Sampai jumpa dipenghulu.

Pemilik rindu di kepalaku,

Apa kau pernah merasa bosan? Kadang senyuman jarak yang membentang terasa begitu menikam. Atau bayangan hanyalah alasan kita untuk melarikan diri? Entahlah. Aku berharap bahwa segala prasangka hanyalah mimpi buruk, yang akan selesai dan menghilang saat kita membuka mata.
Cinta itu perjalanan, ina. Kematian bukan pengkhianatan. Mungkin itu ialah cara Tuhan mengekalkan cinta agar setia tetap terjaga. Tapi apa kau pernah berpikir bahwa segalanya tak akan sama bila “kita” itu bukan kau dan aku? Dan aku tak mau membayangkan itu.

Kadang aku kehabisan kata-kata untuk membalas suratmu, inanumuwu. Karena segala kecemasan telah kuutarakan padamu lewat angin yang melintas di sekitarku. Aku yakin, kau sudah mendengar ceritanya dari kepak sayap burung gereja. Dan ruam langit yang jatuh membasahi ingatan selalu menjawab semuanya. Rindu itu masih dan selalu kamu.
Mungkin, terkadang kita saling memunggung sejenak, mengusap peluh di dahi, lalu berbalik dan tersenyum lagi. Tak apa, Ina, karena selalu ada lelah dan jeda dalam cinta. Beristirahatlah lalu kembali, melanjutkan perjalanan menuju akhir tujuan.
Biarkan kita terus mengukir senyuman di jalan kita, pemilik rindu di kepalaku. Meski tersendat dan terjungkal. Pelihara percaya yang kutitipkan padamu, lalu kita berjumpa di penghulu.

Peluk cium dariku,
Yang beterbangan di tiap sudut hatimu

Balasan surat dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM  

Teruntuk seseorang yang mencintai warna kuning.


Selamat pagi, kuning.

Apa kabar? Baik? Tentu saja, semoga benar begitu.
Ah, bukan awal percakapan yang baik, toh aku sudah tau kabarmu *Nyengir

Maaf, kuning. Pagi ini aku mengganggumu.
Karena setelah solat subuh, mata ku enggan diajak memejam, jadi aku menulis surat buatmu. Semoga kau baca ya

Hari ini, sudah lebih dari setahun kita berpisah. Selama satu tahun ini, kita hampir tidak pernah berkabar. Tapi tentangmu, selalu saja berpendar dalam kepala.
Aneh memang. Tapi ya, apa mau dikata. Cerita denganmu, mempunyai kesan berbeda buatku.

Sebenarnya, di surat ini aku mau jujur.

Enggg…
Jadi gini…

Aku membohongimu ketika kukatakan bahwa aku membatalkan rencanaku mengunjungi tetangga kotamu itu – tempat kita selalu menghabiskan waktu berdua di masa lalu. Aku sama sekali tak pernah membatalkannya. Jangan mengerutkan kening dulu, aku belum selesai. Hey! Jangan tersenyum!

Baiklah, aku lanjutkan.

Jadi, tadinya aku sama sekali tak keberatan ketika ia meminta kita untuk bertemu lagi. Hanya beberapa jam bagimu untuk sampai ke kota kenangan itu. Lagipula, kurasa urusan hatiku dan hatimu telah selesai sejak bertahun yang lalu. Tapi, pacarku yang cemburuan amat sangat keberatan dengan rencana pertemuan itu. Oh, baiklah. Jangan tertawa. Aku tidak sejelek itu hingga kau tak percaya kalau sekarang aku punya pacar.

Alasannya sangat sederhana. Dia, pacarku, tidak mau kalau nanti setelah bertemu ternyata masih ada kenangan yang tercecer dan kita memungutnya lagi, merangkai dan menjalinnya bagai temali. Walaupun sebenarnya aku yakin kalau itu tidak akan terjadi. Eh, tapi bisa jadi kejadian juga sih… Ah, aku labil! (Car, aku jangan digetok ya…)

Jadi, apa kau mengerti maksud dari suratku ini? Tidak? Sama. Aku juga tidak. Hufftttt…

Satu lagi. Sebenarnya aku bingung bagaimana mengakhiri surat ini. Apa kau tahu caranya? Tidak? Iya? Jangan diam begitu, aku jadi tambah bingung! Ah, sudahlah. Sampaikan saja salamku untuk calon suami yang tak mau kau kenalkan padaku itu.

