Potongan senja seukuran kartu pos.




Apa permintaan paling tak masuk akal yang pernah terfikir di kepalamu? Yang bahkan untuk melisankannya saja kau tak sanggup, saking tak masuk akalnya. Tak masuk akal orang lain, tentunya. Karena apa yang tercetus di kepalamu seringnya adalah yang masuk akal bagimu, yang seberapapun kecilnya tetap saja memiliki peluang untuk menjadi kenyataan, meski hanya nol koma sekian persen saja.

Banyak orang jika ditanyakan perihal yang demikian itu akan langsung merujuk hal-hal duniawi, materi. Beberapa yang sentimentil akan meminta sesuatu tak berwujud. Sebutlah itu cinta berbalas, atau mungkin dendam terbalas, atau sekedar bahagia yang benar bahagia saja. Sesuatu yang tak ada ukuran pastinya, bahkan berbeda-beda pengertiannya bagi masing-masing orang.

Mari berandai saja. Anggaplah di depan kita kini Tuhan sedang lapang merentang tangan mengabulkan segala, termasuk yang tak masuk akal tadi. Anggaplah saja, agar kita tak terlalu terlihat menyedihkan, ada zat maha yang akan mendengar dan mewujudkan apapun yang terlontar dari gerak lidah tak bertulang kita ini. Apa saja.

Jika Kanina, gadis pertengahan dua puluhan itu, ditanya semacam itu, tentu jawabnya tak jauh-jauh dari senja pujaannya. Dia selalu berandai dia adalah Shinta, gadis yang dikirimi sepucuk amplop berisikan potongan senja berukuran kartu pos oleh pemuja tanpa sudahnya; Ramma. Dibayangkannya senja itu akan berpendar begitu cemerlang memantul segala penjuru langit-langit dan lantai kamarnya, membias di matanya. Anginnya akan meniup-niup bulu matanya yang lengkung ke atas itu, dan bau asin lautnya akan jatuh dengan lembut pada penciumannya sedetik setelah robek amplop itu.

Ah, betapa beruntungnya Shinta, desahnya selalu.

Ia selalu berharap kelak seorang lelaki akan menikahinya dengan mas kawin sepotong senja paling indah yang pernah dilihat manusia. Tak masalah jika warnanya tak terlalu jingga, atau terlalu merah. Akan lebih cantik jika warnanya lebih teduh dan merah muda cerah semburat pada langitnya. Tak masalah sekalipun pasirnya tak terlalu halus asalkan putih berkilau warnanya. Tak masalah jika tak benar-benar seukuran kartu pos, asal jelas terasa deru anginnya, terang bau asin laut pada penciumannya, dan cerah warna langitnya memantul pada cincin yang akan ia kenakan nanti.

Adalah Tirta, lelaki yang selama dua tahun ini menjadi kekasih Kanina. Satu-satunya orang yang ia berani ceritakan tentang keinginan paling tak masuk akalnya itu. Lelaki yang mencintainya dengan begitu khusuk dan penuh khidmat. Memberi, memberi, memberi, hingga Kanina tak pernah merasa kurang. Adalah sepotong senja, yang Tirta tahu, selalu menjadi keinginan paling besar gadisnya itu. Tak lain tak bukan, sepotong senja seperti yang dikirimkan Ramma kepada Shinta itulah.

Pada setiap luang waktu mereka, Tirta selalu membawa Kanina ke berbagai sudut tempat senja selalu berdandan lebih cantik ketimbang di tempat lainnya. Senja di sebuah dermaga kota kecil, senja dari atap gedung pencakar langit, senja dari sebuah pantai perawan, hingga sebuah senja di bukit yang tak habis dihembus gigil dingin angin. Tentu saja Kanina senang namun Tirta selalu merasa bahwa kesayangannya itu masih saja mengharap ada sepotong senja yang akan dikirimkan seseorang lewat pos, berbalut selembar amplop cokelat seharga seribu limaratusan, sampai di depan rumahnya dengan selamat tanpa tumpah.

