Di kota kami, walau terletak persis di tengahtengah gurun pasir maha luas, hujan bukanlah barang langka. Jika penduduk kota ingin merasakan hujan, maka tinggal bilang ke balai kota. Seperti kemarin, anak tetangga sebelah rumah, rindu berat berlari-lari di atas gelimang lumpur, di bawah atap langit yang mencurahkan beribu-ribu bulir air kesegaran. Maka orang tuanya segera memesan hujan. Selang dua belas menit kemudian, awan hitam datang berarak, guntur dan petir sambar menyambar, tak lama turunlah hujan sesuai pesanan.
Jangan salah sangka dulu, kota kami
memang terpencil jauh dari seluruh penjuru dunia, tetapi bukan berarti
penduduk kota kami lebih primitif dibandingkan kalian. Kami tidak
memanggil hujan lewat dukundukun, nyanyian-nyanyian, apalagi sesembahan
tak berguna itu, sebaliknya kami memanggil hujan dengan teknologi
tingkat tinggi. Maju sekali, malah jauh lebih maju dibandingkan dengan
menerbangkan pesawat untuk menaburkan butiran pembuat hujan di awan-awan
yang biasa ilmuwan kalian lakukan.
Di sini banyak penemu. Yang terhebat di
seluruh dunia, malah. Jadi jangankan soal hujan, soal rumit lainnya,
seperti mobil terbang, rumah mengapung, lampu tenaga udara, pil anti
lapar, suntikan seribu penyakit dan yang lebih sulit lainnya ada di
sini. Dengan berbagai penemuan hebat itu, kehidupan berjalan amat baik
dan berkecukupan.
Tetapi suatu hari, dewan kota mendadak
mengadakan pertemuan. Tentu ada hal super penting yang telah terjadi,
karena rapat ini adalah rapat mendadak untuk pertama kalinya dalam lima
ratus tahun terakhir. Para tetua risau sekali tentang sesuatu. Tentang
mengapa angka pertumbuhan penduduk kota ini stagnan, bahkan dua tahun
belakangan justeru minus sekian persen. Jika trend pertumbuhan penduduk
tetap seperti itu, dikhawatirkan seratus hingga dua ratus tahun
mendatang, penduduk kota ini akan musnah.
Lama berdebat akhirnya ditemukanlah
muasal permasalahannya. Yaitu karena angka pernikahan anakanak muda
turun amat tajam. Kenapa angka pernikahan turun amat tajam? Karena
anak-anak muda ternyata susah sekali menemukan jodohnya masing-masing.
Kenapa anakanak muda amat susah menemukan jodoh? Karena angka penolakan
cinta meningkat tajam. Dan kenapa angka penolakan cinta meningkat tajam?
Karena anakanak muda itu terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya.
Takut ditolak, takut ditertawakan, takut dihinakan, lebih sial lagi akan
dikenang sepanjang masa: sebagai pecundang.
Tetua kota ramai lagi berdebat mencari
solusi masalah pelik ini. Bagaimana agar anak-anak muda itu tidak cemas
dan takut lagi menyatakan cintanya? Akhirnya setelah berbagai usulan
diterima, mulai dari yang sama sekali tidak masuk akal hingga yang malah
tidak ada kaitannya sama sekali dengan akar permasalahan, solusi yang
dimaksud disepakati.
Dewan kota akan menciptakan alat
pendeteksi cinta. Sebut sajalah namanya cintanometer. Bentuk fisiknya
kurang lebih mirip freehand telepon genggam yang kalian kenal selama
ini. Dicantolkan di telinga, dan ia dengan kecanggihannya akan
memberitahukan perasaan yang sedang dipikirkan oleh lawan jenis di
hadapanmu.
Bagaimana caranya? Tidak jelas juga
seperti apa. Terlalu rumit untuk dituliskan. Tetapi kurang lebih
cintanometer akan mendeteksi gesture tubuh, kadar pheromon, getaran arus
listrik yang timbul dari detak jantung pasangan Anda, medan
elektromagnetik yang muncul dari sekujur kulitnya, sinyal alpha dari
bola matanya, frekuensi dan lamda getaran suara saat pasangan Anda
berbicara dan berbagai pemicu kimiawi lainnya yang terus terang aku juga
tidak terlalu mengerti.
Dengan cintanometer itu, anak-anak muda
tak usah malu lagi menyatakan cinta. Alat ini seratus persen akan
menjamin kalkulasi variabel yang ditangkapnya benarbenar nyata. Deviasi
kesalahannya kecil sekali, sehingga kalian tak usah lagi khawatir
ditolak mentahmentah.