Wassalam

 Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM  

Kau bilang ingin kukenang sebagai kau yang 'Menyebalkan.





Yang aku ketahui semenjak mengenalmu, kau adalah orang yang berusaha setengah mati untuk menjadi yang tak bisa ditebak. Yang kau ketahui, aku selalu berhasil memetakanmu. Menjabarkanmu dalam deretan kata sifat. Aku selalu mengerti arah dan cara berfikirmu. Aku selalu mampu menemukan potongan-potongan yang tak mampu orang lain temukan, dari dirimu. Sesuatu yang sebenarnya ada, namun kau sembunyikan. Yang kau benci dariku, aku selalu bisa menemukannya. Menemukanmu.

Apa yang orang gembar-gemborkan tentang cinta dan benci? Mereka hanya terhalang jarak yang sedikit? Mereka sebenarnya bersisian? Kau begitu sinis dengan konsep cinta. Membenci hal-hal yang terlalu memberati perasaan. Hal itu membuatmu tampak angkuh, abai, dingin, tak peduli. Mungkin hanya aku yang menganggapmu sebuah buku yang terbuka. Sebuah ujian tulis maha sulit bagi yang lain namun selayak mengeja buku belajar anak bagiku. Aku mengerti bahwa lukamu begitu dalam. Sedih yang menjadi palung dalam dimana yang terlihat dipermukaan hanya laut biru gelap yang tenang. Kamu membenci segala hal sentimentil dan mencintai keangkuhanmu sendiri.

Kamu, sungguh ingin kutelanjangi. Dan pada akhirnya, kau memang pasrah saja. Membiarkanku membuntutimu, atau bergantian mengikutiku. Seolah ada sesuatu entah apa yang mengikat kita. Menarikku. Menyeretmu. Kita bubuk-bubuk besi yang tak kuasa lari menempel pada magnet kuat. Kau seringkali mengeluhkan semuanya, menyalahkanku dan menudingku sebagai penyebab. Namun setelahnya kau hanya tertawa kecil. Sejenis tawa tanda tak habis pikir. Tawa yang kusukai. Yang selalu disertai gelengan kepala dan menggaruk rambut tebal hitammu yang tak gatal.

Aku mengataimu suka seenaknya, kau menyebutku dukun keras kepala. Aku menudingmu egois, sok tahu, angkuh dan suka mempermainkan perasaan. Kau berkeras bahwa aku adalah sosok menyebalkan yang selalu ingin ikut campur urusan orang. Kita selalu saling menyalahkan, bertudingan, berdebat sengit, membicarakan hal tak penting yang dipanjang-panjangkan hingga kita berdua lelah sendiri. Lalu dalam diam dan temaram kamarmu, saling berpagutan.

Kita sepakat kita bukan pasangan seperti remaja yang berpacaran. Kita bahkan tak pernah membicarakan perasaan, bahkan jika itu di suatu pagi syahdu dimana hujan menderas sejak malam dan aku terbangun dalam pelukmu. Tidak pernah ada. Karena kita memang tak ingin. Kita lebih senang membicarakan hal-hal tak masuk akal. Kau mampu mengimbangi racauanku tentang telaah psikologi manusia, kepribadian orang-orang yang kebetulan kita kenal bersama, atau sekedar mengomentari bumbu masakan timur tengah. Tak ada yang benar-benar penting.

Yang aku ingat, kita juga punya saat-saat serius dimana candaan harus menunggu giliran. Biasanya ketika aku mulai ingin menangis yang karena ingin menangis saja. Tangis yang musababnya terlalu kompleks hingga tak mampu dijabarkan. Terlalu kusut hingga tak mampu kuuraikan. Maka di situlah kamu, duduk mengusap bahuku. Terdiam tak mengerti apa yang harus dilakukan.

Momen serius lainnya adalah ketika aku memaksamu untuk membacaku seperti aku selalu membacamu. Kau selalu menebak dengan asal dan aku biasanya terlalu lelah untuk memaksamu lagi dan memilih mengunyah salad buahku tanpa berniat membagimu sama sekali. Sekali waktu kita pernah berbincang tentang pertemuan, dan perpisahan. Tentang kapan kita bertemu dan kapan kiranya kita akan berpisah. Topik ini menjadi sering sekali kita ulang-ulang. Setiap kali kita mulai merasa tak ada lagi hal yang bisa kita obrolkan. Ketika dirasakan bosan mulai datang. Ketika kamarmu mulai sepi dari obrolan, apalagi peluk dan ciuman.

