"Kehilangan" dan "Perpisahan" dipenghujung sore.

  

                                                                                        
Di area pemakaman itu, angin menari berkeliling. Berputar sepuasnya, semaunya. Dengan gerakan lambat-lambat yang lembut syahdu. Menggoda dedaun hingga jatuh pada kaki-kaki pohon kamboja. Guguran putih bunga lelap dalam erat pelukan rerumput rapat yang hijau rapi terbabat. Awan menyembunyikan matahari sore yang mulai mengantuk. Sejauh mata memandang hanya hijau dan putih langit, serta abu dan hitam nisan pualam. Salah satu diantara mereka masih basah tanahnya. Sepi bergulung-gulung di udara. Menemani seorang perempuan tua dengan gaun kelam pekat panjang yang duduk menabur bunga sendirian. Bagian bawah terusannya menyapu rumput.
Aku membuka kacamata hitamku, menyisipkannya pada luaran terusan hitam yang sedang kupakai. Tak terik lagi. Payung hitam yang menaungi tubuhku pun kukuncupkan rapi. Kusandarkan ke batang pohon tanjung besar di sisi bangku panjang kayu yang tengah kududuki. Kuhela nafas dalam. Tante Wien masih larut dalam duka, aku pamit meninggalkannya agar ia bisa bercengkerama sepuasnya dengan nisan Om Gunadi.
Aku duduk dalam diam selama beberapa lama. Kubiarkan pikirku melanglang sesuka-sukanya, sementara tubuhku kaku menatap hampar nisan bisu yang berjejer rapi di depanku. Kutatapi saja tanpa emosi apa-apa. Di tanganku ada segenggam melati, wanginya mengingatkanku pada Ibu.
“Siapa?”
Seorang lelaki tiba-tiba duduk di sebelah kananku. Pertanyaannya dan kedatangannya yang tanpa tanda membuat tubuhku tersentak dan jantungku seolah melonjak dari tempatnya. Aku tak mengantisipasi kehadiran orang lain selain aku kecuali tante Wien di pemakaman asri ini.
Lelaki itu menyandarkan tubuhnya dengan santai pada sandaran bangku panjang yang kami duduki. Tangannya ia lipat di dada. Kemeja hitamnya tersetrika rapi, begitupun celana yang sedang ia kenakan. Wajah dan bentuk rahangnya dipertegas oleh keberadaan kacamata yang bertengger pada hidungnya yang bangir. Aku tak terlalu yakin apa warna matanya karena ia sedang menatap lurus ke depan, tidak sedang menoleh ke arahku.
“Siapa?”
Diulanginya lagi pertanyaan itu. Tentu saja ia bertanya padaku. Ketika itu degupku telah normal. Laki-laki itu masih menatap lurus ke depan. Kali ini kulemparkan pula pandangku ke arah yang sama. Rimbun pohonan berbatas langit luas membentang jauh dari ujung nisan terakhir.
Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. Aku tak biasa meladeni bicara orang asing, namun lelaki ini nampaknya menjadi pengecualian. Entah mengapa.
“Pamanku.”
Aku menjawab singkat. Ia tak berkomentar atau bertanya lagi. Angin berjingkat mengitari kami. Hening panjang menyusupi pepori begitu lama hingga akhirnya kuputuskan bersuara.
“Menurutmu, mana yang lebih menyakitkan; meninggalkan atau ditinggalkan?”
Kalimat tanya itu meluncur keluar begitu saja dari bibirku.
Lelaki itu diam sejenak.
“Bagiku tak ada bedanya. Dua-duanya berarti kehilangan,” ia menyibak rambut yang menutupi dahinya. Baru kusadari ada kuncir kecil di bagian belakang rambutnya. Ia mengikat rambutnya dengan karet.
“Ditinggalkan, meninggalkan, perpisahan, kehilangan. Kau benar. Memang sama pahitnya,” aku menunduk memperhatikan kuku-kuku jari yang sebenarnya fikirku tak ada di situ.
