Eria-Aruna





 Hey, kamu. Kemarilah, ikuti langkahku. Mari kita kembali ke masa dimana kita masih sama-sama menjadi orang asing satu sama lain. Dan menghindar sedapatnya agar tak ada satupun dari kita yang terluka…


Eria
Gadis periang itu bernama Aruna. Mata bundar berbinar dan rambut ikal coklatnya yang mengembang membingkai wajahnya dengan apik. Dan senyumnya, tawanya, semakin membuat ia bersinar diantara lainnya. Cerah mentari seakan menjadi latar belakang panggung bagi setiap gerik lincahnya. Kicau burung adalah lagu pengiringnya. Jatuhkah cintaku? Bisakah cinta jatuh pada lebih dari satu hati?
Aruna
Ah, betapa mengagumkannya dia. Tak banyak kata, senyum seadanya. Tapi bila ia tertawa, rinduku dibawa serta. Diamnya membuat gila. Lihat saja bagaimana cara wanita-wanita ini memujanya. Aku? Cukup mengaguminya saja dalam wibawa. Karena aku tak yakin, bisakah cinta tertambat pada dua hati berbeda? Ah, ya, aku lupa. Namanya Kala.
Eria
Tadi akhirnya kami bicara. Berada sedekat itu dengannya membuatku gemuruh, akal sehatku luruh. Jangan suruh aku menatap matanya. Tuhan, dari apa Kau mencipta dua pasang cahaya mempesona itu? Kau sematkah gravitasi disana hingga duniaku tertarik berputar terpusat padanya? Atau heroinkah? Binarnya adalah candu yang membuatku termangu.
Aruna
Berapa lamakah otak bisa menyimpan gema suara? Rasanya aku ingin menyimpan lembut suaranya dalam satu ruang yang jauh didalam sana. Untuk kemudian kuputar ulang sebagai pengantar lelapku kedalam mimpi sambil berharap dapat bertemu dia sekejap saja. Terdengarkah olehnya debar riuh dadaku saat berdiri disisinya? Kuharap tidak. Jangan. Karena mereka berulang menyebut namanya.
Eria
Dingin tangannya dalam genggamanku. Aku tau apa yang dia juga tau. Yang kami lakukan adalah salah namun toh kami pasrah dan resah telah mengalah. Kami sama-sama terjerat. Tanpa niat melepas yang terikat. Senyum itu milikku malam ini. Cuma aku.
Aruna
Aku diburu rayu, jangan selamatkan aku.
Kala
Malam ini aku duduk tergugu. Apa yang telah berlaku? Sungging itu kulumat lamat-lamat. Dia terpejam dalam temaram yang diam-diam. Setelah itu kaku. Yang ada cuma bisu. Kami menarik diri jauh. Jauh seperti dua kutub magnet sama yang bermusuh. Fikirku lusuh. Airmata yang datang membasuh. Mala, maafkan aku.
Eria
Kecup itu dingin dan menderu. Seperti waktu lewat terburu-buru. Rasa bersalahku tunduk termangu. Oh, Tuhan. Rana, ampuni aku.
Aruna
Ini berat. Namun harus kusekat sebelum terlambat. Dia batu penyandung yang mampu membuat rinduku jatuh dan melambung. Aku menghindar meski tatapnya masih tempat rasaku bersandar. Rana-nya tak mungkin rela gadisnya membagi hati. Begitupun Mala-ku. Ada luka saat menatap nanar mata indah Lana yang tak rela. Namun siapa yang rela? Dia tidak, begitupun aku juga. Namun sudahlah yang sudah.
Eria
Kami terpental jauh satu sama lain. Mencoba menyeret hati kembali balik posisi. Kadang memang terasa luka membuat jatuh bulir air mata. Tapi seperti kelihatannya, dia memang bijaksana. Aku percaya keputusannya. Aku memeluk erat Rana-ku yang terheran. Mencoba memohon maaf untuk kesalahanku yang dia tak pernah tau.

Eria&Aruna
“Aru?”
“Hm…”
“Kau percaya jodoh?”
“Tentu.”
“Apa kau bisa memilih jodohmu?”
“Tuan, bisakah kau memilih dari rahim wanita 
  mana  kau dilahirkan?”




Maaf, semalam tak mengajak otakmu.

 

 





Kuucapkan selamat sore pada serbuk kopi yang berhamburan di bawah meja,
berpelukan dengan pecahan cangkir berwarna biru.
Tak banyak yang tersisa.
Hanya sedikit rindu; tergugu di belakang pintu.