Kubilang kala itu, aku sudah tau sejak aku pertama membacamu. Rasa jemu dan bosan mengalir dalam darahmu. Sebegitu menyatunya. Sebegitu eratnya. Ia bisa tiba-tiba saja muncul, lalu pergi. Kau tak membantahnya. Kau hanya bergumam bahwa aku benar-benar mengenalmu dengan baik. Aku biasanya hanya tersenyum dan berkata bahwa ketika saat itu tiba, kau harus yakin bahwasanya aku telah mempersiapkan segala hal dengan sangat matang. Jadi kau tak perlu khawatir.
Aku tahu sejak pertama kali kita bertemu, kita akan berpisah. Kau datang memang untuk pergi. Dan tentangku, tak perlu kau risau. Aku adalah manusia yang menerima sesuatu tanpa rasa memiliki.

Kebencianmu akan konsep cinta dan sesuatu yang monoton sama halnya dengan kebencianku akan rasa kehilangan. Ketika bertemu denganmu, aku telah berjanji tak akan pernah ingin merasakan kehilangan.
Kau memujiku macam-macam. Kepribadianku, bakatku, tulisan-tulisanku. Akupun begitu menyenangi lukisan-lukisanmu juga kegemaran bertualangmu. Pernah aku kau minta menuliskan sesuatu tentangmu dan ketika membacanya kau hanya diam saja. Kau hanya memelukku dan memintaku untuk memberimu salinannya.
Saat aku balas memintamu melukis potret wajahku, kau benar-benar berusaha untuk mewujudkannya. Percobaan pertama, gagal. Entah apa namun lukisanmu sama sekali tak terlihat seperti aku. Kau kesal dan memintaku menunggu. Percobaan kedua dan kesekian hingga saat ini, kau tak pernah bisa memuaskan dirimu sendiri. Aku tak masalah dengan semua lukisanmu. Toh ini hanya permintaan sambil lalu. Namun kau kelihatan begitu kesal karena tak mampu memenuhi inginku.

Malam ini adalah malam entah keberapa. Kita lagi-lagi membahas perpisahan, kepribadian, dan lukisanku yang tak pernah bisa kau selesaikan. Kali ini kita berbaring di tempat tidurku. Kau masih dengan setelan kantor lengkap, akupun begitu. Jas dan blazer kita jatuhkan begitu saja di lantai. kau membantuku melonggarkan dasi kemudian mengeluarkan kemeja dari sesak bagian pinggang rokmu sendiri.
Kita berbaring telentang dalam diam untuk berapa lama sebelum kau akhirnya bersuara. Langit-langit kamarku gelap, kita tak membuat penerangan apapun. Berbaring dan bercakap-cakap dalam remang. Topik mengalir begitu saja tanpa direncanakan. Aku mengeluh dengan caramu memanggil namaku, yang selalu salah sejak pertama kali kau ucapkan. Kau berkeras tak ingin memanggilku dengan cara yang kuinginkan.
Kau bilang ingin kukenang sebagai kau yang menyebalkan. Sebagai suatu hal tak lazim. Sesuatu tak biasa. Kau bilang, sekalipun aku tak ingin, aku harus terus mengingatmu dengan cara yang kau inginkan. Kau ingin pergi lagi,? Pergi yang macam apa kali ini? Kau pernah hilang berkali-kali namun kembali. Apa ini pergi yang macam itu atau lain lagi? Kau sebelum-sebelumnya tak pernah minta izin kan? Apa keinginan-keinginan ini adalah pamitmu?

