Aku memandangi foto tersebut beberapa saat. “Hanna, i’ll keep you on
my mind... we will meet again someday. Goodbye...” Ucapku dengan
memegang erat selembar foto di tangan kanan lalu menempalkannya di dada.
“Hanna!!” mimpi itu lagi! sudah beberapa kali aku bermimpi seperti itu.
“aku
tidak tau mengenai Hanna semenjak kepindahannya. Lagipula, kenapa kau
baru mencarinya sekarang? Terakhir kali aku bertemu Hanna 2 tahun yang
lalu, ia bercerita kepadaku bahwa keluargamu tidak menyetujui hubungan
kalian. Karena itu kah kau meninggalkan Hanna ke Paris ?” Celotehan
Irina membuatku benar-benar merasa bersalah. Saat ini aku membutuhkan
dukungan, bukan nasehat-nasehat yang memojokkan posisiku. Pergi ke Paris
juga bukanlah keinginanku. Tetapi, jika aku tidak melakukannya aku akan
lebih melukai Hanna.
“Irina, aku datang kepadamu untuk
menanyakan keberadaan Hanna, bukan untuk mendengarkan ocehanmu! Kau
tidak tau apa pun mengenai aku, jadi jangan pernah berkata seolah-olah
aku yang paling bersalah dalam hal ini!” bentakku padanya. Irina
menghampiriku, kemudian aku merasa cairan bening mengalir dari atas
membasahi kepalaku. Wanita itu menyiramku dengan segelas air putih!
“apa-apaan kau Irina?!”
Ia tersenyum sinis. Matanya
menatapku tajam penuh rasa kebencian. “kenapa kau hanya mencintainya
Evan?! Aku menyukaimu lebih dari Hanna!! Kalau wanita yang kau puja-puja
itu memang mencintaimu, mengapa dia pergi?! Mengapa dia tidak tetap
diam menunggmu seperti yang aku lakukan selama ini?! Aku bisa
memberikanmu kasih sayang yang tidak pernah Hanna berikan kepadamu
Evan!” ucapan Irina membuatku bergidik. Wanita itu sungguh menakutkan.
Ia terlalu terobsesi terhadapku yang tidak pernah menyukainya
sedikitpun. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil langkah seribu
meninggalkan rumahnya.
Tampaknya datang pada Irina
adalah keputusan yang salah. Tapi hanya dia satu-satunya yang tersisa.
Semua orang yang dekat atau pernah dekat dengan Hanna sudah aku kunjungi
rumahnya satu per satu, namun mereka juga tidak mengetahui keberadaan
wanita yang sangat ku cintai itu.
Aku mulai putus asa.
Aku tidak tau lagi harus berbuat apa dan pergi kemana untuk mencarinya.
Akhirnya aku memutuskan untuk menenangkan diri ke tempat aku dan Hanna
biasa berkunjung. Duduk di tepi pantai dan menatap lautan luas adalah
kegemaran kami. Namun rasanya kini tidak sama seperti dulu. Sekarang
Hanna tidak ada di sampingku, ia pergi entah kemana tanpa meninggalkan
jejak.
Langit biru yang cerah mulai berubah warna
menjadi oranye kekuningan. Tidak terasa aku sudah berjam-jam duduk di
tepi pantai ini. Aku seperti orang bodoh. Menunggu dan berharap Hanna
akan datang dan tersenyum kepadaku. Hanna, aku harus menjelaskan padamu
alasan aku meninggalkanmu dan memintamu untuk menunggu tanpa waktu yang
jelas, tapi di mana dirimu saat ini?
Ckrek!
Tiba-tiba
saja aku melihat kilatan lampu flash. Tampaknya seseorang telah
mengambil fotoku dari belakang tanpa sepengetahuanku. Aku membelokkan
badanku dan ternyata dugaanku benar! “apa yang kau lakukan?! Aku tidak
suka seseorang memotretku tanpa izin!” wanita itu tidak memedulikanku
dan masih menatapi kamera DSLR-nya.
