Surat cinta untuk Aletha

                                                                                                                    
                                                                                                                            Bengkulu-6 maret 2014

Kepada yang terkasih, Zian.
Ini surat kesekian kali yang kualamatkan pada rumah hatimu, kerajaan kecil yang kita sebut bahagia.

Pagi ini, mendung membungkus kotaku, kota kita. Semilir angin mengoyak kegelisahan yang hampir diambang batas.
Aku yakin, kau selalu sehat disana, sayang.

Kepada gadis peramu senyum.
Hari ini aku memulai pekerjaan baruku. Tidak begitu buruk, tidak juga berlangsung mudah. Ada beberapa yang tersenyum ramah, juga tak jarang yang membuat gelisah. Tapi, semua berjalan lancar. Hanya satu hal yang membuat konsenku hilang. Barisan prajurit putih dalam mulut ini penyebabnya. Sudah beberapa hari ini merajuk. Membuatku selalu meringis. Saat sakitnya kumat, membuatku tidak percaya pada lagu dandut lawas yang mengatakan lebih baik sakit gigi. Mana ada bagusnya sakit gigi, menyiksa betul, membuat tak bisa apa-apa.

Gadisku,,,
Kali ini aku tak sempat ke kantor pos untuk membalas surat-suratmu beberapa hari lalu, jadi aku mempostingnya diblog pribadiku. Aku harus giat bekerja, untuk masa sekarangku, besok dan seterusnya. Harapku, kau bisa paham.

Kau tau, setengah bulan lalu, saat aku mengirim pesan untukmu, ada seorang karyawan kantor pos itu yang bertanya.
"Mas, masih jaman ya kirim-kiriman pesan surat sama pacar? Zaman kan sudah canggih. Ada handphone, sosial media. Masa masih make surat?". Aku hanya tertawa.

Kita ini pasangan yang aneh, kata kawan sejawatku. Disaat semua orang meraguk kasih dengan perayaan empat lengan, kita hanya memilih saling merengkuh lewat doa. Disaat semua pasangan tertawa lepas lewat jejaring sosial, saling melempar canda diTwitter, kita memilih mengirim surat berlembar-lembar dua kali sebulan. Itulah kita,, Kuno. Terlalu percaya pada cerita Rama-Shinta, Romeo-juliet, Habibie-Ainun.

Jika saja kau tau, aku selalu geram ingin mengirim pesan singkat tatkala degup rindu kian membuncah. Tapi, apalah daya, kita sudah terpaut janji.
Malam itu, dibawah bulan sepotong, kau memintaku menjanjikan sesuatu. Tentu kau masih ingat bukan?

Sayang,, aku rindu...
Rindu pada lengkung senyum, pada semburat tawa renyahmu. Pada hitam gelombang rambut, pada hijau bola mata kebanggaanmu, pada dua lengan yang selalu melegakkan, pada sepasang kaki yang berdiri kokoh membimbing. pada aroma tubuh itu.
Padamu,,,

Hari ini,, tepat sesaat saat kita bertabrakan didepan kelas. Awal masa kenalan jaman sekolah menengah pertama. Saat rambut kau masih dikepang dua, saat dandananku masih semrawutan. Kita, jelas-jelas berbeda. Kau, termasuk golongn siswi rajin, aku kebalikan. Kita berbanding terbalik.

Dan dipenghujung surat ini,, aku akan menjawab semua pertanyaan dari rasa gundahmu.

Orang-orang selalu bilang bahwa jarak adalah pembunuh berdarah dingin bagi cinta yang tidak siap. Maka telah kubangun rumah kita dengan dinding-dinding virtual. Ia berisi berbagai ruang yang bisa jadi tempat kita bertemu setiap hari. Disana, kita membangun dunia yang hanya kita yang mengerti. Pada dinding-dinding violet Yahoo messenger, ruang hangat serba putih aksen warna dasar G-talk, riuhnya ruang lini Twitter, hingga kasur-kasur empuk berwarna hijau muda yang disediakan Line. Dengan semua itu, kita lipat jarak kita yang sekian senti pada peta itu. Aku siap sayang,,, sedari dulu,,.
Kini kutanya kau. Apa kau mau membuktikan pada mereka bahwa kau mampu bertahan oleh jarak yang sementara ini, bersamaku?.
Meski itu mungkin sedikit melanggar perjanjian kita, tapi semua pasti akan terasa lebih mudah bukan?


Sayang,, aku harap kau setuju. Sungguh,, membaca pesanmu hanya dua kali dalam sebulan itu sangat berat.
Jika kau baca pesan ini, telfonlah aku segera.

Salam rindu, untuk puan.
Ghege