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya tinggal dalam benakku sementara dari bibirku hanya terdengar tawa dan jawaban-jawaban mengiyakan. Kau lalu bertanya, seperti apa aku ingin diingat. Kubilang aku tak ingin tinggal lama dalam ingatanmu meski kau memaksaku untuk itu. Bukankah kau membenci ingatan-ingatan melankolis? Atau aku yang terlalu percaya diri bahwa ingatanmu tentangku nantinya adalah ingatan yang sedih? Entahlah.
Namun seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tak ingin berlama-lama menetap dalam kepalamu. Kenangan-kenangan selalu menjegal langkah maju. Kubilang, jika kau nanti pergi, aku akan bersedia tinggal untuk satu malam saja dalam ingatanmu. Kenanglah aku sebagai orang yang tak begitu penting namun jelas memang mempesona. Pria dengan kabel kusut di kepalanya. Yang hobi menelanjangi dan mengulitimu. Setelah itu aku akan pergi. Tak hanya dari hadapanmu, namun juga dari kepalamu. Aku bersumpah aku akan melakukannya.
Selesai mengucapkan kalimat terakhir, aku menunggu tawamu sebagai penutup. Namun tidak. Kau malah diam. Apa kau tidur? Ah tidak. Kau tidak tidur. Kau malah menggenggam sebelah tanganku. Erat sekali. Kau menyebut namaku. Tetap dengan cara yang salah.Ketika kau lagi-lagi mengajukan alasan yang sama seperti yang sudah-sudah, aku sudah tak ingin lagi membantah.
Si-na. Si seperti Sea. Laut. Kau bilang kau menyukai laut dan namaku tertulis seperti itu. Sea. Seana Suna Nuala. Kau mengulang-ulang menyebut nama lengkapku hingga lirih dan tak terdengar. Setelah hening panjang yang kukira adalah pertanda lelapmu, kau lalu bersuara lagi. Kau mempertanyakan mengapa kau tak pernah bisa melukis wajahku dengan sempurna. Kujawab dengan asal saja. Kubilang karena aku memang tak pernah ada dalam kepalamu. Tak dapat tempat dalam ingatan dan imajinasimu. Mungkin bagimu, aku memang tak pernah nyata.

Lagi-lagi diam. Namun diam kali ini terasa begitu menyiksa. Aku dan kau, mungkin sama-sama mengerti bahwa kita sama-sama tak sedang terlelap. Hening panjang, sangat amat panjang. Namun ketika akhirnya sunyi dan remang berhasil mengundang kantukku, aku masih bisa mendengar suaramu, meski dalam keadaan setengah sadar. Kau bilang, sepasang sepatu saja tak bisa bersatu. Sementara itu kita ini masing-masing adalah alas kaki kanan-kiri yang berbeda jenis. Kau adalah sandal jepit, dan aku mungkin adalah crocs.
Terakhir kali yang kurasakan sebelum akhirnya jatuh begitu dalam ke dalam lelap, kau masih menggenggam sebelah tanganku. Erat sekali. Ketika akhirnya pagi datang dan cahaya matahari menusuk-nusuk kesadaranku, hal yang pertama kali kucari adalah kau. Ketika tak kutemukan dimanapun, aku mengerti bahwa kau telah pergi. Entah sejak kapan, entah kemana. Entah. Yang aku tahu, pergimu kali ini tak akan memberikan kembali.

Kepulanganku


Untuk Waktu yang Kupinta Kedatangannya.

inanumuwu, balasan suratmu begitu indah. Kata-kata, mewangi bunga jumpa; serupa tubuh gundah yang pecah dalam harum dekapan raga.

Kau tahu, aku tak berdaya kekita kau katakan: "kepulanganku adalah surga di akhir penantian". Rasanya ingin kugunting jarak dan melipat waktu. Lalu menghadiahi keningmu kecup paling cumbu, paling madu. Sambil merekatkan segala musim yang berganti, pada matamu yang musim semi.

Aku percaya, ina, bahwa hatimu adalah rumah paling teduh, seperti yang kau tulis dalam suratmu. Adalah tempat aku memulangkan segala riuh gemuruh.
Ina, dikepulanganku nanti, beri aku peluk penghabisan yang berat, yang erat. Agar rindu yang terpendam, bebas mengembara ke mana saja dalam tubuhku yang dipenuhi luka oleh waktu.
Aku sudah sangat rindu, amat sangat rindu padamu.

Peluk hangat, pemilik rindu dikepalamu.

Balasan surat dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM    

Hati akan menemukan jalannya sendiri.

