, membahagiakan diriku sendiri juga orang tuaku. Tentang pria itu, mungkin saja dia akan menggantikanmu, atau malah ada pria lain yang berpeluang mengambil hatiku. Semua serba belum pasti. Yang jelas, aku tak akan membiarkan penjahat kecil sepertimu menjadi penghambat tiap mimpi besarku.

Untukmu, pria berkacamataku(dulu)

Tertinggal.




Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.
"Dingin." desahnya pelan.
Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
"Tidak. Terimakasih."
Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena pemandangan di luar jalan juga menggelap.
Aku mengintip ke luar jendela, lampu jalanan yang terlihat remang-remang tak membantuku mengetahui keberadaanku saat ini. "Masih lamakah kita sampai?"
"Sebentar lagi, sudah tiga jam bus ini melaju."
"Cepat sekali rasanya, apa karena malam ini kulewati bersamamu?"
Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Padahal, bukan ciuman pertama, tapi gerakan bibirnya sungguh berbeda dari bibir siapapun yang pernah kucium. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.
Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia.
Aku membiarkan puluhan pesan singkat menggetarkan handphoneku. Kubiarkan juga puluhan panggilan yang menganggu. Aku masih menikmati bibirnya menjalari bibirku. Tak peduli pada bus aeroline yang perlahan-lahan merayap meninggalkan Singapore.
***
Manusia tak pernah merencanakan pertemuan, karena itu tugas Tuhan. Manusia hanya tahu menerima, menjalani, lalu memaknai yang telah terjadi. Menganggap segalanya hanya kebetulan sebagai alasan untuk mengakhiri yang terlarang.
Saat ia menggenggam tanganku, meliak-liuk di antara kedai makanan khas Arab; aku tak mampu lagi mengelak. Aku mencintainya, meskipun pertemuan kami baru terjadi dua hari ini. Aku dan dia bisa begitu dekat dalam waktu singkat, entah karena alasan apa, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, bisa dibilang jatuh cinta, alasan absurd. Neza, wanita yang mengenggam tanganku kali ini bukan wanita murahan, mungkin apa yang ia rasakan sama dengan yang aku rasakan, aku dan dia sama-sama tak mampu menolak. Walaupun kami belum saling tahu latar belakang, kami hanya tahu status. Aku membayarnya untuk tour singkat ini, dia pemandu wisata, harusnya. Tapi, ternyata, semua bergerak melebihi yang kuduga, ia lebih dari seorang pemandu wisata.
"Capek?"
Aku mengangguk.
"Mau pulang ke hotel atau kita jalan-jalan ke Putrajaya saja? Sekadar melihat-lihat pusat pemerintahan Malaysia."
"Pulang ke hotel sajalah."
"Lho, kenapa?"
"Aku ingin lebih lama memelukmu."
"Halah, gombal!"
"Sebelum waktu benar-benar memisahkan kita, Neza."
"Tidak ada kata pisah, perpisahan antara kita hanya sementara kan?"
Aku mengangguk berat, aku tak mampu berjanji, takut nanti malah menyakiti.
"Bagus! Sekarang kita mau ke mana?"
"Kausaja yang tentukan."
"Lho, kausaja yang tentukan, kaumembayar aku kan."
"Aku ingin ke hotel, melanjutkan pelukan yang tidak selesai."
"Kamu ingin menyelesaikan pelukan?"
"Iya."
"Kenapa harus diselesaikan? Biarkan saja menunggu, aku tak ingin ada yang selesai di antara kita. Masih terlalu singkat. Baru beberapa hari."
"Aku memang hanya beberapa hari di sini."
Neza, yang senyumnya memesona kini terlihat muram. "Iya, hanya beberapa hari, tapi... kamu akan kembali?"
Aku terdiam.
"Oh, yasudah. Tidak perlu dijawab. Datang dan pergi itu hal yang biasa. Kabari saja kalau kamu ke sini lagi, akan kutemani kamu."
"Kenapa hati yang terbaik justru harus tertinggal?"
"Mungkin, belum saatnya untuk ditemukan. Sesuatu yang hilang akan kembali dengan cara dan waktunya sendiri."
Neza menarikku, membawa aku masuk dalam pelukannya. Dan, matahari di langit Malaysia, tak terasa panas ketika kurasakan keteduhan dalam tubuhku.
***
Aku melirik jam. Dia belum muncul juga. Kuteguk air minum berkali-kali, dahaga sudah menggumuli tubuhku sejak tadi. Dalam keadaan seperti ini, aku teringat wajah Neza. Pelukannya, senyumannya, keteduhannya; benar-benar tak bisa dijelaskan lagi oleh kata-kata. Ia terlalu sempurna sehingga kata-kata takut menggambarkan pesonanya.
Pikiranku masih terpenuhi oleh Neza. Bahkan, saat suara yang tak asing bagiku, memanggil lantang namaku.
"Dion!"
Wanita itu berlari terengah-engah dengan wajah sumringah.istriku