“ah, oh, maaf, aku
tidak sengaja memotretmu. Hanya saja kau terlihat begitu menyatu dengan
objek sekitar. Kalau kau keberatan kau boleh menghapusnya.” Ia perlahan
menghampiriku. Ia menyodorkan kameranya ke arahku. “ini, hapuslah
sendiri fotomu.” Ujarnya.
Entah perasaan apa yang
menghinggapiku. Aku tidak suka seseorang mengambil fotoku tanpa izin
terlebih dengan orang yang tidak ku kenal. Tetapi kali ini berbeda. Aku
ingin mengambil kamera itu dan menghapusnya tapi aku tidak bisa. Hatiku
berkata untuk tidak menghapusnya. “tidak perlu. Kau bisa menyimpannya.”
Kataku berusaha bersikap acuh.
“sungguh?! Terimakasih! Oya, siapa namamu?” wanita itu tersenyum riang.
Tanpa
sadar aku bersama dengannya sepanjang sore. Kami berbincang-berbincang
tentang banyak hal hingga larut. Dan selama itu aku tidak memikirkan
Hanna. Kehadiran wanita bernama Kelly yang mempunyai hobby fotografi itu
telah membuatku merasa semakin bersalah terhadap Hanna. Bisa-bisanya
aku bersama wanita lain dan melupakannya. Aku tidak tau, sungguh...
semua mengalir begitu saja. Hanna, aku harap kau tidak marah padaku jika
kau mengetahui ini. Aku hanya mencintaimu seorang.
“jadi
kau pergi meninggalkannya karena terpaksa? Kalau kau tetap bersama
dengannya apa yang akan terjadi?” baru 2 hari aku mengenal wanita ini,
tapi aku merasa sangat dekat dengan dirinya. Kelly adalah tipe yang
periang. Setiap aku menatap matanya yang berkilat-kilat, aku merasa ia
memberikan aku semangat untuk tetap menjalani hidup walau perih.
“jika
aku tetap bersamanya... ibu ku akan melukainya dengan cara
memperkenalkan Hanna dengan Christie.” Aku tak mampu meneruskan
ceritaku. Aku tertunduk berusaha tegar. Namun beberapa saat terdiam aku
kembali mengangkat kepalaku yang terasa berat dan menatap Kelly untuk
melanjutkan ceritaku. “Christie adalah wanita asal Paris yang di
jodohkan denganku. Semua itu adalah ulah ibu ku, maksudku ibu tiriku. Ia
ingin menyingkirkan aku dari rumah dan menguasai harta almarhum Papaku.
3 tahun aku menetap disana sampai pada saat acara pertunanganku dan
Christie diselenggarakan, tiba-tiba ibu tiriku mengalami serangan
jantung dan ia meninggal di tempat. Aku berfikir bahwa ini adalah
kesempatan bagiku untuk kembali ke Indonesia dan menemui Hanna. Tapi aku
masih belum dapat bertemu dengannya. Aku takut sesuatu terjadi
kepadanya.”
Wanita itu memegang bahuku dengan kedua
tangannya. Ia menarikku ke dalam pelukannya. “kau laki-laki yang sangat
baik Evan. Mendengar ceritamu aku jadi merasa iri terhadap Hanna. Ia
beruntung sekali mendapati dirimu. Aku akan membantu mencarinya.”
“terimakasih Kelly.” Ucapku pelan karena sedikit terkejut.
“sebaiknya
kita pulang sekarang, langit sudah gelap. Bye Evan.” Lagi –lagi gadis
itu memamerkan senyum lebarnya yang indah. Aku seperti terhipnotis
olehnya. Aku tidak boleh begini. Aku harus sadar dan memikirkan Hanna.
