Semoga tidak ada lagi hujan dimatanya,,,( BagII )




Apakah gadis itu kembali??


Rasa penasaran membawaku kembali ke Danau Badugul. Entah mengapa, aku mengharapkan gadis itu datang.
Dan sesuai perkiraanku, gadis itu memang ada. Ditempat yang sama dua hari lalu.
"Mengapa datang lagi?" Tanyaku heran. Kemarin hujan, seharusnya ia tidak datang lagi kesini untuk memasang boneka itu.
"Kemarin, tidak ada dia," ujarnya tanpa ekspresi. Ia hanya memandang lurus kedepan.
"Dia?"
"Iya."
Aku semakin tidak mengerti. Dia? Dia siapa? Mendadak ada yang meledak-ledak didalam hatiku. Namun entah. Aku tidak bisa mendeskripsikannya.
"Maksudmu?" Aku bertanya lagi. Penasaran.
Pernah merasakan ketika kau bertanya sesuatu dan kau mengharapkan jawaban darinya, sementara disisi lainnya kau malah tidak ingin mendengarnya?
Aku sulit mengatakannya. Tapi yang jelas, seperti itulah keadaanku saat ini.
"Kemarin tidak ada pelangi".
"Eh?"
"Kemarin, tidak ada pelangi" iya mengulangi jawabbannya.
Aku merasakan ledakkan-ledakkan tadi seperti diguyur air es dingin.
"Kau..., selama ini...hanya Pelangi?" Aku berusaha menenangkan perasaanku sendiri.
"Ya, pelangi."
"Hanya pelangi? Kau mengharapkan sesuatu yang sama sekali tidak kau sukaa hanya untuk melihat pelangi?".
Dia menatapku tajam.
"Jangan kau pikir segalanya semudah yang kau bayangkan," bentaknya keras
Ia mulai bangkit dari tempat kami duduk, lalu beranjak pergi. Akupun langsung menahannya.
"Kenapa?" Tanyaku pelan, merasa bersalah.
Aku membalikkan badannya.
Ia... Menangis?
"Maafkan aku". Ucapku.
Iya menyapu air mata dari pipinya "aku tidak apa-apa".
"Kau tahu, perempuan itu adalah orang yang paling susah dalam menyembunyikan perasaannya. Dan kau berkata kau baik-baik saja, aku tidak melihatnya demikian." Aku menarik nafas panjang "Kau kenapa?" Tanyaku hati-hati.
Aku kembali mengajaknya duduk. Namum saat ini, kepalanya menyandar dipundakku.
"Bibi bilang, pelangi adalah jalan menuju surga," ia membuka ceritanya, "Saat kau tidak ada lagi didunia ini, kau akan menjelma jadi satu dari warna pelangi itu."
Aku mengangguk paham, aku pernah tau mitos itu dari buku legenda Jepang.
"Bibi bilang, kita bisa menemui orang-orang yang tidak ada itu saat datang pelangi. Dan itu yang sedang aku lakukan sekarang. Aku... Sedang berusaha bertemu Bibi."
"Dia?." Tanyaku dengan hati-hati
"Meninggal, dua minggu lalu. Saat musim hujan. Hujan-hujan. Ia tertabrak truk."
Aku bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut matanya. Refleks, aku menyekanya dengan tangan kananku.
"Maka dari itu..., aku selalu ingin bertemu dengannya lagi. Aku hanya ingin melihatnya lagi,". Ujarnya sesenggukan.
Aku mendekapnya erat, tidak bisa berkata apa-apa. Dalam diam, aku bicara.
"Menangislah, buat apa berpura-pura kuat? Menangislah karena kau memang ingin menangis. Itu akan membuatmu merasa lebih baik.". Aku berujar sambil mengusap-usap kepalanya.
Dan, ia menangis.
Dan, itu adalah nyanyian paling pilu dalam hidupku.