Haruskah perbedaan menjadi penghalang?




Setiap bertemu dengan saya, dia banyak diam. Dia hanya bercerita tentang karier menarinya yang cukup mengagumkan. Hal yang selama ini ia perjuangkan terlihat mulai membuahkan hasil. Kelurga, waktu, usaha, dan tenaga telah ia korbankan untuk mimpinya; menari di atas panggung.
Ini pertemuan saya yang terjadi secara kebetulan, kami bertemu di Margonda raya, salah satu cottage dierah gianyar. Dia tidak bersama kekasihnya, saya bertanya-tanya. Adakah sesuatu yang salah? Melihat kejanggalan tersebut, saya banyak diam. Namun, ia mengajak saya sekadar ngopi dan ngobrol, saya tak mampu menolak, kami sudah tidak saling bertukar kabar beberapa minggu ini.
Topik utama masih tentang kuliah saya sebagai mahasiswa baru dan ia bercerita tentang kariernya yang mulai bersinar. Saya ikut bangga punya teman yang memperjuangkan mimpinya dengan sangat berani dan nekat. Namun, air wajahnya berubah ketika ia bercerita tentang kekasihnya, yang memanggil nama Tuhan dengan sebutan berbeda.
Mungkin, inilah definisi menyakitkan yang sesungguhnya. Saya sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dalam rangkaian kata, karena perasaan itu benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan apa yang dirasakan hati begitu sulit disentuh oleh logika kata dan kalimat. Dan, kata menyakitkan itu berasal dari kesulitan untuk menyatukan dua orang yang beribadah di tempat yang berbeda. Menangkap maksud saya? Absurd, abnormal, sulit dipecahkan, inilah yang muncul dalam benak saya ketika ia kembali bercerita tentang hubungannya yang berbeda, yang penuh perjuangan dan peluh.
Saya paham, ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika bercerita tentang beban yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga mengerti ketika matanya mulai berkaca-kaca setiap kali nama pria itu disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi jika ia harus mengangkat wajahnya berkali-kali, menahan matanya yang berair agar tetap terlihat kuat dan tegar. Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha terlihat sangat tegar dan sangat kuat di hadapan saya. Mungkin, dia sangat memercayai saya, karena saya pernah mengalami hal serupa, walaupun pada akhirnya saya juga terluka.
Dia terus bercerita, semakin banyak ia bercerita semakin saya memahami isi hatinya. Ada sesuatu yang ia perjuangkan di sini, agak ironis dan klise jika saya katakan, dan sangat munafik jika saya menyembunyikan apa yang saya tangkap. Iya, dia memperjuangkan; cinta.
Kamu tertawa, jelas. Cinta, di mata beberapa orang hanyalah omong kosong yang jauh dari kata nyata. Beberapa orang beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus benar-benar diperjuangkan. Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku, ras, status sosial, dan lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama. Hanya karena teman saya melipat tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan, berarti mereka dilarang untuk saling jatuh cinta?
Hal ini sungguh menganggu pikiran saya. Mungkin, saya terlalu perasa, hingga saya tak pernah tahan melihat seseorang terluka bukan karena sakit yang ia buat sendiri. Iya, saya begitu yakin, sakit dan air mata yang ia rasakan bukanlah sakit yang ia buat sendiri. Saya percaya dia dan kekasihnya saling jatuh cinta, mereka saling menjaga dan tidak mungkin saling menyakiti. Tapi, keadaan, orang-orang sekitar, juga orang lain yang bahkan tak terlalu mengenal mereka telah menciptakan pandangan yang salah. Pandangan yang memojokan teman saya dan kekasihnya. Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia berhenti menyakiti mereka?
Ketika pembicaraan berakhir, saya tidak memberi solusi apa-apa. Apa yang bisa saya berikan? Saya hanya mampu menyediakan telinga, juga hanya mampu menepuk pundaknya berkali-kali, berkata "sabar" tanpa henti. Saya sendiri benci dengan tindakan saya selama ini, saya banyak diam dan membiarkan teman saya dalam kesedihannya sendiri.

