Wanita hujan.




wajahnya itu merah begitu merona tatapannya teduh, menundudukan jiwa. 
jiwa-jiwa yang di penuhi hantu-hantu pembunuh kebahagiaan. 
bahagia bila melihat tatapan lembutnya, lantunan lembut suaranya mendamaikan hati yang menangis.
 kearifan dirinya yang menenangkan fikiran atas keindahannya. 
namun tak banyak orang yang mengerti akan perasaanya kepada teman-teman disekitar dirinya. mereka hanya mengetahui bahwa dirinya hanya seorang sosok yang lemah, tak berdaya yang dapat di manfatkan begitu saja. mereka hanya mengetahui bahwa dirinya orang yang tak mengerti perasaan, dan meraka hanya tahu bahwa dikehidupannya yang datang kebahagian yang menyelimuti dirinya. 
sesungguh itu semua salah dan sesungguhnya mereka tidaklah mengenal dirinya sebenarnya. 
dia tidaklah lemah, dia tidaklah berdaya. sesungguhnya dia adalah orang yang kuat dan ikhalas atas takdir dari tuhan. 
tidak benar dia tidak mengerti perasaan, dan sesungguhnya dia memiliki empati tinggi terkhususnya orang-orang terdekat dirinya. 
dia tidak selalu bahagia akan tetapi dia bersyukur atas hikmat yang tuhan berikan padanya. dan dia adalah perempuan sendu, dia perempuan sendu bermata madu, dengan pandangan teduh tatapanya. sungguh dia perempuan yang indah hari semua perempuan yang ada di belahan bumi ini.

                                                                                Sutomo




Menyerah.

Bayangkan kamu berada di satu keadaan dimana kamu sudah berjuang, mempertahankan, berusaha meraih, namun tak ada yang kamu dapat kecuali kegagalan demi kegagalan. Sakit? Kecewa? Pasti. Tapi berbahagialah. Mungkin itu adalah ‘genta pulang’ dari Tuhan. Tanda untuk kamu ‘menyerah’. Mengalah. Dan mencari kebahagian lain. Tempat lain.
Aku duduk di satu sudut restoran makanan Jepang, di meja dengan empat kursi yang kutempati sendiri. Di atas meja itu berserakan buku-buku, bolpoin, pensil, sketchbook A5, dan satu nampan dengan piring dan mangkuk nasi yang isinya sudah tandas, serta satu cup es dengan jelly konyaku yang tinggal setengah.
Tak biasanya aku kemana-mana sendiri. Paling tidak akan ada satu teman untuk diajak bercanda tentang berbagai hal. Teman seneng-seneng. Kali ini sendiri, rasanya agak aneh tapi lumayan menyenangkan ternyata. Memutuskan melangkah kemana, mampir ke toko apa, melihat-lihat apa, tanpa harus mempertimbangkan pendapat dan keinginan orang lain.
Kadang kita emang butuh waktu sendirian. Bisa lebih banyak merenung dan berpikir tentang banyak hal. Seperti halnya saat ini.
Tadi di kampus ada acara, melibatkan mahasiswa lintas angkatan dan tentu saja para mahasiswa baru. Pacar didaulat menjadi salah satu entah apalah di acara itu. Aku enggan ikut sebenarnya. Tapi pada akhirnya aku menyusul juga, sendirian. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku merasa kampus ini asing buatku. Aku menyadari ini sejak semester awal-awal.
Percaya atau tidak. Aku bukanlah mahasiswi populer di kampus, bukan bagian dari himpunan mahasiswa, tidak aktif berorganisasi, teman dekat di kampus hanya segelintir saja. Aku tak punya alasan untuk betah di kampus selain karena keharusan kuliah dari pagi sampai sore di kelas studio. Beda dengan mereka yang aktivis tentu. Hari-hari dikampus tentu menyenangkan. Teman-teman akrab, rapat-rapat kegiatan yang menyenangkan, bahkan gebetan. Ada banyak hal yang membuat mereka betah dan punya semacam ikatan emosional yang kuat dengan kampus itu. Sementara aku?
Aku cuma mahasiswi yang ke kampus saat ada kuliah dan segera pulang saat semua selesai. Tak ada nongkrong-nongkrong karena teman-teman dekatku pun bukanlah salah satu dari aktivis. Kami sejenis. Sejenis alien mungkin dimata mahasiswa lain. Alasanku datang ke setiap acara kampus mungkin hanya kerena diajak pacar yang kebetulan aktivis, mantan sekum, bla bla bla yada yada yada~ Kalo enggak ada dia mungkin tak pernah aku mau ikut-ikutan. Nggak nyambung!
Aku bukan enggan bersosialisasi, bukan juga jenis introvert. Buktinya di tempat lain aku bisa menjadi orang yang selalu menyenangkan dan disayangi. Hanya merasa berbeda. Nggak nyambung. Aku sama mereka seperti dua orang yang jauh, saling melihat dan masing-masing berprasangka. Ada jarak. Ini menggelikan. Semua yang kulakukan mereka anggap aneh dan yang mereka lakukan tak bisa kupahami. Kami berbeda. Maka kuputuskan berhenti mencoba ‘membaur’. Menyerah untuk beradaptasi. Di titik ini aku menyadari, bahwa, mungkin tempatku memang bukan disini.
Bicara masalah hati. Aku pernah berada di posisi dimana aku berusaha mempertahankan, berusaha menjadi seperti yang diinginkan oleh orang lain, menepis semua keasingan dan ketidakcocokan untuk satu hal yang aku sangka cinta. Awalnya rasanya baik-baik saja. Aku berusaha menerima bahwa perubahan adalah satu kewajaran yang memang harus aku lakukan untuk menjadi lebih baik. Demi orang lain yang aku cintai.
Oke. Ini kedengaran sangat cheesy tapi aku yakin banyak yang berlaku serupa. Berubah demi orang yang disayangi.
Aku belakangan sering menceramahi seorang teman tentang perbedaan mencintai dengan menyakiti diri sendiri. Bukan sok tau dan asal njeplak, aku bicara berdasarkan apa yang pernah aku alami. Cinta kadang bikin orang jadi bego. Jadi buta. Bukan salah cintanya sebenernya. Tapi salah orangnya. Membutakan diri.
Yang kulakukan adalah berusaha beradaptasi, berusaha memaklumi, berusaha bertoleransi, yang tanpa aku sadari, semua itu menghancurkan diriku sendiri. Aku sampai pada satu jeda dimana aku nggak kenal siapa diriku sendiri. Aku, hati dan pikiranku, pada akhirnya memilih-milih. Mengingat semua yang manis, berusaha membuang kenyataan bahwa aku sebenarnya sedang disakiti.
Aku sudah memaklumi tuntutan untuk berubah seperti yang dia inginkan. Aku sudah sangat mengabaikan dan selalu memaafkan semua sikap kasar dan tak pantas yang dia lakukan. Aku hanya mengingat-ingat yang indah, percaya bahwa dia menyayangi aku, dan pura-pura tidak tau tentang semua luka dan sakit yang dia sebabkan. Semua yang kulakukan hanya untuk mempertahankan. Entah apa yang kupertahankan. Kuperjuangkan.
Sampai akhirnya ketika aku bisa berfikir jernih. Ketika semua kerusakan yang dia timbulkan semakin menjadi-jadi. Aku memutuskan berhenti memaklumi. Berhenti beradaptasi, bertoleransi, berhenti menyuntikkan sendiri obat bius khayalan yang kusengaja membuatku mati rasa. Aku memutuskan ‘menyerah’ dan mendengar genta pulang yang Tuhan bunyikan. Berbalik. Mencari kebahagiaan baru. Tempat baru. Yang kini sudah kutemukan.
***
Maka, sudahlah. Jika suatu tempat kamu rasakan bukan tempatmu, tak bisa menerimamu, menyakitkanmu, menyerahlah. Ada kalanya semua kegagalan adalah pertanda dariNya bahwa itu memang bukan jalanmu, bukan takdirmu, bukan untukmu. Karena akan ada, di suatu sudut di bumi ini, tempat yang menerimamu, menyamankanmu. Begitupun orang yang bisa kau cintai tanpa kau perlu menyakiti dirimu sendiri tanpa kau sadari. Karena ada satu saat, satu batas, dimana kamu akan menyadari bahwa kamu lebih baik menyerah atas perjuanganmu, untuk memperjuangkan yang lainnya, yang lebih pantas.

Jadi, coba berhenti sejenak, renungkan, dengarkan. Adakah terdengar ‘genta pulang’ dari Tuhan? :)
yang masih merenung dan berfikir,

Kita, Diaroma.

