rainydaysphotographyrainwindowbrownglass-5d14f2cd9e5731851de60708810617e4_h_large

Pagi masih muda. Dingin. Cahaya abu-abu muda masuk dari jendela lebar disamping kiri tempat tidur. Tirainya masih terbuka. Terdengar ketuk-ketuk halus hujan meninggalkan jejak mengembun yang membuat jendela kaca berkabut. Jam berapa ini? Ah, jam setengah enam pagi. Aku masih lelah namun mata sudah enggan terpejam lagi.

Aku kini terduduk masih dengan selimut terlilit sembarangan, melihat sekeliling kamar dan hujan yang semakin deras diluar sana. Dan disitu, di sudut kamar, pada satu meja dan dua bangku kayu berwarna putih gading itu, kulihat kau duduk terlelap. Masih dengan kacamata, menelungkupkan muka beralas lengan. Ponimu tergerai acak menutupi dahi. Mata terpejam, wajah tampan yang damai. Pelan-pelan aku berjingkat menghampiri. Berusaha menarik kursi tanpa suara, lalu ikut meletakkan wajah diatas lengan yang kulipat diatas meja, menghadap wajahmu.

Kau begitu pendiam saat terjaga, apalagi saat lelap seperti ini. Tak banyak kata yang keluar dari bibir mungilmu. Bahkan untuk berkata kau mencintaiku. Cintakah kau? Aku tak pernah tau. Kita bertolak belakang. Kau pernah bilang aku seperti kembang api yang tak pernah padam. Bersinar, memercikkan kebahagiaan, indah yang abadi. Ketika itu aku tertawa. Kau yang tak pernah berkata manis tiba-tiba berkata semanis itu saat malam kita melihat kembang api berdua.

Aku membalas dengan berkata, jika aku kembang api, maka kau adalah nyala api yang membuatku bersinar dan berpercik indah. Tanpamu aku cuma sebatang kusam yang tak ada apa-apanya. Kau tersenyum mengacak rambutku. Saat itu hanya ada bahagia yang meletup-letup. “Aku sangat mencintaimu”, ujarku pelan sambil menggenggam jemari dan bersandar pada bahumu. Kau tak menjawab. Seperti biasanya. Dan aku membiarkan cintaku tersaput sepi.

Berapa lama kita bersama? Sebulan? Dua bulan? Aku sudah lupa. Sebegitu mudah semua keterjagaanku memuai ketika bersamamu hingga tak sadar waktu. Sampai saat ini aku masih merasa sedang bermimpi. Atau memang sedang bermimpi? Seperti sekarang. Kau hanya berjarak sekian senti dari rengkuhanku, namun aku tak merasa kau nyata. Padahal hangatmu, sweater abu-abumu, helai rambutmu, wangi musk dan pinus yang menguar dari tubuhmu, kurasakan begitu ada dan nyata. Namun mengapa rasanya begitu jauh dan hampa?

Hujan semakin mengamuk. Kau kelihatannya semakin tenggelam dalam kantuk yang merajuk. Berapa hari sudah kau abaikan dia? Kerjamu menulis saja. Menghadap komputer bermalam-malam. Mengacuhkanku. Mengacuhkan hak tubuhmu untuk terlelap. Makanpun bila kupaksa saja. Ah, betapa aku mencintaimu, betapapun tolol aku kelihatannya. Gadis yang hidup dalam taman bermain dikepalanya serta letupan-letupan keriangan yang kadang kurasa tak berharga, berani mencintai seorang kau yang cerdas, tak banyak bicara, namun mampu menyihir kata menjadi decak kagum siapapun yang membaca.