Aku menghirup lagi sebotol penuh minyak kayu putih yang kugenggam di
tangan kananku. Setiap tarik an hirupan mengembalikanku ke setiap
susunan memori yang terjalin rapi lewat indera penciuman. Jalinan
kenangan yang pernah kami rajut bersama ditemani sebotol minyak kayu
putih untuk mengusir rasa dingin setiap malam. Semakin lama kuhirup
minyak kayu putih di tengah malam yang sepi ini, semakin ramai kenangan
di kepalaku berlari-lari.
Dia pernah mengatakan jangan pernah meminum
minyak kayu putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa
sambil melihat dia membiarkan setetes minyak kayu putih jatuh ke dalam
mulutnya. Pahit, katanya. Sama pahitnya seperti jamu brotowali yang
hitam pekat nan pahit. Aku tertawa sambil mengejeknya tolol karena telah
melakukan hal tolol saat itu. Sambil mengusap air mata yang terus jatuh
dan mengusap hidung yang terus menerus mengeluarkan lendir karena
terlalu pedas menghirup minyak kayu putih sepanjang malam, aku teruskan
menghirup minyak kayu putih sampai kantuk menyerang lalu tertidur di
atas dipan kayu di teras rumah. Rasanya aku layak diejek lebih tolol
daripada dia yang pernah melakukan hal tolol.
Sedihku belum juga
hilang. Malam berikutnya aku lakukan ritual yang sama sejak sebulan
terakhir: menghirup minyak kayu putih setiap tengah malam di depan teras
rumah sambil membungkus diri dengan selimut tebal. Ditemani suara
tonggeret, jangkrik, dan tokek di halaman rumahku, aku memulai ritual
menyedihkan ini lagi selama sebulan terakhir. Menghirup minyak kayu
putih setiap tengah malam adalah upaya satu-satunya yang aku tahu untuk
menghirup kembali rinduku yang begitu besar kepada dia.
Dia tidak
pernah bisa hidup tanpa minyak kayu putih. Setiap kami pergi ke mana
pun, dia tidak pernah lupa memasukkan sebotol minyak kayu putih ke dalam
tasnya. Bahkan waktu kami ke Bali berdua tahun lalu, sudah kukatakan
lebih dari sekali bahwa pada malam hari pun di sana tidak akan dingin,
tapi dia bersikeras membawa sebotol minyak kayu putih ikut serta dalam
acara jalan-jalan kami.
Lain waktu kami mengikuti kegiatan Baksos yang diadakan oleh kantor kami. Satu rumah penduduk diisi
oleh delapan karyawan. Suatu malam yang panas di Pulau Alor, ia
membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badannya karena tak tahan
dengan terpaan angin malam dari arah pantai. Ternyata teman sekamar kami
tidak tahan dengan aroma minyak kayu putih yang menguar ke seisi
ruangan. Semuanya tidur di dipan teras, dan hanya aku yang bertahan
tidur di sampingnya sampai keesokan harinya kami bangun kembali. Aku
kasihan melihat temanku yang tidur di dipan keesokan harinya bermata
sembap seperti kurang menikmati tidurnya semalaman. Mulai saat itu,
akhirnya dia mengalah untuk tidur di dipan sambil membalurkan
banyak-banyak minyak kayu putih ke badannya sebelum tidur.
Aku selalu
berhasil membuat dia melakukan apa pun yang kuinginkan, tapi tidak
pernah berhasil membuatnya meninggalkan minyak kayu putih dari sisinya.
Mulai saat itu, aku berpendapat sendiri bahwa setelah aku, sebotol
minyak kayu putih adalah kekasih keduanya.
Sejak pertama hingga
sekarang botol minyak kayu putih yang kupakai bersama dia tidak pernah
habis. Malam ini sudah kutekadkan akan menjadi malam terakhirku
menghirup minyak kayu putih alih-alih mengenang segala kisah tentangnya.
