Maaf, semalam tak mengajak otakmu.

 

 





Kuucapkan selamat sore pada serbuk kopi yang berhamburan di bawah meja,
berpelukan dengan pecahan cangkir berwarna biru.
Tak banyak yang tersisa.
Hanya sedikit rindu; tergugu di belakang pintu.


Burung gereja berceracap entah tentang apa, tapi nirkata bagai sembilu; udara di paru-paru berdarah-darah!
Langit berkabung.
Awan mengeluarkan tinta berwarna ungu; memaksa para penyair melukis fajar berbilur memar.

Kubasahi wajahku dengan air dingin, sekedar meluruhkan sisa berisik mimpi buruk tadi malam,
menyisakan derau berkecamuk panjang di kepala.
Sulurnya melambai-lambai, bergoyang ke kiri dan kanan, memainkan banyak pertanyaan.
Apa yang sebenarnya kita lupakan?

Ayam-ayam kate mulai terkekeh kekenyangan; mematuk kata-kata tak terangkai yang berceceran.
Lalu kusadari ada yang hilang.
Tak ada topeng monyet di ujung gang,
tak ada baju merah di jemuran,
tak ada kamu di halaman.

Maaf, semalam otakku sedang liburan.
Maaf, karena tak mengajak otakmu.