Harusnya aku bisa segera melupakanmu.

Hujan lagi, entah sudah berapa jutaan liter yang tertumpah ketanah setelah terakhir kali kita bersitatap. Disana, dibangku panjang, alun-alun kotamu, yang dulu kau sebut kota kita. Aroma dari asap yang mengempul oleh kipasan pedagang sate madura, tak membuat perutku berselera untuk mencoba mencicipin panganan disana. Semua indra, hanya tertuju pada sosokmu.

Pada sosok tolol yang sekarang membuat hari-hariku menjadi terbalik. Aku sekarang tengah memandang hujan, dari jendela lantai dua kantorku. Kau sedang apa? Masihkah asma dan maag akutmu sering kambuh? Apakah pria barumu mengerti setiap kesakitan yang kau rasakan?. Kalau boleh jujur, aku merindukanmu. Tapi, sesuai janjiku, aku tak akan pernah lagi mengusikmu, apa lagi mengganggu rutinitasmu. Mungkin sekarang aku hanya orang asing dimatamu, seseorang yang sangat-amat tidak penting.
Siapalah aku, hanya pria biasa, karyawan perusahaan swasta biasa, tidak berpendidikan tinggi, tidak seknifikan, tidak memiliki masa depan yang baik, dan tidak sesuai dengan keinginan ibumu. Boleh jadi, sekarang kau tengah menikmati hujan bersama kekasih barumu. Meski hanya lewat panggilan telfon, seperti yang biasa kita lakukan dulu. Setiap hujan, sepanjang malam.
Selalu ada pembahasan menarik ditiap perbincangan kita, mulai dari hal yang biasa, hingga hal yang tidak normal sekalipun. Ingat? Saat aku tiba-tiba menghilang berminggu-minggu? Koma, dan kau sibuk mencari kabarku. Menghubungi setiap teman, kerabat dan semua orang yang mengenalku. Katamu saat itu kau begitu frustasi, stres menunggu kabarku. Hingga kau melakukan semua hal agar lebih tenang, duduk berlama-lama dicafe tempat mu biasa menenangkan diri, hingga larut malam. Sekarang, saat aku tak ada lagi ditiap frasa nafasmu, mengapa kau tak seperti dulu? Mencemaskanku? Ah, aku kembali beretorika. Harusnya aku tak perlu larut dalam kebodohan yang dari awal sudah kuciptakan sendiri. Harusnya, aku tau bahwa semuanya sudah digariskan tuhan. Harusnya aku bisa sesegera mungkin melupakanmu. Membuang sosok tak bertanggung jawab sepertimu. Membencimu, seperti kau melupakanku. Ya sudahlah, semoga ini tidak mengganggumu. Aku juga tak berharap kau membacanya. Dari awal kan aku sudah bilang, aku hanya rindu. Itu saja, rindu kepolosanmu tiga setengah tahun yang lalu.