Cukup kita yang tau, lain tidak.










Ada laut. Biru membentang. Lalu semburat oranye. Sebentar, debur itu. Ombak pecah dibibir kekasihnya, pantai yang selalu menanti. Di jejakku ada pasir. Begitupun telapak tangan, rambut, wajah. Ini pasir pantai. Aku sedang dipantai? Bagaimana bisa? Aku mengerjap sekali, dua kali. Sejuk yang nyaman menyapa peporiku. Aku dimana?
Aku mencoba bangkit. Membersihkan tubuhku dari pasir dengan menepuk-nepuk.  Sepertinya aku tertidur disini. Tapi sekelilingku sepi. Hanya ada pasir putih, laut dan langit yang hampir menyatu ungu. Dan ini, terusan putih selutut ini seingatku kupakai sebelum terlelap malam itu. Malam kapan? Kemarinkah? Mengapa rasanya sudah begitu lama?
Aku masih tenggelam dalam heran tanpa kepanikan saat tiba-tiba kurasakan sepasang tangan merengkuh pinggangku. Merangkulku dari belakang. Aroma ini. Tidak. Aku tak kaget. Aku tahu siapa yang kini di belakangku. Kening yang pasrah di bahuku ini. Sempat terfikir, bagaimana bisa? Tinggiku bahkan tak sampai sebahunya. Apakah dia menunduk?
Kala..“, gumamku lirih. Meletakkan lenganku diatas lengannya. Memainkan jemarinya yang panjang. Kurasakan sejuk nyaman angin di kulitku yang luput dari peluknya. Kurapatkan tubuhku, bersandar di tubuhnya. Rindu menyiksaku berbulan-bulan. Enggan aku melepas. Selagi direngkuhku, dia milikku.
Jangan menangis lagi, Lana. Jangan. Aku tak selalu ada di sisimu untuk meredakannya“, kurasakan lengannya merapat. Namun dia tak lagi tertunduk. Bibirnya kini menyentuh rambutku.
Aku tersenyum meski dia tak bisa melihatku. Pun aku tak ingin berbalik untuk menatapnya. Aku lebih suka begini. Jadi airmataku bisa bergulir diam-diam. Seperti cintaku. Diam-diam.
Tidak. Aku tak pernah menangis lagi untukmu. Rana selalu membahagiakan aku. Kemana saja kau? Kau bahkan tak peduli padaku“, aku mencoba tertawa kecil. Berharap dia mendengarnya sebagai canda.
Detik itu dia membalik tubuhku ke hadapannya. Sedikit kaget aku berusaha menghapus airmata. Mencoba tersenyum. Senyum paling tulus yang bisa kuberi. Jemarinya menahan lenganku lembut. Aku tergugu. Wajahnya masih tirus seperti dulu, matanya yang kini tanpa kacamata menatapku dengan pandangan paling sedih. Seperti menahan sesuatu yang bergolak difikiran. Atau malah hatinya? Entah.
Lana. Jangan pernah berfikir aku tak peduli. Aku bingung. Aku tak pernah tahu hati punya ruang rahasia lagi selain ruang yang penuh dengan Mala didalamnya. Dan ruang itu, Lana, disitulah kamu hidup. Aku merindukanmu lebih dari apa yang kamu tahu. Maka itu jangan menangis. Jangan. Cukup kita yang tahu.”
Aku tertunduk lagi. Mengangguk menahan air mata. Apa yang harus aku katakan lagi? Sosok tegap yang menjulang itu harus kutatap dengan mendongak. Sulit untuk tak berair mata saat ini. Aku sendiri tak bisa menahannya. Aku melepas jemarinya dari lenganku. Seketika dia merengkuhku lagi. Kali ini hingga aku terjinjit kaku dalam pelukannya. Ah, harum ini. Masih sama. Aku hanyut. Kupejam saja mataku. Pelan kucoba membalas pelukan itu. Yang aku tahu, itulah cara kami melebur perasaan menjadi satu. Hanya dengan satu peluk itu kami mampu saling merasakan apa yang tak sanggup diucap oleh bibir. Diam-diam.
***
Mataku mengerjap. Silau. Aku mencoba duduk. Menatap sekeliling. Sofa dust pink vintage dekat jendela yang tirainya melambai-lambai tertiup angin. Meja tulis dengan laptop masih menyala. Handphone tergeletak disamping bantal. Ini kamarku. Mataku masih setengah tertutup ketika beranjak ke kamar mandi dan mengingat ingat kejadian-kejadian sebelum aku terbangun yang merupakan ritual tiap pagiku.
Sepotong demi sepotong kukumpulkan ingatan. Ah, Kala. Ya. Kala muncul dalam mimpiku tadi malam. Berapa lama ya, aku tak bertemu pun mendengar kabarnya? Aku ingat tiap kata yang keluar dari bibir tipisnya dalam mimpi itu. Seperti halnya debur ombak dan sepoi angin yang terasa nyata. Sangat nyata. Aku sedang berusaha menanggalkan terusan putih selutut yang kukenakan ketika kemudian aku tersadar. Di terusan ini, yang sedang kukenakan ini. Melekat butiran pasir putih. Aku termangu. Lagi.
***
Aku termenung di ruang pertemuan ini. Kami sedang duduk membentuk lingkaran. Membahas rencana kegiatan komunitas. Aku tak begitu peduli siapa di sebelahku dan sibuk dengan ponsel ditangan. Ketika kemudian seseorang duduk disampingku. Harum itu tak asing. Dia menyenggol bahuku sengaja agar aku melihat kearahnya. Kala. Sedang tersenyum padaku. Senyum lugunya yang kali ini terasa penuh arti. Aku menatapnya setengah heran setengah takjub. Bukankah selama berbulan-bulan ini dia sangat jarang kesini lagi? Sekalipun kesini dia takkan mau bicara padaku atau menatap mataku. Lalu mengapa tiba-tiba…
Lana? Lana? Bisa tolong perhatikan sebentar?“. Good. Sekarang aku ditegur gara-gara makhluk disebelahku ini. Aku mengangguk malu dan tersenyum. Kemudian melihat ke arah Andros yang sedang merinci program kerja. Berpura-pura memperhatikan padahal sudah jelas, fikiranku mengawang lagi. Ada apa sih ini?
Kurasakan Kala mendekatkan kepalanya ke arahku. Kemudian kudengar dia berbisik memintaku melihat ke genggamannya. Aku terkejut dalam diam. Pasir putih. Persis seperti dalam mimpi dan….yang menempel di terusanku tadi pagi. Kutatap dia heran dengan tatapan minta penjelasan. Tak berani bersuara.
Dia hanya tersenyum. Kali ini senyum yang sendu. Kurasakan jemarinya mencari letak jemariku, mendapatkannya, lalu menggenggamnya. Kini aku paham. Paham betul. Kubalas tatapannya dengan senyum tulus. Membalas genggamannya yang tak terlihat sekitar. Cuma kami yang paham. Cuma kami yang mengerti. Lain tidak.