Dear kamu,
Akhirnya hari ini aku menulis surat lagi untukmu. Bukan karena terpaksa, atau kurang kerjaan. Tapi sesuatu yang berkecamuk di kepala dan dada terus berontak, sementara kita masih saja tak kunjung bersua.

Tapi, sebelumnya, izinkan aku meminta maaf kepada “tukang pos” –ku yang cantik (Devaria antri najwa), karena lagi-lagi membaca surat yang ku kirimkan kepadamu (lagi). Mungkin terlalu banyak kata-kata yang mengiris nadi dan membuat jemu mata yang membaca. Maaf ya mbak…… *nyengir*

Rindu. Tak bosankah kau bila aku memanggilmu begitu? Meski hanya di dalam surat, semoga kau tetap setuju. Tak setuju pun, kau harus setuju. Toh sudah ku tulis dan kau tak bisa menghapusnya. Oke, abaikan.
Sebenarnya aku bingung harus menulis apa di surat kali ini. Terlalu banyak kata yang ingin dan tak ingin kutumpahkan. Tapi rasanya bila harus dituliskan di sini, akan jadi sebuah novel bunuh diri yang ciamik. Ah! Aku heran, kenapa tak pandai membuat kata-kata indah penuh bunga yang cantik di sana sini. Bahkan beberapa orang bisa menuliskan patah hati tanpa harus menancapkan pisau atau terjun ke jurang. Tetapi, aku sedang tidak patah hati. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Mengapa yang ku tuliskan selalu membuatku serasa ingin membuang jantungku?
Yang jelas aku menyukaimu, rindu. Hanya suka? Sepertinya sayang juga. Ya, sepertinya. (Jangan digetok, please.. :P) Aku bercanda, rindu. Aku menyayangimu. Suka. Sayang. Itu saja? Baiklah, jangan tanyakan lagi yang selanjutnya. Nanti akan kita bicarakan bila sudah bertemu. Menentukan kapan kita bertemu saja sudah rumit. Tentang hati, biar dia menemukan jawabannya sendiri.
Jadi, kapan kita bertemu? Aku rindu suaramu. Aku rindu bercakap-cakap denganmu. Selalu. Jangan bosan ya, rindu. :)
Dariku, yang masih saja merindukanmu

Balasan Surat ke-Lima dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM   

Juli



Hujan lagi. Ah, ya. Ini Juli. Hujan dan Juli adalah dua hal yang akan saling terikat, paling tidak dalam benakku. Padahal 12 bulan di kalender sudah tak bisa lagi dibagi dua samarata dan menjadi patokan musim seperti dulu. Masing-masing dari musim panas dan hujan seperti berebutan menunjukkan eksistensi sepanjang tahun. Kadang akan ada Oktober yang panas terik atau Mei yang lembab karena hujan. Tapi nyatanya selalu akan ada hujan pada Juli kita. Seperti akan selalu ada kamu.

***

Laki-laki itu mengutuk pelan sambil melihat kelangit-langit kamarnya. Bocor. Hujan merembes dari celah diujung asbes, menetes perlahan tapi pasti ke lantai kamarnya. Irama ‘tik-tik-tik’ ditingkahi deru hujan diluar sana. Cepat-cepat disingkirkannya apapun yang ada didekat titik air yang mulai menggenang dilantai itu. Biarlah, fikirnya. Toh dia memang sudah harus menata ulang kamarnya. Satu persatu barang digesernya, diletakkanlah sebuah ember hitam dibawah titik air yang merembes tadi. Bunyinya sekarang jadi ‘tuk-tuk-tuk’ beradu dengan permukaan dasar ember plastik.

Sekarang giliran meja kerjanya untuk dipindahkan. Digesernya pelan-pelan ke salah satu sudut lain kamarnya. Tak ada yang istimewa dari semua itu sampai matanya tertumbuk pada sebuah benda kecil berwarna hitam dan bergelung di bawah tempat meja tadi berada. Dia mengamatinya lamat-lamat, merasa mengenalnya meski dalam balutan debu yang tebal. Dia berjongkok memungut benda itu, membersihkannya, lalu tersenyum sendiri. Benda yang dia kira sudah hilang hampir setahun yang lalu, charger handphone CDMA nya yang lama. Yang dia malas membeli penggantinya hingga handphone itu dibiarkan pensiun dini dalam salah satu laci lemarinya.

