Saat aku telah bosan menunggu.

Aku melihatmu, mengenalmu, lalu mencintaimu. Tentu saja, tidak sesederhana itu. Semua penuh dengan tanjakan, kelokan, bahkan jalur berlubang. Proses yang panjang itu, ku nikmati dengan cara yang tidak biasa. Aku bertahan menunggumu, menunggu kesadaran dari kekeliruan yang kau lakukan dengan mencintainya. Aku berjalan ditempat hanya untuk menunggu sosok yang tak pernah punya cahaya untukku. Pantaskah aku marah? Tentu saja tidak. Aku bukan siapa-siapa dimatamu, dan kamu hanya sesuatu yang begitu dekat namun sulit dijangkau, dan KITA tentu saja belum ada presepsi yang jelas tentang siapa KITA.
 

Perhatian yang ku berikan, sepertinya hanya menguap. Perjuanganku, seperti gelembung basah yang mudah pecah dan tak berarti apa-apa. Kulakukan semua dengan sangat hati-hati, dan berharap kau sedikit peka dan memahami betapa yang ku jalani ini tak semudah yang kau bayangkan. Jika boleh jujur, mencintaimu sangat teramat menyulitkan. Dan cacatnya, meski tau sulit, aku tetap pada pendirian semula. Berharap suatu saat kau akan membuka mata dan membimbingku ke cahaya, bukannya terus menjebloskanku ke lubang gelap, semakin dan semakin dalam terkubur. 
Tidak adakah aku memiliki sedikit ruang dihatimu yang penuh sesak itu? Tidak akankah kau menyediakanku sebidang lapak disana? Untuk menabur benih perasaan mungkin? Mataku sudah sembab, oleh kedukaan yang kau bangun dengan sengaja tentunya. Kau melihat semua, namun berpura-pura buta. Menyadari perasaanku, namun bertingkah seolah tak peka. Mendengar letihku, namun kau tulikan telinga. Apa salahku? hingga kau siksa dengan begitu perih! Kita bersama, menjalani semua secara normal, seakan-akan tiap ungkap perasaanku tak berarti apa-apa dimatamu. Kau tetap sibuk dengannya, dan aku tetap menyibukkan pada mimpi-mimpi absurd yang kubangun sendiri. 
Pagi ku, tetap selalu menyempatkan mengirim pesan singkat untukmu. Pembahasan kita, tetap sama. Tidak ada sesuatu hal yang terlalu istimewa. Tiap harinya, yang kita lalui seperti daur ulang retorika. Kau menyangkal, tak mengakui tentang perasaanmu. Namun, setiap waktu kau seret aku untuk terus ingin memilikimu. Aku mencintaimu, kau mencintainya. Kita sama bodohnya, namun tetap berpura-pura cerdas. Merasa paling paham tentang segala, merasa paling mengerti tentang dunia. Padahal kita hanya dua orang anak manusia yang masih bocah dan keras kepala. Sok paham, sok tau dan dengan banyak sifat labil lainnya. Apa yang kita tau tentang cinta mencinta? Jika memang kita tau, kenapa selalu saja saling melukai? Bahagiakah kita jika saling menyakiti? Itukah cinta menurut presepsimu?
 

Aku lelah jika terus terombang-ambing seperti ini. Aku letih jika hanya terus kau jadikan persinggahan, bukan tujuan. Aku sudah hampir bosan menunggu. Bila kau tak kunjung berbeda, aku yang akan bergerak menjauhimu. Aku juga ingin dibahagiakan! Bukan hanya terus memendam dan menunggu.