Burung gereja berceracap entah tentang apa, tapi nirkata bagai sembilu; udara di paru-paru berdarah-darah!
Langit berkabung.
Awan mengeluarkan tinta berwarna ungu; memaksa para penyair melukis fajar berbilur memar.

Kubasahi wajahku dengan air dingin, sekedar meluruhkan sisa berisik mimpi buruk tadi malam,
menyisakan derau berkecamuk panjang di kepala.
Sulurnya melambai-lambai, bergoyang ke kiri dan kanan, memainkan banyak pertanyaan.
Apa yang sebenarnya kita lupakan?

Ayam-ayam kate mulai terkekeh kekenyangan; mematuk kata-kata tak terangkai yang berceceran.
Lalu kusadari ada yang hilang.
Tak ada topeng monyet di ujung gang,
tak ada baju merah di jemuran,
tak ada kamu di halaman.

Maaf, semalam otakku sedang liburan.
Maaf, karena tak mengajak otakmu.

Hujan ditepi jendela.

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Jika Mama sudah berkata seperti itu, maka aku harus berhenti menatap pada jendela. Setelah hujan pergi meninggalkanku sendiri, aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan titik-titik air yang masih membekas di permukaan kaca, dan menulis sebuah surat untuk kusampaikan kepada angkasa. Percakapan kami tak boleh didengar oleh siapapun. Termasuk Mama. 

“Kamu harus berangkat kursus, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Mama tak pernah tahu bahwa aku bisa berbicara kepada hujan. Percakapan kami memang tidak menggunakan bahasa manusia. Bahasaku dan bahasa hujan sungguh berbeda. Aku tak bisa bicara kepadanya menggunakan bahasaku dan dia tak bisa bercerita kepadaku memakai bahasanya. Maka kami bersepakat untuk menciptakan bahasa baru. Bahasa yang hanya dipahami oleh kami berdua. 

Awan hitam adalah temanku yang lain. Dia yang selalu mengantarkan hujan kepadaku. Namun dia tidak pernah mengantarkan Papa. 

Seandainya Papa masih ada di sini, mungkin dia akan mengerti bahasa yang kuciptakan bersama hujan. Sebab Papa menyukai awan-awan. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Papa! Ayo kita berburu pelangi!” 

Jika Papa sudah berkata seperti itu, maka aku akan menghambur ke dalam pelukan Papa dan menggamit lengannya dan kami akan berlari ke arah langit yang memiliki pelangi. Mama tidak ada di rumah, sedang bekerja. Kala hujan sudah berhenti, tak berapa lama lagi dia akan pulang, dengan wajah yang lelah, dan langsung rebah di kamar mengistirahatkan tubuh. Mama tak suka berburu pelangi. 

Papa mengajariku mencintai hujan, sebab kata Papa, basah adalah anugerah. Dan setelah gemuruh beserta bising petir dan pemandangan kelam yang dibawa awan-awan hitam, ada pelangi yang selalu mengingatkanmu bahwa kehidupan selalu bisa dinikmati dengan cara yang lebih baik. Bahwa seburuk apapun nasib menimpamu, harapan tak pernah lenyap. Ketika itu aku hanya tersenyum menatap Papa yang tersenyum padaku dan mendekapku ke dalam tubuh hangatnya dan kami akan bermain tebak-tebakan tentang siapakah yang menciptakan pelangi dan hujan. 

Aku menjawab, “Tuhan dong, Papa.” 

Papa menyuruhku mencari jawaban yang lebih kreatif. Aku mengingat sebuah lagu yang diajarkan ibu guru di sekolah. “Agung, Papa, soalnya pelukismu Agung…” Dan Papa tertawa. Aku suka mendengar suara tawa Papa. 

“Kamu pintar, Annelies. Tapi kamu tahu siapa sebetulnya yang menciptakan pelangi dan hujan? Atau sebaliknya, hujan dan pelangi?” 

Aku hanya mendongak ke langit. Papa merangkulku. Wangi tubuh Papa seperti harum daun-daun basah. 

“Kamu, Annelies, kamu lah yang menciptakan hujan dan pelangi.” 

Aku menulis surat kepada angkasa untuk bicara dengan Papa. Seandainya Mama mengetahui hal itu, mungkin dia akan menyuruhku berhenti duduk di dekat jendela. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

“Kamu harus memotong rambutmu. Sudah terlalu panjang. Tidakkah kamu terganggu?” 

“Tidak, Mama. Tapi aku akan memotongnya kalau Mama mau.” 

“Mama akan pulang terlambat. Di kulkas ada telur dan sarden. Jangan lupa jemur pakaian, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Langkah sepatu Mama mendekatiku. Dia memelukku dan mencium pada pipiku. Aku merasa seperti dicium sebongkah es. Wangi tubuh Mama seperti aroma akar pohon. 

