****
Dari lantai dua toko
buku paling besar dikota ini, kalian bisa melihat dengan leluasa
pemandangan jalan besar yang ramai persis didepannya, juga jalan paling
besar dikota ini. Jalan itu dibelah pembatas setinggi satu jengkal. Ada
lampu putih bundar setiap beberapa meter dipembatas jalan itu, serta pot
semen dengan rumput bunga, meskipun terlihat tak cukup rimbun. Lampu
putih bundar itulah yang terlihat indah. Berbaur dengan ratusan ratusan
siluet cahaya lampu mobil.
Diseberang jalan berjejer rapi gerai fotokopian yang besar dan modern.
Lampu neon puluhan watt, meja panjang untuk menerima fotokopian, dan
karyawan-karyawan berseragam terlihat jelas dari atas sini. Beberapa
orang berpenampilan sebagaimana layaknya mahasiswa, terlihat menunggu
dikursi putar tinggi. Mungkin menunggu fotokopian untuk bahan ujian
besok lusa. Mungkin pula menunggu hujan reda.
Ada sebuah motor merapat. Dua penumpangnya turun sambil melepas jas
hujan. Sepasang. Yang wanita berkerudung putih. Yang lelaki merengkuh
bahunya. Mereka masuk kegerai fotokopian. Tak mungkin mereka akan
memfotokopi "undangan pernikahan" digerai itu, tetapi cukup sudah untuk
mengerti betapa mesranya mereka.
Aku menghela nafas panjang.
Sungguh, pasangan itu membuatku iri. Kemesraan yang mereka ciptakan
bagaikan sebuah pukulan keras yang menghempaskanku ke dalam lukisan luka
kecil dimasa lalu.
Sebenarnya, tidak juga bisa dikatakan masa lalu.
Karena kejadiannya masih begitu hangat, baru dan menimbulkan efek yang
sangat tidak menyenangkan.
Anganku melambung jauh, terbang kemasa tiga tahun silam. Saat perkenalan
manis itu baru saja berlangsung. Saat uluran tanganmu, saat senyuman
manis itu mematikan seluruh fungsi saraf. Tapi, semuanya terjadi dulu.
Kalau boleh jujur,kata dulu begitu akrab di dalam otak,pikiran dan
telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat
mendalam, sampai sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya
waktu dan jarak. Sudah sekian kali,aku diam diam menyebut namamu dalam
sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja
angin,tertiup jauh namun mungkin akan kembali.
Wajah baruku bisa kau lihat sendiri,terlihat lebih baik dan lebih
hangat dari pada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang
berpisahan,benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata
'saling' tapi mengapa hatiku masih saja ingin mengikatmu?
Tentu saja,kamu tak merasakan apa yang kurasakan,juga tak memiliki
rindu yang tersimpan rapat rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan
itu agar kita tak saling mengganggu. Bukankah berjauhan seperti ini
semuanya menjadi lebih berarti ? Seakan akan aku tak pernah
peduli,seakan akan aku tak mau tahu,seakan akan aku tak miliki rasa
perhatian.
Cukup seperti ini,hanya ada aku dan kamu, tanpa kita.
Kali ini,aku tak akan menjelaskan tentang kesepian,atau bercerita
tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kau pahami. Karena aku sudah
tahu,kamu sulit di ajak basa basi, apalagi jika berbicara tentang cinta
mati. Aku yakin,kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu
lagu yang bernyanyi bahkan dengan lirik yang tak bisa kau terjemahkan
sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita cerita absurd
yang selalu kau benci. Seperti dulu,saat aku bicara cinta,kau malah
tertawa. Seperti saat kita masih bersama,aku berkata rindu,namun kau
tulikan telinga.
Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kau dengar sebagai
pengantar tidurmu. Kau tak suka jika ku ceritakan tentang air mata
bukan? Bagaimana jika ku alihkan air mata menjadi senyum pura pura?
Tentu saja, kau tak akan melihatnya. Sejauh yang kuketahui,kamu tidak
peka. Dan mungkin saja, sifat burukmu masih saja sama. Walaupun kita
sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata.
Entah mengapa, akhir akhir ini terasa sepi sekali. Aku seperti berbisik
dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran. Dalam
gelapnya malam ternyata ada banyaknya cerita yang sempat terlewatkan.
Ini tentang kita. Ahhhrg,,sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak
ingin membuka luka lama. Akupun juga begitu, tak ingin mengejar bayang
bayangmu yang semakin samar samar, tak ingin mereka reka senyummu yang
tidak lagi seindah dulu.
Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah
menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda
ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu
saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku,
kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.
Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu,
mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh itu. Jika aku cukup
cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial,
mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal.
Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling
sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua
berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi
kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu
dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya persinggahan. Hanya
sementara. Aku bukan tujuanmu!
Mataku berkunang-kunang. Malam ini memang sangat dingin. Aku menarik
rapat jaket dan membiarkan tubuhku tenggelam di sana. Dan, tetap saja
tak kutemukan kehangatan, tetap mengigil. Aku sendirian. Dengan kenangan
yang masih menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan
kinerja hati. Aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang
secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat
keras. Sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu
sering kukejar. Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu
yang sebenarnya tak pernah ingin kuingat lagi.
Begitu banyak
mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam
setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu?
Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan
segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku
sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh
sebelum sempat terwujudkan?
Aku sudah berusaha untuk bernapas
tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja.
Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali
dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai
topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di
sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah
memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan
hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.
Aku
kelelahan. Terjatuh bangun sendiri saat mengingat semua yang sudah kita
lalui.
Saat itu, aku memilihmu karena aku meyakinimu. Harusnya, kesadaran
segera muncul dan membuka mataku.
Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kulalui masih sama. Aku masih
mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha mencari penggantimu.
Mereka berlalu-lalang, datang dan pergi, ada yang diam berlama-lama, ada
yang hanya ingin singgah. Semua berotasi, berputar, dan berganti.
Namun, tak ada lagi yang sama, kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang
dulu, tak ada kita yang dulu. Ya, semua kenangan memang berasal dari
masa lalu tapi tetap punya tempat tersendiri di hati yang sedang
bergerak ke masa depan.
Hidupku tak lagi sama, dan aku masih
berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkan.
Padahal, aku masih jalani hari yang sama, aku masih menjadi diriku, dan
jiwaku masih lekat dengan tubuhku. Tapi, masih ada yang kurang dan
berbeda. Kesunyian ini bernama... tanpamu.
Ini bulan kesekianku
menapaki langkah dengan luka yang belum benar-benar sembuh. Malam ini,
aku mencari sebuah buku yang bisa sedikit mengalihkan fikiranku darimu.
Doaku tetap sama..
Selamat malam,, senja.