Hujan ditepi jendela.

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Jika Mama sudah berkata seperti itu, maka aku harus berhenti menatap pada jendela. Setelah hujan pergi meninggalkanku sendiri, aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan titik-titik air yang masih membekas di permukaan kaca, dan menulis sebuah surat untuk kusampaikan kepada angkasa. Percakapan kami tak boleh didengar oleh siapapun. Termasuk Mama. 

“Kamu harus berangkat kursus, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Mama tak pernah tahu bahwa aku bisa berbicara kepada hujan. Percakapan kami memang tidak menggunakan bahasa manusia. Bahasaku dan bahasa hujan sungguh berbeda. Aku tak bisa bicara kepadanya menggunakan bahasaku dan dia tak bisa bercerita kepadaku memakai bahasanya. Maka kami bersepakat untuk menciptakan bahasa baru. Bahasa yang hanya dipahami oleh kami berdua. 

Awan hitam adalah temanku yang lain. Dia yang selalu mengantarkan hujan kepadaku. Namun dia tidak pernah mengantarkan Papa. 

Seandainya Papa masih ada di sini, mungkin dia akan mengerti bahasa yang kuciptakan bersama hujan. Sebab Papa menyukai awan-awan. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Papa! Ayo kita berburu pelangi!” 

Jika Papa sudah berkata seperti itu, maka aku akan menghambur ke dalam pelukan Papa dan menggamit lengannya dan kami akan berlari ke arah langit yang memiliki pelangi. Mama tidak ada di rumah, sedang bekerja. Kala hujan sudah berhenti, tak berapa lama lagi dia akan pulang, dengan wajah yang lelah, dan langsung rebah di kamar mengistirahatkan tubuh. Mama tak suka berburu pelangi. 

Papa mengajariku mencintai hujan, sebab kata Papa, basah adalah anugerah. Dan setelah gemuruh beserta bising petir dan pemandangan kelam yang dibawa awan-awan hitam, ada pelangi yang selalu mengingatkanmu bahwa kehidupan selalu bisa dinikmati dengan cara yang lebih baik. Bahwa seburuk apapun nasib menimpamu, harapan tak pernah lenyap. Ketika itu aku hanya tersenyum menatap Papa yang tersenyum padaku dan mendekapku ke dalam tubuh hangatnya dan kami akan bermain tebak-tebakan tentang siapakah yang menciptakan pelangi dan hujan. 

Aku menjawab, “Tuhan dong, Papa.” 

Papa menyuruhku mencari jawaban yang lebih kreatif. Aku mengingat sebuah lagu yang diajarkan ibu guru di sekolah. “Agung, Papa, soalnya pelukismu Agung…” Dan Papa tertawa. Aku suka mendengar suara tawa Papa. 

“Kamu pintar, Annelies. Tapi kamu tahu siapa sebetulnya yang menciptakan pelangi dan hujan? Atau sebaliknya, hujan dan pelangi?” 

Aku hanya mendongak ke langit. Papa merangkulku. Wangi tubuh Papa seperti harum daun-daun basah. 

“Kamu, Annelies, kamu lah yang menciptakan hujan dan pelangi.” 

Aku menulis surat kepada angkasa untuk bicara dengan Papa. Seandainya Mama mengetahui hal itu, mungkin dia akan menyuruhku berhenti duduk di dekat jendela. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

“Kamu harus memotong rambutmu. Sudah terlalu panjang. Tidakkah kamu terganggu?” 

“Tidak, Mama. Tapi aku akan memotongnya kalau Mama mau.” 

“Mama akan pulang terlambat. Di kulkas ada telur dan sarden. Jangan lupa jemur pakaian, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

Langkah sepatu Mama mendekatiku. Dia memelukku dan mencium pada pipiku. Aku merasa seperti dicium sebongkah es. Wangi tubuh Mama seperti aroma akar pohon. 

Ketika hujan sudah berhenti dan Mama telah pergi, aku akan menyelesaikan urusan-urusanku. Urusan yang diberi oleh Mama dan urusan yang kususun untuk Papa. Sebuah surat lagi kepada angkasa yang muram. Karena semenjak pada suatu hari Papa pergi dan tak pernah kembali, aku hanya bisa bicara kepada hujan dan berharap dia menyampaikan kata-kataku untuk Papa. 

Aku ingin berkata kepada hujan bahwa aku rindu Papa. Namun, Papa bilang, kata “rindu” memiliki gelombang yang terlalu kuat dan aku khawatir meski aku bicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh aku dan hujan, Mama bisa mendengarnya dari kejauhan dan bergegas pulang ke rumah untuk memukuliku. Sebab di suatu malam saat hujan sudah berhenti dan suaraku tak terhalau lagi oleh ribut air bertumbuk dengan atap rumah, aku bilang kepada Mama, “Aku rindu Papa…” Mama berubah menjadi gemuruh petir dan menyambar sebelah pipiku dengan sebelah tangannya yang putih namun keras. 

