Menyerah.

Bayangkan kamu berada di satu keadaan dimana kamu sudah berjuang, mempertahankan, berusaha meraih, namun tak ada yang kamu dapat kecuali kegagalan demi kegagalan. Sakit? Kecewa? Pasti. Tapi berbahagialah. Mungkin itu adalah ‘genta pulang’ dari Tuhan. Tanda untuk kamu ‘menyerah’. Mengalah. Dan mencari kebahagian lain. Tempat lain.
Aku duduk di satu sudut restoran makanan Jepang, di meja dengan empat kursi yang kutempati sendiri. Di atas meja itu berserakan buku-buku, bolpoin, pensil, sketchbook A5, dan satu nampan dengan piring dan mangkuk nasi yang isinya sudah tandas, serta satu cup es dengan jelly konyaku yang tinggal setengah.
Tak biasanya aku kemana-mana sendiri. Paling tidak akan ada satu teman untuk diajak bercanda tentang berbagai hal. Teman seneng-seneng. Kali ini sendiri, rasanya agak aneh tapi lumayan menyenangkan ternyata. Memutuskan melangkah kemana, mampir ke toko apa, melihat-lihat apa, tanpa harus mempertimbangkan pendapat dan keinginan orang lain.
Kadang kita emang butuh waktu sendirian. Bisa lebih banyak merenung dan berpikir tentang banyak hal. Seperti halnya saat ini.
Tadi di kampus ada acara, melibatkan mahasiswa lintas angkatan dan tentu saja para mahasiswa baru. Pacar didaulat menjadi salah satu entah apalah di acara itu. Aku enggan ikut sebenarnya. Tapi pada akhirnya aku menyusul juga, sendirian. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku merasa kampus ini asing buatku. Aku menyadari ini sejak semester awal-awal.
Percaya atau tidak. Aku bukanlah mahasiswi populer di kampus, bukan bagian dari himpunan mahasiswa, tidak aktif berorganisasi, teman dekat di kampus hanya segelintir saja. Aku tak punya alasan untuk betah di kampus selain karena keharusan kuliah dari pagi sampai sore di kelas studio. Beda dengan mereka yang aktivis tentu. Hari-hari dikampus tentu menyenangkan. Teman-teman akrab, rapat-rapat kegiatan yang menyenangkan, bahkan gebetan. Ada banyak hal yang membuat mereka betah dan punya semacam ikatan emosional yang kuat dengan kampus itu. Sementara aku?
Aku cuma mahasiswi yang ke kampus saat ada kuliah dan segera pulang saat semua selesai. Tak ada nongkrong-nongkrong karena teman-teman dekatku pun bukanlah salah satu dari aktivis. Kami sejenis. Sejenis alien mungkin dimata mahasiswa lain. Alasanku datang ke setiap acara kampus mungkin hanya kerena diajak pacar yang kebetulan aktivis, mantan sekum, bla bla bla yada yada yada~ Kalo enggak ada dia mungkin tak pernah aku mau ikut-ikutan. Nggak nyambung!
Aku bukan enggan bersosialisasi, bukan juga jenis introvert. Buktinya di tempat lain aku bisa menjadi orang yang selalu menyenangkan dan disayangi. Hanya merasa berbeda. Nggak nyambung. Aku sama mereka seperti dua orang yang jauh, saling melihat dan masing-masing berprasangka. Ada jarak. Ini menggelikan. Semua yang kulakukan mereka anggap aneh dan yang mereka lakukan tak bisa kupahami. Kami berbeda. Maka kuputuskan berhenti mencoba ‘membaur’. Menyerah untuk beradaptasi. Di titik ini aku menyadari, bahwa, mungkin tempatku memang bukan disini.
Bicara masalah hati. Aku pernah berada di posisi dimana aku berusaha mempertahankan, berusaha menjadi seperti yang diinginkan oleh orang lain, menepis semua keasingan dan ketidakcocokan untuk satu hal yang aku sangka cinta. Awalnya rasanya baik-baik saja. Aku berusaha menerima bahwa perubahan adalah satu kewajaran yang memang harus aku lakukan untuk menjadi lebih baik. Demi orang lain yang aku cintai.
Oke. Ini kedengaran sangat cheesy tapi aku yakin banyak yang berlaku serupa. Berubah demi orang yang disayangi.
Aku belakangan sering menceramahi seorang teman tentang perbedaan mencintai dengan menyakiti diri sendiri. Bukan sok tau dan asal njeplak, aku bicara berdasarkan apa yang pernah aku alami. Cinta kadang bikin orang jadi bego. Jadi buta. Bukan salah cintanya sebenernya. Tapi salah orangnya. Membutakan diri.
Yang kulakukan adalah berusaha beradaptasi, berusaha memaklumi, berusaha bertoleransi, yang tanpa aku sadari, semua itu menghancurkan diriku sendiri. Aku sampai pada satu jeda dimana aku nggak kenal siapa diriku sendiri. Aku, hati dan pikiranku, pada akhirnya memilih-milih. Mengingat semua yang manis, berusaha membuang kenyataan bahwa aku sebenarnya sedang disakiti.
Aku sudah memaklumi tuntutan untuk berubah seperti yang dia inginkan. Aku sudah sangat mengabaikan dan selalu memaafkan semua sikap kasar dan tak pantas yang dia lakukan. Aku hanya mengingat-ingat yang indah, percaya bahwa dia menyayangi aku, dan pura-pura tidak tau tentang semua luka dan sakit yang dia sebabkan. Semua yang kulakukan hanya untuk mempertahankan. Entah apa yang kupertahankan. Kuperjuangkan.
Sampai akhirnya ketika aku bisa berfikir jernih. Ketika semua kerusakan yang dia timbulkan semakin menjadi-jadi. Aku memutuskan berhenti memaklumi. Berhenti beradaptasi, bertoleransi, berhenti menyuntikkan sendiri obat bius khayalan yang kusengaja membuatku mati rasa. Aku memutuskan ‘menyerah’ dan mendengar genta pulang yang Tuhan bunyikan. Berbalik. Mencari kebahagiaan baru. Tempat baru. Yang kini sudah kutemukan.
***
Maka, sudahlah. Jika suatu tempat kamu rasakan bukan tempatmu, tak bisa menerimamu, menyakitkanmu, menyerahlah. Ada kalanya semua kegagalan adalah pertanda dariNya bahwa itu memang bukan jalanmu, bukan takdirmu, bukan untukmu. Karena akan ada, di suatu sudut di bumi ini, tempat yang menerimamu, menyamankanmu. Begitupun orang yang bisa kau cintai tanpa kau perlu menyakiti dirimu sendiri tanpa kau sadari. Karena ada satu saat, satu batas, dimana kamu akan menyadari bahwa kamu lebih baik menyerah atas perjuanganmu, untuk memperjuangkan yang lainnya, yang lebih pantas.

Jadi, coba berhenti sejenak, renungkan, dengarkan. Adakah terdengar ‘genta pulang’ dari Tuhan? :)
yang masih merenung dan berfikir,