Lelaki itu tersenyum. Sebuah sungging yang membuatku mengecap pahit di lidah. Ajaib.
“Kau tahu? Dua orang bisa mengalami kehilangan yang sama, dengan pengalaman rasa yang berbeda,” ia mengangkat dua telunjuknya dan membentuk kait dengan keduanya saat mengucapkan kata ‘sama’.
Aku diam saja mencerna kalimatnya. Kutoleh pandang ke arahnya yang sepertinya sedang menyusun kata untuk kembali melanjutkan. Benar saja.
“Dua orang yang saling mencintai kemudian memutuskan untuk berpisah, mengalami kehilangan yang sama. Kehilangan kekasih. Namun kehilangan itu sendiri bereaksi tak sama pada masing-masing mereka. Pada yang satu, kehilangan ia rasakan bagai susunan bangun yang runtuh karena hilang pondasi. Sedangkan pada yang lainnya, kehilangan ia maknai pembebasan. Seolah sebuah beban berat diangkat dari pundaknya.”
Aku tertegun.
Bagaimana makna kehilangan bagi masing-masing orang bisa sebegitu jauh berbeda? Itukah yang dirasakan Cakra ketika pada akhirnya kami berpisah? Pembebasan? Ketika aku tergugu bermalam-malam bertanya pada diri sendiri tentang apa salahku? Ketika aku mengutuk betapa jahatnya jarak terhadap cinta kami? Ketika pada akhirnya aku sadar bahwa ia tak pernah benar-benar mencintaiku?
Aku tersadar dari lamunan ketika ujung mataku menangkap bahwa lelaki asing itu sedang menoleh ke arahku. Bola matanya cokelat gelap. Garis-garis kelopak mata itu menyiratkan sendu. Rahangnya mengingatkanku pada tokoh komik Jepang, menyudut runcing. Ia terus menatapku hingga aku harus mengalih pandang kembali ke depan dan memutuskan mengucapkan sesuatu untuk menutupi gugup.
“Om Gunadi pergi tiba-tiba. Tante Wien masih tak percaya suaminya meninggalkannya tanpa pertanda apa-apa. Kehilangan macam begitu, mungkin rasanya lebih menyakitkan, ya,” aku mengarahkan pandang ke punggung tante Wien yang masih duduk diam di sisi nisan suaminya. Jangankan ia, aku yang tak terlalu dekat dengan Om Gunadi saja merasa terpukul.
Lelaki di sampingku itu menunduk memainkan jarinya, melihat langit, kemudian menoleh lagi ke arahku.
“Maksudmu konsep siap dan tidak siap kehilangan?” ia menyuarakan apa yang ada di kepalaku melalui kalimat tanya retoris itu.
Aku mengangkat bahu. Kuusap lenganku sendiri. Angin pemakaman ini menabrakku tanpa ampun.
“Kuberitahu kau, nona. Tak ada yang siap dihampiri kehilangan. Sekalipun waktunya sudah ditetapkan. Tak ada yang benar-benar siap menerima kekosongan. Hampa adalah tiada yang paling menyakitkan.”
Lelaki ini benar. Bahkan jika semua orang tahu bilamana ia harus ditinggalkan atau meninggalkan, kehilangan tetap akan beranak pinak sepi yang merengek-rengek minta diberi makan.
“Sore kemarin. Tante Wien kehabisan kecap. Ia akan memasak semur daging untuk menu makan malam. Om Gunadi memboncengnya naik sepeda motor ke mini market. Setiba di rumah, Tante Wien bergegas ke dapur karena hari sudah terlampau sore. Om Gunadi duduk di meja makan, membuat dua gelas sirup markisa untuk mereka berdua…”
Tenggorokanku mendadak terasa tercekat. Ada tangis yang merangkak naik dari kerongkongan. Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan. Pandang lelaki asing itu kini telah sepenuhnya menuju ke arahku.
