Tersesat diluar angkasa.







Sekali waktu aku pernah mengumpamakan cinta di dalam aku dan kepada aku adalah sebuah lubang hitam di salah satu sudut galaksi kita. Menelan segalanya lalu melenyapkannya. Apa yang masuk, tak pernah keluar lagi. Lenyap selamanya. Pecahan bintang, satelit, bangkai stasiun luar angkasa, bahkan mayat planet-planet kecil jika mereka ada, semua bisa saja masuk dan meniada. Menjadi hampa. Itu semua karena mencintai dan dicintaiku nyatanya tak pernah mudah dan bukan perkara cinta yang biasa. Cinta yang ada padaku, terkadang melenyapkan.
Di lain kejadian, cinta merupa gravitasi yang menjaga keseimbangan adaku. Sejauh apapun aku mengawang, aku akan tetap kembali menjejak. Akan terus menerus jatuh. Akan terus menerus ditarik pada pusaran yang menyamankan, dan menormalkan. Sehingga yang terus menerus terjadi adalah yang memang sudah seharusnya terjadi. Tanpa alasan. Tanpa mengapa.
Pada lain kesempatan, cinta adalah ruang hampa udara. Media tempat kita mengawang bersama. Menyaksikan surya terbit di timur bumi sambil melayang bergandengan tangan berdua seperti Dr. Ryan Stone & Matt Kowalsky di film Gravity. Atau duduk diam saja di satu dataran Mars, menyaksikan matahari biru tenggelam dalam diam. Atau jungkir balik saja di ruang anti gravitasi. Bercerita dan tertawa saja hingga oksigen habis dan kita tinggal mayat yang jiwanya melesat bersama entah kemana. Ya, tertawa saja. Karena tak ada yang memungkinkan airmata bisa menetes, di atas sana.
Di waktu yang lain, aku berharap cinta menjadi sesuatu yang begitu sepi seperti jagat raya selepas atmosfir lapis pertama yang tak memiliki media untuk suara bisa sampai ke telinga. Sehingga tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk berkomunikasi selain lewat bahasa tubuh dan tatap mata serta gerak bibir. Sehingga tak ada lagi upaya untuk bertahan selain saling berpegangan. Sehingga tak ada lagi sejauh mata memandang, sekeliling, atas dan bawah kita melainkan lautan beledu hitam serta kerlip gemintang yang begitu jauh.

Pada saat itu, aku juga berharap, cinta akan tetap menjadi demikian sepinya seperti saat kita tersesat di luar angkasa. Sehingga yang bisa kita lakukan hanya mencintai saja. Sehingga tak ada lagi yang harus kita pikirkan bagaimana reaksinya, tak ada lagi yang harus kita pertimbangkan bagaimana seharusnya, tak ada lagi saling mencemburui, tak ada lagi jarak, karena bahkan waktu, di kala itu, tak akan lagi berefek apapun pada kita. Waktu, yang terus menerus menjadi pangkal pertengkaran kita, saat kita masih di bumi.
Pada sepanjang tahun ke belakang ini, yang menempel dalam kepalaku adalah kita yang sengaja memilih menyesatkan diri ke luar angkasa. Menjadi alien entah spesies apa dan dari mana asalnya. Menjadi anomali. Saling mencintai tanpa tapi dalam bungkam yang sepi. Karena bahkan ledak bintang uzur yang menjelma supernova penuh warna pun bisa sebegitu indahnya meski tanpa suara.

Cinta, mari selamanya tersesat di luar angkasa yang berjarak jutaan tahun cahaya dari kepala kita yang berbahaya.