Melanjutkan hidup (Selanjutnya kita)





Ku sesap lagi satu tegukan kopi hangat yang sedari tadi setia menemani. Sudah hampir satu jam aku hanya berdiam diri dicafe ini. Hampir setiap malam, setelah pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk makan atau hanya sekedar memesan satu gelas kopi hangat. Sejak saat itu, tempat ini sudah menjadi tempat favoritku. Ada semacam kekuatan magis dicafe ini yang membuatku merasa nyaman untuk menikmati malam.
Tidak ada sesuatu yang benar-benar bisa dikatakan spesial dari cafe ini, bahkan boleh dikatakan cafe ini cukup sederhana bila dijajarkan dengan beberapa cafe yang ada didaerah ini. Namun, pengunjung selalu merasa nyaman untuk berada disini. Bercengkrama dengan pasangan, tertawa lepas dengan teman-teman sekerja, atau mendulang lamunan, seperti yang selalu ku kerjakan hampir 3bulan ini.
Jam menunjukkan pukul 21:30, tapi belum ada tanda-tanda cafe ini akan menidurkan diri, dan sejujurnya aku juga masih enggan beranjak dari mahluk bernama sofa ini.
Kulirik ponsel, tertera beberapa missedcall dan SMS dari nomer yang sudah kukenal dan hampir kukenal mati tiap digitnya. 'Sudah terlalu larut malam, mau pulang jam berapa?' Dengan malas kubalas 'satu jam lagi' kutekan tombol send, dan kembali menekuni bening hitam dihadapanku.
Pandanganku terbuang jauh ke ujung sana, ke masa beberapa tahun silam. Saat keseharianku masih diiringi rona merah muda. Saat hanya ada kupu-kupu dan bunga warna-warni yang menjalari tiap sisi. Saat disana masih ada kamu, sosok yang siluetnya saja masih tergambar jelas didalam fikiran. Tidak ada hal lain yang pantas kutanyakan selain kabarmu, aku hanya ingin mendengar kabar baik tentangmu. Apa mimpimu sudah mendekati kenyataan? Mimpimu yang sudah kau rancang sedemikian sempurna, apa sudah terwujud? Apakah Dia mengetahui tentang semua rencana-rencana hebatmu? Apakah dia turut membantumu? Entahlah, aku hanya bertanya. Tak perlu mendengar jawaban darimu.
Kita berpisah, tentu saja. Kau mengucapkan kata itu seperti kau tak menggunakan fungsi otakmu secara penuh. Semudah itu semuanya berakhir, semudah mengungkap janji, lalu mengingkari seenak hati. Tentu saja, lukaku belum benar-benar bisa kering. Bagaimana mungkin semua bisa berakhir semenyakitkan ini? Semua yang awalnya sangat menyenangkan, kenapa harus berakhir menyedihkan?
Kau dijodohkan, itu pembelaanmu. Atau lebih tepatnya kau memilih jodohmu, tapi itu bukan aku. Apa aku dimatamu? Pertanyaan itu selalu mengukung dan mengurungku pada rasa kepunahan kepercayaan diri. Seperti aku tak berharga apa-apa lagi.
Kita yang begitu manis, harus berakhir tragis. Kau memilihnya, dan rencana pernikahan kalian telah di depan mata. Pernahkan terfikirkan olehmu bagaimana jatuh bangunnya aku untuk menyembuhkan luka yang kau lukis dengan ucapan cinta itu? Kenyataannya, kau terlalu sibuk mendendangkan lagu asmara bersama kecintaanmu yang baru. Mengingatku, mungkin hanya akan membuang-buang waktu berhargamu.
Apa yang kulakukan saat itu? Tidak banyak, hanya menata hati yang sudah hancur berantakan. Kau tahu? Aku masih sempat mempercayai kau akan kembali berbalik arah padaku. Menenangkanku dan berkata kalau semua akan baik-baik saja, merengkuhku dan memberikan sentuhan hangatmu seperti dulu. Tapi apa yang terjadi malah jauh dari harapanku. Adegan-adegan standar sinetron cinta murahan seperti itu ternyata tidak pernah terjadi. Semua janji manismu hanya omong kosong yang enggan menyentuh bibir kenyataan. Kau malah bergerak semakin menjauh, membiarkan mainan lamamu ini terlunta-lunta dijalanan.
Kata-kata terakhirmu masih tercatat jelas dimemori otakku. Kau mau, aku melanjutkan setiap hariku seperti biasa dan mulai memberikan kesempatan kepada orang yang lebih baik. Apa kau fikir semua bisa dilakukan segampang itu?
Memang benar, setelah kejadian menyakitkan itu ada banyak yang menawarkan diri untuk mengobati luka yang kamu tinggalkan. Tapi, semuanya tidak benar-benar mampu memahami kesakitan yang kau ciptakan. Mereka malah sibuk menuntut kejelasan tanpa mengerti situasi. Mungkin ada, seseorang yang hampir bisa mengerti bagaimana bisa memahamiku. Tetap saja, dia tidak sepertimu. Dan sejujurnya, mencari replikamu itu sungguh pekerjaan yang melelahkan..

Sudahlah, sudah terlalu malam. Cafe ini juga sepertinya akan segera tutup. Aku harus segera pulang, melanjutkan hidup dan mulai mengiklaskan masa lalu. Aku tidak ingin melukai orang yang akan membahagiaakan ku kelak dengan masa lalu.
Semoga pilihanmu tidak benar-benar mengecewakan.