Eria-Aruna





 Hey, kamu. Kemarilah, ikuti langkahku. Mari kita kembali ke masa dimana kita masih sama-sama menjadi orang asing satu sama lain. Dan menghindar sedapatnya agar tak ada satupun dari kita yang terluka…


Eria
Gadis periang itu bernama Aruna. Mata bundar berbinar dan rambut ikal coklatnya yang mengembang membingkai wajahnya dengan apik. Dan senyumnya, tawanya, semakin membuat ia bersinar diantara lainnya. Cerah mentari seakan menjadi latar belakang panggung bagi setiap gerik lincahnya. Kicau burung adalah lagu pengiringnya. Jatuhkah cintaku? Bisakah cinta jatuh pada lebih dari satu hati?
Aruna
Ah, betapa mengagumkannya dia. Tak banyak kata, senyum seadanya. Tapi bila ia tertawa, rinduku dibawa serta. Diamnya membuat gila. Lihat saja bagaimana cara wanita-wanita ini memujanya. Aku? Cukup mengaguminya saja dalam wibawa. Karena aku tak yakin, bisakah cinta tertambat pada dua hati berbeda? Ah, ya, aku lupa. Namanya Kala.
Eria
Tadi akhirnya kami bicara. Berada sedekat itu dengannya membuatku gemuruh, akal sehatku luruh. Jangan suruh aku menatap matanya. Tuhan, dari apa Kau mencipta dua pasang cahaya mempesona itu? Kau sematkah gravitasi disana hingga duniaku tertarik berputar terpusat padanya? Atau heroinkah? Binarnya adalah candu yang membuatku termangu.
Aruna
Berapa lamakah otak bisa menyimpan gema suara? Rasanya aku ingin menyimpan lembut suaranya dalam satu ruang yang jauh didalam sana. Untuk kemudian kuputar ulang sebagai pengantar lelapku kedalam mimpi sambil berharap dapat bertemu dia sekejap saja. Terdengarkah olehnya debar riuh dadaku saat berdiri disisinya? Kuharap tidak. Jangan. Karena mereka berulang menyebut namanya.
Eria
Dingin tangannya dalam genggamanku. Aku tau apa yang dia juga tau. Yang kami lakukan adalah salah namun toh kami pasrah dan resah telah mengalah. Kami sama-sama terjerat. Tanpa niat melepas yang terikat. Senyum itu milikku malam ini. Cuma aku.
Aruna
Aku diburu rayu, jangan selamatkan aku.
Kala
Malam ini aku duduk tergugu. Apa yang telah berlaku? Sungging itu kulumat lamat-lamat. Dia terpejam dalam temaram yang diam-diam. Setelah itu kaku. Yang ada cuma bisu. Kami menarik diri jauh. Jauh seperti dua kutub magnet sama yang bermusuh. Fikirku lusuh. Airmata yang datang membasuh. Mala, maafkan aku.
Eria
Kecup itu dingin dan menderu. Seperti waktu lewat terburu-buru. Rasa bersalahku tunduk termangu. Oh, Tuhan. Rana, ampuni aku.
Aruna
Ini berat. Namun harus kusekat sebelum terlambat. Dia batu penyandung yang mampu membuat rinduku jatuh dan melambung. Aku menghindar meski tatapnya masih tempat rasaku bersandar. Rana-nya tak mungkin rela gadisnya membagi hati. Begitupun Mala-ku. Ada luka saat menatap nanar mata indah Lana yang tak rela. Namun siapa yang rela? Dia tidak, begitupun aku juga. Namun sudahlah yang sudah.
Eria
Kami terpental jauh satu sama lain. Mencoba menyeret hati kembali balik posisi. Kadang memang terasa luka membuat jatuh bulir air mata. Tapi seperti kelihatannya, dia memang bijaksana. Aku percaya keputusannya. Aku memeluk erat Rana-ku yang terheran. Mencoba memohon maaf untuk kesalahanku yang dia tak pernah tau.

Eria&Aruna
“Aru?”
“Hm…”
“Kau percaya jodoh?”
“Tentu.”
“Apa kau bisa memilih jodohmu?”
“Tuan, bisakah kau memilih dari rahim wanita 
  mana  kau dilahirkan?”