Aku patung, mereka patung
Cangkir teh hangat namun kaku dan dingin
Meja-meja kayu mengkilap
Wajahmu dibasahi air mata yang dilukis

Tubuh kaku tidak bergerak

Ingin hapus air matamu tapi aku tak bisa
Patung-patung kayu mengkilap
Pikiran mereka kosong memikul peran

Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia

Tapi kita dalam diorama
Harusnya sisa masa ku buat indah menukar sejarah
Tapi kita dalam diorama

Diorama, diorama

Sakit hatimu karena aku
Sakit membekas dalam, jadi bagian sejarah
Tak ada kesempatan untuk berkilah
Untuk selamanya masa itu menguasaimu

Harusnya cerita ini bisa berakhir lebih bahagia

Tapi kita dalam diorama
Harusnya sisa masa ku buat indah menukar sejarah
Tapi kita dalam diorama

ghege:D

Rindu tuan (bagII)




Malam terpekur. Namun kekasih hatinya belum jua tidur.


Puan :  Malamku tiarap. Diatasnya mimpiku tengkurap. Ah, untung masih gelap. Masih ada waktu hariku genap. Semoga esokku sesuai harap. Ayolah,lelap!
Di seberang sana, lelakinya langsung senyap. Menunggu mimpi merayap hinggap meski sekejap. Mata sang Puan mengerjap. Mengecup redup dalam degup yang sayup-sayup. Rindunya basah kuyup.
***
Siang itu. Langit abu-abu. Mentari membuat jejak mengabu. Jarak antara Puan dan lelakinya menjalin bentangan rindu. Kemana harus mengadu ketika angin pun berubah sendu dan menunggu jawab lelakinya adalah candu? Seandainya Puan tahu, lelakinya pun menandu rindu.
LelakiSiangku hujan, rinduku diam, laparku menganga. Disini aku sendirian.
Puan Hujan ada agar rinduku bisa berteduh dalam diam senyummu. Duduk dan tutuplah laparmu dengan semangkuk rasa yang mengepul. Mengalahlah pada lelah.
Lelaki : Aku sedang berdiam, memojok, dan mengharap akan kehangatan yang bersembunyi.
PuanJangan mencari terlalu jauh, hangatnya cuma berjarak serengkuh. Kau yang terlampau angkuh.
Lelaki : Yah. Angkuh. Menari-nari dengan kehangatan yang terenggut.
Puan : Kau terlalu hanyut dalam rindu yang larut.
Lelaki : Ohya? Takkan pernah aku merasakan, jika tak mencobanya.
Puan : Beranikah kau? Mencoba untuk merona?
Lelaki : Setidaknya aku berani untuk memeluknya.
Puan : Hanya memeluk dengan angan tak beda dengan berjalan menuju rumah namun terhenti di halaman.
Lelaki : Ah. Tapi aku memeluk untuk memenuhi.
Puan : Memangnya dari apa kau terisi?
Lelaki : Rasa, semangat, cinta dan harapan.
Puan : Lalu, kemana rindumu kau gantungkan?
Lelaki : Padamu.
Puan : Maka tenanglah. Debarku memeluknya. Selalu.

Rindu mereka sekarang ringan. Sebagai bunga-bunga kapuk randu yang beterbangan. Kenangan mencipta angan, angan menumbuhkan harapan. Rindu Puan masih sendu, lelakinya pun begitu. Namun, seperti malam-malam sebelum itu, nanti malam, rindu mereka akan berubah rayu, yang mendayu.

Tersesat diluar angkasa.







Sekali waktu aku pernah mengumpamakan cinta di dalam aku dan kepada aku adalah sebuah lubang hitam di salah satu sudut galaksi kita. Menelan segalanya lalu melenyapkannya. Apa yang masuk, tak pernah keluar lagi. Lenyap selamanya. Pecahan bintang, satelit, bangkai stasiun luar angkasa, bahkan mayat planet-planet kecil jika mereka ada, semua bisa saja masuk dan meniada. Menjadi hampa. Itu semua karena mencintai dan dicintaiku nyatanya tak pernah mudah dan bukan perkara cinta yang biasa. Cinta yang ada padaku, terkadang melenyapkan.
Di lain kejadian, cinta merupa gravitasi yang menjaga keseimbangan adaku. Sejauh apapun aku mengawang, aku akan tetap kembali menjejak. Akan terus menerus jatuh. Akan terus menerus ditarik pada pusaran yang menyamankan, dan menormalkan. Sehingga yang terus menerus terjadi adalah yang memang sudah seharusnya terjadi. Tanpa alasan. Tanpa mengapa.
Pada lain kesempatan, cinta adalah ruang hampa udara. Media tempat kita mengawang bersama. Menyaksikan surya terbit di timur bumi sambil melayang bergandengan tangan berdua seperti Dr. Ryan Stone & Matt Kowalsky di film Gravity. Atau duduk diam saja di satu dataran Mars, menyaksikan matahari biru tenggelam dalam diam. Atau jungkir balik saja di ruang anti gravitasi. Bercerita dan tertawa saja hingga oksigen habis dan kita tinggal mayat yang jiwanya melesat bersama entah kemana. Ya, tertawa saja. Karena tak ada yang memungkinkan airmata bisa menetes, di atas sana.
Di waktu yang lain, aku berharap cinta menjadi sesuatu yang begitu sepi seperti jagat raya selepas atmosfir lapis pertama yang tak memiliki media untuk suara bisa sampai ke telinga. Sehingga tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk berkomunikasi selain lewat bahasa tubuh dan tatap mata serta gerak bibir. Sehingga tak ada lagi upaya untuk bertahan selain saling berpegangan. Sehingga tak ada lagi sejauh mata memandang, sekeliling, atas dan bawah kita melainkan lautan beledu hitam serta kerlip gemintang yang begitu jauh.

Pada saat itu, aku juga berharap, cinta akan tetap menjadi demikian sepinya seperti saat kita tersesat di luar angkasa. Sehingga yang bisa kita lakukan hanya mencintai saja. Sehingga tak ada lagi yang harus kita pikirkan bagaimana reaksinya, tak ada lagi yang harus kita pertimbangkan bagaimana seharusnya, tak ada lagi saling mencemburui, tak ada lagi jarak, karena bahkan waktu, di kala itu, tak akan lagi berefek apapun pada kita. Waktu, yang terus menerus menjadi pangkal pertengkaran kita, saat kita masih di bumi.
Pada sepanjang tahun ke belakang ini, yang menempel dalam kepalaku adalah kita yang sengaja memilih menyesatkan diri ke luar angkasa. Menjadi alien entah spesies apa dan dari mana asalnya. Menjadi anomali. Saling mencintai tanpa tapi dalam bungkam yang sepi. Karena bahkan ledak bintang uzur yang menjelma supernova penuh warna pun bisa sebegitu indahnya meski tanpa suara.

Cinta, mari selamanya tersesat di luar angkasa yang berjarak jutaan tahun cahaya dari kepala kita yang berbahaya.

"Dialogue I" Pria dan Wanita

P: Kalau kamu adalah pagi maka tak ada alasan buatku terjaga malam ini.
W: Dan bila kamu adalah air, maka aku adalah wanita paling dahaga. 
P:Jika aku air dan suatu saat habis menguap, pastikan aku hanya menjadi hujan di dahaga hatimu.
W:maka itulah satu-satunya hujan yang akan membuatku acuh akan tempat berteduh. Kubiarkan tubuhku basah oleh rindu.
 P:tapi nggak akan aku biarkan kamu sakit karena kuyup :)
 W:Siapa bilang aku bakal sakit? Kuyup dengan cintamu itu obat, Sayang.
 P:Kalau hujanku habis? Bagaimana semua bisa mengalir?
 W:tak paham juga? Cinta kita adalah siklus abadi. Tak pernah habis. Mengalir, menguap untuk kemudian tercurah lagi.
 P:Aku terbang. Bawa aku lebih tinggi lagi, Bidadariku.
W:Dengan apa? Sayapku sudah kupatahkan agar tak bisa lagi terbang dari hatimu.
 P:mengapa kau patahkan? Sebegitu takutnya? Kemanapun kamu terbang, hatiku selalu terbawa olehmu.
 W:Kamu angin. Kamu laut. Kamu langit. Kamu damaiku.
 P:Kamu dermaga. Kamu teluk. Kamu pantai. Kamu kembaliku.
 dan kita adalah dua melebur menjadi satu pada senja.
 berlari ke arahmu. Aku.
 W:Aku pantai. Kamu laut. Kita menyatu dalam debur.


ghege:D

colek-colek buat perempuan yang disana :-P

Pernah

 

 

Kamu pernah menjadi air dan aku menjadi minyak yang berwarna cerah. Kita berdua lalu dimasukkan kedalam wadah kaca berbentuk lumba-lumba. Lalu dijual orang sebagai gantungan kunci. Bergelantungan menunggu seseorang membuka sumbatnya dan kita tercecer di jalanan.