Langkah
kakiknya semakin menjauh, sosoknya pun samar-samar tak terlihat lagi
oleh kedua mataku yang mempunyai minus 2. Kini hanya aku yang berada di
tepi pantai ini. Ketika aku bersiap pergi dari sana tiba-tiba terdengar
suara seperti bisikan angin:
“Evan, selamat tinggal... aku harap kau bahagia bersama dengannya. Terimakasih untuk semua cinta yang pernah kau berikan.”
Suara
itu lembut dan sangat pelan. Tetapi aku masih bisa mendengarnya dengan
jelas. Aku rasa ini hanya halusinasiku saja karena belakangan ini aku
selalu berkunjung ke tempat aku dan Hanna biasa bersama. Aku begitu
rindu terhadapnya sehingga aku sampai mendengar suara-suara aneh di
telingaku.
Jam menunjukkan angka 8 dan aku langsung
melesat ke parkiran mobil dan menginjak gas untuk pergi dari tempat itu.
Di tengah perjalanan aku teringat kembali akan semacam suara atau
bisikan di telingaku tadi saat di pantai. Hanna, dimana dirimu? Aku rasa
aku sedang frustasi sampai-sampai mengira suara itu adalah suaramu.
Ciiiittttttt...
Hampir
saja aku menabrak wanita tersebut! Untunglah aku segera menginjak pedal
rem. Ketidakkonsentrasianku ini cukup untuk menyeretku ke penjara. Aku
melepas seat belt dan berniat menghampirinya. Tetapi ketika aku keluar
mobil aku tidak melihat siapapun. Kemana wanita itu pergi? Tanyaku dalam
hati penasaran.
“Hei! Evan! Apa yang kau lakukan di jalanan sepi seperti ini?” seruan itu.. aku rasa aku mengenal suara itu.
“K- Kelly?” kataku sedikit gugup tak percaya. Suatu kebetulan yang luar biasa menurutku.
Selangkah,
dua langah, tiga langakah ia berjalan mendekatiku. Sekarang ia tepat di
depan wajahku. Kelly terdiam tertunduk menatap aspal jalanan beberapa
saat, lalu kemudian dengan secepat kilat ia merangkulku, ia merangkulku
dengan erat seperti orang yang sudah sangat lama tidak bertemu dan
meluapkan kerinduannya yang membuncah. Dan pelukannya kali ini berbeda
jauh dengan yang sebelumnya.
“h-hei, Kelly, ada apa
denganmu?” tanyaku agak terbata-bata karena kelakuan wanita satu ini.
Entah mengapa aku merasa gugup, aku tidak nyaman ia memelukku. Aku
merasakan hal yang aneh dan di lain sisi aku juga tidak enak dengan
Hanna.
“jangan merasa tidak enak. Aku hanya ingin
memelukmu sebentar saja Evan.” Nadanya begitu lembut dan membuat aku
luluh. Aku membalas pelukan Kelly dan membiarkan ia juga memelukku.
“Evan,
kemana lagi kita harus mencari Hanna? Kita sudah mengunjungi rumah
tempat ia tinggal dulu dan menanyakan kepada tetangga sekitar namun
tidak ada yang tahu dimana keberadaan ia atau keluarganya saat ini.” aku
mendengar suara Kelly yang sedang menyetir mobil. Aku tau ia bertanya
padaku. Tetapi aku tidak menjawabnya. Aku diam membisu karena aku masih
teringat akan kejadian semalam. Entahlah, tetapi dari nada bicara Kelly
ia seperti tidak pernah melakukan hal itu.
“Aku tau
Evan, kau ingin pergi ke pantai itu lagi dan menghabiskan waktu disana
saja, bukan? Baiklah, aku akan menemanimu.” Ujarnya.
Sesampainya
kami disana, seperti hari-hari yang lalu aku dan Kelly duduk di atas
pasir putih tepi pantai tersebut dan memandangi lautan biru luas yang
indah serta gumpalan awan cerah yang berbentuk seperti gulali.
“Hanna,
ah maksudku Kelly... boleh aku tau dimana kau kemarin jam 8 malam?”
senatural mungkin aku bertanya pada Kelly agar ia tidak curiga. Entah
mengapa aku ingin menanyakan hal ini.