Ketika hujan sudah berhenti dan Mama telah pergi, aku akan menyelesaikan urusan-urusanku. Urusan yang diberi oleh Mama dan urusan yang kususun untuk Papa. Sebuah surat lagi kepada angkasa yang muram. Karena semenjak pada suatu hari Papa pergi dan tak pernah kembali, aku hanya bisa bicara kepada hujan dan berharap dia menyampaikan kata-kataku untuk Papa. 

Aku ingin berkata kepada hujan bahwa aku rindu Papa. Namun, Papa bilang, kata “rindu” memiliki gelombang yang terlalu kuat dan aku khawatir meski aku bicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh aku dan hujan, Mama bisa mendengarnya dari kejauhan dan bergegas pulang ke rumah untuk memukuliku. Sebab di suatu malam saat hujan sudah berhenti dan suaraku tak terhalau lagi oleh ribut air bertumbuk dengan atap rumah, aku bilang kepada Mama, “Aku rindu Papa…” Mama berubah menjadi gemuruh petir dan menyambar sebelah pipiku dengan sebelah tangannya yang putih namun keras. 

Saat melakukannya, sepasang mata Mama menjadi kilat. Aku tahu, semenjak Papa pergi, di dalam dada Mama takkan pernah lagi tumbuh pelangi. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

Aku tak sempat mengajak Papa berburu pelangi. Mama menghampiri kami dan berbicara kepada Papa dengan suara yang begitu nyaring sehingga aku merasa hujan akan segera turun lagi. 

“Ke mana saja kau kemarin?” 

“Bekerja. Kenapa?” 

“Jangan bohongi aku! Kemarin kulihat kau masuk ke dalam hotel bersama seorang perempuan!” 

“Ayo, Annelies, kita berburu pelangi. Hujan sudah berhenti.” Ayah menggamit tanganku, namun aku masih menatap Mama. Dia masih berdiri dengan mata yang berkilat-kilat menatap Papa yang tak menatapnya. 

Saat aku melangkah keluar pintu rumah, Mama melempari punggung Papa dengan remot televisi. Papa tak bersuara dan tersenyum kepadaku. Mama melempari jendela dengan piring dan gelas. Di luar, hujan sudah berhenti. Tetapi aku membalikkan badan dan aku melihat ada halilintar di dalam rumah. 

Setiap hujan turun, aku merasa bisa bicara dengan Papa. Tetapi Mama membenci Papa seperti dia membenciku setiap mendapatiku sedang duduk diam di dekat jendela. Beberapa waktu lalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan hujan dan tentu saja dengan bahasa rahasia yang kami ciptakan, hujan memberitahuku bahwa Papa merindukanku dan ingin sekali bertemu denganku. 

Aku tersenyum dan dadaku terasa hangat. Seolah Papa sedang memelukku dengan tubuhnya yang mengantarkan hawa perapian. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

“Bereskan barang-barangmu Annelies, kita akan pindah.” Bunyi sepatu Mama mengusik percakapan terakhirku dengan hujan. “Dan, Annelies, berhenti duduk di dekat jendela itu. Oh, sungguh! Apa yang kamu lakukan, bicara dengan jendela?” 

Tidak, Mama, aku bicara dengan hujan. 

“Ayo anakku, berhenti melamun dan kemasi barang-barangmu. Kita akan meninggalkan rumah ini.” 

“Kita mau ke mana, Mama?” 

“Kamu selalu mencari Papa, bukan? Kamu akan bertemu dengan Papa.” 

“Sungguh?” 

“Kemasi barang-barangmu!” 

Aku menulis surat terakhir kepada hujan: Dear, hujan, terima kasih telah menemaniku semenjak Papa pergi. Sekarang, aku akan bertemu lagi dengan dia. Papaku, Papaku sendiri. Papa yang mengajariku untuk mencintaimu. Terima kasih, titik-titik air di jendela, telah menyimpan bahasa rahasiaku dan tetap tinggal di sana meski hujan sudah berhenti. Aku takkan merepotkan kalian lagi. Terima kasih. 

Hujan sudah berhenti. 

Aku duduk di hadapan jendela rumah yang baru. Di rumah ini suara hujan tak terdengar. Teredam oleh atap. Di hadapan mata jendela *), aku mengingat Papa. Mama telah membawaku ke tempat yang asing dan kata-katanya tak pernah terbukti. Aku tak pernah bertemu dengan Papa. Alih-alih, aku bertemu dengan lelaki lain. Lelaki itu baik tapi tubuhnya tak seperti Papa, tak beraroma daun-daun basah. Lelaki itu memiliki harum kulit kayu. 