Tuhan, agama, dan norma, begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks, sampai-sampai saya tak paham lagi, apakah Tuhan yang begitu suci dan agung pantas diterka-terka isi hatiNya oleh manusia?

Beda cinta setipis keyakinan.







Saya mengingat lagi cerita teman saya. Baru beberapa hari saya temui dia di cafe, di bilangan salah satu kota diJawa tengah. Jujur, pikiran saya masih terbebani oleh cerita yang ia ungkapan. Tentang hubungannya, tentang kekasihnya, yang jauh dari kata normal. Iya, mereka berbeda, tidak sama seperti orang lainnya.
Ketika dia bercerita dengan menggunakan air mata, saya tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat. Air mata yang saya lihat hari Rabu kemarin adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam helaan napas lirih.
Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.
Air mata memang sia-sia, karena yang dibutuhkan di sini adalah kedewasaan. Semua berawal manis dan indah. Teman saya, awalnya memang bercerita dengan senyum sumringah. Ia berkenalan dengan seorang pria, secara tidak sengaja. Tentu saja, kita seringkali menganggap banyak hal terjadi karena kebetulan. Kebetulan mungkin adalah rencana Tuhan yang belum benar-benar kita pahami.
Tatapan mereka saling beradu, hanya senyum dan tawa yang tercipta kala itu. Teman saya, wanita beragama Khatolik tersebut, baru selesai pentas tari. Lalu, dunia berkonspirasi, mempertemukan dia dengan seorang pria, yang membuat hatinya merasa nyaman. Pria yang tiba-tiba merangsuk masuk dalam ingatan dan jengkal napasnya.
Indah memang, cinta mengubah segala yang hitam putih menjadi warna-warni. Tumpukan kebahagiaan semakin sempurna, ketika perkenalan teman saya dan pria itu berlangsung ke tahap yang lebih dalam, lebih dekat.
Segalanya terasa manis, walaupun juga terasa asing. Rasa nyaman itu kini berangsur berubah menjadi rasa takut kehilangan. Mereka berusaha untuk saling melindungi satu sama lain. Mungkin, ketika salib berada dalam genggaman tangan teman saya, dan ketika tasbih berada dalam genggaman pria itu; dengan air mata, mereka saling mendoakan.
Saya bisa rasakan kehangatan mereka. Sangat hangat. Sangat dekat. Saya iri, mengingat hubungan saya yang lebih dulu kandas termakan perpisahan. Saya dan seseorang di masa lalu tersebut tidak sekuat dan setegar teman saya. Oh, jadi curhat. Sungguh, saya benci membahas masa yang tak ingin saya ingat lagi. Teman saya dan kekasihnya masih terus mempertahankan walau mereka berbeda. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak saling jatuh cinta.
Inilah yang membuat saya semakin terharu, teman saya menunggu kekasihnya shalat di masjid. Ia menunggu dengan sangat sabar meskipun lirikan mata yang tajam tertuju padanya.
Dalam perbedaan, mereka saling menguatkan. Keindahan mereka sampai pada kelopak mata saya. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Terharu? Prihatin? Sinis?
Hey, mereka berbeda dari pasangan yang lainnya. Mereka bukan pasangan bermanja-manja yang mabuk kepayang akan cinta, saling bergelayut mesra dalam pelukan. Sampah. Pacaran model cinta monyet. Teman saya dan kekasihnya sungguh berbeda, mereka punya kebahagiaan yang tak dimengerti banyak orang. Kebahagiaan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang yang sibuk menghakimi hubungan mereka.

Apa yang membuat dua orang saling memperjuangkan jika bukan karena cinta?

Saat aku telah bosan menunggu.

Aku melihatmu, mengenalmu, lalu mencintaimu. Tentu saja, tidak sesederhana itu. Semua penuh dengan tanjakan, kelokan, bahkan jalur berlubang. Proses yang panjang itu, ku nikmati dengan cara yang tidak biasa. Aku bertahan menunggumu, menunggu kesadaran dari kekeliruan yang kau lakukan dengan mencintainya. Aku berjalan ditempat hanya untuk menunggu sosok yang tak pernah punya cahaya untukku. Pantaskah aku marah? Tentu saja tidak. Aku bukan siapa-siapa dimatamu, dan kamu hanya sesuatu yang begitu dekat namun sulit dijangkau, dan KITA tentu saja belum ada presepsi yang jelas tentang siapa KITA.
 

