Aku, ya aku adalah sebuah lilin. Aku
adalah sebuah lilin dengan bentuk yang entahlah itu sempurna atau tidak.
Lilin biasa saja yang berwarna putih dan dapat membantu para-para
makhluk lainnya untuk menerangi kegelapan.
Aku yang pada jaman
kejayaannya sangat disanjung-sanjung, dipuji, terbiasa dengan panggilan
yang indah, sangat berguna bagi kehidupan di dunia ini. Tanpa ada aku,
mereka tidak akan bisa hidup.
Namun aku yang masa kini sudah
mulai dilupakan, dan sudah tidak pernah bercahaya kembali. Entahlah
karena bentukku yang membosankan ataukah rupaku yang putih pucat tak
terawat. Mereka lebih berpaling melihat ke arah para lampu yang bersinar
lebih manis dan memiliki bentuk yang lebih cantik. Jelas aku kalah oleh
mereka. Aku tak pernah dan tak bisa mengharapkan pujian yang lebih.
Sama sekali hilang ambisiku untuk mendapatkan semua itu.
Namun,
datanglah dia, seorang makhluk aneh yang menyukai diriku, yang mungkin
kukira dia menyukaiku apa adanya. Dia bilang dia menyukaiku karena aku
sederhana. Karena aku berwarna putih, karena aku memiliki bentuk yang
indah dan klasik - menurutnya. Aku yang sudah jatuh, sangat jatuh selama
belasan tahun ini menjadi bangkit kembali karena dia. Dia yang selalu
memujiku tanpa bosannya.
Rasa
kepemilikanku pada sang makhluk aneh ini semakin menjadi-jadi. Aku
tidak ingin dia pergi. Aku tidak ingin dia melihat ke arah makhluk lain
lagi, ataupun barang lain lagi. Aku sangat percaya kepada ucapannya, dan
pujiannya yang tampak tulus serta mata yang berbinar.
Rasa kepemilikanku yang seharusnya tak begini. Mana ada lilin posesif terhadap pemiliknya? Hal ini sungguh jarang terjadi.
Rasa
ketakutanku berujung kepada suatu malam, dimana dia mulai memperhatikan
sejenisku yang lebih menarik lagi bentuknya. Perlu diketahui, telah
banyak lilin yang beredar di sekelilingku, lilin lain yang jauh lebih
menarik tentu baginya. Seharusnya diriku yang benar-benar tidak ada
apa-apanya ini tidak usah terlalu berharap lebih pada sesosok makhluk
aneh yang tiap hari memujiku itu. Yes, because I am nothing at all,
nothing to compare.
Kemudian
hal yang kutakutkan terjadi, dia memegang dan merasa tertarik dengan
lilin lain yang berwarna putih bersih, dengan bentuk yang lebih indah,
dan lebih cantik pastinya. Sedangkan hari itu, aku sengaja mengecat
diriku agak berwarna dengan alasan untuk mencuri perhatian sang makhluk
aneh itu. Dan, dia menarik lilin itu, dan matanya seolah berkata “dia
lebih cantik dari kamu, hey lilin yang di seberang sana, aku menyukai
lilin yang putih, sedang kamu hari ini tidak sedang berwarna putih”, dan
untuk sesaat sang makhluk aneh itu memperhatikan lilin di pertokoan
baru di ujung sana, dan aku merasa tercampakkan.
Ah!
Aku seperti makhluk bodoh! Aku terlalu sombong karena dia terlalu
sering memujaku. Aku terlalu menganggap di matanya akulah lilin yang
paling indah, dan paling cantik. Padahal sebenarnya aku bukan apa apa.
Sekali lagi, aku hanya lilin bekas tak terpakai yang ia punya. Untuk apa
aku berharap lebih, padahal aku bukan apa-apa? Sudah cukup senang aku
dengan perasaannya yang menyukaiku pun, tetapi aku malah berharap lebih
untuk menjadi yang nomor satu dimatanya.
Dan
akupun terbakar, mulai membakar diri. Lebih baik aku meleleh dengan ini. Lebih baik aku mencair, melebur dan menguap