Aku pernah menjadi putri duyung dan kamu lelaki yang menunggu di bibir pantai. Aku menjual jiwaku demi sepasang kaki untuk berjalan disampingmu namun kau rupa-rupanya tak mau kujejeri. Aku hilang menjadi buih. Menyatu lautan. Lenyap dari dunia yang adalah otakmu.

Kamu pernah menjadi ‘pernah’ yang adalah kenangan.

Kamu kini adalah ‘sekarang’ yang kutinggalkan di belakang.

 

Ghege:D

Isi hatinya,,,



Kamukah yang menggigit rembulan, tuan? Dia mengadu padaku tadi malam. Merintih ketakutan dari balik kaca jendela kamar yang mulai berembun. Iya. Itu dini hari. Kemudian pendarnya meredup. Ia menangis. Langit menangis. Rintik di penghujung malam yang menelan kebahagiaan. Disedotnya harapan. Ditelannya bulat-bulat debar merah jambu manis yang kupilin hati-hati.
Kemudian kami menangis bersama, tuan. Kami menangis dalam sedu sedan yang bisu. Karena malam tak suka keributan. Kami berbisik. Bulan mengadu, langit mendengar sambil tersedu. Gelas kopi dan sendok perakku beradu.

Kamukah yang menyebabkan luka duka ini, tuan? Mencuri bintang dari malam kami? Disini gulita. Ada rindu yang meronta-ronta. Untuk apa datang jika kemudian pergi setelah mencuri? Kemanakah senyum dan tawa yang kita tuang pada tiap cekungan kawah-kawah bulan, tuan? Kau bawa kemana?

Sekarang kami saling bertatapan, tuan. Langit, rembulan, dan aku. Perempuan yang kurang dari 48 jam lalu masih kau dekap dalam pelukan. Masih kau kecup keningnya, hidungnya, kemudian bibirnya. Masih berbagi cerita, berenang dalam tawa dan aroma kata-kata yang bersama kita jahit menjadi selimut, menggulung hingga esoknya matahari meniup kita dengan cahaya dari balik tirai jendela.

Tuan, kemanakah kamu pergi? Kamukah yang menggigit pagi hingga padaku kini ia pun meringis nyeri?

#Aruna

Kemudian

Kamu di awal. Aku di akhir.

Kita berada pada satu garis lurus yang teguh.

Tak ada kemungkinan menjadi lingkaran yang menjadikan kita berdampingan.

Bersisian.

Kita adalah tidak.

Kamu dan aku adalah bukan.



Kamu awal. Aku akhir.

Tiga puluh jejer dinding. Satu sua. Kemudian meniada.

 

Ghege:D

Rindu tuan,,








Gulita tersungkur jatuh dari langit-langit kamar. Aruna diam saja dihantamnya. Digenggamnya benda persegi ajaib, penghubung dengan lelakinya nun jauh. Bisu. Senyap memekak telinga. Aruna tahu, disana, lelakinya lagi-lagi diculik lelap lebih dahulu. Lelah adalah pemenang. Jika rindu adalah isi seluruh atmosfer malam itu, milik Aruna lah rasanya yang paling menyesak. Jemari rampingnya mulai menyusun kata. Berselang waktu setelah pertemuan terakhir mereka, puan semakin lihai menyulap rindu menjadi deret aksara, yang lelaki itu selalu bisa rasa.
Kepada cinta, malamku tunduk menghamba. Kepada helai hitam rambut lurus. Kepada sepasang sayu pemicu detakku. Kepada bangir hidung. Kepada merah mungil bibir. Kepada dua perangkap suara bernama telinga. Kepada sepasang semu merah pipi dan lancip dagu. Kepada nyaman hangat leher dan bahu. Kepada tentram dari bidang dada itu. Kepada luluh akibat peluk lengan itu. Kepada lengkap yang diberi jemari itu. Kepada erat perangkap kedua paha. Kepada jauh dan mantap langkah kaki. Kepada teduh tatap, dengarmu yang senyap, kecup hangat lamat-lamat, bisik rindu dan gelak tawa. Kepada bahagia. Kepada kenangan. Kepada harapan. Kepada kamu, kepada kamu, kepada dirimu, aku menumpah rindu. Di mimpiku tadi tak ada kamu. Megap-megap aku berenang ke atas, menuju kesadaran. Terbuka pejam, yang kucari kamu. Gulita yang menyapaku. Kamu, lelaki yang dipeluk lelap, aku rindu. Nanti, pagi, ketika terbuka matamu, dan aku masih diayun mimpi, kuharap pesan ini mampu gantikan hadirku. Semoga kata-kataku mampu mengecupmu selamat pagi. Kamu, yang tak bisa terjamah pandang dan sentuh nyata, semoga malam & harimu bahagia.
Jarum jam berjingkat tanpa suara, menggelindingkan bumi pada porosnya. Dibawanya sadar Aruna serta. Malam menggeliat dalam selimut.
***
Matahari menatap Lelaki sayu dari peraduannya, lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Pertama yang dicarinya adalah Aruna, ditemukannya pada sederet panjang pesan berkesan. Duduk ia dan dibacanya pelan-pelan. Rindu kini berupa cahaya kuning bening yang lekas menghangatkan lantai kamar serta seluruh isinya. Lelaki itu membalas dalam gegas.
Kepada cinta, yang masih dipeluk mimpi.  Mataku terbuka pada sisa-sisa mimpi yang hampir ku lupa. Aku dihadapkan oleh wajahmu yang tak bisa kusentuh. Aku mencoba mengulang kenang. Membenarkan rambut panjang bergelombangmu yang menutup sebelah mata. Mengecup lembut keningmu yang lebar. Sementara matamu memejam merelakan. Sepasang mata bulat perlahan menunjukan keindahannya diiringi senyum termanis. Kepada wanita peramu senyum, aku rindu saat hidung kita bertemu. Merasakan hangat hembus napas yang keluar dari hidungmu. Pada sebuah bibir yang menempel malu-malu namun terus dilumat tanpa ragu. Lembut bibirmu yang membuat aliran darahku berlari ke kepala. Menghangatkan seluruh tubuh yang ditusuk dingin kala itu. Kita berdua tenggelam dalam keheningan. Tak ada kata-kata indah yang bisa kuucapkan. Kecuali bisik canda yang berujung tawa. Aku memeluk tubuhmu dalam-dalam. Pada kaki yang kugesekkan pada kulit betis yang halus. Pada jemari yang saling melengkapi. Pada sepasang payudara yang selalu menggoda untuk disambangi. Kepada wanita peramu senyum, aku rela waktuku habis untuk menatap wajahmu. Wajah yang bisa membawaku ke duniamu sampai aku lupa pulang. Kepada kamu yang masih terpejam. Aku harap ketika matamu terbuka, ada bayangku yang setia memelukmu. Kepada kamu wanita peramu tawa. Pagi ini, izin aku melihat senyummu yang pertama.
Jarak lagi-lagi berhasil dilenyapkan. Seolah titik koordinat tempat mereka diam kini telah saling berhimpitan. Lelaki itu suka bergurau, rindu yang mereka timbun suatu saat bukan tak mungkin akan menjadi pulau. Disekelilingnya akan ada danau tempat para katak bernyanyi parau. Namun hujan tak akan datang, pun bukan kemarau. Karena mereka akan menikah di atas sebuah perahu, sambil menyaksikan bola oranye raksasa tenggelam dalam genangan air payau.

"Kehilangan" dan "Perpisahan" dipenghujung sore.