“ah, jam 8 kalau
tidak salah aku menelfonmu tetapi handphone-mu sepertinya tidak aktif.
Memangnya ada apa Evan?” wanita itu menjawab pertanyaanku sambil
memotret objek-objek di sekitarnya.
Apa?! Lalu siapa
yang memelukku kemarin malam?! “t-tidak, tidak ada apa-apa.” ucapku
berharap Kelly tidak menyadari keterkejutanku.
Ia berdiri dan menghempaskan pasir dari celana panjang. “Evan, tolong pegang dulu kameraku, aku mau ke kamar kecil.”
“baiklah.” Kataku sekenannya.
Melihat
kamera itu hatiku seperti tertarik untuk melihat foto-foto yang ada di
dalamnya. Aku mulai menelusuri satu persatu foto demi foto yang diambil
oleh Kelly. Dia memang wanita yang berbakat. Semua hasil potretannya
bagiku begitu memukau.
“hei, kau sedang apa?
melihat-lihat foto ya?” sahut seseorang yang sudah pasti Kelly. Rupanya
ia kembali dalam waktu yang sangat singkat, padahal aku belum menemukan
fotoku karena terlalu banyak tertimpa oleh foto lainnya.
Aku mengulurkan kamera itu padanya. “ya, hanya sekedar melihat-lihat. Kau memang fotografer yang handal menurutku.”
“haha
Evan kau pandai sekali memuji. Tapi aku masih amatir dan harus banyak
belajar lagi.” Ia tertawa lepas dan tersenyum lalu kembali mengambil
gambar di sekitarnya.
“Evan, bagaimana kalau kita foto bersama? Kau mau tidak?” tanya gadis itu dengan mimik yang berharap aku akan mengiyakannya.
“baiklah, terserah kau saja.”
Ckrek!
“waaah
Evan, lihat!” Kelly menunjukan hasil foto di layar LCD kamera itu
kepadaku. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. “kau tampan
sekali, kalau teman-temanku melihatnya mereka pasti akan berebutan untuk
berkenalan denganmu haha.”
“sepertinya virusku tertular. Sekarang kau jadi pandai memuji Kelly.” Sindirku diiringi sedikit gelak tawa.
“mungkin saja haha.” Wanita itu tertawa renyah sampai matanya benar-benar menyipit.
Bersama
dengannya aku merasa hal yang berbeda. Apa ini adalah rencana Tuhan
untukku? Apa aku harus melupakan Hanna dan memulai kehidupan yang baru
dengan orang yang baru juga? Entahlah, sempat terlintas difikiranku
seperti itu tetapi aku belum berani mengambil tindakan nyata. Aku takut
keputusan yang ku pilih malah akan memperburuk keadaan.
Bagaimana
jika ketika aku sudah memilih Kelly, tiba-tiba Hanna muncul dan
kembali? Aku tidak tau harus menjelaskan padanya mulai dari mana. Aku
tidak ingin melukai hatinya lagi.
“Evan, aku akan bahagia jika kau bersama Kelly. Dia wanita yang baik. Kau tidak perlu ragu.”
Suara bisikan itu lagi! “Kelly, kau dengar suara itu?” tanyaku padanya seperti orang paranoid.
“suara apa Evan? Aku tidak mendengar apa pun, dan tidak ada suara lain selain desiran ombak di sini.”
“sudahlah, lupakan saja.” Ini membuatku gila. Suara itu kembali muncul dan membuat bulu kudukku berdiri. Apa maksud semua ini??
Nada
dering handphoneku berbunyi cukup keras dan berhasil membangunkanku
yang masih terlelap. Aku menekan tombol ‘jawab’ tanpa melihat siapa yang
menelfon karena mataku menempel dan aku kesulitan membukanya.
“hallo..” sapaku dengan suara berat dan sedikit serak khas orang bangun tidur.