Namun siapakah di dunia ini selain Ramma sialan itu yang bisa seenaknya memotong senja tercantik untuk dipersembahkan pada pujaan hatinya? Membuat langit sore menjadi bolong seukuran kartupos dan orang-orang bingung kehilangan. Ramma ini bikin susah saja, batin Tirta selalu. Andaikata ia bisa berkenalan dengan lelaki sakit jiwa itu, mungkin ia akan meminta diajarkan cara mengerat senja yang baik. Biarlah tak terlalu rapi, Kanina pasti tahu ia telah berusaha. Namun Tirta bahkan tak yakin Ramma itu nyata adanya di dunia ini.
*****
Duduklah lelaki bermata sayu itu kini di pinggiran sebuah pantai sepi tempat ia dulu pernah mengajak Kanina menikmati senja, sendirian. Pasir menjadi basah di bawah telapak kakinya yang berkali-kali tersapu ombak pasang. Di tangannya sebuah belati baru dan tajam berkilau tertimpa cahaya senja yang hampir merekah. Digores-goreskannya pada pasir lembut cokelat muda di sisinya. Berkali-kali goresannya itu lalu tersapu air asin.

Fikirnya berkecamuk. Sedang apa dia disini? Menggenggam sebilah belati tajam pula. Mengerat senja? Jika orang-orang yang ia lewati dalam perjalanan menuju kemari tadi mengetahui niatnya ini tentu saja ia akan ditertawakan atau disambut kernyitan dahi lalu gelengan kepala. Orang gila. Apa lagi namanya seorang lelaki yang ingin mengerat senja kalau bukan orang gila? Ia bahkan kini menertawakan dirinya sendiri.

Kanina, oh, Kanina. Jelita yang membuatnya gila.

“Untuk apa belati itu? Bunuh diri?”

Sebuah suara berat mengagetkan Tirta. Asalnya dari seorang lelaki setengah baya yang sepertinya baru pulang kerja. Kemeja mahalnya ia keluarkan begitu saja, lengan dilinting sembarangan, wajahnya terlihat….letih?

Tirta lalu melihat belati di genggamannya untuk kemudian berujar sekenanya pada lelaki yang kini ikut duduk di sebelah kanannya,

“Ini? Bukan. Saya…. Ah, bapak pasti akan menertawakan saya jika saya berkata yang sebenarnya.”

Terdengar tawa sumbang yang dipaksakan.

“Untuk mengerat senja?”

Cepat Tirta menoleh ke arah lelaki yang kini tengah memandang jauh cakrawala yang mulai menguning. Bagaimana lelaki ini bisa tahu?

“Dulu, seorang laki-laki bernama Ramma juga pernah mengerat senja seukuran kartu pos. Cakrawala berlubang dibuatnya. Semua orang mengejarnya. Jadi buronan polisi ia hanya karena cintanya pada Shinta yang teramat sangat. Shinta yang bahkan ia tak pernah tahu perasaannya. Berbalaskah, atau justru tidak. Sia-sia semua yang ia lakukan. Amplop berisi sepotong senja yang sembunyi-sembunyi ia kirimkan itu kembali ke alamatnya sendiri. Tak mau diterima. Begitulah kata tukang pos tua yang mengantar balik keratan senja itu pada Ramma. Itulah akhir sebuah pengorbanan yang kata orang sia-sia belaka. Tolol. ”

Tirta tampak tertegun. Tak sekalipun ia mampu menyela cerita lelaki tua itu. Ia mengenal Ramma rupanya?

“Saranku, nak, simpan belatimu itu. Tak satupun di dunia ini mampu mengerat senja sebaik Ramma. Hanya ia lah yang diizinkan sang Maha memotong senja. Untuk pelajaran manusia-manusia selanjutnya. Sayangnya tak banyak yang mengetahui bahwa romansa Ramma berakhir penolakan. Lupakan perihal mengerat senja. Temukan cara lain menyatakan kesungguhan perasaan pada kekasihmu. Ada banyak cara menyimpan senja selain mengeratnya untuk diri sendiri.”

Lagi-lagi Tirta seperti terhipnotis pada kalimat demi kalimat tuan paruh baya yang kini berlalu setelah lebih dulu menepuk-nepuk pundaknya itu. Ada yang berpendar dalam saku celananya. Mungkinkah ia adalah Ramma?

