kopi dan segelas kopi.





Saya berjalan menyusuri pinggiran meja kayu bundar berpelitur mengkilap. Entah sejak kapan saya memulai, saya tidak pernah tahu. Yang saya tahu, saya mencari ujung dari perjalanan saya ini. Namun manakah yang ujung? Saya merasa telah jauh berjalan namun pinggiran meja ini tak punya ujung sepertinya. Sejauh apapun langkah saya maka yang terjadi adalah saya kembali ketempat yang saya telah sangat kenal. Menoleh kebelakangpun yang saya temukan adalah jalan yang tadinya menjadi depan buat saya. Menatap kedepanpun saya hanya mengulang apa yang telah saya lalui. Saya lelah namun tak kuasa berhenti. Biar saya beritahu, ini diluar kuasa saya.
Sampai suatu hari, entah darimana asalnya, saya melihat kopi yang bergeming dalam cangkir porselen putih gading dengan aksen abu-abu dan tangkai yang anggun ditengah tengah meja yang saya kitari. Saya merasa mengenalnya. Saya senang. Itu mungkin secangkir kopi yang memang pernah saya kenal. Entah mengapa hati kecil saya memerintahkan saya mendatangi benda itu.
Langkah demi langkah kaki mungil saya yang berbalut espadrille turqouise perlahan semakin mendekat. Berbunyi tuk-tuk-tuk berirama diatas meja kayu. Ketika akhirnya sampai, saya ingin melongok kedalamnya. Kau tahu? Saya susah payah berusaha memanjatnya. Saya merasa bosan mengitari meja dan kini saya ingin berhenti! Gagasan ini membuat sebuah gelembung kesenangan memenuhi rongga dada saya. Ya! Siapa yang perduli sekarang saya memakai gaun? Saya meraih tangkai cangkir. Meraih, menjejak, menggapai. Sampai akhirnya saya tiba diatas. Duduk di pinggiran cangkir kopi yang angkuh itu.
Baru saya sadari, kopi ini sudah dingin. Ah bodohnya, tentu saja dingin, kalau tidak panasnya akan menjalar ke tangkai dan saya tak mungkin dapat memanjat kesini. Saya suka kopi, tapi bukankah kopi biasanya panas? Saya kecewa, kopi itu dingin. Bahkan terlalu dingin untuk dinikmati.
Saya melongok lagi. Bercermin pada permukaannya yang memantulkan bayangan sempurna. Mata saya bengkak dan merah. Wajah saya pucat dan terlihat lelah. Sama sekali tidak cantik. Tadinya saya berharap kopi ini akan menjadi teman yang hangat. Saya merasa sangat bodoh karena berfikir telah mengenal kopi ini. Saya kecewa dan menangis. Entah untuk apa. Tapi saya tak ingin turun dan kembali berjalan. Butir airmata saya menetes kedalam hingga menimbulkan riak melingkar dipermukaannya. Membesar, membesar, lalu hilang.
Sudah saya putuskan. Saya ingin menenggelamkan diri saja didalam kopi yang tak lagi panas ini. Meleleh, melarut dan menyatu didalamnya. Dan saya lalu melompat.
Blup-blup-blup. Bunyi terakhir yang saya dengar adalah bunyi gelembung harapan saya yang meletup letup menerobos menuju udara. Rasa terakhir yang terkecap adalah pahitnya kopi, tak ada manis lagi ternyata. Yang terakhir saya lihat adalah hitam. Hitam. Hitam.
Tubuh saya yang megap-megap akhirnya terpuruk didasar cangkir yang semakin dingin. Menunggu lenyap. Tangan saya menggapai gapai memeluk kopi. Dan ketika ujung kaki saya mulai tak berasa, saya tersenyum. Akhirnya saya meluruh.