Hujan menari-nari dengan lembut di antara tanah basah yang setia
berdiam pada posisinya. Dedaunan terombang-ambing mengikuti gerakan
hujan. Deras rintiknya menyapa relung-relung hati yang bungkam, terik
matahari seakan-akan terlupakan, hanya ada derai air dengan suhu dingin
yang menyejukkan hawa gerah. Hujan masih bercengkrama dengan ramah -
membasuh hati gundah.
Aku terdiam menatap hujan yang cukup deras,
nampaknya ia tak mau berhenti sebelum ada beberapa wilayah yang
dibanjiri oleh kehadirannya. Berkali-kali kutatap jam tanganku. Semakin
sering. Semakin sering. Sampai-sampai aku hanya ingat jarum panjang yang
menunjuk angka duabelas dan jarum pendek menunjuk angka tiga. Waktu
seakan-akan tak berjalan, sulit sekali ia menyeret langkah kakinya untuk
satu detik atau satu jengkal nafas saja. Aku terdiam. Tak mampu berbuat
apa-apa. Hanya menatap hujan. Berkali-kali. Terus-menerus. Ditemani
This Conversation milik Mocca yang menggelitik gendang telingaku.
Duapuluh
menit. Tigapuluh menit. Tak ada tanda-tanda bahkan isyarat bahwa hujan
akan berhenti. Nampaknya, aku memang harus berani menerobos hujan yang
telah mengunci tubuhku di dalam mobil. Aku tak membawa payung. Tak ada
jaket atau jas hujan. Aku nol besar. Tapi, aku memang harus menemui
seseorang di dalam gedung pencakar langit itu, gedung yang puncaknya
hampir menyentuh langit - seperti dekat dengan surga. Sangat dekat.
Lebih dekat.
Kutatap lagi jam tanganku, ia bergerak lebih malas
dari sebelumnya. Aku memukul stir mobil. Sialan! Hancur semua
renacanaku! Tapi... semua memang sudah berlalu, lebur harapan dan
keinginanku, seharusnya aku tak perlu datang ke gedung pencakar langit
itu. Nyatanya, aku harus masuk! Harus! Dengan cara apapun itu! Dengan
cara yang kusuka atau bahkan tak kusuka. Dengan cara yang tidak
menyakitiku atau bahkan - menyakitiku.
Begitu bersemangat, pintu
mobil terbuka, luruh air hujan membasahi seperempat bagian jok mobil.
Hujan memang terlalu deras. Aku berlari, menerobos keributan massal yang
diciptakan hujan. Terus berlari. Menerobos. Melaju. Sampai akhirnya
tatapanku menyentuh pintu masuk gedung pencakar langit yang kuceritakan
tadi.
Gedung ini memang tak terlalu ramai, seperti gedung-gedung
lainnya, selalu ada seseorang atau bahkan lebih yang menjaga pintu
masuk. Namun, tatapan mereka berbeda, tak ada emosi yang kubaca dalam
tatapan mereka - kehampaan. Aku tak mampu melihat apapun dari mata
mereka, seperti ada yang telah merenggut jiwa mereka, hingga sinar mata
mereka pun kerut serta hilang.
Siapa peduli? Lagipula aku tak
mengenal mereka, begitupula mereka tak mengenalku. Aku masuk dengan
langkah santai, tatapanku menyapu pada setiap orang yang mengenakan
pakai yang berwarna sama - putih. Mereka tampak seperti kapas yang gagal
terbang, sehingga hanya mampu berdiam di daratan dan menggeliat di
antara hiruk pikuk gedung. Seharusnya, aku tak perlu menyertakan kata
hiruk pikuk pada kalimat sebelumnya, karena gedung ini memang tak
terlalu ramai. Bahkan, setiap kali ada di gedung ini, aku merasa hanya
ada diriku dan pilar-pilar kokoh itu. Hanya ada tubuhku yang terpantul
dari mengkilatnya lantai gedung ini.
Aku duduk bukan di tempat
biasa, tempat duduk yang satu ini tidak pernah aku duduki. Ah... siapa
peduli? Hanya tempat duduk, tempat duduk tak memerlukan perhatian lebih
dariku. Aku terus menunggu, orang yang katanya berjanji berpandangan
denganku senja ini. Tapi, nihil! Orang itu tak memunculkan batang
hidungnya.
Terpaksa aku hanya melamun, beberapa menit setelahnya
ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku tak tahu pasti kapan orang
itu telah duduk tepat di depanku, yang kutahu, saat tiba-tiba kepalaku
terangkat, orang itu telah siap dengan pandangan matanya – menyorot
mataku begitu dalam.
Di tatap seperti itu, aku jadi mati rasa.
Jarak pandangan kita juga tak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh
sentimeter. Bayangkan! Tiga puluh sentimeter! Aku tak memerhatikan wajah
orang itu, bagaimana bentuk hidungnya, bentuk rahangnya, bentuk
pipinya, dan bentuk bibirnya. Aku hanya terpaku pada matanya. Tanpa
kata-kata. Dia melemaskan sendi-sendi di tubuhku.
