Berbulan-bulan setelah hari itu (selanjutnya kita)

  •  
    Hampir jam sembilan malam. Pertokoan dijalanan kota sudah setengahnya tertidur. Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam-malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana diluar terlihat damai menentramkan. Tidak deras benar. Hanya gerimis. Itu pun jarang-jarang, tetapi cukup membuat indah kerlip lampu. Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ketelapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku, bahu kemudian tiba dihatiku. Membekukan seluruh perasaan. Mengkristalkan semua keinginan.
    ****
    Dari lantai dua toko buku paling besar dikota ini, kalian bisa melihat dengan leluasa pemandangan jalan besar yang ramai persis didepannya, juga jalan paling besar dikota ini. Jalan itu dibelah pembatas setinggi satu jengkal. Ada lampu putih bundar setiap beberapa meter dipembatas jalan itu, serta pot semen dengan rumput bunga, meskipun terlihat tak cukup rimbun. Lampu putih bundar itulah yang terlihat indah. Berbaur dengan ratusan ratusan siluet cahaya lampu mobil. Diseberang jalan berjejer rapi gerai fotokopian yang besar dan modern. Lampu neon puluhan watt, meja panjang untuk menerima fotokopian, dan karyawan-karyawan berseragam terlihat jelas dari atas sini. Beberapa orang berpenampilan sebagaimana layaknya mahasiswa, terlihat menunggu dikursi putar tinggi. Mungkin menunggu fotokopian untuk bahan ujian besok lusa. Mungkin pula menunggu hujan reda. Ada sebuah motor merapat. Dua penumpangnya turun sambil melepas jas hujan. Sepasang. Yang wanita berkerudung putih. Yang lelaki merengkuh bahunya. Mereka masuk kegerai fotokopian. Tak mungkin mereka akan memfotokopi "undangan pernikahan" digerai itu, tetapi cukup sudah untuk mengerti betapa mesranya mereka.
     Aku menghela nafas panjang.
    Sungguh, pasangan itu membuatku iri. Kemesraan yang mereka ciptakan bagaikan sebuah pukulan keras yang menghempaskanku ke dalam lukisan luka kecil dimasa lalu.
    Sebenarnya, tidak juga bisa dikatakan masa lalu. Karena kejadiannya masih begitu hangat, baru dan menimbulkan efek yang sangat tidak menyenangkan. Anganku melambung jauh, terbang kemasa tiga tahun silam. Saat perkenalan manis itu baru saja berlangsung. Saat uluran tanganmu, saat senyuman manis itu mematikan seluruh fungsi saraf. Tapi, semuanya terjadi dulu. Kalau boleh jujur,kata dulu begitu akrab di dalam otak,pikiran dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah sekian kali,aku diam diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin,tertiup jauh namun mungkin akan kembali. Wajah baruku bisa kau lihat sendiri,terlihat lebih baik dan lebih hangat dari pada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang berpisahan,benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata 'saling' tapi mengapa hatiku masih saja ingin mengikatmu? Tentu saja,kamu tak merasakan apa yang kurasakan,juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu agar kita tak saling mengganggu. Bukankah berjauhan seperti ini semuanya menjadi lebih berarti ? Seakan akan aku tak pernah peduli,seakan akan aku tak mau tahu,seakan akan aku tak miliki rasa perhatian.
    Cukup seperti ini,hanya ada aku dan kamu, tanpa kita. Kali ini,aku tak akan menjelaskan tentang kesepian,atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kau pahami. Karena aku sudah tahu,kamu sulit di ajak basa basi, apalagi jika berbicara tentang cinta mati. Aku yakin,kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu lagu yang bernyanyi bahkan dengan lirik yang tak bisa kau terjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita cerita absurd yang selalu kau benci. Seperti dulu,saat aku bicara cinta,kau malah tertawa. Seperti saat kita masih bersama,aku berkata rindu,namun kau tulikan telinga. Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kau dengar sebagai pengantar tidurmu. Kau tak suka jika ku ceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana jika ku alihkan air mata menjadi senyum pura pura? Tentu saja, kau tak akan melihatnya. Sejauh yang kuketahui,kamu tidak peka. Dan mungkin saja, sifat burukmu masih saja sama. Walaupun kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata. Entah mengapa, akhir akhir ini terasa sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran. Dalam gelapnya malam ternyata ada banyaknya cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ahhhrg,,sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Akupun juga begitu, tak ingin mengejar bayang bayangmu yang semakin samar samar, tak ingin mereka reka senyummu yang tidak lagi seindah dulu. Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku. Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh itu. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya persinggahan. Hanya sementara. Aku bukan tujuanmu! Mataku berkunang-kunang. Malam ini memang sangat dingin. Aku menarik rapat jaket dan membiarkan tubuhku tenggelam di sana. Dan, tetap saja tak kutemukan kehangatan, tetap mengigil. Aku sendirian. Dengan kenangan yang masih menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan kinerja hati. Aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat keras. Sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu sering kukejar. Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yang sebenarnya tak pernah ingin kuingat lagi.
    Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segala. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?
    Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih mau membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.
    Aku kelelahan. Terjatuh bangun sendiri saat mengingat semua yang sudah kita lalui. Saat itu, aku memilihmu karena aku meyakinimu. Harusnya, kesadaran segera muncul dan membuka mataku. Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kulalui masih sama. Aku masih mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha mencari penggantimu. Mereka berlalu-lalang, datang dan pergi, ada yang diam berlama-lama, ada yang hanya ingin singgah. Semua berotasi, berputar, dan berganti. Namun, tak ada lagi yang sama, kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang dulu, tak ada kita yang dulu. Ya, semua kenangan memang berasal dari masa lalu tapi tetap punya tempat tersendiri di hati yang sedang bergerak ke masa depan.

    Hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkan. Padahal, aku masih jalani hari yang sama, aku masih menjadi diriku, dan jiwaku masih lekat dengan tubuhku. Tapi, masih ada yang kurang dan berbeda. Kesunyian ini bernama... tanpamu.

    Ini bulan kesekianku menapaki langkah dengan luka yang belum benar-benar sembuh. Malam ini, aku mencari sebuah buku yang bisa sedikit mengalihkan fikiranku darimu. Doaku tetap sama.. Selamat malam,, senja.