“astaga
Evan, kau baru bangun tidur? Ini sudah jam 8, kau tau?!” omelan dengan
intonasi yang cukup tinggi serta suara yang agak cempreng ini tidak
salah lagi adalah milik Kelly.
“ah Kelly, berhenti
mengomel. Telingaku sakit, kau tau? Ada apa menelfon pagi-pagi? Tidak
biasanya kau begini.” Akhirnya setelah usaha yang cukup keras mataku
bisa terbuka dan aku langsung melangkah ke kamar mandi untuk mencuci
muka sambil masih menempelkan benda kecil itu di telingaku.
“aku
sedang di tempat cetak foto. Aku ingin mencuci fotomu yang pertama kali
aku ambil dan foto kita kemarin.” Ucapnya terkekeh. “setelah selesai
aku akan kerumahmu untuk memberikannya. Jadi aku harap kau segera mandi
karena aku tidak mau kebauan ketika berada didekatmu nanti haha.”
“ok ok, baiklah. Aku tunggu.”
“Evan,
Kelly is here.” Aunty Clarice memasuki kamarku, ia adalah wanita asal
Australia, ia juga istri dari kakakku satu-satunya yaitu James. Tetapi
berhubung kakakku sedang mengurus cabang perusahaan keluarga di Jerman,
ia meninggalkan istrinya dirumah bersama denganku dan sekaligus untuk
menemaniku.
Ia berjalan ke arahku yang sedang duduk di atas kasur sambil membaca buku. “i’m happy you already moved on from Hanna.”
“i’ve
never tried to do that Aunty. Hanna will always be in my mind.” Ujarku
menutup buku itu lalu turun ke lantai bawah untuk menemui Kelly.
“Don’t deny Evan. Don’t ignore your heart cause your mind won’t be able to feel it.” Seru Aunty Clarice.
Perkataan
Aunty-ku memang benar. Tetapi saat ini aku belum tau apa yang aku
rasakan dan apa yang harus kulakukan serta kuputuskan.
“hei Kelly, sudah lama menunggu?” sahutku dari lantas atas lalu menuruni anak tangga satu persatu.
“oh h-hai Evan, tidak juga.” Suara Kelly terdengar gugup dan aneh. Seperti ada seseuatu yang ia sembunyikan dariku.
Aku
baru ingat bahwa ia kemari karena ingin memberikan hasil fotonya. Aku
pun menagih janji itu. “oya, boleh aku lihat foto yang sudah kau cetak?
Pasti hasilnya sangat bagus.” Ucapku dengan menorehkan senyum kepadanya.
“ah
i-itu.. iya hampir saja aku lupa.” Kelly langsung merogoh-rogoh ke
dalam tas warna coklatnya mencari benda tersebut, tetapi tampaknya foto
itu tidak ada. “mmm.. maaf Evan, aku rasa aku meninggalkannya di tempat
cuci foto tadi. Aku akan mengambilnya dan segera kembali.” Aku bisa
melihat dari bahasa tubuh Kelly yang canggung dan bersikap tidak seperti
biasanya. Aku tau ada sesuatu yang terjadi dan ia tidak ingin aku
mengetahuinya.
“tidak perlu Kelly!” pekikku cukup keras
karena wanita itu sudah berada di ambang pintu dan bersiap pergi.
“sini, duduklah dulu.” Kataku sambil menepuk-nepuk sofa.
Ia
berjalan kaku menghampiriku dan duduk di sampingku. Aku memperhatikan
air mukanya yang gusar dan agak pucat. “Kelly, tatap aku!” perintahku.
Dengan terpaksa ia memutar kepalanya 90© dan berusaha memandangku. “Ada
apa sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyaku mendalam.
Gadis
itu mengalihkan tatapannya dan tertunduk. Aku bisa mendengar dengan
jelas bahwa ia sekarang tengah menangis sesenggukan. “aku berbohong
Evan. Ambilah di dalam tasku dan lihatlah sendiri.”
