sepenggalan sore.





Hujan baru saja reda sore ini. Udara masih basah. Seperti rinduku yang meruah. Matahari redup, tangisnya sayup-sayup. Apakah luka berwarna jingga? Jika tidak, mengapa tiap senja perihku menganga?
Aku baru saja meletakkan gulungan wol kuning pucat kedalam kotak plastik dimana aku menyimpan bergulung-gulung warna, bergulung-gulung harapan. Setiap harinya kusulam mereka menjadi bordir-bordir indah. Sesekali mampirlah kerumahku ini, disetiap sudutnya aku menjahitkan beratus sulaman beragam warna. Kalau kau suka, akan kusulamkan satu pada sudut saputanganmu.
Ah, ya. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Aruna. Aku senang menyulam, seperti yang sudah kubilang. Kemarilah, duduklah disini. Temani aku menyulam senja yang sepi disebelah sini. Sudah kusiapkan secangkir teh hangat untuk kita bercengkerama sore ini. Kita bisa melihat senja dari jendela kacaku yang  berembun. Sebentar, akan kubuka pintu. Sudahkah kubilang? Aku sedang menunggu.
Kekasihku itu, memiliki mata paling syahdu yang membuat tergugu. Cintaku jatuh kedalamnya saat musim gugur dua tahun yang lalu. Sekitar kami berwarna merah, oranye dan kuning daun mati. Dan rinduku saat itu adalah rindu yang tidak hati-hati. Terperangkap sudah. Tak bisa kembali. Hanya satu genggaman, senyuman dan tatapan, tak perlu suara. Cinta kami sepi, hatiku telah tercuri.
Kami mencintai satu sama lain sama seperti kami mencintai jingga pada senja. Dia melukisnya diatas kertas dengat tinta kalimat. Aku menyulamnya pada selembar kain. Cinta kami berulang setiap senja. Sebuah siklus memutar yang akan terlahir baru setiap harinya. Kami melukis harapan, menyulam impian, berjanji takkan pernah lelah menyerah. Sampai suatu hari, aku mendapati rumah ini sepi. Jinggaku hilang. Mataku nyalang. Sejak saat itu, senjaku tak lagi sama. Sampai saat ini. Tak ada jingga, senjaku berwarna abu-abu buta.
Dulu dia selalu duduk disitu. Ya, tempatmu duduk sekarang. Saat itu, aku akan bersandar di bahunya dan dia akan mengecup rambutku pelan, merengkuhku dalam hangat yang harum. Suatu ketika pernah ia berkata, “Aruna, kau itu matahari. Bola matamu adalah penebar cahayanya. Sedangkan aku adalah laut yang pasrah menerima anugerah ketika kau lelah. Kita bersatu dalam satu garis di ufuk barat dan menghasilkan jingga. Sepersekian waktu paling indah selama peralihan kepada malam yang tenang. Jingga adalah kita. Selamanya sampai tiada.”

Apakah ini yang namanya tiada? Aku menunggu disini ratusan senja namun tak pernah lagi ada jingga sejak dirinya tak ada. Harapan yang kusulam kini semakin renggang. Warnanya semakin pucat dan hampir hilang.
Oh, teh mu sudah habis? Maaf aku terlalu asyik bercerita. Kau sudah ingin pulang? Baiklah. Satu senja tanpa jingga lagi telah aku lewati. Tanpa dirinya. Terimakasih telah menemaniku sejenak waktu. Namun, sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan. Sekarang jawablah, menurutmu, apakah warna sebuah harapan? Sewarnakah dia dengan penantian? Atau malah dengan kepedihan? Apakah warnanya jingga? Jika tidak, mengapa sekali lagi hati ini luka?

#ah iya, senja diatas hanya ada dikotaku. bumi raflesia yang mereka bilang sangat tidak menarik. 
Aruna.