Dilihatnya lelaki itu kini mengeluarkan sebilah belati yang kilau sampai ke penglihatannya. Dengan setengah gemetar ia menggerakkan genggamannya ke cakrawala yang tiba-tiba terasa gentar. Angin berkeringat, air laut panik. Tirta terkesiap ketika dilihatnya ufuk barat telah berlubang segi empat seukuran kartu pos. Benarlah ternyata lelaki itu Ramma!

Ketakjuban memaku Tirta di tempatnya. Lelaki yang kini berjarak sekian puluh meter darinya itu tengah mengerat senja, lagi. Ditelannya ludah sambil menoleh kanan dan kiri, berharap ia tak hanya satu-satunya manusia yang menyaksikan Ramma mencuri senja untuk kedua kalinya. Namun lagi-lagi matanya tak ingin berpaling barang sedetikpun dari gerak gerik Ramma.

Kini lelaki itu merogoh kantong kirinya setelah lebih dulu potongan senja yang baru ia kerat ia letakkan hati-hati dalam kantong kanan celananya. Berpendarlah sepotong senja paling indah yang pernah dilihat Tirta, di tangan sebelah kiri Ramma. Jingga keemasan senja itu bahkan memantul pada wajah keheranan Tirta.

Disaksikannya lelaki tua itu memasang kembali potongan senja yang kini dipahami Tirta sebagai senja yang ditolak Shinta. Senja yang asli. Senja yang semurni-murni senja. Kini dikenalinyalah senja yang selama ini muncul di ufuk barat, senja yang pada tiap-tiap kesempatan dinikmatinya bersama Kanina, adalah senja dari dunia gorong-gorong. Senja palsu yang dikerat Ramma saat bersembunyi dari kejaran polisi.

Lelaki tua itu menoleh lagi ke arah Tirta setelah selesai memasang kembali senja asli yang dulu dikeratnya itu.

“Sampai jumpa! Sekarang aku harus mengembalikan senja yang satunya lagi!”

Ramma berteriak kepada Tirta yang kini sudah berdiri tegak setengah tak percaya. Pasir basah berjatuhan dari celana dan tangannya ketika ia kemudian melambai kepada punggung Ramma yang berjalan menjauh.

Senja lalu tenggelam bersamaan dengan belati yang dibuang Tirta jauh ke lautan. Matahari seperti mencair dalam mangkuk air laut yang makin pasang. Sebentar lagi gelap, namun ada yang berputar-putar seperti potongan film dokumenter rusak pada bola mata Tirta. Pertemuannya dengan Ramma membuatnya terfikir sesuatu. Ia kini telah menemukan cara.
                                                                             
Apa permintaan paling tak masuk akal yang pernah terfikir di kepalamu? Keinginan paling tak mungkin yang sebenarnya selalu memiliki kesempatan diwujudkan? Sebutkan apa saja. Kanina, perempuan melankolis itu, tentu dengan lantang akan menjawab sepotong senja seukuran kartu pos. Definisi bahagia untuknya mungkin tak lain adalah sepotong senja mewujud nyata di telapak tangannya.

Namun jika kau tanyakan tentang impian paling di luar nalar seorang lelaki macam Tirta itu, tak kalah lantang akan dijawabnya; mewujudkan keinginan paling tak mungkin Kanina, kekasihnya, meski tak persis seperti yang ia impikan. Ya. Tirta akan berusaha meredefinisi bahagia untuk Kanina. Ia akan membuat Kanina bahagia, dengan caranya sendiri.

Maka di sinilah mereka berdua. Di atas sebuah perahu nelayan yang tertambat pada dermaga kayu lapuk yang termakan lumut dan tergerus air laut. Perahu yang bergoyang lembut digoda air pasang pada sebuah senja berbau asin, di pantai yang lain lagi yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.

Kanina, seperti biasa, terlihat begitu lembut dan cantik dengan gaun selutut berlengan panjang berwarna kuning pucat yang terlalu pucat. Diam menatap ufuk barat yang mulai jingga. Rambut sepunggungnya yang diikat ke belakang sesekali riap ditiup angin. Tirta menatap kekasihnya itu tak bosan-bosan.

“Beginilah selalu yang akan terjadi, Nina. Kau akan menikmati senjamu, sementara aku akan menikmati senja yang bercahaya pada matamu. Bahagiamu adalah sepenuhnya bahagiaku…”

Tirta berujar lembut sambil menggenggam sebelah tangan Kanina yang tersenyum penuh kasih.

