Layang hati









Sore itu kau memboncengku naik sepeda ke padang ilalang yang berjarak satu kilometer dari rumah. Rambutmu, rok motif bungaku, dan kebahagiaan kita berkejaran dengan liukan angin. Kupeluk erat gulungan benang dan dua buah benda ringan yang akan kita terbangkan.
Kita akan bermain layang-layang.
Sesampai di lapangan, kau menarikku jauh ke tengah. Kita tinggalkan sepeda di belakang.
“Dunia ini kepunyaanku! Kamu jadi tamu kemudian ratu!”
Teriakmu membuat kupu-kupu di perutku beterbangan. Denyar jantungku mengeja cinta. Matamu memerangkapnya. Langit memutar diri. Angin menari.
Lalu hati kita kita biarkan terbang, dengan tali kita yang pegang. Kita main layang-layang.
Angin pertama ramah dan baik hati. Membawa layang hati kita membumbung tinggi. Berjumpa pelangi.
“Lebih tinggi lagi! Lebih tinggi!”
Angin paling ceria lalu mengajak layang hati menari. Di bawah kita turut menggoyang tangan kaki. Berganti kanan dan kiri.
“Menari! Menari! Kita akan terus seperti ini!”
Ilalang bergemerisik. Kurasa sepoi menggelitik. Di atas, matahari masih barang antik. Cantik.
Lalu kemudian benang layang kau tarik. Hatiku menari sendirian. Mencari-cari. Kau ulur lagi. Ganti aku menggulung lari layangku.
“Rasakan itu rindu!”
Kau lagi menarik. Aku mengulur. Kau tak lagi tertarik. Aku terpekur.
Kuulur. Kuulur. Kuulur.
Layang hatiku mulai terbang ngawur.
Kuulur. Kuulur. Kuulur. Hingga tak ada lagi benang yang kupunya. Kaleng gulungan berkelontangan disambut tanah gersang ilalang. Hatiku terbang hilang melayang.
Aku terduduk gamang meraba dada yang berlubang. Hatiku hilang!
Kau menggulung benang menjadi gelang. Meninggalkan aku sendiri kala petang menjelang di padang ilalang.
Bahkan matahari tak mau tinggal untuk menghibur. Angin baik digantikan angin dingin yang dengan jumawa berlari keluar masuk lubang di dada. Aku mau pulang.

Sayang, seharusnya kutinggalkan dulu hatiku di rumah sebelum kau ajak main layang-layang.