Rumah ini jauh lebih besar dari rumah Papa yang telah kami tinggalkan dan kini menjadi milik orang lain. Setelah lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan segala keterasingan yang mengelilingiku. Lelaki asing yang kini bersama Mama semakin hari semakin terasa asing. Bahkan, Mama kini tampak asing bagiku. Mungkin, lelaki asing itu juga akan selamanya asing di dalam mata Mama. Sebab setiap kali aku melihat Mama memeluknya dan menciuminya dan memanggilnya dengan kata-kata sayang, aku hanya merasakan kekosongan dalam setiap hal yang Mama lakukan. 

Aku melihat ke balik jendela. Kini, semuanya terasa kian asing. Satu-satunya yang masih terasa akrab bagiku hanyalah hujan. Tetapi hujan sudah berhenti. 
Ini entah malam kesekian semenjak bangsa kita terbebas dari penjajah. 
Ini entah jadi malam keberapa setelah bapak Bacharudin jusuf berhasil membuat pesawat pertamanya. 
Ini entah sudah kali keberapa aku menatap keluar jendela. 
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi hujan sepertinya tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. 

**** 

Malam ini malam minggu,,, wajar saja jika diluar terlihat sangat ramai. Meski hujan yang turun lumayan deras, tapi tak mengurungkan niat para pasangan sejoli untuk menikmati satnite. "Malam minggu dengan berteman hujan itu Romantis" gumam mereka. 

Aku tidak sedang menikmati malam minggu, saturday night, daily nigth, malam kasmaran, atau apalah sebutannya. Bagiku, setiap malam itu sama. Hanya malam jum'at yang berbeda. Untuk keyakinanku, malam jum'at dan hari jum'at itu adalah hari yang penuh berkah. Bahkan, mereka yang sudah meninggalpun masih bisa menikmati berkah jum'at. 

Malam ini, aku menunaikan janji bertemu seseorang. Seseorang yang membuat hari-hariku yang dulu penuh warna, berubah hitam pekat. Dulu, aku pernah berada difase bahagia dan jatuh cinta setengah mati, sebelum semuanya menjadi terbalik. 

**** 

Aku menunggunya,, sudah hampir setengah jam dari janji bertemu itu. 
Harusnya aku bisa dengan tegas menolaknya, atau mengabaikan janji yang tidak bisa kupenuhi. 
Tapi, aku hanya ingin kejelasan. Penjelasan atas luka yang pernah aku nikmati sendiri. Kejelasan atas lukisan pilu yang digambar dengan tanpa nurani. 

Pria ini, (yang tengah ku nanti siluet tubuhnya) pernah berjanji memberikan sepotong senja untukku diwaktu cucu kami telah dewasa. 
Pria ini, (yang senyum anehnya amat kurindu beberapa tahun ini) pernah mengenalkanku pada pengemis kecil yang luar biasa (mungkin akan ku ceritakan lain kali) 
Pria ini, (yang memiliki suara bariton) pernah mengajakku mendaki puncak Himalaya (lewat imajinasi, tentunya) 

Ahh,, andai saja kalian tahu. Dia pria yang memiliki peran yang luar biasa (Dulu). 

Hanya dia, yang berani mengajakku berkencan. Pertama kali. Mengingat ayahku begitu Protektif, butuh adu argumen berjam-jam agar izin pergi itu didapat. Dan, ah tuhan,,, hanya dia yang bisa meluluhkan senyum garang ayahku. Dengan suara khas jawa, ia meyakinkan ayahku. "Om bisa percaya pada saya,, Nina akan baik-baik saja bersama saya.". Kalian tahu respon ayahku? Beliau malah tertawa, dan menepuk pundak laki-laki itu. 
Itulah kencan pertamaku. Dari dua puluh tiga tahun yang sudah kujalani, itu malam minggu pertama aku merasa sangat bahagia. Yang biasa hanya bisa menikmati bintang gemintang lewat senyum jendela, kini aku bisa menikmati langsung. Berdiri lepas, diatas butiran halus dipinggir pantai. 

Malam itu, ia menggodaku. Menghujamkan jutaan kata gombal yang membuat pipiku memanas. Aku hanya bisa mengatupkan bibir dengan semua tingkahnya. Bukan karna bosan, tapi karna aku begitu bahagia. Jantungku terasa akan meletus. 

