Rindu tuan,,








Gulita tersungkur jatuh dari langit-langit kamar. Aruna diam saja dihantamnya. Digenggamnya benda persegi ajaib, penghubung dengan lelakinya nun jauh. Bisu. Senyap memekak telinga. Aruna tahu, disana, lelakinya lagi-lagi diculik lelap lebih dahulu. Lelah adalah pemenang. Jika rindu adalah isi seluruh atmosfer malam itu, milik Aruna lah rasanya yang paling menyesak. Jemari rampingnya mulai menyusun kata. Berselang waktu setelah pertemuan terakhir mereka, puan semakin lihai menyulap rindu menjadi deret aksara, yang lelaki itu selalu bisa rasa.
Kepada cinta, malamku tunduk menghamba. Kepada helai hitam rambut lurus. Kepada sepasang sayu pemicu detakku. Kepada bangir hidung. Kepada merah mungil bibir. Kepada dua perangkap suara bernama telinga. Kepada sepasang semu merah pipi dan lancip dagu. Kepada nyaman hangat leher dan bahu. Kepada tentram dari bidang dada itu. Kepada luluh akibat peluk lengan itu. Kepada lengkap yang diberi jemari itu. Kepada erat perangkap kedua paha. Kepada jauh dan mantap langkah kaki. Kepada teduh tatap, dengarmu yang senyap, kecup hangat lamat-lamat, bisik rindu dan gelak tawa. Kepada bahagia. Kepada kenangan. Kepada harapan. Kepada kamu, kepada kamu, kepada dirimu, aku menumpah rindu. Di mimpiku tadi tak ada kamu. Megap-megap aku berenang ke atas, menuju kesadaran. Terbuka pejam, yang kucari kamu. Gulita yang menyapaku. Kamu, lelaki yang dipeluk lelap, aku rindu. Nanti, pagi, ketika terbuka matamu, dan aku masih diayun mimpi, kuharap pesan ini mampu gantikan hadirku. Semoga kata-kataku mampu mengecupmu selamat pagi. Kamu, yang tak bisa terjamah pandang dan sentuh nyata, semoga malam & harimu bahagia.
Jarum jam berjingkat tanpa suara, menggelindingkan bumi pada porosnya. Dibawanya sadar Aruna serta. Malam menggeliat dalam selimut.
***
Matahari menatap Lelaki sayu dari peraduannya, lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Pertama yang dicarinya adalah Aruna, ditemukannya pada sederet panjang pesan berkesan. Duduk ia dan dibacanya pelan-pelan. Rindu kini berupa cahaya kuning bening yang lekas menghangatkan lantai kamar serta seluruh isinya. Lelaki itu membalas dalam gegas.
Kepada cinta, yang masih dipeluk mimpi.  Mataku terbuka pada sisa-sisa mimpi yang hampir ku lupa. Aku dihadapkan oleh wajahmu yang tak bisa kusentuh. Aku mencoba mengulang kenang. Membenarkan rambut panjang bergelombangmu yang menutup sebelah mata. Mengecup lembut keningmu yang lebar. Sementara matamu memejam merelakan. Sepasang mata bulat perlahan menunjukan keindahannya diiringi senyum termanis. Kepada wanita peramu senyum, aku rindu saat hidung kita bertemu. Merasakan hangat hembus napas yang keluar dari hidungmu. Pada sebuah bibir yang menempel malu-malu namun terus dilumat tanpa ragu. Lembut bibirmu yang membuat aliran darahku berlari ke kepala. Menghangatkan seluruh tubuh yang ditusuk dingin kala itu. Kita berdua tenggelam dalam keheningan. Tak ada kata-kata indah yang bisa kuucapkan. Kecuali bisik canda yang berujung tawa. Aku memeluk tubuhmu dalam-dalam. Pada kaki yang kugesekkan pada kulit betis yang halus. Pada jemari yang saling melengkapi. Pada sepasang payudara yang selalu menggoda untuk disambangi. Kepada wanita peramu senyum, aku rela waktuku habis untuk menatap wajahmu. Wajah yang bisa membawaku ke duniamu sampai aku lupa pulang. Kepada kamu yang masih terpejam. Aku harap ketika matamu terbuka, ada bayangku yang setia memelukmu. Kepada kamu wanita peramu tawa. Pagi ini, izin aku melihat senyummu yang pertama.
Jarak lagi-lagi berhasil dilenyapkan. Seolah titik koordinat tempat mereka diam kini telah saling berhimpitan. Lelaki itu suka bergurau, rindu yang mereka timbun suatu saat bukan tak mungkin akan menjadi pulau. Disekelilingnya akan ada danau tempat para katak bernyanyi parau. Namun hujan tak akan datang, pun bukan kemarau. Karena mereka akan menikah di atas sebuah perahu, sambil menyaksikan bola oranye raksasa tenggelam dalam genangan air payau.