Selalu menyenangkan saat mengunjungimu.




Hujan diluar sana, bercengkrama dengan sangat riang. Tidak ada kebohongan yang terasa ditiap butiran-butiran halusnya, hanya kehangatan yang ia tawarkan. Tetap saja, hujan tidak selalu berperan prontagonis. Kadang, hujan juga mampu membuat seseorang rela berjam-jam dibanjiri oleh air mata karna berpetualang di masa lalu yang sudah tidak ingin diingat. Sebenarnya mengingatpun tak selalu di barengi dengan rasa sakit. Tergantung tentang apa yang difikirkan. Kalau semua hal tentang masa lalu itu membuatmu kalut, artinya masa depanmu harus lebih indah.
Sesuai janji, bulan ramadhan ini aku akan mengunjungimu. Apa kabarmu disana? Apakah hunian barumu menyenangkan? Apakah para penghuni disana ramah-ramah kepadamu? Seperti kata guru agama kita dulu. Apakah para malaikat yang menemanimu seramah yang diceritakan guru agama kita? Ahh, jika saja kamu tahu, aku menyimpan banyak pertanyaan untukmu,, tentang ibumu, tentang Zoan, kelinci peliharaanmu, tentang ikan koi yang kamu jaga dua puluh empat jam, tentang semua hal, termasuk juga tentang kita.

Kamu ingat tanggal berapa ini? Iya, empat tahun yang lalu kita masih merayakan aniver bersama. Di cottage dekat margoda raya, kita bersulang untuk semua usaha kita. Semua hal yang kita lakukan sungguh sulit diterka oleh kebanyakan orang. Dari ikut bermain lumpur bersama anak-anak sekolah dasar, hingga menumpang solat zuhur di gereja karna hujan. Apa kamu masih ingat? Hari itu kita melakukan banyak hal, saling bercerita tentang kesibukkan sendiri, hingga tanpa dikomando, pembicaraan telah dengan sendirinya menyentuh tentang cinta. Kamu lebih dewasa, semua orang juga tahu. Kamu sungguh sangat jauh lebih dewasa dari pada aku yang masih berjiwa bocah. Dengan sangat sabar kamu selalu menyediakan waktu untuk mendengar semua keluh kesahku, meski aku tahu kamu terkadang letih, namun semua kamu lupakan hanya untuk memberikan lengkungan senyum dibibirku. Kalau boleh jujur, terkadang aku merasa kamu itu tidak menganggapku sebagai seorang kekasih. Dalam presepsiku saat itu, yang seperti itu bukan cinta kepada pasangan, melainkan kasih sayang kepada saudara. Benarkah saat itu kamu hanya menganggap ku sebatas teman dekat? Saudara? Adik (mungkin)? Benarkah sinyal cinta yang kutangkap itu tidak sesuai dengan maksudmu? Entahlah, pertanyaan itu seperti terkunci rapi di tempatnya. Sejujurnya, aku bukan tidak ingin tahu, aku hanya tidak siap untuk menerima kenyataan-kenyataan buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Jadi, selama tidak ku kunjungi, apa kau merindukanku? Sedalam aku merindukanmu? Apakah sentuhan tanah lebih menenangkan dari sentuhanku? Kenapa dalam setahun ini, kau tak sekalipun mengunjungiku, seperti dalam mimpi ditahun-tahun sebelumnya? Apa kau sudah merasa bahwa aku telah cukup kuat untuk menghadapi getirnya dunia? Kenapa secepat ini kau menghilang?

Seperti permintaanmu waktu itu, untuk terakhir kalinya kita saling bertatap wajah, saling melempar ejekan. Kau ingin jika kau tak lagi mampu bersamaku, aku harus bisa menerima semua dan melanjutkan hidup. Menjadi penulis, mencari pasangan hidup dan pergi ketanah suci (itu bagian rencana kita), dan seperti yang kau lihat, aku melakukan semua yang kau ingin. Aku melanjutkan hidup, mulai kembali menulis dan mencari pasangan hidup(meski pernah salah) aku melakukan semua keinginanmu. Lalu, kenapa kau tak memenuhi permintaanku? Kenapa kau yang sudah disurga tak minta pada tuhan agar aku dipertemukan orang sepertimu?
Aku melanjutkan semua, semua yang teranggap indah pada awalnya. Semua mampu ku jalani hingga akhirnya menemukan sosok yang ku anggap sesuai dengan keinginanmu. Dia yang mampu membuatku hampir dua kali melupakan tanggal kelahiranmu. Dia yang hampir membuat gelap semua hal tentangmu. Sungguh, aku amat menyukainya. Tapi, ternyata dia tak memiliki cinta sebesar yang kau punya. Ungkap sayang yang dia ucap, hanya omong kosong semu. Lagi-lagi aku salah, menganggap seseorang yang berkata dan meneriakkan kata cinta dengan semangaat adalah kenyataan. Aku terlalu dibuai oleh semua janji-janji manis yang dia ucapkan tanpa disaring.
Seperti katamu dulu, "mengeluh itu adalah perbuatan paling buruk untuk orang-orang yang mempunyai cita dan angan setinggi langit.". Aku tak menyesal pernah salah memilih. Justru dengan luka yang bertubi-tubi itu, aku lebih bisa menulis. Menyenangkan bisa mengarahkan pulpen menari diatas hamparan putih dengan segudang pengalaman pahit.
Buku yang ku rancang hampir tiga tahun ini sudah hampir selesai, dan tinggal menunggu waktu untuk diterbitkan. apa sekarang kau merasa bangga pernah memilikiku? Apa aku sudah layak disebut sebagai pria idaman? Ah, tentu saja kau pasti akan tertawa dan menarik hidungku seperti kebiasaanmu. Kau hanya mengatakan ingin menjadi makmum yang baik buatku, tanpa pernah menyatakan perasaanmu.
Sudahlah, pembahasan ini seperti skenario drama murahan saja. Aku tahu, jika cinta mu melebihi cinta siapapun untukku. Aku merindukanmu, sekali-sekali, mampirlah kedalam mimpiku.

 Jangan protes! Aku hanya Rindu.