Malam itu, ia membisikkan kata rindu berulang kali. 
Tapi, dia adalah pria yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan keyakinan. Ia tak pernah sekalipun merangkul apa lagi berbuat yang tidak-tidak. Sungguh lelaki idaman. 

Malam itu, ia mengajakku pergi ke Kapuas (masih lewat imajinasi). Ia mengajakku naik sepit (alat transportasi sejenis speedboat yang hanya menggunakan mesin motor penggerak). Diatas sepit khayalan itu, ia melantunkan tembang lawas. "Mengapa kau termenung, oh adik berhati bingung"-Saroja. Lagi-lagi aku hanya gelagapan. Dia mampu membuatku melambung sangat tinggi. Membuatku merasa begitu sempurna. 

**** 

Hari itu,,, 
Ia tiba-tiba menhilang, tanpa kabar, tak berkabar. 
Ponselnya selalu diluar jangkauan, non-aktif. Berhari-hari, Berminggu-minggu, Berbulan-bulan. 
Satu tahun pertama,, aku hanya menghabiskan waktu didepan jendela. Menikmati panas, hujan, badai. 
Kuliahku berantakan, kehidupanku buram. Ayah hanya mampu menatap prihatin sambil sesekali mengusap kepalaku lembut. Ibu lebih tersayat, hampir setiap hari ia meneteskan air mata. Fisikku hampir tak lagi dikenali. Bobotku berkurang, berkilo-kilo. Benar-benar tahun yang melelahkan. 

Tahun kedua,,, 
Semua membaik, aku mulai membuka diri. Mulai melanjutkan study-ku yang tertinggal, mulai bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Semua sudah hampir menjadi normal. 

***** 

Semalam, dia mengirimkan Email. Meminta bertemu ditempat ini. Salah satu cafe diLitlle Netherland. Cafe hangat inilah, awal pertama cerita dimulai, dan akan menjadi tempat peng-usai semua cerita. 

Pukul sembilan,, hujan masih terjaga, dan dia belum datang. 
Akankah dia datang? Entahlah,,, yang jelas, aku sudah siap dengan semua yang akan terjadi. Bahkan jika dia tidak datang sekalipun, aku akan tetap pulang dengan tersenyum, menikmati hujan malam ini lebih dari membahagiakan.

Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan.


Rinai hujan kian menderas,, gadis itu makin mempererat pelukan pada tas ransel yang dibawanya. Selepas dari kantor, iya mampir ke sebuah warung sate madura kemudian menunggu bus ditempat biasa. Halte bus malam ini sepi, hanya ada dia dan beberapa wanita seumuran dengannya menunggu angkutan umum yang tak kunjung datang, mungkin baru pulang kerja, rekanya. 
Malam kian mendesah, hujan makin menjadi, belum juga ada tanda-tanda akan berhenti. Gadis itu mengeluarkan ponsel butut dari saku celana kerjanya, menekan nomor yang sudah dihafal. 
"Tuuttt""Tuuuttttt" nada sambung yang terdengar sumbang. 
"Halo" sahutan dari seberang. 
"Kamu dimana jun? Aku terjebak hujan, ga bisa pulang". 
"Aku masih di kantor. Kamu dimana?" 
"Aku diperempatan jalan Atmo, dihalte. Nungguin bus ga lewat-lewat. Mana udah larut banget". Jawabnya. 
"Ya sudah, kamu tunggu aku. Lima belas menit lagi aku kesana". 
"Oke, aku tunggu ya jun. Awas kalo kamu bohong." Ancamnya sambil tertawa. 
"Siap bos". 
Ditutupnya panggilan itu.. 

Hujan makin merinai. Jalanan di perempatan kota itu makin dingin. Air hujan sudah seperti akan menenggelamkan seisi kota. Mobil sedan hitam melaju kencang menyusuri jalanan, membuat genangan air pun buncah mengenai beberapa pengendara motor yang sontak berteriak kesal. 
Diujung sana, gadis itu melihat sosok yang dulu sangat ia kenali secara mendalam. 

**** 


"Jadi kita sampai disini ?" 
Tanyaku lagi untuk memastikan. 

"Ya, aku sudah memilih, dan orang itu bukan kamu.". 
Jawabnya singkat,dadaku sesak. 

"Kenapa?!" Aku masih bertanya, dengan tangis yang ditahan ditenggorokan, perih. 

"Karena aku lebih dulu mengenalnya dan kamu tidak lebih baik dari dia". Jawabnya seadanya, sedapatnya. 

"Tapi, aku sayang sama kamu. maksudku, apa kamu memikirkan perasaan ku?" Ucapku tertunduk, nafasku sesak. 

