Berdua saja di dunia ambang batas.

Ketika itu, kita berdua saja. Di atas kita ada langit. Di bawah kita ada rumput. Ah, bukan. Batu. Atau entah apa itu namanya yang kau pakai untuk duduk, dan kupakai untuk berjongkok. Di belakangmu ada ranting dan gedung-gedung tinggi yang di belakangnya lagi ada awan. Kita ada di bawah. Kau bilang kita di atas. Akhirnya aku mengalah. Kita ada di bawah yang di atas, kubilang padamu.
Ada asap putih keluar dari mulutmu. Aku tak suka tapi aku diam-diam saja. Karena mengerti bahwa kau tak akan peduli aku suka atau tidak. Kita saat itu menatap angkasa yang biru. Kurasa kita juga saling melihat satu sama lain. Atau melihat namun sekedar melihat saja tanpa perlu difikirkan, dibawa ke otak, apalagi dibawa ke hati.
Kamu bercerita. Aku bernyanyi. Kita bersama-sama mendengar. Tentu saja bergantian.
Kita sama-sama bergembira karena hari itu hari yang ramah dan baik hati. Mataharinya hangat dan anginnya lembut saja. Apalagi ada hijaunya. Dari pohon dan rumput, maksudku. Juga ada birunya. Dari langit dan bajumu. Kurasa juga ada merahnya. Ada merah jambunya. Ada nila dan ungunya. Maksudku, bukankah dinding di belakangnya belakang kita itu putih warnanya. Dan putih adalah segala warna yang pecah lalu melebur jadi satu.
Kemudian kamu diam saja. Aku duduk bersila didepanmu. Kamu melihat ke kananmu, aku melihat ke dalam matamu. Yang kita rasakan sama, damai. Aku lalu mengambil kacamatamu, kemudian memakainya. Kamu tertawa karena aku mengeluh tentang pandanganku yang jadi seperti miring jatuh kebawah. Dan tempat aku berpijak terasa lebih dekat sehingga aku merasa sangat cebol. Hanya beberapa puluh senti dari tanah. Ini menggelikan sekaligus memusingkan.
Kita kemudian diam lagi. Aku merasa nyaman. Seperti atmosfir yang ada kamu ini memelukku. Meski sebenarnya tanganmu yang satu sedang menjepit sebatang rokok, dan sebelahnya lagi terletak santai diatas kakimu yang juga sedang duduk bersila. Apakah kamu merasa nyaman? Apa kamu ingin dipeluk?
“Aku laper. Pengen indomi,” aku menggigiti batang rumput yang sebelumnya kucabut dari ibunya.
“Nggak baik makan indomi terus,” mulutmu mengeluarkan asap putih yang kubenci.
“Biarin. Enak sih,”
“Temenku ada yang meninggal gara-gara makan indomi melulu,”
“Kalo udah ajalnya nggak ngapa-ngapain juga pasti mati,”
“Kamu pernah perhatiin nggak telur ayam yang diceplok langsung dalam air mendidih? Bagian putihnya melambai-lambai anggun, gemulai, karena ditiup uap air. Kamu biasanya masak indomi pake telor kan?,”
“Iya. Dia kayak lagi nari, ya. Cantik,”
“Kayak kamu,”
“Nggak usah bilang aku cantik kalo kamu nggak bisa sama aku,”
“…..kita janji kan nggak bakal bahas ini lagi?,”
Aku tak menjawab. Hanya beranjak ke rerumputan. Berbaring diatasnya. Kau menyusulku, ikut menghadap langit bersamaku.
“Kenapa ya, indomi goreng kalo dimasak pake kuah jadinya nggak enak?,”
“Kenapa bahas indomi lagi, sih?,”
“Tadi kamu larang aku bahas yang itu. Ya mending bahas indomi,”
“Biar kamu jadi gak suka makan indomi. Hidup lebih lama. Nggak ninggalin aku,”
Aku melengos. Kemudian bangkit untuk duduk.
“Aku ninggalin kamu juga kamu nggak bakal kenapa napa kali…”
“……”
“Kamu pernah mikir nggak, jatuh cinta itu sebenernya salah satu kebodohan manusia. Pas kita memutuskan jatuh cinta sebenernya kita berkomitmen untuk sakit,”
“Jatuh….,”
“Sebahagia apapun kita saat jatuh cinta, sebenarnya kita sedang sakit. Pasangan fungsinya sebagai obat bius. Kamu sebenarnya sedang luka, tapi kamu nggak sadar…..,”
“Hingga kemudian orang itu pergi dan obat biusmu tak lagi ada. Kemudian kamu merasa perih dan sakit yang mengganda,”
“Yap. Itu akumulasi dari semuanya. Bahkan yang manis itupun adalah luka,”
“Mungkin pahit dari awal akan terasa lebih manis, ya?,”
“Mungkin….,”
Angin bersiul. Hari makin siang namun langit mendadak mendung. Entah apa yang membuatku mendadak sangat ingin menangis. Aku ingin meledak. Mungkin ini saatnya. Kau masih berbaring di sisiku. Mengoceh tentang banyak hal. Masa kecil, kenangan-kenangan, impian-impian. Dan kau mendadak hening saat tiba-tiba aku menyela ceritamu.