“Aku memang mencintai senja, Mas. Tapi aku lebih mencintaimu.”

Dua kalimat saja dari bibir penuhnya, namun sudah bisa membuat Tirta hilang kata.

“Masihkah kau menginginkan sepotong senja, Nin?” Tirta mengambil sebuah gelas kaca bening yang ia telah isi dengan air laut jernih.

Nina tersenyum mengangguk.

“Tutup matamu. Hitunglah sampai sembilan, lalu buka,”

Dengan patuh Kanina memejamkan matanya yang cantik dan mulai menghitung.

“Satu…”

Air laut berombak dalam gelas bening di genggaman Tirta.

“Dua…”

Perahu nelayan di ujung pantai kini berada diantara apitan telunjuk dan ibu jari Tirta. Dimasukkannya ke dalam gelas.

“Tiga…. Empat….”

Angin berputar di sekeliling dinding kaca gelas yang sedikit bergoyang itu. Menguarkan harum asin lautan.

“Lima…Enam….Tujuh….”

Susah payah Tirta memasukkan langit senja yang asli itu dalam gelas. Ingatlah, yang asli. Karena senja yang palsu pasti sudah kembali ke dunia dalam gorong-gorong bacin itu. Gelas itu kini berpendar-pendar seperti lampu tidur. Kuning namun kebiruan. Jingga terendap di dasar gelas.

Kini giliran yang paling susah. Tirta menelan ludah.

“Delapan….”

Matahari dikepalnya dalam genggaman. Matahari oranye yang perlahan menyusut seukuran bola golf. Hangat, benderang. Perlahan namun pasti dimasukkannya dalam gelas di genggamannya. Lengkap sudah senja paling cantik itu. Kawanan burung-burung pulang itu bahkan ikut masuk ke dalam gelas. Mengepak berputar-putar.

“Sembilan….”

Pelan Kanina membuka mata. Kelopaknya melebar seketika. Menatap Tirta, langit yang seketika berubah beledu biru tua, dan senja dalam gelas yang berpendar begitu cantik.

“Aku tak bisa mengerat senja seukuran kartu pos, Nin. Lagipula senja yang kita lihat selama ini adalah senja palsu. Sedangkan yang dalam gelas ini asli.”

Tirta mengangkat gelas itu tepat ke depan wajah Kanina yang kini berkaca-kaca bola matanya.

“Ini untukku, Mas?” tanyanya penuh harap.

Keringat dingin mengaliri punggung Tirta. Inilah yang ia takutkan.

“Tidak, sayangku, Kanina. Aku hanya akan meminjamnya sebentar saja. Segera setelah kau puas akan kukembalikan senja ini ke tempatnya semula.”

Sedikit gemetar, Tirta menoleh ke segala arah. Mencari tahu apakah ada yang menyadari bahwa senja telah hilang.

“Tapi aku ingin ini jadi milikku, Mas! Kau tahu aku begitu menginginkan ini sejak lama. Aku sudah tak peduli pada senja Ramma yang lembaran itu. Senja dalam gelas darimu ini lebih indah daripada apapun…”

Kanina meraih gelas itu dari tangan Tirta kemudian menenggak isinya hingga habis tandas. Susah payah ditelannya matahari seukuran bola golf yang lalu menggelincir masuk dalam tenggoroknya. Bahkan dalam tubuh Kanina, matahari senja yang jingga terang itu berpendar begitu terangnya. Bola oranye cerah itu kini terapung dalam lambungnya. Cahaya indah menembus tubuhnya, memancar ke segala arah.

Tirta tercengang. Namun ia akhirnya terlihat begitu tenang dan senang meski ia tahu ia kini sedang berada dalam masalah besar. Dilihatnya dari kejauhan para nelayan mulai berdatangan. Riuh sirine polisi meraung-raung mendekat dari jalan raya di belakang perkampungan. Di sisinya Kanina tersenyum bahagia. Bahagia sekali. Matahari masih mengapung, bersenyawa dengan asam lambungnya.

                                                                 

#NP
Shinta dan Ramma dalam cerita diatas bukan mengambil dari tokoh pewayangan. hanya imajinasi semata :p
Trimakasih Ghege :D