Dia memeriksa satu laci ke laci lainnya, mencari keberadaan handphone lamanya itu. Mendapati yang dicarinya masih ada dia tersenyum lagi dan langsung men-chargernya, lalu meninggalkannya untuk kembali melanjutkan misi beres-beresnya yang tertunda.

Satu jam kemudian ketika kamarnya sudah terlihat lebih rapi, laki-laki itu kembali menatap asbes dan berjanji dalam hati akan memperbaiki kebocoran itu segera. Lalu pandangannya beralih ke jendela, tampaklah hujan yang masih deras dan langit yang memantulkan warna kelabu kemana-mana. Mei ,ya? Tiba-tiba dia ingat pada sesuatu yang sudah begitu lama, termenung sejenak kemudian meraih handphone yg tadi dichargernya. Laki-laki itu menyalakannya, menunggu sesaat.

Dia berbaring diatas tempat tidur, mengotak atik hp itu sambil lalu. Sampai ketika dia membuka folder inbox. Laki-laki itu tertegun sesaat. Lalu sepertinya dia membaca setiap pesan pendek disana. Tersenyum sendiri, beberapa kali bahkan terlihat berkaca-kaca. Tak lama, dia beranjak ke jendela lagi, menikmati entah apa yang berkecamuk dalam fikirannya, lalu keluar kamar mencari alat mengganjal mata. Hujan membuatnya mengantuk. Entah kopi atau apalah. Dia harus bekerja lagi, bukan saatnya tidur.

Diatas tempat tidurnya, hape itu masih menyala. Masih menampilkan salah satu pesan pendek :

‘Sayang, dimana sih? Aku udah nunggu dari tadi disini. .’

sender :
yellow
+62857311xxx

received :
11:03:12
19-12-2009

Hujan masih deras diluar sana. Laki-laki itu belum kembali ke kamarnya. Cuma bunyi ‘tik-tik-tik’ titik air yang terdengar dari ember plastik disudut kamar.

***

Mei 2013. .

Perempuan itu mengendarai sepeda motornya pelan menuju rumah. Matanya memicing dari balik helm putihnya, mencoba melihat lebih jelas ke arah jalan. Jas hujannya tak banyak berguna. Celananya kini sudah basah, tak usah tanya sepatunya. Tasnya dikalungkan dileher, terlindung dibagian depan tubuhnya yang tertutup jas hujan.

Hujan semakin deras. Perempuan itu memutuskan berteduh ketimbang mengambil resiko menabrak apapun karena jarak pandang yang terbatas akibat hujan.

Pelataran sebuah toko yang tutup menjadi pilihan perempuan itu. Dia mendekap tasnya dengan tubuh sedikit menggigil. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Dia menengadah kelangit. Ah, mei, ya?. Katanya dalam hati. Tentu akan banyak hujan, sambungnya lagi. Lalu dia tersenyum, memandangi sekitar dengan senyum yang masih melekat dibibirnya. Genangan coklat dipinggir jalan, hawa dingin, bau tanah yang tersiram hujan, jalan yang berwarna-warni karena jas hujan orang-orang yang lalu lalang, langit yang kelabu, dan titik-titik air yang merinai bagai tirai. Indah. Perempuan itu selalu menyukai hujan dan Desember. Perasaan senang yang tumbuh seperti gulma eceng gondok di kali seberang sana. Tumbuh subur dengan cepat, menutupi seluruh permukaan kali dengan warna hijau dan nila bunganya.

Dalam benak perempuan itu, memori menari-nari. Berkelebatan sekejap namun mampu membuat air mukanya berubah-ubah. Kadang tersenyum. Kadang merenung.

Ketika itu ponselnya berdering, berkedap kedip menampilkan satu nama

Langit
+6821789xx
calling. . .

“Sayang? Kamu kehujanan ya? Dimana? Pake jas hujan kan? Kamu gak basah kan? Kamu mau aku jemput aja atau. . .”, suara khawatir seorang lelaki terdengar dari seberang telepon.

“aku nggak kenapa-kenapa kok, sayang. Gak usah khawatir. Kalo udah nyampe aku hubungin kamu ya. Daah”, perempuan itu tersenyum lagi menatap layar ponselnya. Ia tahu betapa cemas laki-laki tadi tentang keadaannya. Namun dia tak apa-apa. Dia tau tak ada yang perlu dicemaskan laki-laki di seberang telepon tadi. Tidak keadaannya. Tidak apapun.

