Dear kamu,
Akhirnya hari ini aku menulis surat
lagi untukmu. Bukan karena terpaksa, atau kurang kerjaan. Tapi sesuatu
yang berkecamuk di kepala dan dada terus berontak, sementara kita masih
saja tak kunjung bersua.
Tapi, sebelumnya, izinkan aku meminta
maaf kepada “tukang pos” –ku yang cantik (Devaria antri najwa), karena lagi-lagi membaca surat
yang ku kirimkan kepadamu (lagi). Mungkin terlalu banyak kata-kata yang
mengiris nadi dan membuat jemu mata yang membaca. Maaf ya mbak……
*nyengir*
Rindu. Tak bosankah kau bila aku
memanggilmu begitu? Meski hanya di dalam surat, semoga kau tetap setuju.
Tak setuju pun, kau harus setuju. Toh sudah ku tulis dan kau tak bisa
menghapusnya. Oke, abaikan.
Sebenarnya aku bingung harus menulis apa
di surat kali ini. Terlalu banyak kata yang ingin dan tak ingin
kutumpahkan. Tapi rasanya bila harus dituliskan di sini, akan jadi
sebuah novel bunuh diri yang ciamik. Ah! Aku heran, kenapa tak pandai
membuat kata-kata indah penuh bunga yang cantik di sana sini. Bahkan
beberapa orang bisa menuliskan patah hati tanpa harus menancapkan pisau
atau terjun ke jurang. Tetapi, aku sedang tidak patah hati. Aku hanya
ingin bertemu denganmu. Mengapa yang ku tuliskan selalu membuatku serasa
ingin membuang jantungku?
Yang jelas aku menyukaimu, rindu. Hanya
suka? Sepertinya sayang juga. Ya, sepertinya. (Jangan digetok, please..
:P) Aku bercanda, rindu. Aku menyayangimu. Suka. Sayang. Itu saja?
Baiklah, jangan tanyakan lagi yang selanjutnya. Nanti akan kita
bicarakan bila sudah bertemu. Menentukan kapan kita bertemu saja sudah
rumit. Tentang hati, biar dia menemukan jawabannya sendiri.
Jadi, kapan kita bertemu? Aku rindu suaramu. Aku rindu bercakap-cakap denganmu. Selalu. Jangan bosan ya, rindu. :)
Dariku, yang masih saja merindukanmu
Balasan Surat ke-Lima dari Ina karisda putri
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM
Untuk diikutsertakan dalam project PenaKreasiRamadhan dari oleh Oestra KPM