Paragraf keempat dalam sebuah catatan.





Berkali kali dia melarangku kesana. dengan gaya seperti ayah melarang anak perempuan. padahal aku begitu ingin kesana, melihat dari dekat apa yang terlihat sebagai pohon keringkerontang dari jauh. aku yakin sebenarnya dia masih sering kesana dan menyiraminya. walau sedikit. jika memang tidak, mengapa dia melarangku kesana? aku cuma bisa menentangnya dengan menghunjam dalamdalam tatapan mataku kedalam matanya. lalu kupalingkan dengan mulutku tetap terkunci. ketika tangannya membelai rambutku aku menepisnya perlahan. tak tahukah dia betapa aku ingin sekali kesana, mengetahui apa yang mungkin tersimpan dibawah akarnya. didalamnya. sungguh mati, aku ingin. dalam diam aku melawan.
berkali kali dia melarangku kesana. dia bilang hanya kesedihanlah yang akan kutemukan disana. kali ini aku curiga dia menyimpan sesuatu, mengubur rahasia dibawahnya. aku ingat dulu pernah bertanya, apa dia pernah kesana lagi. dia jawab, “ya, sesekali. dia memanggilku”. dia bilang pohon kering itu memanggilnya. maka kulanggar, tak kupatuhi lagi larangannya. kali ini tidak lagi.
aku tiba disana dengan nafas tersengal. perlahan kugali tanah dibawah akarnya. kukais kais. satu persatu aku temukan jarinya, air matanya, senyumnya. kutebak inilah mengapa aku tak boleh kesini. aku menemukan yang disembunyikannya. aku menemukannya.
aku temukan satu kotak. isinya adalah catatan. satu catatan yang paling kusuka bercerita tentang hal rumit yang anehnya begitu kupahami artinya. aku mengerti mengapa dia masih datang kesini dan bahkan pohon ini masih setia menyimpan semua potongan potongan dirinya dan catatan catatan usang bermakna dalam. sungguh, aku mengerti.
maka kubiarkan kau kesini terus. biarlah kau tak tahu aku pernah kesini. kukubur rapi lagi semuanya dan melangkah pelan sambil memikirkan kemungkinan menjadi teman pohon malang itu. hm. .

kau tahu? nanti jika aku sampai, aku ingin bercerita padanya bahwa aku paling suka paragraf ke empat dari catatan itu. suka sekali.
suka sekali.