  

                                                                                        
Di area pemakaman itu, angin menari berkeliling. Berputar sepuasnya, semaunya. Dengan gerakan lambat-lambat yang lembut syahdu. Menggoda dedaun hingga jatuh pada kaki-kaki pohon kamboja. Guguran putih bunga lelap dalam erat pelukan rerumput rapat yang hijau rapi terbabat. Awan menyembunyikan matahari sore yang mulai mengantuk. Sejauh mata memandang hanya hijau dan putih langit, serta abu dan hitam nisan pualam. Salah satu diantara mereka masih basah tanahnya. Sepi bergulung-gulung di udara. Menemani seorang perempuan tua dengan gaun kelam pekat panjang yang duduk menabur bunga sendirian. Bagian bawah terusannya menyapu rumput.
Aku membuka kacamata hitamku, menyisipkannya pada luaran terusan hitam yang sedang kupakai. Tak terik lagi. Payung hitam yang menaungi tubuhku pun kukuncupkan rapi. Kusandarkan ke batang pohon tanjung besar di sisi bangku panjang kayu yang tengah kududuki. Kuhela nafas dalam. Tante Wien masih larut dalam duka, aku pamit meninggalkannya agar ia bisa bercengkerama sepuasnya dengan nisan Om Gunadi.
Aku duduk dalam diam selama beberapa lama. Kubiarkan pikirku melanglang sesuka-sukanya, sementara tubuhku kaku menatap hampar nisan bisu yang berjejer rapi di depanku. Kutatapi saja tanpa emosi apa-apa. Di tanganku ada segenggam melati, wanginya mengingatkanku pada Ibu.
“Siapa?”
Seorang lelaki tiba-tiba duduk di sebelah kananku. Pertanyaannya dan kedatangannya yang tanpa tanda membuat tubuhku tersentak dan jantungku seolah melonjak dari tempatnya. Aku tak mengantisipasi kehadiran orang lain selain aku kecuali tante Wien di pemakaman asri ini.
Lelaki itu menyandarkan tubuhnya dengan santai pada sandaran bangku panjang yang kami duduki. Tangannya ia lipat di dada. Kemeja hitamnya tersetrika rapi, begitupun celana yang sedang ia kenakan. Wajah dan bentuk rahangnya dipertegas oleh keberadaan kacamata yang bertengger pada hidungnya yang bangir. Aku tak terlalu yakin apa warna matanya karena ia sedang menatap lurus ke depan, tidak sedang menoleh ke arahku.
“Siapa?”
Diulanginya lagi pertanyaan itu. Tentu saja ia bertanya padaku. Ketika itu degupku telah normal. Laki-laki itu masih menatap lurus ke depan. Kali ini kulemparkan pula pandangku ke arah yang sama. Rimbun pohonan berbatas langit luas membentang jauh dari ujung nisan terakhir.
Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. Aku tak biasa meladeni bicara orang asing, namun lelaki ini nampaknya menjadi pengecualian. Entah mengapa.
“Pamanku.”
Aku menjawab singkat. Ia tak berkomentar atau bertanya lagi. Angin berjingkat mengitari kami. Hening panjang menyusupi pepori begitu lama hingga akhirnya kuputuskan bersuara.
“Menurutmu, mana yang lebih menyakitkan; meninggalkan atau ditinggalkan?”
Kalimat tanya itu meluncur keluar begitu saja dari bibirku.
Lelaki itu diam sejenak.
“Bagiku tak ada bedanya. Dua-duanya berarti kehilangan,” ia menyibak rambut yang menutupi dahinya. Baru kusadari ada kuncir kecil di bagian belakang rambutnya. Ia mengikat rambutnya dengan karet.
“Ditinggalkan, meninggalkan, perpisahan, kehilangan. Kau benar. Memang sama pahitnya,” aku menunduk memperhatikan kuku-kuku jari yang sebenarnya fikirku tak ada di situ.
Lelaki itu tersenyum. Sebuah sungging yang membuatku mengecap pahit di lidah. Ajaib.
“Kau tahu? Dua orang bisa mengalami kehilangan yang sama, dengan pengalaman rasa yang berbeda,” ia mengangkat dua telunjuknya dan membentuk kait dengan keduanya saat mengucapkan kata ‘sama’.
Aku diam saja mencerna kalimatnya. Kutoleh pandang ke arahnya yang sepertinya sedang menyusun kata untuk kembali melanjutkan. Benar saja.
“Dua orang yang saling mencintai kemudian memutuskan untuk berpisah, mengalami kehilangan yang sama. Kehilangan kekasih. Namun kehilangan itu sendiri bereaksi tak sama pada masing-masing mereka. Pada yang satu, kehilangan ia rasakan bagai susunan bangun yang runtuh karena hilang pondasi. Sedangkan pada yang lainnya, kehilangan ia maknai pembebasan. Seolah sebuah beban berat diangkat dari pundaknya.”
Aku tertegun.
Bagaimana makna kehilangan bagi masing-masing orang bisa sebegitu jauh berbeda? Itukah yang dirasakan Cakra ketika pada akhirnya kami berpisah? Pembebasan? Ketika aku tergugu bermalam-malam bertanya pada diri sendiri tentang apa salahku? Ketika aku mengutuk betapa jahatnya jarak terhadap cinta kami? Ketika pada akhirnya aku sadar bahwa ia tak pernah benar-benar mencintaiku?
Aku tersadar dari lamunan ketika ujung mataku menangkap bahwa lelaki asing itu sedang menoleh ke arahku. Bola matanya cokelat gelap. Garis-garis kelopak mata itu menyiratkan sendu. Rahangnya mengingatkanku pada tokoh komik Jepang, menyudut runcing. Ia terus menatapku hingga aku harus mengalih pandang kembali ke depan dan memutuskan mengucapkan sesuatu untuk menutupi gugup.
“Om Gunadi pergi tiba-tiba. Tante Wien masih tak percaya suaminya meninggalkannya tanpa pertanda apa-apa. Kehilangan macam begitu, mungkin rasanya lebih menyakitkan, ya,” aku mengarahkan pandang ke punggung tante Wien yang masih duduk diam di sisi nisan suaminya. Jangankan ia, aku yang tak terlalu dekat dengan Om Gunadi saja merasa terpukul.
Lelaki di sampingku itu menunduk memainkan jarinya, melihat langit, kemudian menoleh lagi ke arahku.
“Maksudmu konsep siap dan tidak siap kehilangan?” ia menyuarakan apa yang ada di kepalaku melalui kalimat tanya retoris itu.
Aku mengangkat bahu. Kuusap lenganku sendiri. Angin pemakaman ini menabrakku tanpa ampun.
“Kuberitahu kau, nona. Tak ada yang siap dihampiri kehilangan. Sekalipun waktunya sudah ditetapkan. Tak ada yang benar-benar siap menerima kekosongan. Hampa adalah tiada yang paling menyakitkan.”
Lelaki ini benar. Bahkan jika semua orang tahu bilamana ia harus ditinggalkan atau meninggalkan, kehilangan tetap akan beranak pinak sepi yang merengek-rengek minta diberi makan.
“Sore kemarin. Tante Wien kehabisan kecap. Ia akan memasak semur daging untuk menu makan malam. Om Gunadi memboncengnya naik sepeda motor ke mini market. Setiba di rumah, Tante Wien bergegas ke dapur karena hari sudah terlampau sore. Om Gunadi duduk di meja makan, membuat dua gelas sirup markisa untuk mereka berdua…”
Tenggorokanku mendadak terasa tercekat. Ada tangis yang merangkak naik dari kerongkongan. Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. Pandang lelaki asing itu kini telah sepenuhnya menuju ke arahku.
“Tante Wien baru selesai memasak dan baru akan menaruh mangkuk di atas meja makan, saat ia mendapati kepala Om Gunadi terkulai lemah, mendongak disangga sandaran kursi dengan mata terpejam. Lelaki itu pergi diam-diam. Begitu saja. Secepat dan sesenyap itu…”
Kaca-kaca pada mataku kemudian pecah menjadi bulir bening hangat yang mengaliri pipi. Kuusap dengan telunjuk. Setiap kali harus menceritakan ini pada orang-orang yang bertanya, selalu datang sesak yang sama.
Tangan lelaki itu menggantung canggung di udara. Detik berikutnya telapak tangan berjari panjang itu sudah kembali terlipat di dada. Dia mau apa? Mengusap air mataku?
Lelaki itu diam. Membasahi bibir dengan mengulumnya. Kemudian mengangguk entah untuk apa.
“Serangan jantung?” ia menebak.
Ya. Pergi yang begitu sunyi.
Aku mengangguk, menghela nafas untuk kesekian kalinya. Dalam genggamanku, sekumpulan melati remuk menguarkan wangi.
“Ibu dulu meninggalkanku juga tiba-tiba. Cukup lama hingga pada akhirnya aku menyerah dan percaya bahwa ia sudah tak ada. Serasa ada sesuatu yang dicerabut paksa dari dadamu. Sakit sekali. Begitu jugalah mungkin yang kini dirasakan Tante Wien…”
“Proses kehilangan selalu diawali dengan penyangkalan. Rasa tak percaya. Kemudian marah pada diri sendiri, hingga akhirnya berhenti pada titik terakhir: penerimaan. Mau tidak mau,” lelaki itu menyahutiku lirih.
“Tepat sesaat setelah kau ditinggalkan, sama sekali tak terasa ada yang sakit. Menangis pun rasanya tak bisa. Rasanya kelu. Beku…”
Aku selalu tak berhasil menemukan padanan kata yang tepat untuk rasa yang aku dan Tante Wien rasakan hingga akhirnya lelaki asing ini mengucapkannya.
“Mati rasa…”
Aku terdiam, kemudian mengangguk menyetujui. Benar. Mati rasa.
“Seperti halnya saat kau dibius. Dagingmu disayat-sayat, dicabik. Tapi kau tak merasakan apapun. Sama sekali tak terasa…,” pandangku melayang-layang ke langit dan reranting pohon tanjung yang menaungi kami.
“Hingga akhirnya bius itu kemudian melenyap perlahan. Dan yang tinggal adalah rasa sakit yang mengganda. Bukan begitu?”
Aku menatap laki-laki itu dengan takjub.
“Bagaimana kau bisa begitu paham apa yang kurasakan?”
Untuk pertama kalinya ia menyungging senyum tulus.
“Mungkin karena aku telah menamatkan berbagai macam kesedihan..”
Pertama kalinya pula kubalas senyum itu. Tulus.
“Apa itu berarti kau sering menangis? Maksudku, kau kan laki-laki… Apa kau…”
“Sahabatku meninggal seminggu yang lalu. Dimakamkan disini juga. Kecelakaan. Calon suaminya selamat, namun ia sendiri pergi…”
Tatapnya menerawang jauh. Ya. Tentu saja lelaki ini kesini dengan sebab. Berapa orang yang memutuskan ke taman pekuburan hanya karena iseng?
“Semoga dia bahagia di Surga, ya…”
“Begitu juga pamanmu…”
Aku mengangguk mengamini.
“Pertanyaanmu tadi…”
“Ah, tak apa jika kau tak ingin menjawabnya,” aku menggeleng sungkan. Mengapa aku harus terlalu mau tau urusan orang?
“Tidak. Tak mengapa. Aku akan menjawabnya. Aku tak bisa menangis. Sulit sekali rasanya. Sesedih apapun aku. Aku begitu terpukul atas kematian Shelomita namun tak setitikpun air mata ini jatuh…”
Suaranya terdengar goyah. Siapapun dia, Shelomita ini nampaknya begitu berarti untuk laki-laki asing yang duduk di sebelah kananku ini.
“Aku pernah membaca bahwa lelaki jarang menangis karena kelenjar air matanya lebih besar daripada wanita yang notabene sering menangis. Simpel. Itu mengapa lelaki lebih bisa membendung tangisnya….,” kubetulkan letak selendang yang tersampir di bahuku sebelum melanjutkan.
“Lebih dari itu, perasaan sedih karena kehilangan tak harus selalu dinyatakan dalam bentuk tangisan. Tertawalah. Paling tidak di dalam hatimu. Kenanglah segala yang menyenangkan bersamanya, syukuri hal itu pernah terjadi, kemudian doakan ia agar bahagia. Semua itu lebih berarti daripada sekedar tangis sesaat yang tak membekas apa-apa…”
Lelaki itu kini tersenyum lagi menatapku. Aku membalas dengan senyum canggung. Lagi.
“Tak kusangka, ternyata kau banyak bicara juga, ya.”
Aku kaget dengan komentarnya. Menjadi lebih canggung lagi sebelum akhirnya ikut tertawa bersamanya. Sebuah tawa pelan yang ditahan.
“Maaf,” ujarku ketika senyum belum pergi dari bibir kami.
“Tak apa. Kau benar. Aku merasa jauh lebih baik setelah mendengarnya. Terima kasih,” lelaki itu kembali menatap langit sore di atas kami. Kali ini dengan senyum.
Sore telah menjadi abu-abu dan terlalu dingin. Sebentar lagi tampaknya aku harus segera menyusul Tante Wien dan membujuknya pulang ke rumah.
“Menurutmu, apa ada cara agar kita siap menerima dan mengalami kehilangan?”
Angin meniup dedaun kering dan rambutku. Desaunya yang melalui celah-celah kecil ranting pohon mencipta bunyi siul lirih. Sore yang begitu mendung. Langit pelit warna jingga. Kelabu saja menggumpal-gumpal di atas kepala.
Aku memberikan isyarat akan mengambil payung yang tersandar di batang pohon di sebelah laki-laki asing itu. Ia membantuku mengambil dan menyerahkannya padaku dengan sopan.
“Mungkin ada. Namun aku tak terlalu yakin…,” aku kembali membenahi selendang. Bunga melati dalam genggaman kutabur begitu saja di atas rumput.
Lelaki itu bertanya lagi,
“Yaitu?”
Aku menarik nafas dan menghelanya pelan,
“Dengan tak pernah merasa memiliki…”
Kami lalu tenggelam dalam hening beberapa detik. Suara daun kering bergesekan tertiup angin mengisi senyap di antara dua orang asing yang duduk bersisian ini.
“Maaf. Aku harus segera menyusul Tante Wien dan membujuknya pulang. Sore sudah terlalu gelap. Terima kasih telah menemaniku mengobrol,” aku pamit seraya bangkit dan menyunggingkan senyum tulus.
Lelaki itu ikut berdiri. Kini aku bisa melihat bahwa tinggiku hanya sebatas lehernya. Ia mengulurkan tangan ke arahku. Baru kuperhatikan bahwa ia mengenakan arloji di pergelangan tangan sebelah kiri, dan senyumnya manis sekali.
“Panji. Senang bisa mendapat teman mengobrol seperti…”
“Amordea. Dea,” aku menyambut jabatnya sopan.
Kembali kugenggam payung hitamku kemudian mengangguk mengisyaratkan pamit. Baru beberapa langkah, Panji, lelaki asing yang baru kukenal itu kudengar memanggil namaku,
“Dea!”
Aku menoleh ke belakang. Ke arah laki-laki dengan kemeja hitam yang pada detik ini mulai kukagumi. Ia tersenyum, berjalan ke arahku sambil menggaruk rambut belakangnya dengan canggung.
“Hari ini kita berdua telah membicarakan perihal kehilangan dan perpisahan. Hubungilah aku kapanpun jika kau ingin kita mengobrol lagi. Mungkin kita bisa membahas…..pertemuan?”
Aku tersipu menerima sodoran kartu nama bernuansa cokelat itu. Panji Marhaindra. Aku mengangguk kemudian.