Mendengar kabar tentang cintanometer,
penduduk kota kami dilingkupi kegairahan yang luar biasa. Mereka
belomba-lomba mencari tahu sejauh mana kemajuan ilmuwan terbaik mereka
menciptakan alat pendeteksi cinta tersebut. Tak sabar lagi mereka
menunggu hari H peredarannya di toko-toko kelontong. Malah di
tengah-tengah kota dipasang penghitung waktu mundur (countdown)
menunjukkan sisa hari peluncurannya.
***
Dan ketika tiba hari H peluncuran
cintanometer itu, kota kami heboh sekali. Inilah penemuan terbesar
sepanjang masa. Muda-mudi berdiri mengantri membentuk kelokan puluhan
kilometer di depan balai kota untuk mendapatkan alat pendeteksi cinta.
Lelaki tua dan wanita tua yang tak laku-laku juga terselip hampir di
setiap dua-tiga pengantri. Orang-orang tua yang sudah menikah pun
ternyata ikut mengantri. Juga anak-anak di bawah umur.
Rusuh sekali antrian itu. Saling
menyelak. Jangan pernah kalian meleng sedikit saja, alamat tempat
berdiri sudah diisi oleh tiga-empat orang yang tak dikenal. Semakin lama
kerusuhan dalam antrian semakin meluas. Masalahnya ternyata pembagian
alat tersebut agak sedikit terganggu karena baru saja tetua kota
menyadari mereka sama sekali belum melakukan analisis dampak lingkungan
atas cintanometer ini. Tak ada yang pernah berpikir hal ihwal yang akan
terjadi akibat beredar bebasnya alat ini, apalagi lihatlah batasan umur
para pengantri di depan sana.
Semakin siang antrian semakin kusut. Maka
tetua kota tak ada pilihan lain kecuali mulai membagikan cintanometer
itu. Lupakan dulu soal analisis dampak lingkungan tersebut. Yang penting
antrian penduduk kota tidak berubah menjadi anarki.
Mereka berebut menyambar kotak-kotak
kecil itu. Untunglah tak ada satu pun warga kota yang mengantri
menginginkan benda tersebut yang tidak kebagian. Lepas senja semuanya
bisa pulang dengan senyuman lega. Berharap banyak atas benda kecil
tersebut.
Tetapi, wahai, tahukah kalian apa yang terjadi sekejap setelah itu?
***
Kota kami tiba-tiba berubah menjadi
lautan cinta. Lihatlah anak-anak muda, mereka seolah-olah sedang
berlomba-lomba menyatakan cintanya. Di sepanjang jalan-jalan, di
taman-taman kota, di kafekafe, di pelataran parkir dan pertokoan, di
ruangruang kelas, di atas mobil-mobil dan gerbong kereta, di dalam lift
dan toilet, hingga di altar-altar suci rumah ibadah yang seharusnya
hanya dipakai untuk berdoa.
“Clarice, aku cinta padamu?” seru seorang pemuda dari salah satu meja, di kafe tengah kota.
“Aku sudah tahu, Leonardo!” gadis itu
juga berteriak sambil memperlihatkan alat itu di telinganya. Mereka
berdua tertawa. Juga tertawa bersamaan dengan seluruh isi kafe lainnya.
Anakanak muda yang dimabuk asmara. Bersemu merah saling menggenggam
tangan.
“Patrice, andai kau meminta bulan, tentu tak sungkan aku berikan….”
“Sudahlah, Desovov….” dan gadis di meja satunya lagi itu melompat menyeberangi piring-piring.
Sungguh. Padahal kemarin, kemarinnya
lagi, minggu-minggu lalu, dan sepanjang hari selama setahun terakhir ini
gadis itu hanya mampu berdiri menatap pemuda pujaannya lewat begitu
saja di gang bawah sana dari balik teralis jendela. Terlalu gentar untuk
mengakui. Terlalu takut untuk menyatakan cintanya.
Kemanapun kau pergi malam itu, maka yang
akan kau dapati hanyalah anak-anak muda dengan trendi mengenakan
cintanometer di telinganya, berjalan kesana-kemari coba menemukan
pasangannya. Saat alat di telinga mereka berkedip-kedip, mereka berseru
kegirangan. Itu berarti ada seseorang yang mencintainya radius seratus
meter darinya.
Apa yang terjadi kemudian? Tergantung.
Jika pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata tampan dan
memang pujaan jantungnya selama ini, maka tak sungkan ia menggamit
tangannya, menatap tersenyum dengan muka bersemu merah. Tetapi jika
ternyata pasangan yang ditunjukkan oleh cintanometer itu ternyata jelek
dan malah sosok yang dibencinya selama ini, maka dengan terbirit-birit
ia akan lari menjauh.
