Tenggelam dalam segelas orange juice


Malam itu, aku dengan sengaja menjebak diri sendiri. Terkurung dalam keramaian, bingar, gigil pendingin ruangan dan asap rokok yang berkelindan menyesakkan. Duduk diam di atas bar stool maroon, aku memperhatikan dua orang bartender sigap meracik minuman. Orang-orang masuk melalui pintu di sebelah kiriku. Semakin malam, semakin ramai. Semuanya terbahak. Badan mereka bergoyang mengikuti musik. Dalam keremangan aku bisa melihat jelas wajah-wajah yang entah. Lampu benderang kuning merah menyorot panggung. Lakon malam itu melompat kesana kemari dengan mikrofon di tangan. Mengeluarkan suara-suara berisik, menyaingi lengking gitar dan gebukan drum. Sahut menyahut.
Justru di tengah hingar bingar itu, aku rasanya lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Dalam gelembung kedap bunyi yang kubuat sendiri, suara-suara di kepalakulah yang menjadi paling riuh.
Tepat ketika sebuah band indie membawakan salah satu lagu dari Kodaline, gelas berembun berisi orenjus pesananku datang. Kubus-kubus batu es berenang memenuhi sepertiga gelas kaca itu. Oranye sempurna meski agak masam kurang gula. Kusesap sedikit-sedikit sambil melirik ber-pitcher-pitcher bir kuning bening di meja-meja sebelah. Ditenggak dalam gelak. Perempuan berambut pendek bob dengan kacamata besar, lelaki botak tinggi berjaket kulit, geng fashionista dengan dandanan ala model majalah Vogue, rombongan bujang di deretan bar stool belakang, perempuan bertato di pundak yang kelihatan lelah, beberapa lelaki yang ngotot akan menduduki meja pesanan orang lain.
Lihatlah, betapa semua ini adalah hiburan bagi kepala.
Setiap sesap, isi kepalaku satu demi satu masuk ke dalam gelas. Berenang dalam orenjus masam yang tinggal duapertiga.
Semua orang pasti ingin bahagia. Paling tidak, terlihat bahagia. Tapi kadang kebahagiaan, seperti pula kebebasan, rupanya memiliki batas lingkar singgungannya sendiri. Yang bijak selalu bilang, tiadalah bahagia jika untuk itu kita menyakiti orang. Lihat? Ada batas dimana kebahagiaanmu tidak boleh menjadi ketidakbahagiaan orang lain. Toleransi. Tenggang rasa. Tepa selira. Seperti di buku cetak PPKn sekolah dasar.
Padahal, kupikir, tak ada kebahagiaan semacam itu. Kita bisa memilih kebahagiaan macam apa yang kita anggap bahagia. Bebas saja. Para pecinta berkata bahagia kesayangannya adalah bahagianya pula meski itu menyakitkan. Bahagia bagi setiap orang nyata-nyata tak pernah sama. Dua orang yang memutuskan hidup bersama saja selalu punya definisi bahagia yang berbeda. Yang satu bahagia bersama yang lain, namun bisa saja ditimpal sebaliknya. Kebahagiaan seseorang, hampir selalu adalah ketidakbahagiaan bagi orang lain. Akan selalu ada yang tidak bahagia ketika kamu bahagia.
Kubus-kubus es meleleh agar orenjus menjadi dingin dan segar. Gelas kacanya dikeringati udara yang mengembun mencair memberi jejak pada meja. Harus ada yang hilang agar yang lain bisa mewujud. Akan selalu ada yang harus meniada demi ada yang lainnya. Bukankah memang hidup ini selalu seperti itu? Cinta bahkan datangnya sepaket dengan jatuh.
Dunia, memang adalah keutuhan yang berpecah serpih menjadi segala yang berubah wujud dan tempat saja. Seperti air yang memang sebegitulah sejak dahulunya. Siklus saja yang membuatnya terlihat berubah, padahal tidak. Segala zat pada akhirnya hanya saling berubah wujud untuk menyesuaikan dengan yang lainnya. Bergantian. Bertukaran. Saat ini ada yang harus menguap demi hujan jatuh di tempat lain. Ada yang harus tak bahagia demi bahagia yang lain. Hanya ada satu zat, dan itulah yang kita dapat bergantian. Batas-batas ada agar kita tahu segalanya memang harus ditukar.
Sesap terakhir mengembalikan isi pikiranku ke kepala. Tertinggal sepersekian cairan oranye masam dingin dalam gelas. Aku berterima kasih untuk malam itu kepada entah siapa. Kutitipkan lewat beberapa lembar uang dan senyum tulus kepada perempuan berambut panjang dengan make-up lengkap yang menyodorkan bill. Dengan seluruh badan yang kuyakin akan berbau asap rokok, kutinggalkan riuh rendah ruangan. Pintu menutup di belakangku. Lelaki tinggi kurus di depanku membetulkan letak kacamatanya dengan wajah tak kalah masam dari orenjus tadi. Aku tersenyum memohon maaf karena membuatnya lama menunggu dan untungnya dia membalas senyumku.

Dia mungkin tak tahu bahwa pikiranku habis berenang dalam segelas orenjus. Harusnya ia meminum sepersekian sisanya tadi agar aku tak perlu panjang-panjang bercerita lagi.