****
Pompa air dan kaca.
Aku memasukkan barang-barang itu kedalam tas selempang yang kukenakkan, lalu mengayuh sepeda ke Danau Badugul.
Dia pasti masih disana.
Pasti,,,,
****
"Sudah kuduga kau akan datang lagi kesini". Aku berujar ketika melihat gadis itu.
tidak ada yang berubah darinya. Masih tanpa ekspresi, masih tanpa senyum, masih sedihh.
"Ayo ikut aku sebentar." Aku menarik tangannya ke sisi danau.
Sensasi dingin langsung menyambar kekaki kami berdua ketika aliran sungai memecah dikaki.
"Duduk disini,". Kataku sambil menunjuk pinggiran danau.
Kukeluarkan alat-alat yang sedari tadi ada didalam tas selempangku. Pompa air dan kaca.
Aku menaruh kaca disisi lain sungai. Sinar matahari langsung terpantul mengikuti aliran sungai. Yang kedua, aku ambil pompa lalu mengisinya dengan air.
Semoga berhasil, aku berdoa dalam hati sambil mengarahkan pompa itu ke sinar matahari yang dipantulkan oleh kaca.
Gadis itu menatapku dengan heran, namun aku tak perduli.
"Kau tahu, aku pernah merasakan kehilangan. Ayahku, beberapa tahun lalu. Aku memang sedihh, sungguh. Semua seolah-olah hancur berantakan. Sama sepertimu.".
Aku kemudian menyemburkan air dari pompa yang ada. Butir-butir itu langsung saja menimpa sinar matahari, membentuk spektrum-spektrum warna-warni: Pelangi.
Ia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan. Aku bisa melihat ia sesenggukkan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku hanya ingin kau tahu, kebahagiaan itu diciptakan. Bukan menunggu dengan sendirinya. Kebahagiaan itu ada didalam diri setiap orang, bukan bergantung pada hal lainnya.". Jelasku panjang lebar.
"Kini, kau tak perlu menunggu hujannya terlebih dahulu, baru kau bisa melihatnya. Kau tidak perlu lagi berpura-pura menunggu hal yang sama sekali tidak kau sukai untuk melihat hal yang kau sukaa. Kau hanya perlu terbuka, untuk melihat sekelilingmu. Melihat kebahagiaan disekitarmu".
"Dan, jika kau sudah bisa melakukan itu, kau akan bahagia,". Tutupku.
Kami berdua membisu. Aku pun menghampirinya.
"Terimakasih, terimakasih banyak karena telah membuatku sadar," ujarnya sambil mengusap air mata dipipinya. Ia kemudian menegakkan kepalanya, lalu tersenyum.
Melihat itu, aku ikut tersenyum. Dadaku mendadak bergetar hebat. Ada perasaan seolah-olah ketika melihat senyumnya, semua hal indah didunia ini kalah akan kehadirannya.
"Siapa namamu?" Tanyaku gugup. Entah apa yang aku gugupkan. Aku hanya merasa...
...Gugup
"Nama asliku, atau nama indonesiaku?" Tanyanya dengan nada malu-malu.
"Tentu saja nama aslimu, nama yang dipanjatkan ketika kita terlahir didunia" jawabku seraya tersenyum.
"Mit... Mitsuko Ka...Katone,". Ia menjawab terbata-bata. Seketika mukanya bersemu merah seperti Tomat.
Aku tertawa geli melihatnya seperti itu. "Aku tahu mengapa kau tidak sukaa hujan," ucapku padanya.
"Katamu pertama kali, semua orang jepang membenci hujan". Ucapnya dengan mulai berani menatapku.
"Berbeda kasus denganmu. Mitsuko berarti cerah. Kau pasti benci hujan". Aku berkata sambil tersenyum lebar.
"Dan... Memang benar... Suaramu sangat indah seperti Kotone. Alunan harpa". Lanjutku.
Ia nampak salah tingkah aku puji seperti itu. Aku bahkan heran sendiri, dari mana kata-kata itu keluar. Mengapa aku mendadak romantis? Tunggu, romantis?
"Namamu?" Tanyanya balik kepadaku.
"Ghe eria madewa".
"Cocok."
"Eh?"
"Kau memang seperti kesatria hebat dengan budi sehangat dewa. Tempat semua orang bersandar." Ia mengerlingkan matanya yang bulat dan teduh itu.
Kali ini, giliran aku yang salah tingkah. Untuk mengisi kekosongan, aku mengambil boneka kecil itu dari tangannya. Ia tampak heran dengan apa yang aku lakukan. Namun ia biarkan. Aku mengambil spidol dari tas selempang yang kubawa, lalu kucoretkan lengkungan diatas dan dibawah gambar hidung yang dibuatnya.
Setelah selesai, aku lantas menggantungkannya pada pohon Linden dibelakang kami.
"Aku harap besok cerah," kataku pelan.
Ia tampaknya mendengar apa yang aku ucapkan, lalu tersenyum kecil.
'Semoga tidak ada lagi hujan dimatanya' aku merapalkan harapan-harapanku.

Setelah memasangkannya, aku berbalik menata gadis menawan ini, lalu menggenggam tangannya.
"Mitsuko, besok.. Maukah kau berkencan denganku?"