Menikmatimu, melalui doa.





Malam ini, izinkan aku menyapamu lewat kata. Menyempatkan aksara singgah di retina matamu yang sendu. Mungkin akan membuatmu sedikit berkerut atau tersenyum bersama secangkir kopi yang menjadi teman baikmu.

Apa kau tahu, Tuan? Kau selalu asyik dengan ritualmu memuja sepi dan kenangan, walaupun kadang kau bersembunyi dibalik tawa bersama teman mayamu. Jangan sembunyikan lukamu, Tuan. Ada banyak waktu untuk menampung segala keluh kesahmu, meski mungkin tak kau temukan solusi. Tapi percayalah, setiap telinga dalam manis rasa gula akan menjadi pendengar yang setia.

Kau selalu mengikat kenanganmu dengan erat, memberikan pita merah jambu, lalu memajangnya dengan cantik di dinding hatimu. Tetapi, Tuan, ingatan masa lalu hanya akan menjadi duri di ladang yang akan kau semai esok hari. Lepaskan saja semua, titipkan pada awan hitam, dan biarkan hujan mengantarnya ke lautan. Suatu hari nanti, akan ada nelayan yang menebar jala dan menjerat hatinya dengan sempurna.

Mungkin, bintang yang sedang kau genggam bukan bintang yang kau inginkan. Tapi ketahuilah Tuan, Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih indah, meskipun kita selalu menyangkalnya. Bukankah kau sering mendengarnya? Bahwa Dia akan memberikan semua yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Tak usah mengingkari takdir. Takdir akan menyelinap dalam hidup kita dengan caranya sendiri.

Tentang gadis puisi yang selalu hadir di setiap imajimu, biarkan ia tetap menjadi masa lalu. Tak usah memutar mesin waktu. Biarkan ia menjadi bagian dari buku-buku indah di kepalamu.

Semalam aku bermimpi;
Di sebuah taman bunga warna warni, seekor kupu-kupu menyelinap ke dalam dadaku.
Degup jantung yang beradu dengan kepak sayapnya terdengar sangat merdu.
Lalu aku terbangun di satu pagi yang lengang;
dengan pikiran penuh kamu, Tuan.

Apakah kau menemukan kecupanku di sarapan pagimu?
Aku menyisipkan rindu pada roti selai coklat dan secangkir kopi tanpa gula kesukaanmu
Dan kicau burung pagi ini,
Ialah puja puji untuk hujan di musim semi.
Tatkala daunan mulai tumbuh,
Cintaku telah lebih dulu meneduhkanmu.

Kadang aku lebih suka tenggelam,
menikmati debar di dada;
seperti mendengarkan alunan musik klasik
yang mengaliri nadiku.

Sesekali,
aku melihat ke arah cermin,
ada sesuatu yang menarik di sana;
Ah, sepasang bola mata – sedang jatuh cinta!

Sebelum pagi beranjak, cobalah memejam,
siapa lebih hujan di kepalamu;
Aku atau rindu?
Atau hanya angin yang mengabarkan sepasang peluk melebihi jangkauan lengan kita?

Di selasar musim
ketika daun-daun menggugurkan kesunyian bibirku,
bau nawastu tubuhmu menuntunku
memagut sisa-sisa mimpi
di jelaga semalam.