Aku
mengikuti perkataannya. Tapi untuk apa Kelly berbohong? Ini hanyalah
foto. Batinku terus bertanya seperti itu sampai akhirnya aku mendapatkan
benda yang kucari.
Terdapat 2 lembar foto dan foto
yang pertama kulihat adalah foto aku dan Kelly saat di pantai kemarin.
Kelly terlihat cantik dan begitu ceria di foto tersebut. Hal apa yang
harus ia khawatirkan sampai-sampai ia berbohong padaku? Aneh sekali
pikirku.
Foto selanjutnya... mungkin ini adalah alasan
Kelly bersikap begitu. Aku tidak percaya melihatnya. Aku benar-benar
shock. Jantungku berhenti berdetak dan seluruh syarafku mati selama
beberapa saat. Aku tidak tau apakah ini editan semata atau foto asli
sungguhan.
“Kelly, tolong jelaskan padaku. Kau yang
mengedit fotoku, iya kan Kelly?!” aku menaikkan nada bicaraku
terhadapnya karena foto ini memang sulit dipercaya.
“tidak
Evan. Aku tidak mengeditnya. Aku juga tidak tau kenapa hasilnya bisa
seperti itu.” suara parau dan tangisnya yang tak henti membuatku merasa
bersalah. Aku telah menuduhnya melakukan itu. Aku telah bersikap
kelewatan kepada wanita ini.
Aku memeluknya dalam
sekejap. Aku tak mengerti mengapa aku bertindak seperti ini. Mungkin
perkataan Aunty Clarice benar. Aku tidak boleh menyangkalnya. Aku tidak
boleh mengabaikan hatiku karena pikiranku tak akan mampu merasakan
kebenaran yang dirasakan oleh hatiku.
“maafkan aku
Kelly. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Aku... aku hanya... ini sulit
sekali dipercaya. Tapi aku harus mengatakan ini padamu.” Aku melepaskan
pelukanku perlahan lalu menggengam tangannya dan memandang matanya
lekat-lekat. “aku menyukaimu Kelly. Sungguh. Ini nyata perasaanku yang
sebenarnya. Kau pasti meragukannya, tapi aku mohon kali ini percayalah.
Sejak pertama berkenalan denganmu aku mulai merasa bayangan Hanna
memudar dan perlahan kau menggantikan posisinya dihatiku. Senyumanmu
memberikanku semangat. Tawamu telah merubah aku yang dulu selalu
menyalahkan diri sendiri karena meninggalkan Hanna. Aku jujur dengan
ucapanku Kelly.”
Ia berhenti menangis dan menatapku.
Tatapan matanya tampak sedang mencari-cari kejujuran didalam mataku.
Tiba-tiba saja wanita itu merangkulku erat sekali.
“akhirnya
kau bisa mencintai orang lain. Aku sangat bahagia Evan. Maaf aku
menggunakan tubuh Kelly untuk berbicara denganmu. Kau begitu serasi
dengannya. Satu saja permintaanku Evan, aku ingin kau dan Kelly datang
ke tempatku.” Suara itu! Aku ingat sekarang. Ini adalah suara Hanna!
“tidak, Hanna, jangan pergi!” aku semakin mempererat pelukanku.
“Evan,
aku tidak punya banyak waktu. Aku harus pergi setelah aku dapat
berbicara denganmu. Terimakasih untuk semua cinta yang pernah kau
berikan. Kau adalah pria yang istimewa bagiku.” Aku meneteskan air mata
mendengar perkataan Hanna. Bagaimana bisa ia meninggal? Apa yang telah
terjadi?
“tunggu! Hanna, apa yang telah terjadi padamu?” dengan cepat aku melepaskan dekapanku dari tubuh Kelly yang berisikan roh Hanna.