“Tante Wien baru selesai memasak dan baru akan menaruh mangkuk di atas meja makan, saat ia mendapati kepala Om Gunadi terkulai lemah, mendongak disangga sandaran kursi dengan mata terpejam. Lelaki itu pergi diam-diam. Begitu saja. Secepat dan sesenyap itu…”
Kaca-kaca pada mataku kemudian pecah menjadi bulir bening hangat yang mengaliri pipi. Kuusap dengan telunjuk. Setiap kali harus menceritakan ini pada orang-orang yang bertanya, selalu datang sesak yang sama.
Tangan lelaki itu menggantung canggung di udara. Detik berikutnya telapak tangan berjari panjang itu sudah kembali terlipat di dada. Dia mau apa? Mengusap air mataku?
Lelaki itu diam. Membasahi bibir dengan mengulumnya. Kemudian mengangguk entah untuk apa.
“Serangan jantung?” ia menebak.
Ya. Pergi yang begitu sunyi.
Aku mengangguk, menghela nafas untuk kesekian kalinya. Dalam genggamanku, sekumpulan melati remuk menguarkan wangi.
“Ibu dulu meninggalkanku juga tiba-tiba. Cukup lama hingga pada akhirnya aku menyerah dan percaya bahwa ia sudah tak ada. Serasa ada sesuatu yang dicerabut paksa dari dadamu. Sakit sekali. Begitu jugalah mungkin yang kini dirasakan Tante Wien…”
“Proses kehilangan selalu diawali dengan penyangkalan. Rasa tak percaya. Kemudian marah pada diri sendiri, hingga akhirnya berhenti pada titik terakhir: penerimaan. Mau tidak mau,” lelaki itu menyahutiku lirih.
“Tepat sesaat setelah kau ditinggalkan, sama sekali tak terasa ada yang sakit. Menangis pun rasanya tak bisa. Rasanya kelu. Beku…”
Aku selalu tak berhasil menemukan padanan kata yang tepat untuk rasa yang aku dan Tante Wien rasakan hingga akhirnya lelaki asing ini mengucapkannya.
“Mati rasa…”
Aku terdiam, kemudian mengangguk menyetujui. Benar. Mati rasa.
“Seperti halnya saat kau dibius. Dagingmu disayat-sayat, dicabik. Tapi kau tak merasakan apapun. Sama sekali tak terasa…,” pandangku melayang-layang ke langit dan reranting pohon tanjung yang menaungi kami.
“Hingga akhirnya bius itu kemudian melenyap perlahan. Dan yang tinggal adalah rasa sakit yang mengganda. Bukan begitu?”
Aku menatap laki-laki itu dengan takjub.
“Bagaimana kau bisa begitu paham apa yang kurasakan?”
Untuk pertama kalinya ia menyungging senyum tulus.
“Mungkin karena aku telah menamatkan berbagai macam kesedihan..”
Pertama kalinya pula kubalas senyum itu. Tulus.
“Apa itu berarti kau sering menangis? Maksudku, kau kan laki-laki… Apa kau…”
“Sahabatku meninggal seminggu yang lalu. Dimakamkan disini juga. Kecelakaan. Calon suaminya selamat, namun ia sendiri pergi…”
Tatapnya menerawang jauh. Ya. Tentu saja lelaki ini kesini dengan sebab. Berapa orang yang memutuskan ke taman pekuburan hanya karena iseng?
“Semoga dia bahagia di Surga, ya…”
“Begitu juga pamanmu…”
Aku mengangguk mengamini.
“Pertanyaanmu tadi…”
“Ah, tak apa jika kau tak ingin menjawabnya,” aku menggeleng sungkan. Mengapa aku harus terlalu mau tau urusan orang?
“Tidak. Tak mengapa. Aku akan menjawabnya. Aku tak bisa menangis. Sulit sekali rasanya. Sesedih apapun aku. Aku begitu terpukul atas kematian Shelomita namun tak setitikpun air mata ini jatuh…”
Suaranya terdengar goyah. Siapapun dia, Shelomita ini nampaknya begitu berarti untuk laki-laki asing yang duduk di sebelah kananku ini.