"Untuk apa memikirkan perasaan seseorang yang baru berkenalan denganku? Ah, kamu ini terlalu idiot buat berbicara tentang cinta. Kita cuma saling tertarik dan terbawa situasi, itu aja kok. Kamu yang membuat semuanya bermasalah!" Bentaknya, aku terdiam. 

"Aku selalu gagal untuk mengerti kamu dan aku selalu sulit untuk mengetahui jalan pikiranmu, tapi apa kamu sadar bahwa aku masih berusaha untuk sepadan denganmu?" 
Dengan tatapan gusar dia berjalan ke arahku, tiba tiba saja lengannya sudah berada dipundakku. pelukan yang sama dari lengan yang sama. 
"Jangan kamu kira aku tidak terluka, sebenarnya aku sudah mencintaimu dengan susah payah, nyatanya aku juga terluka, tapi aku harus memilih, dear. jangan kira aku akan mudah melupakanmu". 
Bahuku basah oleh air matanya.aku sama sepertinya,rapuh dan lemah. Tapi kami tetap bertahan untuk terlihat tegar dan kuat. 
"Kau tahu? aku juga berjuang walau penuh luka, hanya untuk mencintaimu, kurelakan waktuku, kubiarkan hatiku menyimpan perihnya.". 
Perlahan ia lepaskan pelukannya,lalu dia menyorot mataku dalam-dalam. "aku tahu, sayang. Walau kita belum lama berkenalan, kita banyak kesamaan. Ada diriku didalam dirimu, ada dirimu didalam diriku. Sebenarnya, aku tak mau ada air mata, sungguh. Aku benci menangis karena dari dulu orang tuaku mengajarkanku untuk tetap kuat." 

"Jadi, kamu tak akan mungkin kembali?" Tanyaku kebas. 

"Mungkin, kalau kita bejodoh. Pasti tuhan mengizinkan kita bertemu lagi. Kalau aku tak kembali, berarti kau harus temukan bahagiamu sendiri. Jatuh cintalah, pada orang lain, selain aku." Jawaban yang membuat jantungku terasa sesak. 

"Perpisahan memang selalu butuh air mata. Kembalilah kalau kau temukan jalan buntu, berbaliklah. Aku masih menunggumu,dibelakangmu." 

"Tolong, jangan tunggu aku, nanti aku tak punya rasa bebas untuk melangkah, aku takut langkahku tersendat." 

"Why do you do this to me? Why do you do this easily? 

"Setidaknya kau tau, aku mencintaimu. Jangan pernah menungguku!" 

*** 



Sepotong kenangan masa silam, tiba-tiba dengan nakal menghampiri. Gadis itu tersadar, dia sudah basah, kuyup oleh hujan. Ia tidak lagi dibangku halte, tapi di taman seberangnya. Duduk disebuah ayunan tempat dimana siluet kenangan tadi berasal. 
Digoyangkan kedua kaki nya kedalam genangan air dibawah ayunan setinggi pohon Palm itu. Sudah lebih satu tahun, tapi sepenggal kenangan itu bagai paku. Menancap kuat pada dinding otaknya. 
Kembali, gadis itu memejamkan mata. Mencoba menikmati bulir-bulir bening itu jatuh diatas kepalanya. Malam kian larut, dan ia tak merasa takut. 
Sekelebatan bayangan kenang itu, kembali ingin menyelusup dan sedetik kemudian sepasang lengan kokoh sudah melingkar pada punggung gadis itu, menawarkan kehangatan dan rasa aman. 

"Kamu tahu,, Hidup itu hanya sesederhana Mati. Kita hanya dihadapkan pada Pilihan, Sebab dan Akibat". Pemilik suara bariton itu membuka pembicaraan, dengan alunan irama hujan. 
"Kita diberikan segumpal daging di dalam dada untuk menyaring dan memilah-milah. Di dalamnya ada banyak rasa. Entah itu amarah, kecewa, luka, rindu, jatuh cinta dan masih banyak lagi". 
"Saat itu,,, kamu di berikan pilihan untuk bertahan pada rasa sakit yang akan memberikan sedikit kebahagian pada seseorang dimasa depan" 
"Takdirmu adalah untuk mengenalnya, kemudian merasakan sesak yang teramat, sayang. Tapi, takdir selalu bisa diubah dengan kebaikan. Sekarang, ingatlah. Berapa banyak kebaikan yang sudah kamu lakukan semenjak hari itu? Dan lihatlah, takdir sudah menjawab semua pertanyaanmu bukan? Apa Tuhan tidak adil? Apa Tuhan bersalah karena menuntunmu mengenalnya?" 
"Sayang,,, berkat kebaikan yang selalu kamu lakukanlah kita akhirnya bertemu. Diposko bencana banjir beberapa bulan lalu. Itulah jawaban atas apa yang kamu pertanyakan." 

