Aku, kau dan masa depanku.


Aku sudah mendengar banyak hal tentang omong kosong cinta, luka hati dan semua hal yang berbau perasaan termehek-mehek lainnya. Dalam presepsi kebanyakan orang, cinta harus saling menguatkan, saling mengisi, saling memahami. Tapi pada penerapannya, semua itu hanya dongeng yang memekakkan telinga. Betapa tidak, setiap kali dijalani, semua hanya berimbas pada kedukaan dan air mata. Selalu begitu. Terus dan terus, bagai sirkulasi udara yang monoton. Tak ada satu pun mahluk ciptaan tuhan yang ingin mengalami kesedihan secara terus menerus. Lalu, kenapa terus mencoba mencari sosok baik yang bisa menghargai tentang perasaan? Tak lelahkah? Entahlah. Mungkin aku bisa kalian ibaratkan dengan keledai terbodoh yang selalu masuk dan jatuh kelubang yang sama berkali-kali.
Untukmu, pria berkacama minus. Bisakah kau sekali saja berlaku lebih serius? Tak sadarkah kau bahwa aku sering kau buat terluka? Bahkan menangis? Hubungan kita yang masih seumur jagung ini, sudah sangat banyak menghadirkan kejutan-kejutan dalam hidupku, juga hidupmu. Kebersamaan yang kita jalani, seperti kelopak mawar. Terlihat indah, namun mudah dibuyarkan oleh terpaan angin. Awalnya, kau begitu manis. Bahkan hingga saat ini, kau tidak berubah. Hanya saja bila boleh sedikit mengeluh, ada kebiasaanmu yang menjengkelkan bahkan terkadang membuatku tidak nyaman. Kau mengangkat bahu? bertanya apa itu? Tidak sadarkah kamu?! Tentang semua isi timeline mu? Tentang mention (katamu hanya candaan)mu dengan rekan-rekan wanita mu itu? Hei tampan, aku tidak buta. Aku wanita, perasa dan mudah terluka. Tidakkah kau sadar? Harusnya kamu bisa lebih memahami, tentang semua keterbatasanku dan keterbatasanmu. Aku tau, jika banyak keterbatasan yang kau miliki. Aku tak bisa menyamaratakanmu seperti kekasih temanku yang lain. Aku tau bagaimana kondisimu. Kau harus bekerja begitu keras untuk membiayai pengobatan ayahmu juga untuk adik-adikmu yang masih bersekolah. Tentu saja, aku tidak menuntutmu untuk ini itu, untuk memperlakukanku secara berlebihan. Aku memilihmu, karena aku memang merasa nyaman padamu (Pada awal dulu). Jika aku mencari pria seperti keinginan ibuku, mungkin kau tak kupilih. Maaf, bukan ingin menyinggung perasaanmu, tapi aku muak jika terus dan terus memendam. Kau makin tak terkendali. Bahkan waktumu jarang tersedia untukku. Kau mulai jarang menelfon, memberi kabar lewat pesan singkat. Aku masih memaklumi, mungkin saja perkerjaan telah menyita banyak waktumu. Tapi, jika kau tak bisa mengirimkan pesan singkat, kenapa kau bisa dengan santainya membalas mention teman wanitamu tanpa menggubris perasaanku? Buka kaca matamu itu! Lihatlah, aku masih kekasihmu, Bodoh!.
Kau tahu, tanpa kusadari dan tanpa pernah kau cegah, hatiku mulai berontak. Hatiku mulai membuka celah kecil disana. Dan apa kau tahu? Ada seseorang yang telah menyentuh celah itu. Pemuda itu, memiliki kelebihan yang jauh darimu. Terlalu sadiskah bahasaku? Terserah sajalah, aku bingung harus menggunakan kosakata yang bagaimana lagi untuk meluapkan kekecewaanku padamu. Sudahlah, biar kulanjutkan lagi cerita tentang pria ini. Dia pria biasa, sebenarnya tidak ada hal istimewa yang bisa ditonjolkan darinya. Hanya saja, kau tahu? Perhatiannya yang membuat jiwaku tergugah. Kelembutan sikapnyalah yang membangunkan ku. Dan hasilnya, tanpa diminta, akupun mulai menyukainya. Kau tercenganga? Apa ini mengejutkanmu? Tidak perlu sampai seperti itu. Kau yang mengajariku untuk berlaku seperti ini. Lalu, salahkah jika hatiku terbuka dan membiarkan pria lain mulai menyelusup kesana? Aku sudah mulai muak dengan retorika dan kebodohan yang kita lalui setiap harinya.
Kejengahanku berlanjut dengan sikapmu yang seperti anak kecil. Aku akan bekerja diluar kota. Berarti kita harus menjalani hubungan jarak jauh. Dan apa responmu, jauh dari apa yang kuharapkan. Kau menolak mentah-mentah permintaanku untuk sama-sama bersabar. Apa yang kau mau, bodoh! Apa kau tetap menginginkan aku seperti ini? Menjadi sarjana pengangguran yang tak memiliki masa depan? Kenapa kau yang awalnya begitu dewasa malah menjadi begitu menjengkelkan?

Aku memiliki mimpi, sama sepertimu. Aku menginginkan banyak hal, membahagiakan diriku sendiri juga orang tuaku. Tentang pria itu, mungkin saja dia akan menggantikanmu, atau malah ada pria lain yang berpeluang mengambil hatiku. Semua serba belum pasti. Yang jelas, aku tak akan membiarkan penjahat kecil sepertimu menjadi penghambat tiap mimpi besarku.

Untukmu, pria berkacamataku(dulu)