Saat melakukannya, sepasang mata Mama menjadi kilat. Aku tahu, semenjak Papa pergi, di dalam dada Mama takkan pernah lagi tumbuh pelangi. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

Aku tak sempat mengajak Papa berburu pelangi. Mama menghampiri kami dan berbicara kepada Papa dengan suara yang begitu nyaring sehingga aku merasa hujan akan segera turun lagi. 

“Ke mana saja kau kemarin?” 

“Bekerja. Kenapa?” 

“Jangan bohongi aku! Kemarin kulihat kau masuk ke dalam hotel bersama seorang perempuan!” 

“Ayo, Annelies, kita berburu pelangi. Hujan sudah berhenti.” Ayah menggamit tanganku, namun aku masih menatap Mama. Dia masih berdiri dengan mata yang berkilat-kilat menatap Papa yang tak menatapnya. 

Saat aku melangkah keluar pintu rumah, Mama melempari punggung Papa dengan remot televisi. Papa tak bersuara dan tersenyum kepadaku. Mama melempari jendela dengan piring dan gelas. Di luar, hujan sudah berhenti. Tetapi aku membalikkan badan dan aku melihat ada halilintar di dalam rumah. 

Setiap hujan turun, aku merasa bisa bicara dengan Papa. Tetapi Mama membenci Papa seperti dia membenciku setiap mendapatiku sedang duduk diam di dekat jendela. Beberapa waktu lalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan hujan dan tentu saja dengan bahasa rahasia yang kami ciptakan, hujan memberitahuku bahwa Papa merindukanku dan ingin sekali bertemu denganku. 

Aku tersenyum dan dadaku terasa hangat. Seolah Papa sedang memelukku dengan tubuhnya yang mengantarkan hawa perapian. 

“Hujan sudah berhenti, Annelies.” 

“Ya, Mama.” 

“Bereskan barang-barangmu Annelies, kita akan pindah.” Bunyi sepatu Mama mengusik percakapan terakhirku dengan hujan. “Dan, Annelies, berhenti duduk di dekat jendela itu. Oh, sungguh! Apa yang kamu lakukan, bicara dengan jendela?” 

Tidak, Mama, aku bicara dengan hujan. 

“Ayo anakku, berhenti melamun dan kemasi barang-barangmu. Kita akan meninggalkan rumah ini.” 

“Kita mau ke mana, Mama?” 

“Kamu selalu mencari Papa, bukan? Kamu akan bertemu dengan Papa.” 

“Sungguh?” 

“Kemasi barang-barangmu!” 

Aku menulis surat terakhir kepada hujan: Dear, hujan, terima kasih telah menemaniku semenjak Papa pergi. Sekarang, aku akan bertemu lagi dengan dia. Papaku, Papaku sendiri. Papa yang mengajariku untuk mencintaimu. Terima kasih, titik-titik air di jendela, telah menyimpan bahasa rahasiaku dan tetap tinggal di sana meski hujan sudah berhenti. Aku takkan merepotkan kalian lagi. Terima kasih. 

Hujan sudah berhenti. 

Aku duduk di hadapan jendela rumah yang baru. Di rumah ini suara hujan tak terdengar. Teredam oleh atap. Di hadapan mata jendela *), aku mengingat Papa. Mama telah membawaku ke tempat yang asing dan kata-katanya tak pernah terbukti. Aku tak pernah bertemu dengan Papa. Alih-alih, aku bertemu dengan lelaki lain. Lelaki itu baik tapi tubuhnya tak seperti Papa, tak beraroma daun-daun basah. Lelaki itu memiliki harum kulit kayu. 

Rumah ini jauh lebih besar dari rumah Papa yang telah kami tinggalkan dan kini menjadi milik orang lain. Setelah lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan segala keterasingan yang mengelilingiku. Lelaki asing yang kini bersama Mama semakin hari semakin terasa asing. Bahkan, Mama kini tampak asing bagiku. Mungkin, lelaki asing itu juga akan selamanya asing di dalam mata Mama. Sebab setiap kali aku melihat Mama memeluknya dan menciuminya dan memanggilnya dengan kata-kata sayang, aku hanya merasakan kekosongan dalam setiap hal yang Mama lakukan. 

Aku melihat ke balik jendela. Kini, semuanya terasa kian asing. Satu-satunya yang masih terasa akrab bagiku hanyalah hujan. Tetapi hujan sudah berhenti. 
Ini entah malam kesekian semenjak bangsa kita terbebas dari penjajah. 
Ini entah jadi malam keberapa setelah bapak Bacharudin jusuf berhasil membuat pesawat pertamanya. 
Ini entah sudah kali keberapa aku menatap keluar jendela. 
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi hujan sepertinya tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. 

**** 

Malam ini malam minggu,,, wajar saja jika diluar terlihat sangat ramai. Meski hujan yang turun lumayan deras, tapi tak mengurungkan niat para pasangan sejoli untuk menikmati satnite. "Malam minggu dengan berteman hujan itu Romantis" gumam mereka. 