Tidak akan ada lagi ritual menghirup minyak kayu putih setiap tengah
malam. Tidak ada lagi acara menghirup kembali lagi rindu tentang dia.
Sekali
lagi aku ingat, dia pernah mengatakan jangan pernah meminum minyak kayu
putih kecuali jika aku frustrasi. Waktu itu aku tertawa begitu hebatnya
karena kupikir hanya orang bodoh yang akan meminum minyak kayu putih
mentah-mentah mengalir di tenggorokannya. Sekarang aku menangis, karena
mungkin aku benar-benar bodoh sekarang. Sambil membuka tutup botol
minyak kayu putih, kuhirup sekali lagi aroma minyak kayu putih yang
setiap malam selama sebulan terakhir ini menjadi sahabatku. Kutempelkan
bibirku ke pinggir mulut botol minyak kayu putih lalu kutenggak cairan
minyak kayu putih itu sampai tersisa setengahnya. Aku tak sanggup lagi
meneruskannya. Rasanya pahit, meski belum seberapa pahitnya dibandingkan
kenanganku bersama dia.
Aku berniat menghabiskan seluruh isi cairan
di dalam botol yang kugenggam tapi kepalaku mendadak pusing hebat,
langit malam yang gelap menjadi makin gelap dalam pandanganku, cahaya
lampu yang menempel di atas kepala mulai berubah-ubah menjadi terang
redup seperti kisah kasihku bersama dia.
Di kejauhan, kulihat sebuah
bayangan sedang berjalan ke sini. Aku menajamkan mataku melihat bayangan
makhluk remang-remang sambil mencoba angkat badan, tapi ternyata aku
terlalu lemah untuk mengangkat badanku. Lamat-lamat pandanganku kabur
seutuhnya hingga semuanya hampir menjadi gelap sampai makhluk bayangan
remang-remang itu kini menyentuhku. Aku hanya mampu melihat pinggangnya
yang berdiri di depanku. Menatap ke atas untuk mengetahui siapa pemilik
badan ini pun aku tak sanggup. Makhluk bayang remang-remang itu kini
menjongkokkan dirinya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Itu dia,
manusia yang mengenalkanku pada minyak kayu putih ini. Aku bahkan tak
sanggup tersenyum meskipun aku ingin melakukannya agar ia tahu betapa
aku merindukan jiwanya menyatu kembali dengan jiwaku.
Tidak lama
berjongkok di depanku, ia tersenyum, seakan tahu bahwa aku rindu
kepadanya. Senyumnya yang lebih hangat dari minyak kayu putih mampu
menghalau setiap tusukan angin dingin di malam gelap ini. Ia memegang
tanganku yang sedang memegang minyak kayu putih, kemudian ia memindahkan
sebotol minyak kayu putih milikku ke dalam genggaman tangannya. Ia
membuka putar tutup botol minyak kayu putih milikku yang tersisa
setengah, lalu menempelkan bibirnya pada pinggir mulut botol. Dengan
cepat ia menenggak cairan itu ke dalam mulutnya sampai habis. Lalu sorot
matanya mulai redup seperti mataku.
Pelan-pelan kuajak dia duduk di
sampingku, menjadi pengganti selimutku malam ini. Malam ini kami berdua
menikmati suara tonggeret, jangkrik, dan tokek. Rindu kami dimulai
dengan menghirup minyak kayu putih yang sama dan mengakhirinya dengan
menenggak minyak kayu putih sampai habis dengan bersama-sama pula. Kini
aku tidak lagi membutuhkan sebotol minyak kayu putih untuk menghirup
rindu yang tidak terkendalikan.
Semuanya terasa menyenangkan, hingga
suara guntur menggelegar dan aku terbangun. Tak ada dia, kulirik botol
minyak kayu putih yang terjatuh dilantai. Masih ada setengahnya. Yang
habis hanya kepercayaanku, tentang dia yang mungkin bisa hadir lagi dan
memberikan sedikit mimpi.