Untuk orang yang mungkin telah melupakan (Selanjutnya kita)





Seperti satu tahun yang lalu, aku menunggumu di depan dealer Toyota. Sore itu, Bandung begitu terik, panas matahari cukup menjadi penyebab keringat di pelipis. Aku menunggumu sambil sesekali melihat jam tangan. Ketika suara kendaraan berlalu-lalang terdengar, aku segera menegakan kepala. Kamu sudah ada di depanku masih dengan muka tolol yang sangat kurindukan.
Tubuhmu terlihat lebih berisi, rambutmu masih begitu; tergerai sepinggang. Rambutmu yang lebat selalu kau lilit dengan aksesoris-aksesoris ala korea. Bola mata kita bertemu, “Rupanya, kamu sudah jago dandan,” ucapku dengan setengah tertawa. Disapa dengan kalimat menyebalkan itu, dia hanya membalas dengan senyum dan segera menarik tanganku menyeberang jalan
Sesampainya di rumahmu, aku bertemu ibu, paman, dan eyang putri mu. Lantas, terjadi percakapan antara kami, percakapan yang tak selalu terjadi setiap hari. Ibumu bertanya soal alasanku lebih memilih pekerjaan itu, memperbincangkan soal kabar terbaru di kotaku, lalu kita tertawa bersama ketika ibu membuka kedokmu. Kata beliau, akhir-akhir ini kamu suka bangun terlalu siang dan mandi menjelang zuhur. Aku tidak kaget, karena menurut hasil prediksiku, kamu selalu hobi bermalas-malasan jika pulang kerumah. Kita tertawa bersama, tawa yang kurindukan selama satu tahun ini, dan barukali ini aku bisa kembali merasakan tawa itu.
Ibu pamit masuk kamar karena ingin menyetrika. Langkah ibumu santai meninggalkan kita, sayup-sayup langsung kudengar suara penggalan nyanyian dalam film Mohabbatein. Iya, sepertinya film Mohabbatein hari itu tayang ulang. Di saat yang sama, aku dan kamu hanya berdua di ruang tamu. Kita tak banyak bicara, sesekali mengalir pembicaraan tentang rasa rindu, lalu diam lagi. Berikutnya, mengalir pembicaraan tentang kuliahmu, lalu membisu lagi. Setiap aku berbicara dan tertawa, seringkali kamu berkata, “Suaramu terdengar jauh lebih riang.”
Jujur, aku tak tahu cara menjawab ucapanmu itu, aku hanya tertawa, walaupun sebenarnya aku tak paham apakah yang kaubicarakan mengandung makna konotasi atau denotasi. Kita berbicara santai saja, meskipun harus kumaklumi hadirnya suara decitan roda K.A yang beradu dengan rel melintas dibelakang rumahmu. Aku mulai mengganti topik baru, membuka percakapan tentang pesan-pesan singkat yang pernah kaukirim dan masih kusimpan. Ketika sampai pada pembicaraan mengenai 7 juni 2010, tanggal jadian kita, aku memang tak bisa berkomentar banyak. Jurang pemisah itu memang ada dan aku tak tahu mengapa perubahan ini terasa begitu asing bagiku.
Aku tak merasa kita pernah putus, nyatanya kita memang masih saling mendoakan. Aku tak tahu selama ini apa yang kita jalani, status kita begitu abu-abu di mataku. Entah aku ini temanmu, pelarianmu, atau kekasihmu. Ketika dijauhkan jarak, aku merasa ada rindu dalam setiap percakapan kita di telepon. Ada cinta yang kautunjukkan dalam setiap goresan pena di pesan singkatmu. Aku tak mengerti apakah itu sungguh rindu dan cinta, atau semua hanya omong kosong belaka yang dikemas dengan begitu sempurna.

Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu; apakah itu nyata atau drama belaka.
Begitu cepat kaudapatkan yang baru, Sayang. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tahu orang macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.

Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kauberi senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris tab-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi.
Jujur, mungkin saat ini aku memang tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Senja, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang kuperjuangkan dan kuharapkan?

Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai mahluk bernyawa, tentu senang diberi harapan. Aku tersenyum sambil memainkan rambutmu yang acak-acakan. Aku bersandar di bahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan tab kesayanganmu. Kamu merangkulku sambil jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Aku berbisik di telingamu, memberitahu bahwa sudah waktunya salat isya. Kamu mengangguk memahami maksudku. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun, aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, hari itu juga adalah hari terakhir kita bertemu.
Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari keterbatasan kita?

Jika tak ada jarak diantara kita, apakah semua masih bisa berlanjut?