“a-aku...
meminta keluargaku untuk pindah kuliah ke Bali. Aku berharap bisa
melupakanmu di sana. Tetapi aku salah, aku justru semakin merindukanmu
yang tak kunjung datang. Nilaiku juga menurun drastis, dan aku tidak ada
orang yang mau dekat denganku karena mereka berfikir aku wanita yang
aneh dan selalu menyendiri. Mereka menjauhi aku dan memandangku sinis.
Karena aku tidak tahan akan cobaan ini, akhirnya aku menjatuhkan diri
dari lantai 5 gedung asramaku. Evan, aku malu sebenarnya menceritakannya
padamu. Aku wanita yang lemah, tapi kau harus tau. Aku tidak ingin
membuatmu terus bertanya-tanya dan mencari aku yang bahkan sudah tiada.”
Kelly, melalui dirimu aku dapat melihat tatapan sedih Hanna. Aku bisa
merasakannya.
“Hanna, kemana aku harus pergi?” tanyaku polos.
“aku
akan menyampaikannya pada Kelly. Aku harus pergi Evan. I love you,
goobye...” setelah mengucapkan kalimat terakhirnya tubuh Kelly kemudian
terkulai lemas, pingsan di atas sofa.
Jumat, 11 November 2011 - Denpasar, Bali
Aku
dan Kelly saat ini berada di tempat, di mana Hanna dimakamkan. Ternyata
setelah meninggalnya Hanna, orangtuanya kembali ke kampung halamannya
di Manado. Aku tak dapat bersuara. Aku masih belum menyangka nisan di
hadapanku ini benar-benar miliknya. Meskipun tertulis jelas dan lengkap
nama “Hanna Isabel Maria” namun di dalam hatiku, aku berharap ini adalah
Hanna Isabel Maria yang lain, bukan Hanna yang ku cintai.
“Evan,
cepat letakkan bunga melati putih itu. Hanna pasti sudah menunggu momen
ini. Aku yakin dia bahagia di atas sana.”ujar Kelly yang berdiri di
sampingku yang sudah lebih dahulu menaruh bunga di atas makam Hanna.
Tanganku
gemetar ketika akan menaruh bunga tersebut. Aku seakan tak mampu
menghadapi kenyataan ini. Tetapi Kelly menggengam tanganku. Ia
membantuku dengan senyum ikhlasnya. Tak terlihat sama sekali kecemburuan
di wajahnya walau ia tau masih ada sebagian dari Hanna yang tertinggal
di dalam diriku.
Aku mengeluarkan selembar foto dari
dompetku dan menaruhnya di dekat bunga melati putih itu. Ya, foto yang
ku taruh adalah hasil jepretan Kelly yang membuatku tersentak kaget.
Foto itu adalah fotoku saat pertama kali aku dan Kelly bertemu. Ia
memotretku dari belakang, dan ternyata terdapat sosok bayangan Hanna
yang cukup jelas di dalam foto tersebut setelah dicetak. Ia terlihat
sedang duduk di sampingku, dan yang membuatku lebih terkejut yaitu ia
tampak seperti mencium pipiku. Saat pertama kali melihatnya aku
meneteskan air mata karena begitu tak percaya. Namun, biar bagaimanapun
itu adalah kenyataannya.
“Kelly, tetaplah bersamaku dan
jangan pernah meninggalkan aku. Karena apa pun yang terjadi aku tidak
akan pergi darimu.” aku memeluknya dengan erat. Aku tidak akan lagi
menyia-nyiakan wanita yang berharga dalam hidupku. Cukup sekali aku
berbuat kesalahan dan tak akan aku mengulanginya.
“Evan, thank you for loving me.” Bisiknya di telingaku.
Hanna,
you never really left. I’ll always remember you. I can’t forget you or
erase you from my heart. I’m able to get my happiness with Kelly, and i
hope you’re smiling seeing us from up there.
I will watch you through these nights..
Rest your head and go to sleep..
This is not our farewell..
(Within Temptation – Our Farewell)
DE END
Ghege ̸̸̸̨̨Ϟ•̸Ϟ•̸ ̐.̷̐͡