Perempuan itu kembali menatap jalanan yang basah. Kali ini sepi. Langit mulai gelap. Sebentar lagi malam. Dia memutuskan melanjutkan perjalanan pulang, tak mau mengambil resiko kekhawatiran si lelaki diseberang telepon menjadi nyata.

Dia memejamkan mata sejenak. Menengadah, membiarkan hujan melumerkan semua, termasuk kebimbangan hatinya. Ketika membuka mata, seiring langkah kecil-kecil yang memercikkan lumpur basah, dia tahu. Apa yang ada didepan yang perlu diraihnya dan apa yang tertinggal dibelakangnya yang tak perlu dikenang.

***

Lelaki itu menatap hujan lewat jendela, cemas dan berharap. Perempuan itu berlari, melewati hujan dengan senyum yang cerah. Lelaki satunya, duduk di kursi kerja di kamarnya, menatapi rintik hujan merembes dari atap, jatuh titik demi titik dan menggenang di ember. Satu-satunya suara paling nyaring yang terus menggema di telinganya. Fikirnya melayang entah kemana.

***

(semoga) to be continue.

Aku harus bagaimana?

Untuk pemilik rindu dikepalaku

Pertanyaan kita masih tetap sama,, ahh, jangan salahkan jarak ina, kita memang harus lebih dulu begini.

Aku pernah berpikir untuk menyerah dan pergi. Tapi rindu, sehari saja aku mencoba tanpa kamu, atau kau menghilang dari batas edarku, segala resah langsung menghantui sekitarku.

Sering aku mencemburui banyak hal di sekitarmu. Teman-teman, pekerjaan, segala rutinitasmu, masa lalu, dan… Ah, mungkin aku terlalu serakah. Tapi aku hanya ingin ada di sampingmu saja. Membagi banyak hal berdua, sampai pada akhirnya kita kembali menjadi diri kita sendiri. Dan aku mengutuk jarak yang terbahak!

Apa kau tahu, rindu? Aku takut. Takut pada sepertiga yang akan menjadi seperdua. Atau malah duapertiga. Bila itu sampai terjadi, aku harus bagaimana?

Benar jika kita sudah berjalan semakin jauh. Menari indah pada panggung rona merah muda yang kita bangun dengan (tanpa) sadar. Ah, apa yang bisa kita lakukan bukan? Kita hanya sepasang anak manusia yang sedang jatuh cinta.

Lalu, kapan SAKIT itu kau bagi padaku? Sakit yang katamu menakjubkan dan menyuruhku terus bersabar pada waktu?

Peluk cium dariku,
yang juga merindukan perjumpaan denganmu,
selalu.

-Aku
 Balasan Surat ke-Empatku dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM  

Rindu, cintakah kita?

Untuk pemilik rindu dikepalaku.

Ina,,, maaf.
Sudah hampir lima hari aku tidak membalas surat-suratmu.
ahh, aku bungkam membaca surat mu semalam. Surat itu sungguh berdarah. Maaf,, maaf dan maaf.

Semua bukan karena sengaja, bukan karena aku tak lagi merindukanmu, ina. Hanya, ada banyak pertanyaan yang menggantung dikepala.

Kita hanya belajar untuk saling merindukan,, tapi, adakah hal lain yang lebih khusus dari pada itu?
Bisakah kau jawab? Ah, semoga bisa.

Mungkin terkesan mendesak, tapi ada yang benar-benar membingungkan.
Sudah saling cintakah kita?


Hari ini aku mengingat ketika pertama kali kita saling bertukar sapa, lalu bertukar kata. Ada banyak hal yang tak ku mengerti. Mengapa dan bagaimana berangkaian di kepala, berkelindan seenaknya. Membuat labirin sendiri lalu menyesatkan diri di dalamnya.
Mungkin tak ada yang salah dengan cinta, hanya saja kadang ia datang di saat dan waktu yang tidak tepat. Aku-kamu-kita, ada di tempat yang berbeda. Ada begitu banyak hal yang mesti kita bungkam, dan kita memilih untuk menutup mata.

Semoga ini tidak membuatmu kebingungan.

Salam rindu,,

Balasan Surat ketigaku dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM