Setiap hujan.







Hujan rintik-rintik kala itu. Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota Tabanan jatuh satu-satu. Zian buru-buru berlari menuju tempat berteduh. Sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, ia menengadahkan kepala agar bisa menatap hujan dan awan mendung. Tempat berteduh tak begitu ramai, hanya ada seorang pria berambut ikal yang membiarkan rambutnya agak basah karena terkena hujan. Zian dan pria itu berdiri sejajar. Mereka sama-sama sibuk menatap hujan dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Jalanan di dekat jembatan Waltrafe mengalirkan air yang deras karena hujan. Zian masih berteduh di sana, sesekali ia mencuri pandang ke arah pria itu, pria yang sejak tadi juga berteduh dan juga memeluk kedinginan tubuhnya sendiri. Ia terlalu serius sampai-sampai ia lupa telah membawa payung kecil yang diletakkan di tasnya. Zian menertawakan dirinya sendiri, dengan senyum tipis yang hanya dimengerti olehnya sendiri. Ia membuka payung, memegang payung dengan erat dan siap-siap berjalan.
Wajah pria itu disaring oleh ingatannya. Wajah itu bukan wajah yang asing. Terlalu asik memikirkan masa lalu. Menyadari pria itu bukanlah pria yang asing, Zian seakan tak perlu terlalu gugup. Ia juga tak ingin mengingatkan pria itu pada masa-masa yang dulu pernah mereka lewati.
“Kamu mau masuk ke sana juga?” ucap Zian dengan suara tipis.
Pria itu tak segera menjawab. Mungkin suara Zian teredam oleh derasnya suara hujan.
Merasa diabaikan, Zian kembali mengulang ucapannya, “Mau bareng? Aku ke Waltrafe juga.”
Mata pria berambut ikal itu membulat. Ia menoleh dan mulai membuka suara, “Boleh.”
Dan, mereka berjalan lambat-lambat. Rapat-rapat.
“Tadi bukannya kita berteduh bareng? Kenapa payungnya nggak segera kamu buka?”
“Aku juga lupa kalau ternyata aku bawa payung.”
Mereka tersenyum bersama, tak ada tawa yang begitu meledak. Alas kaki mereka sama-sama basah. Baju mereka juga agak basah. Pria itu masih memeluk tubuhnya sendiri, menghangatkan dadanya dengan melipat tangan di depan dada. Itulah gerakan yang paling Zian ingat. Gerakan yang selalu pria itu lakukan beberapa tahun yang lalu. Zian tidak akan pernah lupa. Tidak akan.
Selama berbicara, sungguh Zian tak pernah berani menatap mata itu. Mata yang bertahun-tahun membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Ia tak ingin tahu warna mata itu, mata yang sinaran dan tatapannya berusaha Zian hindari sebisa mungkin.
Langkah mereka santai memasuki lobby Waltrafe, sambil melipat payung, pria itu pamit meninggalkan Zian. Tak lupa, ia juga mengucapkan terima kasih.
Percakapan terhenti, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lagi. Hening mengitari mereka. Rasanya hujan kali ini tak sedingin hujan seperti kemarin. Menderasnya hujan tak membekukan hati Zian, kali ini ia malah merasakan ada yang bergerak pelan-pelan di hatinya, perasaan hangat yang dulu sekian lama ia diamkan dan ia abaikan.
Zian menatap bahu itu. Mulai menjauh. Ia membiarkan sosok itu pergi, tanpa berbicara lebih jauh dan lebih dalam.
Sekarang, penyesalan membuncah dengan liar. Penyesalan yang juga dulu ia rasakan. Ingin mengejar, tapi seperti ada rantai yang menahan langkahnya.
Sungguh, ia tak ingin penyesalan itu terulang lagi.
Ia tidak ingin kesedihan yang sama terjadi lagi. Tidak!
***
Zian tak heran jika pemandangan yang ia lihat beberapa hari ini selalu sama. Setiap pulang kuliah, ia selalu pergi ke tempat itu. Tempat ia bertemu dengan pria berambut ikal yang mulai sering masuk ke dalam pikirannya. Zian selalu membawa payung. Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau pria itu muncul dan melahirkan kejutan baru saat hujan datang. Tapi... pria itu tak pernah datang, Zian juga tak lagi melihat sosok itu.
Seminggu terlewati, pria itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Dalam kesabarannya, ia masih terus berharap. Ia ingin suasana seperti kemarin terulang lagi, saat hujan datang dan Zian bisa merasakan lengan pria itu menempel di lengannya.
“Kembalilah, jangan buat aku menunggu untuk yang kedua kalinya.” bisiknya perlahan.
Apakah Tuhan mendengar bisikannya? Apakah pria itu mengetahui isi hatinya?
Hujan turun tiba-tiba, deras sekali. Kali ini, baru kali ini, Zian lupa membawa payung. Ia menatap hujan sambil memeluk dirinya sendiri. Ia hanya berteduh sendirian. Dalam lirihnya, cipratan air secara sontak mengenai bajunya. Semakin kesal Zian kali ini.
Ia jadi menyesal, mengapa ia harus menunggu seseorang yang belum tentu datang? Dia memaki dirinya sendiri.
“Sendirian?”
Suara yang tak asing itu terdengar mengagetkan bagi Zian. Ia menoleh cepat.
“Ngangetin ya? Kamu nggak bawa payung?”
“Ketinggalan.”
“Aku bawa payung, kamu mau masuk ke Waltrafe juga?”
Zian mengangguk malu-malu. Pria itu, pria yang ia temui seminggu yang lalu kini berada di depannya. Menawarkan diri untuk memayunginya.
Mereka berjalan rapat-rapat, walaupun hujan semakin deras, dan angin semakin kencang; rasanya segala halangan itu tak memupus harapan Zian untuk membangun percakapan.
Kali ini ia yang harus memulai, tak ingin lagi ia menunggu. Tak ingin lagi ia kehilangan seseorang untuk yang kedua kalinya. Tidak!
“Bagaimana di sana? Menyenangkan?”
“Di sana mana?”
“Di Jogja. Sudah dapat gelar? Kok sudah pulang?”
Pria manis bergidik, seakan ia buronan yang tertangkap basah, “Aku pulang karena ingin menemui seseorang.”
Tatapan Zian menyelidik, “Siapa?”
“Kamu.”
Zian terdiam, ia tak melanjutkan langkahnya. Pandangannya lurus, mulai berani menatap mata pria itu. Hitam kecoklatan, itulah warna bola mata yang akhirnya ia ketahui setelah bertahun-tahun ia tak pernah berani menatap mata itu. Hidungnya, bibirnya, matanya, dan lekuk pipinya tak begitu berubah. Dia tetap jadi seseorang yang cukup Zian kenal, dan paling sering ia rindukan, walaupun Zian tak berani melakukan banyak hal selain menatap dari kejauhan dan mencoba menyusun percakapan basa-basi. Itu dulu, ketika mereka masih bersama, ketika perpisahan belum jadi pemeran antagonis yang memisahkan mereka.
Sontak, Zian memeluk rapat tubuh pria itu. Pria yang menghilang selama bertahun-tahun tanpa ucap pisah. Pria yang dari sikapnya seakan tak menganggap Zian wanita yang spesial. Tidak akan ia lepaskan lagi. Tidak akan ia sia-siakan lagi.
“Sudah jangan pergi lagi.”
“Ini baru pulang, masa mau pergi lagi?”
Hujan semakin deras, dan rengkuh peluk mereka seakan tak terlepas