“Aku pernah membaca bahwa lelaki jarang menangis karena kelenjar air matanya lebih besar daripada wanita yang notabene sering menangis. Simpel. Itu mengapa lelaki lebih bisa membendung tangisnya….,” kubetulkan letak selendang yang tersampir di bahuku sebelum melanjutkan.
“Lebih dari itu, perasaan sedih karena kehilangan tak harus selalu dinyatakan dalam bentuk tangisan. Tertawalah. Paling tidak di dalam hatimu. Kenanglah segala yang menyenangkan bersamanya, syukuri hal itu pernah terjadi, kemudian doakan ia agar bahagia. Semua itu lebih berarti daripada sekedar tangis sesaat yang tak membekas apa-apa…”
Lelaki itu kini tersenyum lagi menatapku. Aku membalas dengan senyum canggung. Lagi.
“Tak kusangka, ternyata kau banyak bicara juga, ya.”
Aku kaget dengan komentarnya. Menjadi lebih canggung lagi sebelum akhirnya ikut tertawa bersamanya. Sebuah tawa pelan yang ditahan.
“Maaf,” ujarku ketika senyum belum pergi dari bibir kami.
“Tak apa. Kau benar. Aku merasa jauh lebih baik setelah mendengarnya. Terima kasih,” lelaki itu kembali menatap langit sore di atas kami. Kali ini dengan senyum.
Sore telah menjadi abu-abu dan terlalu dingin. Sebentar lagi tampaknya aku harus segera menyusul Tante Wien dan membujuknya pulang ke rumah.
“Menurutmu, apa ada cara agar kita siap menerima dan mengalami kehilangan?”
Angin meniup dedaun kering dan rambutku. Desaunya yang melalui celah-celah kecil ranting pohon mencipta bunyi siul lirih. Sore yang begitu mendung. Langit pelit warna jingga. Kelabu saja menggumpal-gumpal di atas kepala.
Aku memberikan isyarat akan mengambil payung yang tersandar di batang pohon di sebelah laki-laki asing itu. Ia membantuku mengambil dan menyerahkannya padaku dengan sopan.
“Mungkin ada. Namun aku tak terlalu yakin…,” aku kembali membenahi selendang. Bunga melati dalam genggaman kutabur begitu saja di atas rumput.
Lelaki itu bertanya lagi,
“Yaitu?”
Aku menarik nafas dan menghelanya pelan,
“Dengan tak pernah merasa memiliki…”
Kami lalu tenggelam dalam hening beberapa detik. Suara daun kering bergesekan tertiup angin mengisi senyap di antara dua orang asing yang duduk bersisian ini.
“Maaf. Aku harus segera menyusul Tante Wien dan membujuknya pulang. Sore sudah terlalu gelap. Terima kasih telah menemaniku mengobrol,” aku pamit seraya bangkit dan menyunggingkan senyum tulus.
Lelaki itu ikut berdiri. Kini aku bisa melihat bahwa tinggiku hanya sebatas lehernya. Ia mengulurkan tangan ke arahku. Baru kuperhatikan bahwa ia mengenakan arloji di pergelangan tangan sebelah kiri, dan senyumnya manis sekali.
“Panji. Senang bisa mendapat teman mengobrol seperti…”
“Amordea. Dea,” aku menyambut jabatnya sopan.
Kembali kugenggam payung hitamku kemudian mengangguk mengisyaratkan pamit. Baru beberapa langkah, Panji, lelaki asing yang baru kukenal itu kudengar memanggil namaku,
“Dea!”
Aku menoleh ke belakang. Ke arah laki-laki dengan kemeja hitam yang pada detik ini mulai kukagumi. Ia tersenyum, berjalan ke arahku sambil menggaruk rambut belakangnya dengan canggung.
“Hari ini kita berdua telah membicarakan perihal kehilangan dan perpisahan. Hubungilah aku kapanpun jika kau ingin kita mengobrol lagi. Mungkin kita bisa membahas…..pertemuan?”
Aku tersipu menerima sodoran kartu nama bernuansa cokelat itu. Panji Marhaindra. Aku mengangguk kemudian.