Tuhan lebih adil dari yang kita tau.

                                                                                



"Harus sesabar apalagi aku? rasanya aku sudah muak ditatap sinis oleh dunia. Sudut langitpun tak sudi lagi memandang kearahku. Aku sendiri. Hidup diduniaku yang sepi" gumam Risa. Gadis penjual ayam goreng.

Ayam goreng yang hangat sudah tertata rapih didalam box. Risa siap membawanya ke kampus tempatnya belajar. Ibunya memang mempunyai banyak rumah yang dikontrakan. Belum lagi ayahnya mempunyai usaha dagang di luar kota yang berkembang, dagang ayam goreng. Kalau dihitung penghasilan ibu dan bapaknya sangat besar. Tapi dizaman sekarang, rasanya itu kurang mencukupi. Mengingat Risa hidup dengan banyak jiwa, 4 bersaudara. Risa memang gadis yang baik. Dia membantu Ibunya menjual ayam goreng dikampusnya, tanpa rasa malu.

"Aku berangkat dulu bu" katanya sambil mencium tangan ibunya. Risa mengeluarkan motornya. Boxnya disimpan disela kakinya. Setiba dikampus Risa langsung menawarkan ayam gorengnya. Banyak cibiran yang tertuju kepadanya. "Mahasiswa kok jualan ayam goreng, tengsin dong" ucap temannya. Tapi Risa hanya tersenyum tangannya tetap sigap meladeni para pembeli.

Hari demi hari Risa lalui seperti itu. Belajar sambil berjualan. Sampai akhirnya, tidak ada teman yang mau berteman dengannya lagi karena malu. "Aku merasa kesepian sekarang. Tapi aku tidak boleh memikirkan perasaanku saja. Ada ibu yang lebih harus kupikirkan" gumam Risa. Dikelas Risa duduk sendiri. Saat istirahatpun Risa hanya berjualan. Tak ada waktu untuk bergaul bersama orang lain. Sekalinya ada, tak ada seorangpun yang mau melontarkan obrolan kepadanya.

Sudah hampir 6 bulan Risa berjualan. Senyum ibunya memang selalu dipandanginya atas hasil berjualan ayam gorengnya. Tapi Risa? Risa juga ingin senyumnya terhias diwajahnya.

" Hei gadis penjual ayam goreng, sudah kamu jualan ayam goreng saja. Jangan sok sok jadi mahasiswa" ejek temannya. Risa hanya diam. Risa menengok kekiri. Ada sekumpulan temannya yang tertawa bersama. Tengok lagi kesebelah kanan. Ada sekelompok teman yang sedang belajar berasama. Risa mencoba mendekati sekumpulan temannya yang sedang belajar bersama. Tapi mereka malah menatap Risa hina, lalu pergi meninggalkan Risa. Risa langsung pergi ke toilet disana Risa menangis sejadinya.

Risa mulai murka pada dunia. Setelah mencoba melawan kekesalan dan kesepian dalam hidupnya, dengan pertahanan yang dibangun oleh kesabaraannya itu akhirnya runtuh.

Risa mulai berontak, bertranformasi ke Risa yang dikepung amarah . "Maaf bu, ini ayam gorengnya tidak terjual satupun mungkin teman-teman sudah bosan bu". Padahal ayam goreng itu tidak dijual oleh Risa. Boxnya disembunyikan dikamarnya. "Aku ingin punya teman" gumam Risa. Esoknya Risa melakukan hal yang lebih keji. Ayam gorengnya dibuang dijalan saat Risa akan berangkat ke kampus. Dan setibanya dirumah Risa mengatakan " Bu, tadi aku jatuh dari motor dan box ayam gorengnya terlindas truk". Ibu Risa hanya mengelus dada.

Kini Risa sudah mempunyai banyak teman. Risa mulai merasakan dekapan dunia. Hari ini Risa pulang larut malam
"Mana nak uang hasil jual ayam gorengnya?"
"Tidak ada bu"
"Tidak ada bagaimana? masa sudah sebulan ayam goreng tak terjual satupun?"
"Apa maksud ibu? sudah bu kalau begitu jangan menyuruhku jual ayam goreng lagi dikampus".
"Astagfiruloh Risa, tapikan lumayan hasilnya buat tambah-tambah biaya kamu kuliah"
"Ah sudahlah bu, aku capek. Aku mau istirahat"
Risa membantingkan pintu kamar sekerasnya. Dia Mendengar ibunya menangis diluar kamarku. "Hmm, aku ini mahasiswa bu. Bukan gadis penjual ayam goreng" gumamnya sedikit sebal.

Pagi hari Risa melihat box ayam diatas meja. Jangankan menyentuhnya, melihatnya saja.Risa benar-benar sebal. Ibu mengambil box itu. Ternyata ibunya yang akan berjualan di sekolah tempat adiknya belajar.

Dikampus, sudah banyak teman Risa yang menunggu untuk mengobrol bersama. Risa sangat senang dengan keadaan yang sekarang. Tapi ada yang mengganjal dalam hati Risa. Risa merasa sesak mengingat ibunya yang berjualan sedangkan ibu itu sedang sakit. Benar saja sepulangnya dari kampus. Ibu sedang terbaring dikasur, ke empat adiknya yang masih kecil hanya bisa menangis dipinggir kasur itu. Ibu memandang Risa, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi Risa langsung kabur ke kamar tanpa menyentuh ibu sedikitpun.

Sudah hampir dua minggu ibu sakit. Selama itu pula ibu menangis melihat Risa yang tidak peduli dengan ibu. Hanya keempat adik kecilnya yang selalu setia menurus ibu. Ibu Risa sangat sedih. Hanya karena ayam goreng, Risa jadi berubah seperti ini.

Di jam istirahat, Risa dipanggil oleh Dosen. Risa diingatkan ada tunggakan yang belum dibayar. Risa terancam di drop out kalau sampai dua hari kedepan belum terlunasi. Belum sampai dua hari. Risa tidak masuk kampus. Risa juga tidak pulang kerumah. Dimana Risa?

Sebulan sudah Risa menghilang. Kondisi ibu semakin memburuk. Adik Risa menyumpahi Risa karena kelakuan kakaknya itu. Belum lagi ayahnya tidak pulang bulan ini karena ada urusan. Ibunya yang sakit hanya mengandalkan tanggal muda. Tanggal penghuni kontrakan miliknya membayar uang sewaan.

"Tok,tok,tok" ada seseorang yang mengirim barang ke Rumah Risa. Didalam Ibu dan keempat adiknya membuka barang itu. Dan itu adalah sebuah novel best seller . Tertera judul dinovel itu adalah "Gadis Penjual Ayam Goreng". Keempat adiknya menengok ke arah ibunya, ibunya pun kebingungan. Mereka melihat dipojok buku siapa nama pengarang novel itu. Dan ... Risa Gamalama. Itu Risa. "Kring,kring" telphone rumah memecah kebingungan mereka.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, ibu sudah terima bukunya? Kalau sudah ibu sekarang nonton tv yah sama adik-adik. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam, Risaa , Risa " ternyata telphone itu sudah ditutup. Mereka pun langsung menonton televisi. Ternyata itu adalah acara talkshow dan disana bintang tamunya adalah Risa Gamalama.
"Risa siapa inspirasi dibalik penulisan novel ini?" Tanya host dalam acara itu.
"Saya sendiri. Saya yang baik, saya yang jahat. Ataupun saya yang meninggalkan Orangtua yang sedang sakit"
"Maksud Risa bagaimana?"
"Begini om. Waktu saya memutuskan keluar dari rumah itu ketika Ibu saya sedang sakit. Saya tidak mengurusnya sama sekali. Itu bukan karena saya Benci sama ibu. Justru karena saya benci kepada diri sendiri. Ibu sakit karena kecapean setelah berjualan ayam goreng yang seharusnya ayam goreng itu dijual oleh saya. Tapi karena saya malu diejek terus sama teman gara-gara jualan ayam goreng. Akhirnya saya berhenti berjualan. Dan saya pergi kerumah ayah yang ada diluar kota. Selama sebulan saya benar-benar menulis tentang saya sendiri."
"Jadi gadis penjual ayam goreng itu itu kamu yah? Sekarang apa yang ingin kamu katakan kepada ibu kamu?"
"Ibu, berikan aku satu,dua,tiga bahkan beratus-ratus box ayam goreng. Akan kujual sampai aku kesakitan seperti ibu. Ibu, jangan kau kepakalkan tanganmu untuk tetap bisa membelaiku. Agar aku bisa merasakan sejukanya udara surga melalui tanganmu. Jangan kau palingkan wajahmu dariku. Agar aku bisa melihat indahnya pemandangan surga melalui wajahmu. Maafkan aku bu. Dan aku menyayangi ibu"
"jadi kapan kamu akan pulang dan memeluk ibumu?"
"Setelah acara ini selesai, gadis penjual ayam goreng ini akan bersujud di kaki jelemaan surganya, ibuku. Dan akan kumulai hidupku dengan baik"

****

Potongan senja seukuran kartu pos.




Apa permintaan paling tak masuk akal yang pernah terfikir di kepalamu? Yang bahkan untuk melisankannya saja kau tak sanggup, saking tak masuk akalnya. Tak masuk akal orang lain, tentunya. Karena apa yang tercetus di kepalamu seringnya adalah yang masuk akal bagimu, yang seberapapun kecilnya tetap saja memiliki peluang untuk menjadi kenyataan, meski hanya nol koma sekian persen saja.

Banyak orang jika ditanyakan perihal yang demikian itu akan langsung merujuk hal-hal duniawi, materi. Beberapa yang sentimentil akan meminta sesuatu tak berwujud. Sebutlah itu cinta berbalas, atau mungkin dendam terbalas, atau sekedar bahagia yang benar bahagia saja. Sesuatu yang tak ada ukuran pastinya, bahkan berbeda-beda pengertiannya bagi masing-masing orang.

Mari berandai saja. Anggaplah di depan kita kini Tuhan sedang lapang merentang tangan mengabulkan segala, termasuk yang tak masuk akal tadi. Anggaplah saja, agar kita tak terlalu terlihat menyedihkan, ada zat maha yang akan mendengar dan mewujudkan apapun yang terlontar dari gerak lidah tak bertulang kita ini. Apa saja.

Jika Kanina, gadis pertengahan dua puluhan itu, ditanya semacam itu, tentu jawabnya tak jauh-jauh dari senja pujaannya. Dia selalu berandai dia adalah Shinta, gadis yang dikirimi sepucuk amplop berisikan potongan senja berukuran kartu pos oleh pemuja tanpa sudahnya; Ramma. Dibayangkannya senja itu akan berpendar begitu cemerlang memantul segala penjuru langit-langit dan lantai kamarnya, membias di matanya. Anginnya akan meniup-niup bulu matanya yang lengkung ke atas itu, dan bau asin lautnya akan jatuh dengan lembut pada penciumannya sedetik setelah robek amplop itu.

Ah, betapa beruntungnya Shinta, desahnya selalu.

Ia selalu berharap kelak seorang lelaki akan menikahinya dengan mas kawin sepotong senja paling indah yang pernah dilihat manusia. Tak masalah jika warnanya tak terlalu jingga, atau terlalu merah. Akan lebih cantik jika warnanya lebih teduh dan merah muda cerah semburat pada langitnya. Tak masalah sekalipun pasirnya tak terlalu halus asalkan putih berkilau warnanya. Tak masalah jika tak benar-benar seukuran kartu pos, asal jelas terasa deru anginnya, terang bau asin laut pada penciumannya, dan cerah warna langitnya memantul pada cincin yang akan ia kenakan nanti.

Adalah Tirta, lelaki yang selama dua tahun ini menjadi kekasih Kanina. Satu-satunya orang yang ia berani ceritakan tentang keinginan paling tak masuk akalnya itu. Lelaki yang mencintainya dengan begitu khusuk dan penuh khidmat. Memberi, memberi, memberi, hingga Kanina tak pernah merasa kurang. Adalah sepotong senja, yang Tirta tahu, selalu menjadi keinginan paling besar gadisnya itu. Tak lain tak bukan, sepotong senja seperti yang dikirimkan Ramma kepada Shinta itulah.

Pada setiap luang waktu mereka, Tirta selalu membawa Kanina ke berbagai sudut tempat senja selalu berdandan lebih cantik ketimbang di tempat lainnya. Senja di sebuah dermaga kota kecil, senja dari atap gedung pencakar langit, senja dari sebuah pantai perawan, hingga sebuah senja di bukit yang tak habis dihembus gigil dingin angin. Tentu saja Kanina senang namun Tirta selalu merasa bahwa kesayangannya itu masih saja mengharap ada sepotong senja yang akan dikirimkan seseorang lewat pos, berbalut selembar amplop cokelat seharga seribu limaratusan, sampai di depan rumahnya dengan selamat tanpa tumpah.

Namun siapakah di dunia ini selain Ramma sialan itu yang bisa seenaknya memotong senja tercantik untuk dipersembahkan pada pujaan hatinya? Membuat langit sore menjadi bolong seukuran kartupos dan orang-orang bingung kehilangan. Ramma ini bikin susah saja, batin Tirta selalu. Andaikata ia bisa berkenalan dengan lelaki sakit jiwa itu, mungkin ia akan meminta diajarkan cara mengerat senja yang baik. Biarlah tak terlalu rapi, Kanina pasti tahu ia telah berusaha. Namun Tirta bahkan tak yakin Ramma itu nyata adanya di dunia ini.
*****
Duduklah lelaki bermata sayu itu kini di pinggiran sebuah pantai sepi tempat ia dulu pernah mengajak Kanina menikmati senja, sendirian. Pasir menjadi basah di bawah telapak kakinya yang berkali-kali tersapu ombak pasang. Di tangannya sebuah belati baru dan tajam berkilau tertimpa cahaya senja yang hampir merekah. Digores-goreskannya pada pasir lembut cokelat muda di sisinya. Berkali-kali goresannya itu lalu tersapu air asin.

Fikirnya berkecamuk. Sedang apa dia disini? Menggenggam sebilah belati tajam pula. Mengerat senja? Jika orang-orang yang ia lewati dalam perjalanan menuju kemari tadi mengetahui niatnya ini tentu saja ia akan ditertawakan atau disambut kernyitan dahi lalu gelengan kepala. Orang gila. Apa lagi namanya seorang lelaki yang ingin mengerat senja kalau bukan orang gila? Ia bahkan kini menertawakan dirinya sendiri.

Kanina, oh, Kanina. Jelita yang membuatnya gila.

“Untuk apa belati itu? Bunuh diri?”

Sebuah suara berat mengagetkan Tirta. Asalnya dari seorang lelaki setengah baya yang sepertinya baru pulang kerja. Kemeja mahalnya ia keluarkan begitu saja, lengan dilinting sembarangan, wajahnya terlihat….letih?

Tirta lalu melihat belati di genggamannya untuk kemudian berujar sekenanya pada lelaki yang kini ikut duduk di sebelah kanannya,

“Ini? Bukan. Saya…. Ah, bapak pasti akan menertawakan saya jika saya berkata yang sebenarnya.”

Terdengar tawa sumbang yang dipaksakan.

“Untuk mengerat senja?”

Cepat Tirta menoleh ke arah lelaki yang kini tengah memandang jauh cakrawala yang mulai menguning. Bagaimana lelaki ini bisa tahu?

“Dulu, seorang laki-laki bernama Ramma juga pernah mengerat senja seukuran kartu pos. Cakrawala berlubang dibuatnya. Semua orang mengejarnya. Jadi buronan polisi ia hanya karena cintanya pada Shinta yang teramat sangat. Shinta yang bahkan ia tak pernah tahu perasaannya. Berbalaskah, atau justru tidak. Sia-sia semua yang ia lakukan. Amplop berisi sepotong senja yang sembunyi-sembunyi ia kirimkan itu kembali ke alamatnya sendiri. Tak mau diterima. Begitulah kata tukang pos tua yang mengantar balik keratan senja itu pada Ramma. Itulah akhir sebuah pengorbanan yang kata orang sia-sia belaka. Tolol. ”

Tirta tampak tertegun. Tak sekalipun ia mampu menyela cerita lelaki tua itu. Ia mengenal Ramma rupanya?

“Saranku, nak, simpan belatimu itu. Tak satupun di dunia ini mampu mengerat senja sebaik Ramma. Hanya ia lah yang diizinkan sang Maha memotong senja. Untuk pelajaran manusia-manusia selanjutnya. Sayangnya tak banyak yang mengetahui bahwa romansa Ramma berakhir penolakan. Lupakan perihal mengerat senja. Temukan cara lain menyatakan kesungguhan perasaan pada kekasihmu. Ada banyak cara menyimpan senja selain mengeratnya untuk diri sendiri.”

Lagi-lagi Tirta seperti terhipnotis pada kalimat demi kalimat tuan paruh baya yang kini berlalu setelah lebih dulu menepuk-nepuk pundaknya itu. Ada yang berpendar dalam saku celananya. Mungkinkah ia adalah Ramma?

Dilihatnya lelaki itu kini mengeluarkan sebilah belati yang kilau sampai ke penglihatannya. Dengan setengah gemetar ia menggerakkan genggamannya ke cakrawala yang tiba-tiba terasa gentar. Angin berkeringat, air laut panik. Tirta terkesiap ketika dilihatnya ufuk barat telah berlubang segi empat seukuran kartu pos. Benarlah ternyata lelaki itu Ramma!

Ketakjuban memaku Tirta di tempatnya. Lelaki yang kini berjarak sekian puluh meter darinya itu tengah mengerat senja, lagi. Ditelannya ludah sambil menoleh kanan dan kiri, berharap ia tak hanya satu-satunya manusia yang menyaksikan Ramma mencuri senja untuk kedua kalinya. Namun lagi-lagi matanya tak ingin berpaling barang sedetikpun dari gerak gerik Ramma.

Kini lelaki itu merogoh kantong kirinya setelah lebih dulu potongan senja yang baru ia kerat ia letakkan hati-hati dalam kantong kanan celananya. Berpendarlah sepotong senja paling indah yang pernah dilihat Tirta, di tangan sebelah kiri Ramma. Jingga keemasan senja itu bahkan memantul pada wajah keheranan Tirta.

Disaksikannya lelaki tua itu memasang kembali potongan senja yang kini dipahami Tirta sebagai senja yang ditolak Shinta. Senja yang asli. Senja yang semurni-murni senja. Kini dikenalinyalah senja yang selama ini muncul di ufuk barat, senja yang pada tiap-tiap kesempatan dinikmatinya bersama Kanina, adalah senja dari dunia gorong-gorong. Senja palsu yang dikerat Ramma saat bersembunyi dari kejaran polisi.

Lelaki tua itu menoleh lagi ke arah Tirta setelah selesai memasang kembali senja asli yang dulu dikeratnya itu.

“Sampai jumpa! Sekarang aku harus mengembalikan senja yang satunya lagi!”

Ramma berteriak kepada Tirta yang kini sudah berdiri tegak setengah tak percaya. Pasir basah berjatuhan dari celana dan tangannya ketika ia kemudian melambai kepada punggung Ramma yang berjalan menjauh.

