Kamukah yang menggigit rembulan, tuan? Dia
mengadu padaku tadi malam. Merintih ketakutan dari balik kaca jendela
kamar yang mulai berembun. Iya. Itu dini hari. Kemudian pendarnya
meredup. Ia menangis. Langit menangis. Rintik di penghujung malam yang
menelan kebahagiaan. Disedotnya harapan. Ditelannya bulat-bulat debar
merah jambu manis yang kupilin hati-hati.
Kemudian kami menangis bersama, tuan. Kami
menangis dalam sedu sedan yang bisu. Karena malam tak suka keributan.
Kami berbisik. Bulan mengadu, langit mendengar sambil tersedu. Gelas
kopi dan sendok perakku beradu.
Kamukah yang menyebabkan luka duka ini,
tuan? Mencuri bintang dari malam kami? Disini gulita. Ada rindu yang
meronta-ronta. Untuk apa datang jika kemudian pergi setelah mencuri?
Kemanakah senyum dan tawa yang kita tuang pada tiap cekungan kawah-kawah
bulan, tuan? Kau bawa kemana?
Sekarang kami saling bertatapan, tuan.
Langit, rembulan, dan aku. Perempuan yang kurang dari 48 jam lalu masih
kau dekap dalam pelukan. Masih kau kecup keningnya, hidungnya, kemudian
bibirnya. Masih berbagi cerita, berenang dalam tawa dan aroma kata-kata
yang bersama kita jahit menjadi selimut, menggulung hingga esoknya
matahari meniup kita dengan cahaya dari balik tirai jendela.
Tuan, kemanakah kamu pergi? Kamukah yang menggigit pagi hingga padaku kini ia pun meringis nyeri?
#Aruna