Gadis itu beringsut,,, mencoba membuka kedua mata, menggenggam erat sepasang lengan itu. 
"Dingin,," ucap gadis itu. Pria disisinya tersenyum. 
"Tentu saja sayang,, kamu sudah hampir dua jam kehujanan, aku hampir saja membuat laporan tentang gadis yang hilang di kantor polisi,"..candanya. Tertawa. 
"Jangan jadi masa lalu, jangan jadi kenangan, aku menginginkanmu dimasa depan". Ucap gadis itu lirih, merapatkan tubuhnya. 
Pria pemilik suara bariton itu tersenyum mengangguk. 
"Aku akan selalu,,, sayang. Kita akan selalu,,,". Ucap pria itu mantap. 
Gadis dalam pelukannya tersenyum. 
"Mari kita pulang,, sate madura pesanan ibu pasti sudah berjamur sekarang". 
Gadis itu mengangkat bungkusan yang ada disebelah ayunan. Pria itu tertawa 
****

Kau memilih mematikan matahari.

Kudapati lenganku sedang memeluk bayang kosong,
entah siapa,
lalu kudengar telepon berdering di kepala; bunyi bising yang asing.
Sudah sejak lama rindu tak pernah bertamu.
Jarak seakan enggan mendekat, waktu berputar semaunya.
Dan aku mulai lupa bagaimana rupa wajahmu.
Aku sibuk merangkai puzzle;
menelusuri labirin di matamu yang gelap gulita.
Kunikmati setiap jalan buntu yang membuatku tersesat.
Selalu.
Kita mulai kehilangan cahaya senja.
Tidak, bukan kita.
Aku.
Kau memilih mematikan matahari, lalu pergi.
Bahkan lengkung bulan sabit di bibirmu sudah lama berlalu.
Kau menyimpannya di dalam saku kemejamu,
agar sewaktu-waktu bisa kau kenakan lagi;
bila tak ada aku.
Lalu, milik siapa siluet gadis luka yang tergantung di dinding kamarku?
Setiap malam ia mencoreti ingatanku,
mengaburkan semua tentang kamu.
Kadang aku melihat sosok sang pecinta yang buta;
berjalan mondar mandir di dalam kepala sambil memeluk buku dan menggenggam kenangan.
Kasihan,
ia tak tahu jalan pulang. 
-Ghege

Menikmatimu, melalui doa.





Malam ini, izinkan aku menyapamu lewat kata. Menyempatkan aksara singgah di retina matamu yang sendu. Mungkin akan membuatmu sedikit berkerut atau tersenyum bersama secangkir kopi yang menjadi teman baikmu.

Apa kau tahu, Tuan? Kau selalu asyik dengan ritualmu memuja sepi dan kenangan, walaupun kadang kau bersembunyi dibalik tawa bersama teman mayamu. Jangan sembunyikan lukamu, Tuan. Ada banyak waktu untuk menampung segala keluh kesahmu, meski mungkin tak kau temukan solusi. Tapi percayalah, setiap telinga dalam manis rasa gula akan menjadi pendengar yang setia.

Kau selalu mengikat kenanganmu dengan erat, memberikan pita merah jambu, lalu memajangnya dengan cantik di dinding hatimu. Tetapi, Tuan, ingatan masa lalu hanya akan menjadi duri di ladang yang akan kau semai esok hari. Lepaskan saja semua, titipkan pada awan hitam, dan biarkan hujan mengantarnya ke lautan. Suatu hari nanti, akan ada nelayan yang menebar jala dan menjerat hatinya dengan sempurna.

Mungkin, bintang yang sedang kau genggam bukan bintang yang kau inginkan. Tapi ketahuilah Tuan, Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih indah, meskipun kita selalu menyangkalnya. Bukankah kau sering mendengarnya? Bahwa Dia akan memberikan semua yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Tak usah mengingkari takdir. Takdir akan menyelinap dalam hidup kita dengan caranya sendiri.

Tentang gadis puisi yang selalu hadir di setiap imajimu, biarkan ia tetap menjadi masa lalu. Tak usah memutar mesin waktu. Biarkan ia menjadi bagian dari buku-buku indah di kepalamu.

Semalam aku bermimpi;
Di sebuah taman bunga warna warni, seekor kupu-kupu menyelinap ke dalam dadaku.
Degup jantung yang beradu dengan kepak sayapnya terdengar sangat merdu.
Lalu aku terbangun di satu pagi yang lengang;
dengan pikiran penuh kamu, Tuan.

