Yang didengar hujan.


images by Ina karisda putri.


Sediam apapun jarak, aku masih mengajakmu menidurkan bulan
Mengulang kebiasaan lamaku, meniup senja yang menyelinap di matamu
Membersihkan warnanya yang tercecer di keningmu dengan bibirku
Kerap kau katakan, adegan itu adalah kecupan rahasia yang diajarkan para dewa
 
Perihal apa yang bisa menjinakkan kekagumanku, Dinda?
Ditubuhku, engkau masih udara yang belum dihisap napas
Desir yang belum ditangkap darah juga degub yang belum ditemukan jantung
Dan hanya di bibirmu tersimpan senyuman yang tak pernah bisa aku taklukkan
 
Jika memang esok pagi hujan
Akulah gerimis awal yang ingin tunduk di wajahmu
Warna lain yang menggantikan bedak dan gincumu
Menjelma bening yang mencatat kedipan pertamamu agar kau tak lagi mendengar gumam mendung yang
menyesal  
Sebab lupa mewakili aku memasuki mimpimu
Mengguyurkan kekaguman dalam bentuk hujan
 
Dan bila engkau masih kuanggap api
Jangan kau bilang ketabahanku seperti kayu, Sayang
Kepada langit, selalu kau pulangkan aku sebagai asap
Kau serupakan aku baling-baling kapal yang menyakiti alur laut
Sedang pelukanmu ,kepal tangan nahkoda yang membabibuta
 
Sekali lagi aku ingin engkau tahu:
Didadaku, masih ada debar ketabahan yang mengkhawatirkanmu