Juli



Hujan lagi. Ah, ya. Ini Juli. Hujan dan Juli adalah dua hal yang akan saling terikat, paling tidak dalam benakku. Padahal 12 bulan di kalender sudah tak bisa lagi dibagi dua samarata dan menjadi patokan musim seperti dulu. Masing-masing dari musim panas dan hujan seperti berebutan menunjukkan eksistensi sepanjang tahun. Kadang akan ada Oktober yang panas terik atau Mei yang lembab karena hujan. Tapi nyatanya selalu akan ada hujan pada Juli kita. Seperti akan selalu ada kamu.

***

Laki-laki itu mengutuk pelan sambil melihat kelangit-langit kamarnya. Bocor. Hujan merembes dari celah diujung asbes, menetes perlahan tapi pasti ke lantai kamarnya. Irama ‘tik-tik-tik’ ditingkahi deru hujan diluar sana. Cepat-cepat disingkirkannya apapun yang ada didekat titik air yang mulai menggenang dilantai itu. Biarlah, fikirnya. Toh dia memang sudah harus menata ulang kamarnya. Satu persatu barang digesernya, diletakkanlah sebuah ember hitam dibawah titik air yang merembes tadi. Bunyinya sekarang jadi ‘tuk-tuk-tuk’ beradu dengan permukaan dasar ember plastik.

Sekarang giliran meja kerjanya untuk dipindahkan. Digesernya pelan-pelan ke salah satu sudut lain kamarnya. Tak ada yang istimewa dari semua itu sampai matanya tertumbuk pada sebuah benda kecil berwarna hitam dan bergelung di bawah tempat meja tadi berada. Dia mengamatinya lamat-lamat, merasa mengenalnya meski dalam balutan debu yang tebal. Dia berjongkok memungut benda itu, membersihkannya, lalu tersenyum sendiri. Benda yang dia kira sudah hilang hampir setahun yang lalu, charger handphone CDMA nya yang lama. Yang dia malas membeli penggantinya hingga handphone itu dibiarkan pensiun dini dalam salah satu laci lemarinya.

Dia memeriksa satu laci ke laci lainnya, mencari keberadaan handphone lamanya itu. Mendapati yang dicarinya masih ada dia tersenyum lagi dan langsung men-chargernya, lalu meninggalkannya untuk kembali melanjutkan misi beres-beresnya yang tertunda.

Satu jam kemudian ketika kamarnya sudah terlihat lebih rapi, laki-laki itu kembali menatap asbes dan berjanji dalam hati akan memperbaiki kebocoran itu segera. Lalu pandangannya beralih ke jendela, tampaklah hujan yang masih deras dan langit yang memantulkan warna kelabu kemana-mana. Mei ,ya? Tiba-tiba dia ingat pada sesuatu yang sudah begitu lama, termenung sejenak kemudian meraih handphone yg tadi dichargernya. Laki-laki itu menyalakannya, menunggu sesaat.

Dia berbaring diatas tempat tidur, mengotak atik hp itu sambil lalu. Sampai ketika dia membuka folder inbox. Laki-laki itu tertegun sesaat. Lalu sepertinya dia membaca setiap pesan pendek disana. Tersenyum sendiri, beberapa kali bahkan terlihat berkaca-kaca. Tak lama, dia beranjak ke jendela lagi, menikmati entah apa yang berkecamuk dalam fikirannya, lalu keluar kamar mencari alat mengganjal mata. Hujan membuatnya mengantuk. Entah kopi atau apalah. Dia harus bekerja lagi, bukan saatnya tidur.

Diatas tempat tidurnya, hape itu masih menyala. Masih menampilkan salah satu pesan pendek :

‘Sayang, dimana sih? Aku udah nunggu dari tadi disini. .’

sender :
yellow
+62857311xxx

received :
11:03:12
19-12-2009

Hujan masih deras diluar sana. Laki-laki itu belum kembali ke kamarnya. Cuma bunyi ‘tik-tik-tik’ titik air yang terdengar dari ember plastik disudut kamar.

***

Mei 2013. .

Perempuan itu mengendarai sepeda motornya pelan menuju rumah. Matanya memicing dari balik helm putihnya, mencoba melihat lebih jelas ke arah jalan. Jas hujannya tak banyak berguna. Celananya kini sudah basah, tak usah tanya sepatunya. Tasnya dikalungkan dileher, terlindung dibagian depan tubuhnya yang tertutup jas hujan.

Hujan semakin deras. Perempuan itu memutuskan berteduh ketimbang mengambil resiko menabrak apapun karena jarak pandang yang terbatas akibat hujan.

Pelataran sebuah toko yang tutup menjadi pilihan perempuan itu. Dia mendekap tasnya dengan tubuh sedikit menggigil. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Dia menengadah kelangit. Ah, mei, ya?. Katanya dalam hati. Tentu akan banyak hujan, sambungnya lagi. Lalu dia tersenyum, memandangi sekitar dengan senyum yang masih melekat dibibirnya. Genangan coklat dipinggir jalan, hawa dingin, bau tanah yang tersiram hujan, jalan yang berwarna-warni karena jas hujan orang-orang yang lalu lalang, langit yang kelabu, dan titik-titik air yang merinai bagai tirai. Indah. Perempuan itu selalu menyukai hujan dan Desember. Perasaan senang yang tumbuh seperti gulma eceng gondok di kali seberang sana. Tumbuh subur dengan cepat, menutupi seluruh permukaan kali dengan warna hijau dan nila bunganya.

Dalam benak perempuan itu, memori menari-nari. Berkelebatan sekejap namun mampu membuat air mukanya berubah-ubah. Kadang tersenyum. Kadang merenung.

Ketika itu ponselnya berdering, berkedap kedip menampilkan satu nama

Langit
+6821789xx
calling. . .

“Sayang? Kamu kehujanan ya? Dimana? Pake jas hujan kan? Kamu gak basah kan? Kamu mau aku jemput aja atau. . .”, suara khawatir seorang lelaki terdengar dari seberang telepon.

“aku nggak kenapa-kenapa kok, sayang. Gak usah khawatir. Kalo udah nyampe aku hubungin kamu ya. Daah”, perempuan itu tersenyum lagi menatap layar ponselnya. Ia tahu betapa cemas laki-laki tadi tentang keadaannya. Namun dia tak apa-apa. Dia tau tak ada yang perlu dicemaskan laki-laki di seberang telepon tadi. Tidak keadaannya. Tidak apapun.

Perempuan itu kembali menatap jalanan yang basah. Kali ini sepi. Langit mulai gelap. Sebentar lagi malam. Dia memutuskan melanjutkan perjalanan pulang, tak mau mengambil resiko kekhawatiran si lelaki diseberang telepon menjadi nyata.

Dia memejamkan mata sejenak. Menengadah, membiarkan hujan melumerkan semua, termasuk kebimbangan hatinya. Ketika membuka mata, seiring langkah kecil-kecil yang memercikkan lumpur basah, dia tahu. Apa yang ada didepan yang perlu diraihnya dan apa yang tertinggal dibelakangnya yang tak perlu dikenang.

***

Lelaki itu menatap hujan lewat jendela, cemas dan berharap. Perempuan itu berlari, melewati hujan dengan senyum yang cerah. Lelaki satunya, duduk di kursi kerja di kamarnya, menatapi rintik hujan merembes dari atap, jatuh titik demi titik dan menggenang di ember. Satu-satunya suara paling nyaring yang terus menggema di telinganya. Fikirnya melayang entah kemana.

***

(semoga) to be continue.