suatu sore.











Aku menemukan awan merupa gula-gula kapas pada matamu yang menjingga. 
Secangkir rindu yang bermuara tak lagi menganak sungai.

Seketika, pilu samar dalam lumat paling cinta. Telaga tak berwarna kini memunggungi kemarau. 
Pada sudut hati yang lembab, gelak mulai menjamur. 
Lekuk sempurna jemarimu sudah berani berkisah; tentang sepotong senyum, yang melukis gincu paling jingga–di pipi seorang pemuda.

Di halaman, sebuah siluet menjelma kupu-kupu, mengitari rimba bunga tertutup salju. 
Sinar mentari mengintip dari balik semak, berpendar merupa kunang-kunang di tengah belukar mawar. Musim semi telah tiba, bisiknya.

Perlahan, putri malu mendongak. 
Hutan sunyi meranggas, warna warni sekar berlenggak-lenggok menguarkan aroma hujan.

Malam menyapa, bayang wajah mengatap di antara redup lampu kamar. 
Kelebat lengkung surga merah delima menari tak henti-henti. Memabukkan sepasang mata hingga enggan terpejam.
Tidurlah, jelita. 
Ada yang menunggumu saat kelopak membuka esok hari. 
Ketika fajar dan embun menggubah detak jadi melodi. 
Dan senandungnya mengiringi doa ibu; melihat senyum termanis-mu pada rengkuhan seseorang dengan hati paling lurus hingga tubuh menua.