Apakah kau menemukan kecupanku di sarapan pagimu?
Aku menyisipkan rindu pada roti selai coklat dan secangkir kopi tanpa gula kesukaanmu
Dan kicau burung pagi ini,
Ialah puja puji untuk hujan di musim semi.
Tatkala daunan mulai tumbuh,
Cintaku telah lebih dulu meneduhkanmu.

Kadang aku lebih suka tenggelam,
menikmati debar di dada;
seperti mendengarkan alunan musik klasik
yang mengaliri nadiku.

Sesekali,
aku melihat ke arah cermin,
ada sesuatu yang menarik di sana;
Ah, sepasang bola mata – sedang jatuh cinta!

Sebelum pagi beranjak, cobalah memejam,
siapa lebih hujan di kepalamu;
Aku atau rindu?
Atau hanya angin yang mengabarkan sepasang peluk melebihi jangkauan lengan kita?

Di selasar musim
ketika daun-daun menggugurkan kesunyian bibirku,
bau nawastu tubuhmu menuntunku
memagut sisa-sisa mimpi
di jelaga semalam.

Tuhanku?!!!

Jangan bicara dosa! Sumpah serapah saja!
Ini tentang mempertahankan hidup.
Aku lebih suka berzina, bukan berdo’a!
-@SajakMbelink-

*****

Tahu apa kau tentang hidupku? Aku besar di jalanan, bergumul dengan sumpah serapah ibukota. Hidupku saja bergantung pada lembaran-lembaran kertas berharga dari para pria jalang yang sudah melumat habis tiap lekuk tubuh telanjangku. Itu juga hanya cukup untuk membungkam cacing-cacing yang terus berdendang. Aku juga sudah terbiasa mengisi lambungku dengan minuman brengsek berbau busuk yang selalu membuatku sempoyongan setiap malam. Bahkan asap beracun terkutuk itu sudah menghuni paru-paruku sejak dulu.

“Kau adalah pendosa!” Pria bersorban itu terus berteriak. Dosa katamu? Ini tentang bagaimana caranya mempertahankan hidup, Bung! Jangan terus meneriakkan kata-kata yang sama pada orang yang bahkan tak tahu apa agama mereka! Memangnya kau manusia sempurna?

“Berdo’a pada Tuhanmu! Minta ampun! Hidupmu terlalu nista!” Sial! Sekarang bukan hanya teriakannya yang menggangguku. Air ludahnya yang muncrat kemana-mana sudah menempel di seluruh tubuhku!

Dengar, Bung! Aku saja tak tahu mengapa tidak pernah ada cahaya di tiap ruas jalan yang kulewati. Bahkan jejak yang kutinggalkanpun hanya tertawa sumbang ketika kutanya. Lalu, mengapa kau merasa lebih tahu tentang hidupku? Apa kau merasa begitu sempurna? Kau merasa beragama??

Sekali lagi dengarkan aku, Bung! Tuhanku sudah mati!! Dia mati ketika pria bangsat yang kata emak adalah bapakku itu mengambil keperawananku ketika aku bahkan belum bisa mengingat berapa usiaku! Dan dia melakukannya berulang-ulang! Lalu, dimana Tuhan yang kau sebut itu?! Ketika aku meringkuk ketakutan setiap malam, terus berharap dan meratap, tak pernah berhenti tuk memohon keadilan, namun pada akhirnya tetap saja menjadi budak nafsu, dimana Tuhanmu itu? DIMANA???!!!

Aku tak punya Tuhan, Bung. Tuhanku sudah mati! Dia mati ketika pria bangsat yang kata emak adalah bapakku itu menjualku ke rumah bordir Mami ketika aku bahkan belum mengenal apa itu huruf dan angka. Lalu, dimana Tuhan yang kau sebutkan itu?? Aku lebih suka berzina, bukan berdo’a! Mungkin lebih tepat jika kukatakan padamu ; Aku lebih sering berzina! Bukan berdo’a!!

Jadi, jangan pernah bicara tentang dosa! Tahu apa kau tentang hidupku? Apa kau merasa sempurna? Kau merasa beragama?? Lalu, apa yang sedang kau lakukan disini? Mengapa kau masih saja ada di tempat ini? Berkoar tentang dosa dan do’a? Sambil terus melumat habis tiap lekuk tubuh telanjangku?? Cih!!

*****
Lempar kancut, lalu tertawa. Aku hanya tahu itu saja, katamu.
Memangnya kau siapa?
Aku memang penzina, tapi aku juga manusia!
-@SajakMbelink-