Pada lapang gulungan awan, aku melempar mata. Menebarnya sampai penuh
rasa kedamaian di dada. Aku mengecup langit jingga, menghirup habis
hangat dekap perguliran matahari ke haribaannya. Ini waktu yang sempurna
untuk kita, seharusnya. Merebah tubuh pada hampar rerumputan, mengisi
ruas antar jemari, membicarakan hal yang dari hati ke hati dalam canda
sekalipun, dan saling melepas rindu yang menggunung.
Khayalku, sayang, aku menengok mesra mencoba gapai kamu dalam
pengelihatan. Mengabadikan sabit senyummu, sampai kerut terkecil
bentukannya. Khayalku, sayang, jemariku merasuk dalam lebat rambutmu,
mengusapnya pelan, sampai kau lelap dalam diam, di sampingku.
“Aku terenyuh dalam suatu yang Tuhan
definisikan dalam indah.
Suatu lengkung, terhiasi membara rerona merah. Tempat dimana khayalku kerap singgah, enggan pergi melangkah.
Dibuatnya aku rebah, tertimpa rerindu ribuah bongkah. Melihatnya, raga sejenak lemah.
Tetinggalnya, aku tak lebih dari sekedar remah.”
-Aruna L Diassabrina
Suatu lengkung, terhiasi membara rerona merah. Tempat dimana khayalku kerap singgah, enggan pergi melangkah.
Dibuatnya aku rebah, tertimpa rerindu ribuah bongkah. Melihatnya, raga sejenak lemah.
Tetinggalnya, aku tak lebih dari sekedar remah.”
-Aruna L Diassabrina
Pada jarak aku bersidekap. Meminta-minta perhati. Meminta-minta sesuap rindu balasan. Dari kamu.
Padamu aku jatuh, dan ini jatuh yang menyenangkan. Biar jatuh berulang kali jatuh, tak akan apa. Aku rela.