“Aku….aku nggak tau ini namanya apa. Karena nggak semua hal bisa diberi nama. Terutama karena ia terasa sangat campur aduk dan perbendaharaan katamu tak ada yang kau rasa tepat untuk mewakilinya. Tapi yang jelas, disini, ada rasa buat kamu,”
Aku menangkup tanganku di dada. Ada perih dan sesak yang naik ke kerongkongan. Namun tak kuizinkan ia naik ke mata. Kamu diam. Hanya menatapku saja. Kurasa kita berdua sebenarnya telah sama-sama mengerti. Namun ketika dibahas lagi tetap saja luka terbuka lagi.
Hening yang canggung ini seperti menyekap. Aku tak suka. Maka kemudian aku tertawa. Hanya agar kita tak lagi sunyi saja.
“Manusia adalah makhluk egois yang suka seenaknya saja. Semua dia kasih nama. Anaknya, benda abu-abu besar berbelalai, bahkan yang tak terlihat yang biasa kau gunakan untuk bernafas. Padahal belum tentu mereka mau dinamai begitu,”
“Hanya agar kita mengingat. Dan bisa berkomunikasi. Jika tidak begitu kita tak akan bisa ngobrol seperti ini,”
“………”
“Cinta itu tidak buta, sebenarnya. Jika dia masih di mata. Jika terlalu cepat turun ke hati, itulah baru ia buta. Lalu tergantung hati kita, bersihkah, atau kotor,”
“Jangan ceramahi aku,”
“Terima kasih….,”
“Aku nggak suka kamu yang kayak gini. Menyakitkan…,”
“Aku nggak peduli kamu suka atau tidak. Aku hanya ingin yang terbaik buat kamu. Buat kita,”
“Buat kamu saja. Aku tidak,”
“Terserah kau saja,”
Aku memungut ranting kayu dengan tanganku. Mengetuk-ngetuknya diatas rumput. Menarikannya di udara.
“Kalau nanti kita menikah, aku ingin kita menikah di sebuah padang rumput hijau. Dengan dua buah pohon yang dihias untuk di bawahnya kita berdiri sambil saling menggenggam tangan. Kita akan berdandan ala pasangan tahun 20an, atau 60an jika kau ingin. Dengan semua dekorasi dan pakaian tamu berwarna putih. Semuanya putih. Bangku-bangkunya putih. Balon-balon putih. Kita akan menikah sore hari dan resepsi malam hari sehingga senja akan memberi warna jingga pada gaunku dan kita akan tidur seperti ini dibawah langit yang penuh bintang,”
Kau membiarkan aku mengoceh. Aku ingin tau apa yang sedang kau fikirkan, namun kau diam saja. Mengapa kau tak bicara saja sih? Tak lagi banyak waktu kita bisa berbincang seperti ini. Aku lalu berbalik menghadapmu. mengetuk ngetukkan ranting di dahimu.
“Kenapa kau diam saja?,”
Aku bertanya. Kau hanya menatapku. Mana kacamatamu? Mukaku akan buram di matamu. Pakailah! Mana?
Mendadak kau menarikku dalam pelukan. Kau salah. Bukan begini cara mengobati lukaku setelah jatuh padamu. Kau salah. Luka ini akan semakin melebar. Namun anehnya aku tersenyum. Kulepaskan pelukanmu. Kukecup kedua pipimu, mata dan hidungmu. Mungkin sudah saatnya pergi. Aku bangkit dan berdiri. Membersihkan baju dan kulitku yang kotor karena rumput. Bersiap-siap berlalu dari tempat yang nyaman ini.
“Aku mungkin tak akan datang di pernikahanmu besok. Aku sibuk menyiapkan pernikahan kita seperti yang kuceritakan padamu tadi, di dunia paralel.”
Aku melambai kemudian benar-benar berlalu. Meninggalkan kamu yang masih termangu. Di depanmu kini langit biru. Di belakangmu rerumputan hijau. Di sampingmu tak lagi ada aku.








Ter-inspirasi setelah dengerin lagunya payung teduh :'D
ni lagu ngena banget, padahal lagi ditempat rame, masih bisa dapet inspirasi dari ni lagu.