Amat beruntung seorang pemuda atau gadis
yang berkali-kali cintanometernya berkedip-kedip. Itu berarti ada banyak
pilihan baginya untuk menyatakan cinta. Dan di tengah-tengah keramaian
cinta ini, ironisnya, ada saja pecinta yang tidak sedikit pun
cintanometernya berkedip-kedip.
Awalnya mereka tidak terlalu panik.
Mungkin alat miliknya rusak atau baterainya habis. Mereka buru-buru
mencoba meminjam alat pendeteksi cinta milik temannya, berharap nasib
akan berubah. Percuma. Semua alat yang dikeluarkan oleh balai kota
selalu dalam kondisi seratus dua belas persen oke.
Maka tinggallah mereka merana menjadi
penonton pertunjukan cinta di kota kami. Tetapi siapa peduli dengan
orang-orang yang tidak beruntung itu? Jumlah mereka sedikit. Dan
bukankah dengan demikian, alat pendeteksi cinta itu membantu seleksi
genetik kota kami. Pemuda atau gadis yang tak pernah dicintai oleh
seseorang maka sudah sepatutnyalah tidak meneruskan keturunan
genetiknya, demikian kesimpulan tetua kota.
Mendengar laporan meningkatnya angka
jatuh cinta anak-anak muda di kota kami, tetua kota tersenyum lega.
Permasalahan besar itu nampaknya teratasi sudah. Mereka bersulang di
balai kota, berseru bersama memuji kepintaran para penemu. Tanpa sedikit
pun menyadari laporan itu ternyata belum lengkap benar. Karena
pelahan-lahan muncullah berbagai masalah akibat cintanometer itu.
***
Vyrzas, lelaki baya berumur enam puluh
tahun, duduk menangis di pojokan kota sambil mengelus kepala botaknya
penuh penyesalan. Dengan alat itu, barusan ia tahu bahwa sesungguhnya
semenjak empat puluh tahun silam hingga hari ini, Veronica, kembang
kampus universitas kota kami, ternyata amat mencintainya. Ah, mengapa
alat ini baru diciptakan sekarang? Sesalnya. Lihatlah, wanita tua itu
sudah beranakpinak dengan pria lain. Ia dulu ternyata terlalu naif
menganggap dirinya jelek, bodoh dan sama sekali tidak berguna bila
dibandingkan dengan gadis itu yang amat cantik, pintar dan populer.
Tetapi kesedihan Vyrzas bukan masalah
serius bagi tetua kota saat ini. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Toh
itu murni kesalahan Vyrzas. Yang lebih penting dan mendesak, lihatlah
berbagai pertengkaran yang segera menyeruak di rumah-rumah penduduk.
“Aku tak menyangka hatimu busuk selama ini!” Nenek itu berseru kencang dari salah satu rumah.
“Apa maksudmu?”
“Lihat ini!” Ia berseru sambil memperlihatkan telinganya. Kakek itu tersumpal mulutnya.
“Pokoknya aku tidak mau lagi melihat
mukamu di rumah ini. Pergi! Pergi bajingan!” Nenek itu menangis dalam
marah. Ia tidak menyangka pemuda yang dinikahinya enam puluh tahun silam
ternyata sedikit pun tidak mencintainya. Jangankan berkedip, mendesing
pun tidak cintanometer di telinganya. Ternyata suaminya menikahinya
semata-mata karena kedudukan dan harta orang tuanya.
Segeralah berbagai borok suami
terbongkar. Berbagai aib istri terbuka lebar-lebar. Banyak sekali pemuda
yang menikahi istrinya hanya karena harta, kekuasaan, atau kecantikan
wajah. Dan sebaliknya gadis-gadis yang menikah hanya karena tebalnya
kantong suaminya, rumah-rumah, mobil-mobil terbang dan berbagai
kemewahan dunia lainnya. Mereka bertengkar hebat malam itu.
Cintanometer benar-benar menelanjangi
para pelaku selingkuh. Suami-suami yang tidak cinta lagi melihat tubuh
istrinya. Suami-suami yang lebih suka menghabiskan malam-malan di
bar-bar kota. Alat itu juga membantu anak-anak yang tak beruntung
menerjemahkan perasaan sesungguhnya dari ayah atau ibu tiri mereka.
Dengan segera di tengah-tengah lautan cinta yang terjadi di jalanan,
harmoni rumahrumah tangga penduduk kota kami satu demi satu rontok.
Tetua kota segera berembug membahasnya.
Satu dua tetua kota berkata pelan di tengah keramaian: ia memang dari
dulu sudah khawatir sekali dengan alat pendeteksi cinta ini, sudah
terlalu banyak penemuan tidak pantas yang telah mereka buat selama ini.
Penemuan yang menebas tata aturan kehidupan. Cinta adalah urusan langit
dan tidak sepantasnya mereka mencoba mengakalinya.