Perhatian yang ku berikan, sepertinya hanya menguap. Perjuanganku, seperti gelembung basah yang mudah pecah dan tak berarti apa-apa. Kulakukan semua dengan sangat hati-hati, dan berharap kau sedikit peka dan memahami betapa yang ku jalani ini tak semudah yang kau bayangkan. Jika boleh jujur, mencintaimu sangat teramat menyulitkan. Dan cacatnya, meski tau sulit, aku tetap pada pendirian semula. Berharap suatu saat kau akan membuka mata dan membimbingku ke cahaya, bukannya terus menjebloskanku ke lubang gelap, semakin dan semakin dalam terkubur. 
Tidak adakah aku memiliki sedikit ruang dihatimu yang penuh sesak itu? Tidak akankah kau menyediakanku sebidang lapak disana? Untuk menabur benih perasaan mungkin? Mataku sudah sembab, oleh kedukaan yang kau bangun dengan sengaja tentunya. Kau melihat semua, namun berpura-pura buta. Menyadari perasaanku, namun bertingkah seolah tak peka. Mendengar letihku, namun kau tulikan telinga. Apa salahku? hingga kau siksa dengan begitu perih! Kita bersama, menjalani semua secara normal, seakan-akan tiap ungkap perasaanku tak berarti apa-apa dimatamu. Kau tetap sibuk dengannya, dan aku tetap menyibukkan pada mimpi-mimpi absurd yang kubangun sendiri. 
Pagi ku, tetap selalu menyempatkan mengirim pesan singkat untukmu. Pembahasan kita, tetap sama. Tidak ada sesuatu hal yang terlalu istimewa. Tiap harinya, yang kita lalui seperti daur ulang retorika. Kau menyangkal, tak mengakui tentang perasaanmu. Namun, setiap waktu kau seret aku untuk terus ingin memilikimu. Aku mencintaimu, kau mencintainya. Kita sama bodohnya, namun tetap berpura-pura cerdas. Merasa paling paham tentang segala, merasa paling mengerti tentang dunia. Padahal kita hanya dua orang anak manusia yang masih bocah dan keras kepala. Sok paham, sok tau dan dengan banyak sifat labil lainnya. Apa yang kita tau tentang cinta mencinta? Jika memang kita tau, kenapa selalu saja saling melukai? Bahagiakah kita jika saling menyakiti? Itukah cinta menurut presepsimu?
 

Aku lelah jika terus terombang-ambing seperti ini. Aku letih jika hanya terus kau jadikan persinggahan, bukan tujuan. Aku sudah hampir bosan menunggu. Bila kau tak kunjung berbeda, aku yang akan bergerak menjauhimu. Aku juga ingin dibahagiakan! Bukan hanya terus memendam dan menunggu.

Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.



Kamu mengenalkan namamu begitu saja, uluran tanganmu dan suara lembutmu berlalu tanpa pernah kuingat-ingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda, kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat— BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicara manis kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai dengan luar biasa.
Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak menyapaku melalui dentingan chat BBM. Setiap hari ada saja topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita berbicara hal paling menyentuh; cinta.
Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku berusaha memahami kerinduanmu akan perhatian seorang pria. Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang wanita hanya menceritakan perasaannya pada pria yang dianggap dekat.

Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kausudah menganggap aku sebagai pria spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan.
Saat bertemu, kita tak pernah bicara banyak. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang baru dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian. Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi, nyatanya....
Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya pria yang takut kehilangan seseorang yang tak pernah (belum) aku miliki.
Salahku memang jika mengartikan tindakanmu sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kautak mungkin membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku. Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan memberiku sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu, sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.
Ternyata, ketakutanku terjawab sudah, kamu menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan yang tak kausampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah? Aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku sudah merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan, aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.
Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang. Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan. Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu, namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap rokok yang hilang ditelan gelapnya malam.
Sesungguhnya, ini juga salahku, yang bertahan dalam diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk tahu bahwa aku mencintaimu.


Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan, juga merelakan.