Aku tidak sedang menikmati malam minggu, saturday night, daily nigth, malam kasmaran, atau apalah sebutannya. Bagiku, setiap malam itu sama. Hanya malam jum'at yang berbeda. Untuk keyakinanku, malam jum'at dan hari jum'at itu adalah hari yang penuh berkah. Bahkan, mereka yang sudah meninggalpun masih bisa menikmati berkah jum'at. 

Malam ini, aku menunaikan janji bertemu seseorang. Seseorang yang membuat hari-hariku yang dulu penuh warna, berubah hitam pekat. Dulu, aku pernah berada difase bahagia dan jatuh cinta setengah mati, sebelum semuanya menjadi terbalik. 

**** 

Aku menunggunya,, sudah hampir setengah jam dari janji bertemu itu. 
Harusnya aku bisa dengan tegas menolaknya, atau mengabaikan janji yang tidak bisa kupenuhi. 
Tapi, aku hanya ingin kejelasan. Penjelasan atas luka yang pernah aku nikmati sendiri. Kejelasan atas lukisan pilu yang digambar dengan tanpa nurani. 

Pria ini, (yang tengah ku nanti siluet tubuhnya) pernah berjanji memberikan sepotong senja untukku diwaktu cucu kami telah dewasa. 
Pria ini, (yang senyum anehnya amat kurindu beberapa tahun ini) pernah mengenalkanku pada pengemis kecil yang luar biasa (mungkin akan ku ceritakan lain kali) 
Pria ini, (yang memiliki suara bariton) pernah mengajakku mendaki puncak Himalaya (lewat imajinasi, tentunya) 

Ahh,, andai saja kalian tahu. Dia pria yang memiliki peran yang luar biasa (Dulu). 

Hanya dia, yang berani mengajakku berkencan. Pertama kali. Mengingat ayahku begitu Protektif, butuh adu argumen berjam-jam agar izin pergi itu didapat. Dan, ah tuhan,,, hanya dia yang bisa meluluhkan senyum garang ayahku. Dengan suara khas jawa, ia meyakinkan ayahku. "Om bisa percaya pada saya,, Nina akan baik-baik saja bersama saya.". Kalian tahu respon ayahku? Beliau malah tertawa, dan menepuk pundak laki-laki itu. 
Itulah kencan pertamaku. Dari dua puluh tiga tahun yang sudah kujalani, itu malam minggu pertama aku merasa sangat bahagia. Yang biasa hanya bisa menikmati bintang gemintang lewat senyum jendela, kini aku bisa menikmati langsung. Berdiri lepas, diatas butiran halus dipinggir pantai. 

Malam itu, ia menggodaku. Menghujamkan jutaan kata gombal yang membuat pipiku memanas. Aku hanya bisa mengatupkan bibir dengan semua tingkahnya. Bukan karna bosan, tapi karna aku begitu bahagia. Jantungku terasa akan meletus. 

Malam itu, ia membisikkan kata rindu berulang kali. 
Tapi, dia adalah pria yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan keyakinan. Ia tak pernah sekalipun merangkul apa lagi berbuat yang tidak-tidak. Sungguh lelaki idaman. 

Malam itu, ia mengajakku pergi ke Kapuas (masih lewat imajinasi). Ia mengajakku naik sepit (alat transportasi sejenis speedboat yang hanya menggunakan mesin motor penggerak). Diatas sepit khayalan itu, ia melantunkan tembang lawas. "Mengapa kau termenung, oh adik berhati bingung"-Saroja. Lagi-lagi aku hanya gelagapan. Dia mampu membuatku melambung sangat tinggi. Membuatku merasa begitu sempurna. 

**** 

Hari itu,,, 
Ia tiba-tiba menhilang, tanpa kabar, tak berkabar. 
Ponselnya selalu diluar jangkauan, non-aktif. Berhari-hari, Berminggu-minggu, Berbulan-bulan. 
Satu tahun pertama,, aku hanya menghabiskan waktu didepan jendela. Menikmati panas, hujan, badai. 
Kuliahku berantakan, kehidupanku buram. Ayah hanya mampu menatap prihatin sambil sesekali mengusap kepalaku lembut. Ibu lebih tersayat, hampir setiap hari ia meneteskan air mata. Fisikku hampir tak lagi dikenali. Bobotku berkurang, berkilo-kilo. Benar-benar tahun yang melelahkan. 

Tahun kedua,,, 
Semua membaik, aku mulai membuka diri. Mulai melanjutkan study-ku yang tertinggal, mulai bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Semua sudah hampir menjadi normal. 

***** 

Semalam, dia mengirimkan Email. Meminta bertemu ditempat ini. Salah satu cafe diLitlle Netherland. Cafe hangat inilah, awal pertama cerita dimulai, dan akan menjadi tempat peng-usai semua cerita. 

Pukul sembilan,, hujan masih terjaga, dan dia belum datang. 
Akankah dia datang? Entahlah,,, yang jelas, aku sudah siap dengan semua yang akan terjadi. Bahkan jika dia tidak datang sekalipun, aku akan tetap pulang dengan tersenyum, menikmati hujan malam ini lebih dari membahagiakan.