Tetapi mayoritas tetua kota kami
mengabaikan keluhan itu. Jika ada masalah yang muncul dari cintanometer
itu maka anggap saja harga yang harus dibayar untuk mengatasi
permasalahan pertambahan penduduk kota. Dan bukankah lebih banyak
anakanak muda yang akan segera melangsungkan pernikahannya dibandingkan
dengan rumah tangga yang hancur berantakan?
Malam itu juga putus. Cintanometer akan terus diedarkan.
***
Hari-hari berlalu menjadi setahun,
setahun berjalan dirangkai hari-hari. Siang ini genap lima tahun
semenjak penemuan itu pertama kali diluncurkan dulu. Lihatlah apa yang
terjadi di kota kami. Bayibayi mungil kelihatan di mana-mana. Jumlah
penduduk double. Krisis kepedendudukan itu lewat sudah.
Cintanometer selama lima tahun
berturut-turut mendapat penghargaan Penemuan Terbaik Tahun Ini. Setiap
tahun fiturnya di tambah, dibuat lebih gaya dengan model dan warna-warni
mutakhir. Penggunaannya pun semakin friendly user, tidak berkedip,
tetapi berbisik. Bisikan cinta yang bisa di setting sedemikian rupa,
termasuk menggunakan suara artis favorit kalian.
Malah cintanometer oleh sebagian besar
penduduk kota di usulkan agar ditetapkan sebagai penemuan terbaik
sepanjang abad ini. Melihat situasi yang sedang berkembang dalam
masyarakat, sepertinya wacana itu akan benar-benar menjadi kenyataan.
Masalahnya di tengah-tengah kegembiraan tetua kota, dan leganya perasaan
anak-anak muda, ada sesuatu yang tanpa disadari pelahan-lahan merubah
kehidupan kota itu.
Alat itu bagi sebagian orang ternyata
dari hari ke hari secara pasti membuat kehidupan mereka menjadi sangat
sistematis, terukur dan tidak menarik lagi. Tidak ada lagi seorang
pemuda atau seorang gadis yang berdiri cemas menunggu di halte, berharap
idaman jantungnya datang dan mereka bisa pergi satu bus, syukur-syukur
bisa duduk bersebelahan. Tidak ada lagi degup jantung penasaran saat
seorang pemuda menyatakan cintanya, menyajak puisi-puisi, menggenggam
tangan sang kekasih. Tidak ada lagi lipatan suratsurat yang secara
sembunyi-sembunyi dititipkan atau diselipkan di lemari sekolah, sekuntum
bunga mawar yang dikaitkan di pintu rumah, atau seorang pemuda yang
memetik gitar bernyanyi keras-keras di halaman rumah gadis idamannya.
Semakin lama, malah tidak ada lagi
cokelat berbentuk jantung sebagai hadiah penanda cinta, tidak ada lagi
balon-balon merah itu, tidak ada lagi cupid si peri cinta. Tidak ada
lagi syair-syair kerinduan, soneta pujaan hati, tidak ada lagi irama
ratapan kesendirian. Penduduk kota ini tidak memerlukan itu semua. Cinta
pelahan-lahan namun pasti telah berubah menjadi barang instan.
Jika cintanometer berkedip-kedip itu
artinya cinta. Jika tidak berkedip-kedip maka tidak ada cinta. Lama-lama
penduduk kota mulai lupa apa itu cinta, bagaimana sesungguhnya perasaan
seseorang saat jatuh cinta? Mereka hanya mengerti soal kedip dan tidak
mengedip. Bisik atau tidak berbisik. Lama-lama mereka malah kehilangan
kosa kata cinta? Siapa lagi yang perlu kata cinta jika kau bisa
menterjemahkannya dengan mudah melalui sebuah alat mungil yang canggih?
Berbisik berarti oke, tidak berbisik cari yang lain. Sesederhana itu.
Maka kata cinta dihapuskan dari kamus
besar bahasa kota kami, karena tak ada lagi yang mengerti apa maksudnya.
Berikut kata-kata yang menyerupai dan menyertainya. Kalian tak akan
lagi menemukan kata: kasih, sayang, rindu, bertepuk sebelah tangan,
pungguk merindukan bulan, bujang tua, jomblo dan kata-kata lainnya.
Dan ketika aku sempat berkunjung ke kota
itu minggu lalu. Dalam ramainya ruang pesta di balai kota, aku tersenyum
bersalaman dengan penduduk kota. Berkata mengenalkan diri, “Namaku Jun.
Aku pengelana hati. Datang dari jauh mencari cinta. Adakah gadis
rupawan di kota ini yang masih sendiri dan mau menghabiskan sisa hidup
bersamaku?” mereka menatapku aneh sekali.
Seperti kalian sedang menatap mahkluk dari galaksi lain.
***