Bumi




Kenapa kau tak menulis tentang cinta saja?”
 

Lelaki di sebelahku itu menyeletuk tiba-tiba. Mata sipitnya berbinar ingin tahu. Mata yang ujung-ujung luarnya seakan tertarik kebawah hingga mengesankan kesenduan itu kini menatapku yang terdiam beku mendadak.
Kami duduk di sebuah sofa empuk ruang keluarga. Dipangkuanku komputer jinjing kuning menampilkan halaman dengan tulisan yang hampir selesai. Sebuah garis kecil di ujungnya berkedip-kedip menunggu digeser huruf selanjutnya.
Laki-laki itu kini menyandarkan lengan kanannya ke sandaran sofa, menaikkan sebelah kaki yang terlipat keatas, duduk menghadapku yang melirik kaku. Dia menunggu jawabanku.
“Hey, Ibu Senja sang penulis. Kutanya tadi, mengapa kau tak pernah menulis tentang cinta?”
Bumi, lelaki itu, bertanya lagi. Mengapa dia sebegitu penasarannya? Aku tersenyum menggeleng saja.
You asked me to write down the word love 
I didn’t know the first letter, nor the rest.
Kuarahkan kembali pandangan ke komputer jinjing di pangkuan. Dia kembali duduk menghadap kedepan sambil tersenyum pada diri sendiri kemudian menyesap kopi paginya. Televisi didepan kami riuh namun tak diacuhkan.
Aku disini duduk seolah sedang berkonsentrasi pada artikel tentang kenaikan BBM yang harus kuserahkan kepada mas Guna paling lambat satu jam lagi itu. Padahal sesungguhnya seluruh fikiranku memusat pada satu nama. Bumi. Laki-laki yang kini mencoba memberi perhatian pada tayangan televisi itu.
Aku memang bekerja sebagai jurnalis lepasan di sebuah harian kota. Dan deadline itu benar adanya. Namun, masalah tak pernah menulis cinta? Bumi tak sepenuhnya salah. Oke. Lebih tepatnya ia memang benar. Tak pernah sekalipun.
Kau minta aku menulis cinta 
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Suruh aku menulis tentang isu-isu politik terkini, kata-kataku akan mengalir dengan lancar bak air bah. Tapi cinta? Bagiku cinta itu cukup dirasa saja dalam hati. Biar menjadi rahasia sendiri. Tak perlu orang sampai tahu. Bahkan menulis tentang Bumi pun aku tak bisa. Segala deskripsi tentang cinta dan adanya Bumi di dunia ini kutuliskan dalam kepala yang kemudian dengan murah hati mengantarnya ke hati. Itu saja.
I turned the entire alphabet upside down 
but grasped merely flawed words ….
Aku pernah mencoba. Menulis cinta. Tapi semalaman suntuk yang kulakukan hanya menatapi layar kosong yang berpendar menjadi satu-satunya cahaya di tata surya kamarku yang sengaja kubuat gulita. Membuat wajahku menjadi bulan penerima cahaya matahari yang membuatnya jelas terlihat dari permukaan bumi. Namun dari permukaan hatinya, Bumi-ku itu, pernah jelaskah wajahku terbawa meski hanya kealam  mimpi?
Kau sudah gila, Senja.
Kubalik-balik seluruh abjad 
Kata-kata cacat yang kudapat…..
Aku harus mulai dari mana? Jemari dan lisanku tak sanggup mengeja cinta. Yang kutulis cuma deret-deret kata yang kawin menjadi kalimat cantik yang tak ada rasanya. Rima dan susunannya terasa hambar. Tak berasa.
Don’t ask me to write down love anymore 
these letters of mine, as you know, 
do not even suffice for your name …
“Tulisanmu selalu enak dibaca. Cerkas. Kurasa jika cerita cinta lahir dari jemari dan pikiranmu itu, maka ia akan jadi karya yang begitu indah. Kenapa tak kau coba saja, Senja?”
Bumi rupanya masih merasa tak puas dengan gelengan bisuku tadi.
“Aku tak bisa, mas,” aku menunduk menjawab tanyanya. Aku tentu saja tak bohong. Memang tak bisa.
Ditandaskannya kopi di cangkir itu kemudian bangkit dari duduknya sedikit untuk menaruh cangkir yang telah kosong itu di meja lalu kembali duduk bersandar. Sekelebat angin yang dihalaunya dengan gerak sesedikit itu langsung mengirim bau tubuhnya ke penciumanku. Tanpa mampir ke otak, bau itu melesat dan menjelma zat entah yang memacu degup. Aku lagi-lagi tergugu.
“Ah. Tak mungkin. Perempuan itu paling pandai menulis cinta. Perempuan itu sumber dan penyalur cinta paling ahli. Apalagi perempuan cerdas sepertimu. Sungguh suatu saat aku ingin membacanya. Cinta dari sudut pandang seorang Senja.”
Dia tersenyum padaku lagi.
Jangan lagi minta aku menulis cinta 
Huruf-hurufku, kau tahu, bahkan tak cukup untuk namamu …
Bumi. Namamu saja cukup mendefinisikan seluruh pengertian cinta yang aku tahu. Semua perbendaharaan kosa kataku terasa tak cukup. Rasa untukmu ini terlalu kaya untuk kutuang menjadi tulisan. Jika kau ingin baca, kenapa tak baca aku saja!
Karena, jika kau ingin tahu makna cinta untukku. Cinta bagiku adalah kamu dengan segala yang ada padamu. Kau selalu hanya terfokus pada apa yang keluar dari jari jemariku, dari otakku. Tanpa kau tahu, Bumi, sesungguhnya aku tak perlu menuliskan cinta. Karena cintaku kusembunyikan pada apa yang luput dari fokusmu, hatiku.
Suara langkah kaki. Ada yang datang. Jantungku melewatkan satu degupnya. Inilah mengapa….Aku….
Because love is you, whom I cannot cite 
except in a heartbeat ….
“Sayaaaaang…makanannya sudah siaaap. Sini yuk makan siang sama-sama. Ajak Senja juga. Anak itu mesti paling susah disuruh makan.”
Bumi disebelahku menoleh dan beranjak kearah suara wanita yang memanggilnya itu sambil tersenyum.
“Yuk makan dulu,” ujarnya seraya berlalu kea rah dapur. Kujawab dengan anggukan sekenanya.
Kemudian suara itu melengking nyaring lagi.
“Senjaaaaaaaaaaaa! Ayo sini makaaaaan. Kamu tuh ya. Aku bilangin mama lho kalo kamu susah banget disuruh makan!”
Aku menghela nafas. Mengenyahkan komputer jinjing dari pangkuan. Bangkit dengan malas seraya menyahut,
“Iya, iya, Mbaaaak. Ini Senja kesanaaaa.”
Perempuan itu Anin. Kakak perempuanku satu-satunya. Kakak yang paling kusayangi. Kakak paling baik di seluruh dunia. Dan Bumi, segala definisi nyataku tentang cinta itu, adalah suaminya.
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut 
kecuali dengan denyut…..