Beberapa menit
kita saling menatap, dari mata ke mata, tak ada isyarat kata. Bibirku
dan bibirnya sama-sama terkunci. Lidahku dan lidahnya seperti digondol
kucing. Matanya bening, sungguh aku sangat ingin menceburkan diri di
tempat sejuk itu, berenang-renang bebas pada aliran sejuknya. Mata itu
benar-benar menghipnotisku, seakan-akan gravitasi tak berlaku lagi dalam
semestaku.
Mata itu seakan-akan bicara kepadaku. “Berikan pandanganmu sepenuhnya.”
Maka aku berikan pandanganku sepenuhnya, hanya untuk mata indah itu, mata yang telah memabukkan pikiranku.
Bola
mataku bergerak-gerak, kami berbicara dengan isyarat mata yang
meliak-liukan tatapannya. “Apakah kita pernah saling mengenal?
Sepertinya wajahmu begitu akrab dalam mimpi-mimpiku.”
“Aku memang
hadir dalam mimpimu juga nyatamu, bukankah kenyataan juga mimpi? Hanya
saja mimpi yang menyakitkan.” desah mata indah itu, begitu lembut,
meremas logikaku.
Mataku tertawa digoda seperti itu, begitu lama
kami bertatapan hingga senja sudah kelewatan. Benar-benar tak ada
sentuhan. Hanya mata kami saja yang saling berseliweran. Tatapan hangat
itu seperti memeluk tubuhku, begitu hangat, begitu lekat, hingga aku
rela terjerat.
Bulan berganti peran dengan matahari, hari sudah
semakin gelap, gedung pencakar langit juga nampak lelah karena
terus-menerus mencari surga namun tak mampu menyentuh dan mengenggamnya.
Kami berpisah namun berjanji saling bertemu lagi. Tak saling
bertukar alamat atau bertukar nomor kontak, karena kami yakin pasti akan
dipertemukan, walaupun peran takdir bisa saja mengecohkan.
Berjam-jam sudah kami saling bertatapan, langit juga menghitam, mata kami sangat butuh istirahat.
Lalu kami berpisah, tanpa kecupan dan lambaian tangan.
Apa yang harus ditakutkan dari sebuah perpisahan? Bukankah perpisahan turut menjamin sebuah pertemuan?
Kami
saling melepas pandang. Kami saling memasuki dunia yang berbeda.
Berhari-hari sudah seusai peristiwa itu. Selanjutnya setiap hari kami
bertemu, dari pagi hingga malam hari, dari adanya matahari hingga
munculnya bulan. Kami tak bicara. Kami tak butuh kata-kata. Aku dan dia
hanya butuh pandangan mata.
Terbiasa dengan tatapan mata, sekarang
mata kami juga punya keahlian khusus yang tak dimiliki orang lain. Kami
bisa saling menyelami hati dan pikiran lewat mata kami. Rasanya sangat
menyenangkan bisa memandang matanya sampai matahari tenggelam. Aku
sungguh jatuh cinta pada waktu-waktu yang kami habiskan bersama, saat
mataku dan matanya berbicara dengan bahasanya.
Berbulan-bulan
berlalu. Aku tak tahu rasanya bersentuhan, yang kutahu hanyalah sinar
matanya yang hangat, begitu hangat hingga aku lupa rasanya menggiggil.
Aku bahkan tak tahu bagaimana bentuk wajahnya dan bagaimana bentuk
lehernya.
Matalah yang membuat kita saling jatuh cinta, tapi mata
itu juga yang membuat aku dan dia tak saling bersentuhan. Rasanya aneh
jika mencintai hanya didasarkan pada mata, tanpa sentuhan fisik dan
beberapa sentuhan kecil lainnya. Bukankah sentuhan itu juga yang mampu
menumbuhkan bunga-bunga di hutan rimba bernama hati? Apa gunanya tatapan
mata? Apakah mata adalah segalanya? Bagaimana jika kita kehilangan
lidah? Mulut? Tangan? Kaki?
Hanya ada mata. Apa yang bisa kita lakukan oleh dua benda bulat yang bergerak dan meliak-liuk di kolam yang setengah basah itu?
Apakah duniaku dan dunianya hanya ada di balik pandangan mata?
Mata itu kembali berbicara dengan desah lembutnya. “Apakah kau mencintaiku?”
“Tentu saja.” bisikku melalui mataku.
Untuk
berbicara, kami tak perlu benar-benar mengeluarkan suara. Mataku dan
matanya cukup mengerti, hatiku dan hatinya bergetar mengikuti bahasa
mata kami.
Detik berganti menit, menit meremas jam, jam meremas
hari, tiba-tiba ia menyentuh jemariku dengan begitu lekat. Telunjuk kami
seperti merindukan sepotong percakapan. Jemariku dan jemarinya bergerak
berirama, saling mengenggam dan mengisi celah-celah kecil di jemari
kita.