Senja lalu tenggelam bersamaan dengan belati yang dibuang Tirta jauh ke lautan. Matahari seperti mencair dalam mangkuk air laut yang makin pasang. Sebentar lagi gelap, namun ada yang berputar-putar seperti potongan film dokumenter rusak pada bola mata Tirta. Pertemuannya dengan Ramma membuatnya terfikir sesuatu. Ia kini telah menemukan cara.
                                                                             
Apa permintaan paling tak masuk akal yang pernah terfikir di kepalamu? Keinginan paling tak mungkin yang sebenarnya selalu memiliki kesempatan diwujudkan? Sebutkan apa saja. Kanina, perempuan melankolis itu, tentu dengan lantang akan menjawab sepotong senja seukuran kartu pos. Definisi bahagia untuknya mungkin tak lain adalah sepotong senja mewujud nyata di telapak tangannya.

Namun jika kau tanyakan tentang impian paling di luar nalar seorang lelaki macam Tirta itu, tak kalah lantang akan dijawabnya; mewujudkan keinginan paling tak mungkin Kanina, kekasihnya, meski tak persis seperti yang ia impikan. Ya. Tirta akan berusaha meredefinisi bahagia untuk Kanina. Ia akan membuat Kanina bahagia, dengan caranya sendiri.

Maka di sinilah mereka berdua. Di atas sebuah perahu nelayan yang tertambat pada dermaga kayu lapuk yang termakan lumut dan tergerus air laut. Perahu yang bergoyang lembut digoda air pasang pada sebuah senja berbau asin, di pantai yang lain lagi yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.

Kanina, seperti biasa, terlihat begitu lembut dan cantik dengan gaun selutut berlengan panjang berwarna kuning pucat yang terlalu pucat. Diam menatap ufuk barat yang mulai jingga. Rambut sepunggungnya yang diikat ke belakang sesekali riap ditiup angin. Tirta menatap kekasihnya itu tak bosan-bosan.

“Beginilah selalu yang akan terjadi, Nina. Kau akan menikmati senjamu, sementara aku akan menikmati senja yang bercahaya pada matamu. Bahagiamu adalah sepenuhnya bahagiaku…”

Tirta berujar lembut sambil menggenggam sebelah tangan Kanina yang tersenyum penuh kasih.

“Aku memang mencintai senja, Mas. Tapi aku lebih mencintaimu.”

Dua kalimat saja dari bibir penuhnya, namun sudah bisa membuat Tirta hilang kata.

“Masihkah kau menginginkan sepotong senja, Nin?” Tirta mengambil sebuah gelas kaca bening yang ia telah isi dengan air laut jernih.

Nina tersenyum mengangguk.

“Tutup matamu. Hitunglah sampai sembilan, lalu buka,”

Dengan patuh Kanina memejamkan matanya yang cantik dan mulai menghitung.

“Satu…”

Air laut berombak dalam gelas bening di genggaman Tirta.

“Dua…”

Perahu nelayan di ujung pantai kini berada diantara apitan telunjuk dan ibu jari Tirta. Dimasukkannya ke dalam gelas.

“Tiga…. Empat….”

Angin berputar di sekeliling dinding kaca gelas yang sedikit bergoyang itu. Menguarkan harum asin lautan.

“Lima…Enam….Tujuh….”

Susah payah Tirta memasukkan langit senja yang asli itu dalam gelas. Ingatlah, yang asli. Karena senja yang palsu pasti sudah kembali ke dunia dalam gorong-gorong bacin itu. Gelas itu kini berpendar-pendar seperti lampu tidur. Kuning namun kebiruan. Jingga terendap di dasar gelas.

Kini giliran yang paling susah. Tirta menelan ludah.

“Delapan….”

Matahari dikepalnya dalam genggaman. Matahari oranye yang perlahan menyusut seukuran bola golf. Hangat, benderang. Perlahan namun pasti dimasukkannya dalam gelas di genggamannya. Lengkap sudah senja paling cantik itu. Kawanan burung-burung pulang itu bahkan ikut masuk ke dalam gelas. Mengepak berputar-putar.

“Sembilan….”

Pelan Kanina membuka mata. Kelopaknya melebar seketika. Menatap Tirta, langit yang seketika berubah beledu biru tua, dan senja dalam gelas yang berpendar begitu cantik.

“Aku tak bisa mengerat senja seukuran kartu pos, Nin. Lagipula senja yang kita lihat selama ini adalah senja palsu. Sedangkan yang dalam gelas ini asli.”

Tirta mengangkat gelas itu tepat ke depan wajah Kanina yang kini berkaca-kaca bola matanya.

“Ini untukku, Mas?” tanyanya penuh harap.

Keringat dingin mengaliri punggung Tirta. Inilah yang ia takutkan.

“Tidak, sayangku, Kanina. Aku hanya akan meminjamnya sebentar saja. Segera setelah kau puas akan kukembalikan senja ini ke tempatnya semula.”

Sedikit gemetar, Tirta menoleh ke segala arah. Mencari tahu apakah ada yang menyadari bahwa senja telah hilang.

“Tapi aku ingin ini jadi milikku, Mas! Kau tahu aku begitu menginginkan ini sejak lama. Aku sudah tak peduli pada senja Ramma yang lembaran itu. Senja dalam gelas darimu ini lebih indah daripada apapun…”

Kanina meraih gelas itu dari tangan Tirta kemudian menenggak isinya hingga habis tandas. Susah payah ditelannya matahari seukuran bola golf yang lalu menggelincir masuk dalam tenggoroknya. Bahkan dalam tubuh Kanina, matahari senja yang jingga terang itu berpendar begitu terangnya. Bola oranye cerah itu kini terapung dalam lambungnya. Cahaya indah menembus tubuhnya, memancar ke segala arah.

Tirta tercengang. Namun ia akhirnya terlihat begitu tenang dan senang meski ia tahu ia kini sedang berada dalam masalah besar. Dilihatnya dari kejauhan para nelayan mulai berdatangan. Riuh sirine polisi meraung-raung mendekat dari jalan raya di belakang perkampungan. Di sisinya Kanina tersenyum bahagia. Bahagia sekali. Matahari masih mengapung, bersenyawa dengan asam lambungnya.

                                                                 

#NP
Shinta dan Ramma dalam cerita diatas bukan mengambil dari tokoh pewayangan. hanya imajinasi semata :p
Trimakasih Ghege :D

Biarkan, gerimis itu yang akan bercerita.

GERIMIS

Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di luar masih saja gerimis..
***
Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.

"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"

Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.

Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.

Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.

Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.

Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.

Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.

Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.

Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.

Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.

Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.

Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.

Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.

Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.

Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.

Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.

Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.

Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.

Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.

Aku duduk sendirian. Alana belum datang.

Alana bukan lagi kosong.

Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.

Apa kabarnya?

Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?

Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?

Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.

Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.

Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.

Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.

Sendiri.Akhirnya aku berdiri.

Berjalan menerobos gerimis.

Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.

“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.

Aku menoleh, lalu mengangguk.

“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.

Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.

Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.

Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.

Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam


-----------------------------------------------


Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan.

Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus.

Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.

Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alana.

“Sebelum masuk rumah sakit jiwa Alana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alana ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.

Membaca buku harian Alana membuat kesedihan tumpah ruah.


7 Desember 2004 (malam jahanam)
Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.


30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!


31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!


1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri


7 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.


8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.


13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.


18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.


21 April 2005 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan)
Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.


18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.


19 Maret 2007
Dear Ma.Li.K.
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
Alana.


21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?


28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?


1 November 2008

Hari ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi.

Perawat rumah sakit memujiku cantik.

Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini.

Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan.

Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa.

Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga.Dunia, selamat tinggal.





Kututup buku harian Alana. Kurapalkan doa buatnya.

Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja.

Selamat sore Alana...



Selamat tinggal....

                                                                                                                            








Sebentar sebentar aku kausalahkan
Sebentar sebentar aku kaupertanyakan
Aku ini apa?
Katamu hanya awan abu di lembayung sayu
Lalu, aku harus bagaimana?
"Meraiblah dari hidupku", jawabmu sinis 

Aku melangkah pelan mendekatimu
Sedikit bimbang
Namun, seribu rindu membayang
"Engkau semu!!!", teriakmu mengiris benakku-Aku membisu
Bukan tak punya suara
Detikku kau yang rajai 

~~~
Selaras senja jatuh di ubunku
Mungkin ini salahku
Karena katamu itu bukan salahmu 
Kenangan
Silam
Dua kata yang tak kausadari
Aku memang pernah melangkah seiring jejakmu
Aku pernah hidup dalam kalbumu
Tapi itu dulu Sebelum kemunafikkanmu merajammu
Meleraiku dari harapan kita semalam 

Berhentilah menari dalam kenangan
Sampai kapan pun ia hanya akan jadi cerita
Kembali pun bagiku sudah tidak berarti
Karena amarahmu terlalu melampaui
Selamat tinggal kenangan
Yang tak akan pernah jadi masa depan 


#M e l a m b a i  dalam  k e r a m a i a n